Pindang Bandeng Betawi

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900910
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
DKI Jakarta
Responsive image

Di Indonesia, kuliner Pindang Bandeng bukanlah merupakan menu baru. Bagi warga Betawi, kuliner berbahan dasar ikan bandeng ini sangat populer karena sudah termasuk dalam menu sehari-hari, pun demikian di beberapa daerah lain di Indonesia. Tapi mungkin Anda belum tahu jika sejarah Pindang Bandeng sangat panjang dan budaya Tiongkok konon kabarnya mempengaruhi cita rasa masakan ini.

Dalam tradisi orang Tiongkok yang tinggal di Indonesia, ikan bandeng selalu disajikan saat perayaan imlek. Ikan bagi etnis Tionghoa adalah simbol kemakmuran dan rezeki, Kata “ikan” dalam logat atau pelafalan Mandarin sama dengan “Yu” yang artinya rezeki. Harapannya mereka akan memperoleh kemakmuran dan rezeki di tahun yang baru. Sedangkan duri yang banyak pada bandeng menyimbolkan rumitnya kehidupan. Oleh karena itu, butuh kehati-hatian dalam menyantap ikan bandeng, sama seperti kita melewati kehidupan ini harus berhati-hati supaya selamat. 

Menurut Sejarawan J.J. Rizal ikan bandeng dalam hidangan Imlek hanya ada di Indonesia. Di Tiongkok tidak ada. Orang Tionghoa Jakarta justru menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Lanjutnya, penyebutan "Lebaran Cina" sebagai nama lain dari Imlek oleh orang Betawi menunjukkan penerimaan masyarakat Betawi terhadap Imlek, bahkan mereka ikut mencari hidangan Imlek.

Untuk apa bandeng Imlek? Untuk dimasak pindang. 

Kenapa ikan bandeng dalam perayaan Imlek? karena cuma ikan bandeng yang gampang hidup di perairan sekitar pesisir Jakarta. Namun ada juga nelayan yang khusus memelihara ikan bandeng ini selama setahun dan ketika Imlek baru dikeluarkan sehingga ukurannya besar-besar, minimal 2 kilogram bahkan yang paling besar mencapai 7 kilogram.

Perjodohan/akulturasi dua budaya antara budaya Betawi dengan budaya Tionghoa sudah berlangsung cukup lama jauh sebelum kedatangan Belanda yang pada akhirnya menguasai Indonesia selama ratusan tahun. Hasil perjodohan tersebut bisa dilihat misalnya dalam bidang kuliner. Dalam perayaan Imlek, bukan hanya etnis Tionghoa yang sibuk menyambut kedatangan Tahun Baru tersebut, orang Betawi khususnya masyarakat Betawi di sekitar Kebon Jeruk, Rawabelong dan Palmerah pun tidak kalah hebohnya. Masyarakat Betawi di daerah tersebut sibuk mencari ikan bandeng yang besar-besar untuk dimasak pindang, seolah ikan bandeng menjadi barang wajib pada saat Imlek. 

Tradisi yang terjadi pada sebagian masyarakat Betawi secara turun-temurun pada saat Tahun Baru Imlek adalah mengantar atau “ngejot” ikan bandeng kepada mertua. Zaman dulu, menantu yang tidak mengirimkan ikan bandeng ketika tahun baru Imlek dapat dianggap atau dicap sebagai menantu pelit. Sebaliknya menantu yang mengirimkan mertuanya dengan ikan bandeng yang besar yang kalau ditenteng sampai “ngengser” (jatuh) buntutnya, maka menantu itu akan “disohor” alias dipuji dan dibanggakan mertua. Namun, zaman sekarang, tradisi tersebut sudah mulai pudar, ikan bandeng kebanyakan dibeli untuk dimakan bersama keluarga atau dibagi-bagi ke tetangga. 

Menurut Ibu Cucu Zulaikha, pada zaman dahulu, ikan bandeng juga digantung di pagar, sebagai pertanda bahwa di rumah itu ada anak gadis yang belum menikah. Dan jika ikan bandeng yang digantung tersebut hilang karena diambil orang berarti ada pria yang menaksir anak gadis tersebut. Namun, sekali lagi, tradisi ini sudah tidak berlaku lagi di zaman kini, karena kalau ikan bandeng digantung di pagar bukan orang yang akan mengambil ikan bandeng tersebut melainkan kucing.

Daerah yang menjadi sentra penjualan ikan bandeng menjelang perayaan Imlek adalah di Jalan Sulaiman, Rawabelong, Jakarta Barat. Penjual ikan bandeng di sini ternyata berasal dari berbagai daerah. Mereka berjualan di sepanjang trotoar Jalan Sulaiman hanya saat menjelang Imlek saja.

Menurut Yohannes, penjual ikan bandeng di Rawabelong, yang membeli ikan bandeng kebanyakan adalah warga Betawi yang bukan keturunan Tionghoa. Masih menurut Yohannes, ada perbedaan antara warga Tionghoa dengan warga Betawi mengenai ikan bandeng. Warga Tionghoa biasanya menggunakan ikan bandeng untuk beribadah seperti “nyekar” sedangkan warga Betawi membelinya untuk dimasak Pindang Bandeng dan dimakan bersama keluarga.  

Ikan bandeng yang besar-besar adalah yang paling enak untuk dipindang. Ikan bandeng yang besar-besar bagi orang Tionghoa melambangkan kemakmuran dan rezeki yang berlimpah. Bandeng yang besar ini mengandung banyak lemak yang akan menambah sedap kuah pindang.

Pada saat Tahun Baru Imlek ikan bandeng besar-besar yang segar dan berkualitas bisa dengan mudah kita dapatkan. Ikan bandeng yang dijual menjelang Imlek berbeda dengan ikan bandeng yang dijual sehari-hari. Ikan bandeng Imlek ukurannya besar-besar, karena bandeng tersebut dipelihara khusus selama setahun dan dijual menjelang Imlek. Sedangkan ikan bandeng yang dijual sehari-hari berukuran kecil sampai sedang. Pada saat seperti inilah orang Betawi banyak yang datang membeli ikan bandeng. Mereka yang memiliki uang berlebih akan membeli bandeng sebanyak-banyaknya untuk dimasak sendiri dan tentu tidak lupa mengirimkan ke orang tua dan mertua tercinta.

Sejarah tersebut di atas menunjukkan bahwa ikan bandeng ternyata memiliki sinergi dalam keberagaman etnis di Indonesia, dalam hal ini terjadi akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Betawi. Akulturasi tersebut ditunjukkan dalam perayaan Imlek di mana tradisi menyantap ikan bandeng bukan hanya menjadi menjadi milik etnis Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian dari tradisi etnis Betawi. 

Bagi masyarakat Betawi masak Pindang ya Bandeng, kalau masak Bandeng ya Dipindang. Menu pindang bandeng khas Betawi  mempunyai ciri khas yang menjadikannya beda dengan pindang bandeng dari daerah lain. Perbedaan itu terletak pada penggunaan rempah serta penambahan kecap sebagai pemanis dari masakan tersebut. Kalau di daerah-daerah lain yang dimasak pindang ya bisa bermacam-macam ikan. Kalau di Betawi, Bandeng tidak boleh ditumis atau disanten. Tapi harus dibakar. Karena ikan bandeng termasuk ikan yang gampang hidup di perairan pesisir Jakarta, maka ikan ini mudah ditemui setiap saat, bukan hanya ketika Imlek saja. Tak dipungkiri bahwa ketika Imlek memang akan keluar bandeng yang besar-besar ukurannya, hal ini disebabkan karena bandeng-bandeng tersebut sengaja dipelihara selama setahun.

Makna filosofis bagi orang Tionghoa ikan bandeng dalam perayaan Imlek pada masyarakat Tionghoa di Indonesia terutama digunakan untuk beribadah yaitu, nyekar. Sebagian lagi ada yang memasaknya untuk dimakan ketika hari raya tersebut. Semakin besar ikan yang dibeli menyimbolkan semakin besar rezeki yang diharapkan akan diperoleh di tahun mendatang.

Berdasarkan kepercayaan orang Tionghoa yang mempercayai 12 shio, umumnya mereka selalu menyediakan 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili ke-12 shio tersebut. Hidangan yang disajikan biasanya adalah hidangan yang memiliki makna yang berkaitan dengan kemakmuran, panjang umur, kebahagian dan keselamatan.

Dalam tradisi orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia, salah satu hidangan utama adalah ikan bandeng yang selalu ada pada saat perayaan imlek. Ikan bagi mereka adalah simbol kemakmuran dan rezeki, Kata “ikan” atau “Yu” dalam logat Mandarin artinya rezeki. Harapannya di tahun yang baru mereka akan memperoleh kemakmuran dan rezeki. Karenanya di banyak restoran Tionghoa biasanya selalu ada akuarium ikan mas yang melambangkan rezeki yang dilumuri dengan emas yang berlimpah.

Sementara itu duri yang banyak pada ikan bandeng menunjukkan rumitnya kehidupan. Oleh karena itu, butuh kehati-hatian dalam menyantap ikan bandeng, sama seperti kita melewati kehidupan ini harus berhati-hati supaya selamat. 

Dalam tradisi jamuan makan besar ala China, hidangan ikan selalu disajikan di akhir jamuan sebagai lambang rezeki berlimpah di masa mendatang. Ikan disajikan utuh dari kepala hingga ekor. Jika ada tamu kehormatan yang hadir, maka kepala ikan akan diarahkan kepada tamu tersebut. Jika kita hadir dalam sebuah jamuan makan besar dan menemukan hal ini ditujukan kepada kita, kita tidak perlu tersinggung, sebab itu merupakan penghormatan untuk kita.

Makna filosofis dari sisi Orang Betawi, Ikan bandeng menjadi pilihan masyarakat Betawi untuk dibuat pindang dan sebagai menu sehari-hari karena ikan ini merupakan salah satu ikan yang gampang hidup di perairan pesisir Jakarta. Pada hari biasa kita dapat menemukan ikan bandeng di pasar-pasar tradisional namun dengan ukuran yang kecil, berbeda dengan ketika Imlek di mana ikan bandeng dengan ukuran besar dan super besar dijual (sekitar 2–7 kilogram beratnya), dengan harga per kilo bisa mencapai Rp. 100.000/kg. 

Menurut cerita orang tua dulu, memakan ikan bandeng itu ada filosofinya tersendiri. Ikan bandeng itu terkenal durinya banyak, sehingga kalau memakan ikan bandeng diharapkan ada banyak rezeki yang tersangkut. Namun sebenarnya adalah karena ikan bandeng itu banyak lemaknya terutama ikan yang ukurannya besar, sehingga kalau ikan itu tidak habis dimakan dalam sehari, ikan itu bisa disimpan untuk keesokan harinya. Lemak pada ikan bandeng itu dapat mengawetkan dagingnya, sehingga kita bisa menghemat masakan daripada dibuang.

Selanjutnya, ikan bandeng menjadi primadona dalam sajian Imlek dan memiliki filosofi sebagai bagian dari unsur-unsur alam yang harus ada serta sebagai simbol hidup hemat dan awet muda, secara makna yang lebih mendalam adalah sebagai simbol penghormatan. Seorang anggota keluarga yang tidak membawa ikan bandeng kepada orang yang lebih tua seperti kepada orang tua dan mertua dianggap tidak mempunyai liangsim atau kesopanan.

Filosofi dari Pindang Bandeng ada yang lainnya yang lebih menarik. Menurut cerita orang tua bahwa Pindang Bandeng itu adalah masakan untuk menguji calon menantu perempuan. Pada saat Imlek, seorang calon menantu perempuan akan membawakan Pindang Bandeng kepada calon mertua laki-laki, ini adalah sebuah tanda bahwa calon menantu perempuan tersebut sangat peduli dengan mertuanya. 

Bagaimana Pindang Bandeng dianggap sebagai sebuah tanda bahwa calon menantu perempuan itu layak dijadikan sebagai menantu? Simak ceritanya:

Pertama. Tes Kerajinan. Untuk mendapatkan ikan bandeng yang besar dan gemuk hanya bisa diperleh pada pagi hari. Dari sini diuji apakah calon menantu perempuan itu bangun pagi atau tidak. Jika tidak bisa bangun pagi, walhasil tidak akan mendapatkan ikan bandeng yang dimaksud.

Kedua. Tes Ketekunan. Tidak mudah memasak Pindang Bandeng untuk menghasilkan rasa yang pas dengan api kecil. Jika calon menantu perempuan tersebut dapat melakukannya dengan tekun dan sabar serta hasilnya baik, maka dia lulus tes tersebut

Kedua. Tes Sensitivitas. Rasa manis, pedas, asin dan asam dari Pindang Bandeng itu harus pas. Jika si calon menantu perempuan tersebut berhasil memasak dengan rasa yang pas berarti Sensitivitas perempuan tersebut bagus. Artinya, dia lulus tes ketiga.

Keempat. Tes Kerapihan. Setelah ketiga tes di atas berhasil dilewati, maka tes terakhir ini sangat menentukan. Setelah ikan bandeng yang didapat besar dan gemuk, memasaknya dengan tekun dan caranya benar serta rasanya pas, maka kerapihan dalam penyajian adalah hal yang sangat penting. Istilahnya, Finishing Touch dalam menyajikan hidangan Pindang Bandeng akan menentukan apakah si calon menantu perempuan tersebut adalah wanita sempurna yang layak untuk dijadikan menantu atau tidak. Jika rapih, maka dia lulus, dan sebaliknya.

Intinya, bagi warga Betawi dan sekitarnya, belum disebut Imlek jika tidak ada ang pau dan Pindang Bandeng. Pindang Bandeng merupakan simbol kemakmuran. Sedangkan cara memasak Pindang Bandeng merupakan simbol kematangan jiwa yang memasaknya.

Filosofi lainnya dalam perayaan pengantin di Betawi misalnya, budaya membawa atau “ngejot” ikan bandeng adalah sangat penting karena dimaknai sebagai “semakin besar mata bandeng yang dibawa pengantin laki-laki, maka semakin besar pula berlian yang dibawa”, karena dalam upacara perkawinan orang Tionghoa, mata bandeng melambangkan berlian.


Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB)

Gd. Nyi Ageng Serang Lt. 6, Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan

02152632345263234

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Cucu Sulaicha

Gd. Nyi Ageng Serang Lt. 6, Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan

0

Anisa D. Sitawati

Gd. Nyi Ageng Serang Lt. 6, Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan

0

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047