Kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan merupakan kesenian yang lahir, tumbuh, dan berkembang di wilayah sebaran budaya Banyumas yang merupakan daerah agraris dengan mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani dan bercocok tanam. Hal tersebut yang menginspirasi lahirnya kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan pada tahun 1755. Kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan itu sendiri sampai saat ini belum di ketahui pasti siapa penciptanya karena kesenian ini merupakan kesenian yang berasal dari rakyat, diciptakan oleh rakyat, dan di tujukan untuk rakyat. Wujud dari kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan ini yaitu seni tari tradisional yang dalam pertunjukannya sang LeÌnggeÌr tidak hanya menari tetapi juga membawakan lagu tradisional Banyumasan dengan iringan musik gamelan atau lebih spesifik lagi seperangkat alat musik calung.
Dalam pertunjukannya kesenian LeÌnggeÌr terbagi menjadi empat babak atau adegan. Babak pertama yaitu babak Gamyongan, babak kedua babak LeÌnggeÌran, babak ketiga babak Badhutan atau Bodhoran, dan yang terakhir adalah babak Baladewaan. pada babak LeÌnggeÌran sering terjadi adanya adegan banceran atau para penonton khususnya laki-laki ikut menari bersamaLeÌnggeÌrdengan memberi uang (saweÌr).
LeÌnggeÌr merupakan istilah Jarwo Dhosok atau gabungan kata yang mempunyai arti. LeÌnggeÌr “Darani LeÌng JeÌbuleÌ JeÌnggeÌr” yang dapat di artikan bahwa dikira wanita ternyata laki-laki. Maksud tersebut adalah berkaitan dengan sejarah masa pra kemerdekaan dimana penari LeÌnggeÌr adalah laki-laki yang berdandan layaknya seorang wanita yang di gunakan untuk mengelabuhi para lelaki hidung belang khususnya para antek-antek atau kompeni. Tindakan tersebut sebagai bentuk tipu muslihat yang di lakukan oleh para pejuang atau pemuka agama yang tidak suka melihat perilaku tidak sronoh yang di lakukan oleh para penjajah beserta antek-anteknya, seperti halnya melakukan saweÌran atau member uang dengan cara memasukan uang tersebut ke dalam meÌkak meÌkak atau kemben. Tindakan tersebut yang di anggap tabu. Pada saat ini kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan umumnya ditampilkan oleh kaum wanita akan tetapi disebagian daerah masih memiliki LeÌnggeÌr lanang dengan penari laki-laki yang berdandan layaknya wanita. Ada pula pendapat LeÌnggeÌr berasal dari kata “geÌlang-geÌleÌng gaweÌ geÌgeÌr”yang artinya pada saat itu, tarian LeÌnggeÌr ini hanya ditarikan dengan gerakan kepala yang sangat sederhana yaitu gerakan geÌlang-geÌleÌng dengan gerakan badan yang hanya sebatas anggang eÌnggeÌn atau leÌngang leÌnggeÌng. Walaupun gerakan tarian LeÌnggeÌr hanya sebatas gerakan geÌlang-geÌleÌng , anggang eÌnggeÌn dan leÌngang leÌnggeÌng, Tetapi pertunjukan ini bisa membuat masyarakat Banyumas geÌgeÌr atau ramai. GeÌgeÌr dalam arti masyarakat sangat antusias akan hadirnya kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan ini.
Kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan ini merupakan sebuah kesenian yang memliki nilai kesuburan dan religi. Masyarakat Banyumas mempercayai dalam kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan ini mengandung nilai kesuburan. Masyarakat menganggap LeÌnggeÌr adalah “Ana CeÌleÌng GaweÌ GeÌgeÌr” yang artinya pada zaman dahulu ketika musim panen tiba, Babi hutan atau CeÌleÌng dari hutan turun ke lahan pertanian mayarakat Banyumas untuk merusak lahan pertanian yang sedang panen tersebut sehingga masyarakat gagal panen. Masyarakat Banyumas berinisiatif untuk mengusir binatang tersebut supaya tidak merusak ladangnya dengan berbagai macam tetabuhan dan bunyi-bunyian yang dibunyikan secara bersamaan oleh kaum pria sedangkan kaum wanita melakukan gerakan secara spontan dengan melambai-lambaikna tangan ke kanan dan ke kiri untuk mengusir CeÌleÌng dengan mengikuti alunan musik. Kegiatan ini dilakukan secara terusmenerus hingga menjadi sebuah tradisi yang menginspirasi lahirnya kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan di masyarakat agraris sebagai mitos kesuburan. Selain dipercaya sebagai mitos kesuburan, kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan ini juga dipercaya sebagai mitos religi. hal ini terbukti dengan adanya kegiatan tersebut yang bertujuan sebagai bentuk permohonan doa kepada Sang Maha Pencipta sebagai rasa syukur terhadap hasil panen yang telah di berikan dan senantiasa diberi kelancaran untuk panen yang akan datang. Dari kebiasaankebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas, maka sampai sekarang ini kegiatan tersebut menjadi salah satu budaya masyarakat Banyumas untuk menyambut datangnya musim panen. Dari beberapa perbedaan persepsi tersebut tidak sekedar menunjukan adanya perbedaan lingkungan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan, tetapi sekaligus menunjukan perbedaan nilai dalam perkembangan kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan.
Seiring berjalannya waktu serta perkembangan zaman yang di dukung oleh masyarakat pendukungnya kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan juga dipentaskan di beberapa acara ritual dalam bentuk hiburan yang bertujuan untuk menghibur yaitu dalam acara sunatan, nikahan, ruwatan, meminta hujan atau baritan, suran atau sedekah bumi, sedekah laut, kaulan atau nadzar, nindik (member anting-anting untuk bayi yang baru lahir), dan berbagai macam hari besar yang lainnya. Gerak dalam kesenian LeÌnggeÌran ini sangat sederhana dan belum ada pakem untuk detail geraknya karena pada dasarnya masyarakat dahulu belum memiliki pendidikan dan ketrampilan yang khusus, seperti halnya yang di sebut LeÌnggeÌr “geÌlang-geÌleÌng, leÌngang leÌnggeÌng gaweÌ geÌgeÌr”. Busana yang dikenakan oleh LeÌnggeÌr yaitu meÌkak, kain jarik, dan sampur. Pada bagian kepala menggunakan sanggul jawa atau kondeÌ dengan perhiasan yang masih sederhana yaitu sisir yang terbuat dari belahan tanduk kerbau yang bentuknya menyerupai sirkam, perhiasan tersebut dahulu disebut dengan cundhuk, kemudian ada meÌnthul dan giwang.
Kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga kesenian LeÌnggeÌr Banyumasan menjadi icon di Kabupaten Banyumas. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai grup, komunitas, dan sanggar yang melestarikan kesenian LeÌnggeÌr di berbagai sebaran wilayah Banyumas
-
Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya