Kadutan

Tahun
2010
Nomor. Registrasi
2010000209
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Bali
Responsive image
Keris merupakan salah satu hasil budaya material peninggalan nenek moyang yang dapat dikatakan menasional. Hampir di seluruh wilayah Indonesia atau nusantara mengenal keris, mulai dari pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tengara Barat, sampai Nusa Tenggara Timur. Karena itulah keris dinyatakan sebagai identitas budaya asli Indonesia. Di samping itu keris juga sebagai benda yang mencerminkan kesatuan budaya : satu lagi budaya material yang dinyatakan sebagai identitas budaya asli Indonesia adalah wayang. Hingga saat ini telah banyak para ahli yang mengadakan penelitian tentang keris atau alat-alat tusuk lainnya. Namun demikian masyarakat kita sendiri belum banyak yang mengenal lebih mendalam. Hasil kebudayaan yang sangat dipengaruhi dalam kehidupan masyarakat, ada kecenderungan untuk dilupakan, terutama oleh golongan muda. Ini disebabkan antara lain adanya perubahan fungsi keris. Sebagai contoh pada jaman raja-raja alat yang dipergunakan berperang adalah senjata keris, tombak, pedang, dan alat-alat tusuk sejenisnya. Tetapi saat ini sudah ada penggantinya yang lebih praktis dan modern. Pergeseran fungsi semacam ini dapat mengakibatkan keris kurang dikenal oleh golongan muda. Keris dalam bahasa Jawa disebut dhuwung atau curigo. Biasa juga disebut tosan aji atau wesi aji (tosan = wesi = besi, aji = dihormati karena bertuah). Dalam pandangan masyarakat keris mempunyai tempat tersendiri, sebab merupakan senjata yang dianggap mempunyai kekuatan gaib (Kusni, 1979 : 108). Dalam kaitannya dengan kebudayaan manusia, keris yang merupakan senjata tusuk, termasuk dalam sistim peralatan hidup atau teknologi. Sedangkan peralatan hidup sendiri termasuk unsur-unsur kebudayaan universal (cultural universal) (Koentjaraningrat, 1974 : 166). Demikian pula halnya di Bali, keris dan sejenisnya juga dianggap sebagai pusaka yang berkekuatan gaib, yang mampu menghindarkan pemiliknya dari bahaya. Dipakai juga sebagai pelindung diri. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan. Sedangkan kekuatan yang terkandung pada tiap-tiap keris tidak sama, tergantung pada para pembuat (Empu dari jaman ke jaman) (Hamzuri, 1973 : 7). Masing-masing daerah atau suku bangsa di Indonesia memiliki istilah tersendiri dalam menyebut senjata keris. Di Jawa keris disebut dhuwung, curiga. Minangkabau : kerieh, Lampung : Terapang, punduk; Sulawesi : sale, kreh ; Bali : kadutan ; Nusa Tenggara Barat : Keris (Lombok) dan Sampari ( Bima). Keris sebagai benda budaya untuk pertama kali muncul di Jawa sekitar abad ke-6 sampai ke-7 Masehi. Hal itu diketahui dari bukti-bukti yang ditunjukkan oleh prasasti dan relief (gambar timbul) candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi di Pulau Jawa ada dua kata lain yang memiliki pedanan arti dengan kata keris yaitu curiga dan dhuwung. Curiga diserap dari bahasa Sansekerta curika artinya : keris, pisau. Paksi curiga keris putih, manuriga menikam dengan keris. Acurik bunuh diri dengan keris Dalam ceritera pewayangan yang bersumber pada kitab Mahabharata dan Arjuna Wiwaha, banyak dijumpai mitos tentang keris. Dari sumber lain seperti kitab Nagara Kertagama dan Pararaton dikenal keris buatan Empu Gandring yang dipesan oleh Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung dari Tumapel. Keris tersebut dikatakan sangat sakti. Kekuatan gaib pada sebuah keris tercermin pula dalam cara mendapatkannya. Seseorang yang percaya, sebelum mendapatkan keris terlebih dahulu mendapatkan ilham. Keris yang demikian disebut Keris Tiban, yaitu keris yang tidak tahu asal usulnya. Kepercayaan-kepercayaan tersebut makin menambah keruwetan pembuktian ilmiah. Tetapi sebaliknya kepercayaan masyarakat terhadap karismatik keris akan bertambah. Keberadaan keris di Jawa dapat dilihat pada sebuah pahatan relief di Candi Sukuh di lereng gunung Lawu (Jawa Tengah). Relief itu memperlihatkan cara-cara seorang penempa besi menggarap wilah keris dengan alat pertukangan yang serba sederhana. Pembangunan candi sukuh diperkirakan tahun 1437-1438 Masehi yaitu sebagai salah satupeninggalan arsitektur Hindu Jawa (Moebiran, 1980 : 6). Dewasa ini pembuatan keris di Bali dikerjakan oleh seorang pande besi dalam jumlah yang sangat terbatas. Demikian pula halnya di wilayah Kabupaten Tabanan, berdasarkan pengamatan penulis di lapangan khususnya di desa Gubug, Kecamatan Tabanan hanya ada 2 pande besi yang membuat keris, yaitu Pande Gede Nyoman Suparta (gada Sakti) di Banjar Tonja, desa Gubug dan Pande Mangku I Putu Kawitama yang bekerja bersama saudara kandungnya sendiri Wayan Dwija di Banjar Pande, desa Gubug, Kecamatan Tabanan. Sedangkan di desa Tista, kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, ada 1 pande besi yang sudah cukup dikenal yaitu Bapak Ketut Sunarya (Pan Edi) yang juga ahli membuat keris selain senjata nawa sanga serta perabotan rumah tangga lainnya. Terbatasnya pande pembuat keris dapat kita maklumi karena untuk menciptakan keris bukanlah pekerjaan mudah seperti membuat pisau biasa. Untuk bisa menciptakan keris perlu keahlian khusus, kesabaran, ketekunan, waktu yang cukup, serta lelaku-lelaku spiritual dalam hal menciptakan keris pusaka. Secara fisik, bentuk keris ada dua macam, yaitu bentuk lurus dan bentuk berluk (berkeluk). Bahan pembuatannya adalah, besi tua, besi baja, dan besi pamor (besi putih/nikel). Cara membuatnya adalah ketiga besi tersebut dipotong sesuai ukuran yang diperlukan kemudian disatukan, dipanaskan dalam api yang membara, diketok-ketok dengan palu dan dibentuk sesuai bentuk yang diinginkan (lurus atau luk) kemudian dihaluskan (finishing). Pada mulanya keris adalah senjata untuk menikam atau membunuh lawan atau musuh yang sekaligus juga untuk melindungi diri dari serangan lawan. Dalam penggunaannya waktu berkelahi semua keris berfungsi untuk menepis serangan musuh, sedangkan bilah keris berfungsi untuk menikam atau menusuk. Akan tetapi, dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, abad ke abad, keris bukanlah semata-mata alat untuk membunuh melainkan dianggap sebagai benda yang memiliki kedudukan dan fungsi sosial, religius dan magis bagi masyarakat pemakainya, seperti keris dapat menggantikan sosok pengantin pria dalam upacara perkawinan, sebagai atribut kekuasaan atau tanda estafet kepemimpinan pada jaman kerajaan dahulu, sebagai kelengkapan busana adat, sebagai kelengkapan sarana upacara, sebagai benda pusaka keluarga atau istana, sebagai benda yang mencerminkan kesempurnaan hidup kaum pria, sebagai benda yang dapat menjadi tali persahabatan, sebagai lambang status sosial dalam masyarakat. Jadi keris memiliki makna simbolis yang begitu kompleks dalam kehidupan masyarakat.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

Pelaku Pencatatan

Pande Mangku Wija

Desa Kusamba, Klungkung, Bali

?

?

Pande Gede Nyoman Suparta

Banjar Tonja, Desa Gubug, Tabanan, Bali

?

?

Pande Mangku I Putu Kawitama

Banjar Pande, Desa Gubug, Tabanan, Bali.

?

?

Pelapor Karya Budaya

Suku Bangsa Bali

Wilayah Provinsi Bali

?

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047