Cembengan

Tahun
2013
Nomor. Registrasi
2013003323
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image

Ritual Cembengan semula hanya merupakan Ritual ritual yang dilakukan oleh para pekerja di dalam PG untuk meminta keselamatan dan hasil produksi yang baik. Namun perkembanganya telah berubah menjadi pesta rakyat bagi masyarakat sekitar pabrik. Keramaian selama perayaan Cembengan menyerupai pasar malam yang berlangsung antara satu hingga dua pekan. Puluhan pedagang mainan, pakaian, dan makanan menggelar dagangannya, baik di sekitar pabrik hingga ke halaman dalam pabrik. Berbagai jajan tradisional seperti es dawet, brondong jagung, arum manis, komedi putar, hingga pentas dangdut membuat Cembengan selalu menimbulkan kemeriahan yang melegakan. Pada hari-hari seperti ini, citra pabrik yang biasanya angker untuk sementara tersingkir.

Ritual Cembengan sebenarnya merupakan adopsi dari tradisi Cina, Cing Bing. Yaitu tradisi ziarah ke makam leluhur menjelang suatu karya besar. Masyarakat keturunan Cina yang bermukim di pantura (pantai utara) Jawa yang mengenal teknologi pembuatan gula tebu ini pada masa lalu selalu melakukan Ritual Cing Bing sebelum memproduksi gula. Menjelang musim giling tebu dan suling spritus, hampir di setiap tempat penggilingan atau pabrik gula menggelar serangkaian ritual sakral. Berikut ini prosesi puncak ritual jelang musim giling tebu PG Madu Baru Madukismo, di dusun Padokan, kelurahan Tirtonirmolo, kecamatan Kasihan, kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Hampir di setiap pabrik gula, khususnya di Jawa, menjelang masa panen raya tebu dan musim giling tebu diadakan Ritual selamatan. Sama halnya dengan di Solo, Jawa Tengah, di Yogyakarta Ritual selamatan atau tradisi jelang musim giling tebu itu juga dikenal dengan cembengan. Sebenarnya, sebutan itu merujuk pada keramaian berupa pasar malam, yang diadakan di awal bulan April, bulan di mana masa panen tebu datang. Pasar malam atau yang lebih tepat disebut pasar rakyat cembengan itu, muncul bak jamur yang merebak di setiap awal bulan April di sekitar lokasi PG-PS Madukismo, pabrik gula peninggalan zaman Belanda sejak 1955 dan sejak tahun itulah ritual cembengan ini bertahan hingga sekarang masih tetap dilakukan oleh PG. Madukismo.

Upacara Ritual Cembengan ini memiliki dampak positif bagi lingkungan sekitar di masyarakatan, biasanya sebelum ritual ini berlangsung, lingkungan sekitar pabrik gula tersebut sudah ramai dihadiri lapak – lapak pedangang dengan berbagai makanan khas pasar malam tradisional seperti arum manis, es dawet, brondong jagung dan lainnya serta berbagai hiburan anak anak seperti komidi putar, bagaikan ingin mengingatkan kembali pada masa lalu. Tentu, beragam jenis makanan dan hiburan itu sudah jauh dari selera masa kini.

Nuansa – nuansa tradisionalnya yang masih terjaga hingga sekarang membuat orang masih saja mau membeli dan menikmati hiburan sederhana itu. Hal ini juga dikaitkan dengan makna musim panen yang identik dengan musim kebahagiaan. Berbagai hiburan seperti yang tergelar dalam tradisi cembengan, merupakan visualisasi perayaan kebahagiaan bagi Masyarakat Jawa yang sejak peradaban kuno telah dikenal religius, tak sekedar merayakan kebahagiaan itu dengan hura-hura. Melainkan juga dengan berbagai Ritual sesaji sebagai lambang syukur atas berkah panen yang melimpah. Demikian pula pada musim panen raya tebu yang segera disusul dengan musim giling tebu bulan ini. Berbagai ritual digelar sebagai ucap syukur tersebut. Sekaligus pengharapan agar diberi keselamatan selama dalam proses penggilingan tebu.

Menurut General Manager PT Madu Baru (PG-PS Madukismo), menjelaskan, acara cembengan diselenggarakan dengan berbagai Ritual tradisi. Terdiri dari ziarah makam, Ritual sesaji atau doa permohonan keselamatan dan pergelaran wayang kulit. Selain berbagai ritual itu, PG-PS Madukismo juga menggelar berbagai pentas kesenian dan beragam perlombaan olah raga. Konon, cembengan merupakan adat tradisi yang berasal dari etnis Tionghoa yang menetap di Jawa. Ritual itu adalah Cing Bing , yakni ritual ziarah ke makam leluhur sebelum memulai pekerjaan besar.

Tradisi Ritual pesta giling merupakan tindakan kolektif, sebab melibatkan sebagian besar masyarakat desa. Makasud dilakukannya Ritual pesta giling adalah untukm melembutkan arwah-arwah yang telah meninggal agar jangan mengganggu orang-orang yang masih hidup. Caranya dengan memberi sesajen, mengadakan selamatan, dan pertunjukan wayang.

Sejarah pesta giling adalah adanya kebiasaan turun temurun dari nenek moyang mereka dan kepercayaan yang sulit untuk ditinggalkan. Mereka takut meninggalkan tradisi Ritual terebut karena takut terjadi sesuatu bila tidak melaksanakan Ritual tersebut. Secara sosiologis dapat dilihat adanya faktor yang paling dominan dalam pelaksanan ritual tersebut sehingga terjadi suatu proses kebiasaan dalam melaksanakan ritual, adapun faktor yang paling dominan adalah suatu adat kebiasaan yang terjadi secara turun temurun dari nenek moyang mereka.

Selain menjalankan adat kebiasaan yang sudah berjalan sejak 1950- an itu, Ritual "Cembengan" ini juga bertujuan memohon keselamatan kepada Tuhan. "Harapan akan berkah, kelancaran dan jauh dari musibah menjadi tujuan dari Ritual `cembengan` atau `tebu manten` ini,".

Acara itu diiringi gending-gending Jawa sebagaimana acara perkawinan dalam adat Jawa dilakukan dan dipandu oleh pranoto coro (pembawa acara) dalam bahasa Jawa. Setelah “tebu pengiring manten” selesai dipetik dan dipegang berjajar-jajar di samping pasangan manten yang diperankan pemuda dan gadis desa, acara dilanjutkan dengan siraman. “Tebu manten” yang telah dipingit selama semalam kemudian dikeluarkan dari Pondok Asri untuk kemudian dilakukan siraman. “Tebu manten” yang telah ditata itu kemudian disiram dengan air kembang melalui sebuah kendi (teko Jawa yang bahannya berasal dari tanah) yang dilakukan oleh Adm dan Ketua APTRI.

Simbol-simbol dan struktur-struktur Ritual yang berfungsi untuk menghubungkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dan pengalaman- pengalaman yang dipunyai oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan simbolik dan Ritual yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan dan kehidupan sosial dan ekonomi; yang dengan demikian meletakkan suatu kategori yang lebih komprehensip ke dalam suatu konsensus primordial. Tubuh manusia sebagai suatu hasil konstruksi hubungan-hubungan di antara organ- organnya, secara konseptual dapat dilihat sebagai jembatan penghubung antara bentuk ritual dengan simbolisme, dan dengan kategori-kategori sosial secara struktural.

Makna simbolik berarti maksud dari suatu hal yang menjadi lambang. Kaitan dengan Ritual tradisional, simbol tersebut dapat berupa sarana dan prasarana yang digunakan dalam pelaksanaan Ritual sedangkan makna adalah isi dari sarana pelaksanaan Ritual tradisional tersebut.

Pada umumnya unsur-unsur yang ada dalam Ritual itu merupakan simbol-simbol yang melengkapi Ritual atau kelakuan agama. Simbol-simbol tersebut dapat dilihat dalam komponen-komponen Ritual maupun dalam tindakan-tidakan Ritual. Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa disebutkan bahwa perangkat lambang atau simbol daam suatu Ritual tradisional pada hakekatnya berkmakna sebagai pengatur tingkah laku, memberikan petunjuk betapa sesungguhnya manusia itu mampu dan telah membuktikan dirinya sebagai manusia yang berkemanusiaan.

Dalam mitos, simbol digunakan sebagai penitipan pesan-pesan atau nasehat-nasehat dari nenek moyang kepada anak cucunya dalam rangka simbolisasi ketegangan hidup manusia dalam pergumulannya untuk mengartikan dunia dan dirinya yang berupa misteri yang gaib.

Sebagai suatu keseluruhan, Ritual mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu Ritual dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari Ritual untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam ke- seia-sekataan yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia.

Simbol-simbol dan struktur-struktur Ritual yang berfungsi untuk menghubungkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dan pengalaman- pengalaman yang dipunyai oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan simbolik dan Ritual yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan dan kehidupan sosial dan ekonomi; yang dengan demikian meletakkan suatu kategori yang lebih komprehensip ke dalam suatu konsensus primordial. Tubuh manusia sebagai suatu hasil konstruksi hubungan-hubungan di antara organ- organnya, secara konseptual dapat dilihat sebagai jembatan penghubung antara bentuk Ritual dengan simbolisme, dan dengan kategori-kategori sosial secara structural.

Setiap simbol pun mempunyai arti. Pembawa tebu, melambangkan para petani tebu yang telah bekerja setahun penuh menanam dan merawat tanaman tebu. Adapun

penggawa melambangkan karyawan pabrik tebu yang bekerja memproduksi tebu menjadi gula. Dayang yang menyambut pengantin tebu melambangkan kehalusan dan ketelitian dalam bekerja, sedangkan pengantin tebu merupakan wujud penghormatan pada tanaman tebu yang memberikan kehidupan kepada manusia.

Makna “petik tebu manten” dalam acara ini adalah prosesi untuk mengawali panen tebu yang secara simbolis diwakili oleh beberapa batang tebu. Jumlah batang tebu yang diambil dalam “petik tebu manten” didasarkan pada neptu dan pasaran, yakni sebuah perhitungan horoskop yang didasarkan pada kalender Jawa. Sedang arah tebu yang dipetik pertama kali ditetapkan.

Berdasarkan neptu, hari dan pasaran. Secara fisik, tebu yang dipilih merupakan tebu yang baik dan diperlambangkan sama dengan manten (pasangan mempelai) dalam adat Jawa. Untuk simbolisasi mempelai laki-laki dinamai Kyai Anggoro, sedangkan mempelai perempuan dinamai Nyai Kasih pada acara “petik tebu manten”.

Jumlah tebu yang dipetik pertama kali berjumlah 13 batang dan diambil dari arah timur (wetan=Jawa) bahwa arah asal tebu tersebut memiliki makna filosofis yang dalam bahasa Jawa disebut dengan wiwitan (permulaan). Artinya, segala sesuatu harus dimulai dengan keinginan yang kuat dan dalam konteks ini adalah keinginan yang kuat untuk meningkatkan taraf hidup petani tebu. Sehingga asal tebu tersebut merupakan simbol pesan atau nasehat bahwa untuk bisa meningkatkan kesejahteraan petani tebu diperlukan motivasi atau spirit yang kuat.Tebu manten diiringi oleh “tebu pengiring manten” yang jumlahnya juga sebanyak 13 batang dan diambil dari posisi tengah-tengah dari jarak antara tempat lokasi tebu manten diambil dan lokasi PG.

Lokasi berada di tengah dalam bahasa Jawa disebut pancer dan memiliki makna filosofi bahwa PG merupakan pusat aktivitas processing tebu menjadi gula dengan bahan baku tebu yang didatangkan dari berbagai arah. Maka PG akan menjadi pusat aktivitas masyarakat pertebuan dalam memproses tanaman tebunya menjadi gula. Prosesi “petik tebu manten” dilaksanakan oleh sesepuh manajemen PG dan sesepuh petani tebu serta dilaksanakan mirip prosesi pernikahan dalam adat Jawa.Prosesi dimulai dengan memetik “tebu manten” pada sore hari untuk di “pingit” atau diinapkan dalam sebuah gubug berlokasi di areal kebun tebu yang telah ditetapkan. Gubug tersebut dinamai “Pondok Asri” dan di dekorasi sebagaimana tempat resepsi pernihakan dengan segala ubo rampe (peralatan) yang diperlukan dalam pernikahan dalam adat Jawa.

Tradisi pesta giling merupakan budaya yang mengakar di lingkungan petani tebu maupun masyarakat sekitarnya. Sebuah budaya yang unik dan khas mengambil inspirasi dari aktivitas tebu yang akhirnya dapat disebut dengan “budaya kebun tebu”. Tebu sendiri bukan saja telah menjadi simbol sekaligus sumber inspirasi terbentuknya komunitas budaya, akan tetapi juga peradaban manusia. Cara mempertahankan tradisi cembengan antara lain perlu adanya kesadaran masyarakat sekitar, para jajaran di pabrik bahwa tradisi ini harus tetap dipertahankan. Dalam ritual Cembengan perlu adanya , kesadaran dari para peserta bahwa ritual ini bersifat sakral sehingga berlangsung dengan sangat baik.

*

Upacara ini berkaitan dengan musim penggilingan tebu di pabrik Madukismo. Berbagai keunikan tampak dalam upacara Cembengan ini. Bukan hanya kesenian tradisional maupun modern yang digelar, namun ritual kirab manten tebu itu menjadi sesuatu yang menarik. Bagaimana tidak, ini adalah upacara pernikahan tebu laki-laki dan perempuan. Sebelum pernikahan berlangsung, pasangan tebu diarak mengelilinggi kompleks pabrik PG Madukismo. Tebu tersebut juga diberi nama menurut jenis kelamin masing-masing. Penamaan sepasang pengantin tebu ini berbeda setiap tahunnya tergantung hari pelaksanaan kirab manten ini dilaksanakan. Misalnya pasangan penganting tebu yang bernama Kyai Tumpak dan Nyai Pon. Artinya pasangan tebu ini menikah pada hari Pon, salah satu nama hari dalam penanggalan Jawa. Kyai Tumpak merupakan simbol tebu berjenis kelamin laki-laki, sedang Nyai Pon adalah simbol tebu berjenis kelamin perempuan menurut berbagai sumber, pemberian nama tebu dan menikahkan sepasang tebu mengandung makna bahwa pasangan tersebut akan membentuk keluarga yang damai sejahtera. Makna yang lebih jauh dari penamaan dan perkawinan tersebut adalah bentuk kerja sama yang baik antara perusahaan dan para petani tebu. Tebu yang dikirab berjumlah 9 batang dengan panjang sekitar 4 meter setiap jenis kelamin. Tiap-tiap pasangan diikat menjadi satu menurut jenisnya. Pasangan pengantin tebu ini diarak menggunakan kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Barisan paling depan kelompok marching band dari beberapa sekolah sekitar PG Madukismo. Kelompok kesenian seperti kuda lumping dan para prajurit kraton Yogyakarta. Empat sosok Punakawan yaitu Semar, Petruk, Bagong, Gareng mengapit di sisi kanan dan kiri kereta yang membawa pengantin tebu. Barisan belakangnya adalah para petani tebu dan karyawan yang ditunjuk. Sebelum mencapai lokasi penggilingan tebu itu akan dinikahkan di masjid yang berada si lingkungan PG Madukismo. Setelah para petani menyerahkan tebu secara simbolis kepada pihak pabrik, acara dilanjutkan dengan doa bersama untuk memohon keselamatan. Sepasang pengantin tebu diletakkan di mesin penggiling. Pasangan inilah yang akan digiling pertama kali ketika proses penggilingan tebu dilakukan. Di sebelah mesin berbagai jenis tebu sesajen digelar berjajar-jajar. Sesajen tersebut berupa dua tumpeng, ingkung dan buah-buahan sebanyak 40 buah. Jumlah ini melambangkan jumlah unit kerja yang ada di PG Madukismo. Selain ritual doa bersama mengarak pasangan pengantin tebu dalam rangka upacara Cembengan tersebut juga digelar berbagai kesenian. Ada wayang kulit, festival, pertunjukan kethoprak, pentas musik dan pasar, malam.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Pelaku Pencatatan

Ir H Rahmat Edi Cahyono MSi

Jl. Padokan, Rogocolo, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

0

Pelapor Karya Budaya

Insani Suciati

Jl. Brigjen KatamsoNo. 139, Yogyakarta

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047