Ngasa Kabupaten Brebes

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900945
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image

 

Upacara adat Ngasa ini merupaka syukuran warga kepada sang Maha Pencipta Allah SWT atas segala karunia rahmat taufik dan hidayah-Nya dengan bersedekah nasi jagung dan hidangan lain yang berasal dari lingkungan sendiri. Upacara Ngasa disebut juga sedekah gunung. Dalam kebudayaan agraris, representase gunung menjadi penting dalam keyakinan masyarakat. Di Jalawastu merupakan pedukuhan yang berada di kaki gunung Kumbang. Gunung Kumbang merupakan salah satu puncak dari rangkaian pegunungan Kendeng Utara, tepatnya zona Serayu Utara. Studi van Bammelen (1949) mengidentifikasi zona Serayu Utara mencakup wilayah Banyumas Utara, Banjarnegara Utara, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang.

Sebagai masyarakat yang berada di kaki gunung Kumbang, tradisi kampung Jalawastu meriwayatkan perjalanan panjang soal ekologi budaya yang mereka kembangkan. Sejarah diam itu ada pada jejak folklore dan arkeologi menjadi pewarta soal harmoni sosial dan pergerakan sosial. Ngasa adalah salah satunya yang melindap soal kearifan lokal manusia gunung.

Upacara tradisi Ngasa menjadi upaya personifikasi komunitas Jalawastu sebagai kelompok yang melestarikan jejak peninggalan Hinduisme yang bercampur dengan tradisi Islam. Ngasa juga menjadi upaya kompromi dan adopsi komunitas Jalawastu dengan budaya lainnya. Seperti Islam dan budaya Sunda. Melalui pewarisan sejarah tutur masyarakat Jalawastu yang berbentuk dalam cerita folklore, tanpa disadari mereka merekonstruksi masa lalu walaupun berbau magis. Apa yang bisa dipetik melalui sosok Batara Windu Sakti Buana serta penghormatan terhadap ekologi di sekitar mereka tampaknya merefleksikan semangat melakukan konservasi lingkungan.

Sebagai masyarakat yang berada di kaki gunung Kumbang, tradisi kampung Jalawastu meriwayatkan perjalanan panjang soal ekologi budaya yang mereka kembangkan. Sejarah diam itu ada pada jejak folklore dan arkeologi menjadi pewarta soal harmoni sosial dan pergerakan sosial. Ngasa adalah salah satunya yang melindap soal kearifan lokal manusia gunung.

Sejarah mewartakan temuan upacara Ngasa saat tournee Bupati Brebes Raden Adipati Aria Tjandranegara ke wilayah Salem tahun 1882.  Pelaksanaan upacara Ngasa tidak hanya dilaksanakan di wilayah Salem saja. Terdapat sembilan wilayah yang melaksanakan Ngasa sebelumnya dengan dipimpin 9 kuncen, masing-masing Marenggeng (kecamatan Bantarkawung), Gandoang, Kadumanis, Kurungciung (kecamatan Salem), Selagading, Garogol, Jalawastu, Permana (kecamatan Ketanggungan) serta Blandongan (kecamatan Banjarharja).

Khusus untuk penyelenggaraan Ngasa di Jalawastu merupakan penggabungan pelaksanaan Ngasa di Selagading. Atas inisiatif  Kepala Desa Ciseureuh, Rusdi Ganda Kusuma tahun 1997 disatukan upacara Ngasa bertempat di Jalawastu, tepatnya di Gedong Pesarean.  (Sudarno, 2016 : 9).

Upacara Ngasa disebut juga sedekah gunung. Dalam kebudayaan agraris, representase gunung menjadi penting dalam keyakinan masyarakat. Di Jalawastu merupakan pedukuhan yang berada di kaki gunung Kumbang. Gunung Kumbang merupakan salah satu puncak dari rangkaian pegunungan Kendeng Utara, tepatnya zona Serayu Utara. Studi van Bammelen (1949) mengidentifikasi zona Serayu Utara mencakup wilayah Banyumas Utara, Banjarnegara Utara, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang.

Di Kabupaten Brebes, zona Serayu Utara meliputi puncak gunung Sagara (1109 meter di bawah permukaan laut / mdpl), Kumbang (1211 mdpl), dan Pojok Tilu (1129 mdpl). Ketiga puncak itu berada di kecamatan Ketanggungan, Banjarharjo, Bantarkawung, Salem hingga berbatasan dengan Kabupaten Kuningan. Pada puncak itu mengalir beberapa sungai seperti sungai Cibentar, Cibatu, Cikamuning, Cikumbang, Cirambeng dan Ciseureuh.

Eksistensi gunung bagi masyarakat Nusantara menempati posisi penting, seperti pandangan masyarakat Jawa soal Mahameru. Atau konsep kosmologi gunung Merapi sebagai penjaga kekuasaan trah Mataram selain laut Kidul   Demikian pula dengan masyarakat Jalawastu memandang Gunung Kumbang. Mitos Gunung Kumbang berkaitan tempat bersemayamnya para dewata (para hyang) serta cerita Ki Kolot dan Nyai Kolot yang hidup bersama namun tidak pernah menikah hingga keduanya melanggar adat dan kena azab. Konon menurut masyarakat setempat, jika melihat dari sebelah utara pada musim kemarau, tampak hutan terbakar (yang sebetulnya tidak), itu pertanda penampakan Ki Kolot dan Nyai Kolot yang tengah menghangatkan diri.

Pojok Tilu sebagai bagian dari gunung Kumbang (Kombang) mengingatkan cerita Ciung Wanara. Disebutkan dalam teks Babad Tanah Jawi setelah Raden Sesuruh (Arya Bangah) kalah dari Ciung Wanara, ia pergi menemui seorang pertapa bernama Ki Ajar Cemara Tunggal, yang akhirnya membantu  Sesuruhmenjadi penguasa Majapahit. Representase Pojok Tilu identik dengan toponim gunung Pojok Tiga yang disebut dalam Carita Parahiyangan sebagai pusara Tohaan di Galuh yang bernama Rahiyang Dewi Niskalaatau Rahiyang Ningrat Kencana  

Sedangkan Gunung Segara banyak mempertautkan dengan teks-teks yang menguatkan adanya saling keterpengaruhan pengaruh India. Cirebon dan Sunda. Folklore Gunung Segara bermula dari kisah Elang Segara yang bertapa di puncak Segara. Elang Segara merupakan putra dari Elang Padmanegara. Dengan ditemani cantriknya, Cahar dan Cahir. Meski berada di Jalawastu mereka secara teratur melakukan pisowanan ageng ke kesultanan Cirebon.

Versi lain menjelaskan soal hubungan Gunung Segara dengan Babad Pasir Sindhula, yang menguatkan bertemunya tiga kebudayaan dari 3 wilayah masing-masing Brebes, Cilacap dan Banjar Patroman.  Dikisahkan Prabu Watugunung dari kerajaan Gilingwesi yang menikahi Sinta serta memiliki putra bernama Bramaswara. Apa yang menarik dari kisah ini ? Yakni keterlibatan beberapa makhluk halus dalam urusan kekuasaan. 

Toponim Gunung Segara dikenal pula dalam manuskrip peninggalan  Majapahit :  Negarakertagama, sebagai Gunung Sagara. Oleh penulisnya Mpu Prapanca, Gunung Sagara diidentikkan dengan tempat pertapaan di hutan. 

Simbol gunung sangat erat dengan simbol kesadaran, sebagaimana diceritakan dalam lakon pewayangan Dewa Ruci. Disebutkan dalam lakon tersebut, Bima mencari tirta pawitrake arah hutan di sekitar gunung Candradimuka .Pada konteks filosofi perginya Bima dalam upaya mengalahkan ketidaksadaran dan angkara murka / hawa nafsu.

Sebagai salah satu pedukuhan di desa Ciseureuh, dukuh Jalawastu tergolong berpenduduk  242 jiwa dari 120 keluarga.  Dari pusat pemerintahan, jarak Brebes menuju Jalawastu kurang lebih 50 km dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan roda 4 mencapai 2,5 jam. Akses satu-satunya dari desa Ciseurueh menuju Jalawastu melewati jalan curam, berbatu. Namun ruas sejauh 5 km telah dibeton dengan menggunakan bantuan anggaran desa.

Dukuh Jalawastu berdekatan dengan dukuh Garogol, yang berpenduduk padat. Sebagai kampung yang mewarisi budaya Sunda, adakah yang istimewa dari kampung yang berada di lereng gunung Kumbang ini. Mengingat arus modernisasi telah dikenal, seperti rumah yang telah dialiri listrik, beberapa penduduk memiliki sepeda roda 2 maupun mobil bak terbuka serta jalan beraspal dengan lebar 2 meter dan panjang 3 km mengelilingi sebagian kampung. Ini tentu berbeda dengan kampung Naga maupun Baduy Dalam

Keunikan yang dipertahankan masyarakat Jalawastu ada pada konstruksi rumah yang mempertahankan bahan bangunan kayu. Tak ada semen, genteng dan keramik pada bangunan rumah mereka. Bentuk bangunan Jalawastu tak menyerupai limas, intan atau paris. Melainkan lurus. Tak ada yang disembunyikan dalam bangunan Jalawastu. Ruang tamu menyatu dengan keluarga dan ruang makan. Yang tertutup hanyalah kamar bagi keluarga.  “Ini merupakan bagian kami merawat tradisi leluhur. Pamali kalau menggunakan semen dan keramik” ungkap Dastam. Beberapa pamali (pantangan) yang dipertahankan masyarakat Jalawastu diantaranya menanam bawang merah, kacang tanah, kedelai. Sementara pantangan  memelihara hewan ternak atau peliharaan diantaranya  kerbau, angsa, ikan merah dan domba. Terdapat pula pantangan membunyikan dan menyimpan alat musik  seperti ketuk kenong dan gong. Gong terdiri dari kempul kecil dan kempul besar. Untuk ketuk kenong dan gong dilarang ditabuh di area Gedong Pesaren.

Ekologi budaya masyarakat Jalawastu di wilayah dataran tinggi melahirkan ikatan-ikatan fungsional dengan kondisi lingkungan fisik di sekitarnya. Ada saling ketergantungan pada pola kebudayaan dengan relasi lingkungan hidup dan organisme yang ada di dalamnya. Di Jalawastu, hampir keseluruhan masyarakatnya mengandalkan pada tanah pertanian perladangan yang tidak mengandalkan irigasi sistemik. Pola karakteristik ini ialah dengan tanam dan bera  (crop and fallow regime).  Karekteristik lainnya dari sistem perladangan diantaranya : (1) dijalankan di tanah tropis yang gersang, (2) berupa teknik pertanian dasar tanpa menggunakan alat-alat kecuali kapak/pacul, (3) diusahakan pada wilayah kepadatan penduduknya rendah dan (4) menyangkut tingkat konsumsi yang rendah.  Beberapa jenis tanaman palawija unggulan adalah jagung dan ubi jalar. Sementara tanaman padi jenis padi gogo, kecuali yang wilayah yang mempunyai ketersediaan air seperti di wilayah dukuh Garogol.

Sementara pada lereng Gunung Kumbang terdapat tanaman perdu macam daun rendeuyang dijadikan lalap oleh masyarakat setempat. Pepohonan besar jati milik Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Balapulang Kabupaten Tegal berada di lereng Gunung Kumbang. Ladang-ladang masyarakat Jalawastu memanfaatkan tanah  Perhutani yang dikelola KPPH Balapulang.

Dari kondisi alam tersebut, mempengaruhi pula mobilitas penduduknya. Ketergantungan pada kehidupan perladangan dan godaan pada kehidupan urban banyak kalangan generasi muda hijrah dari Jalawastu ke beberapa kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Urusan berurbanisasi tak hanya monopoli generasi muda, mereka yang telah berkeluarga pun melakukannya. Khususnya saat tak ada lagi pekerjaan di ladang atau kebun mereka. “Kebanyakan mereka menjadi tukang kayu atau pekerjaan sesaat di kota, ketika di Jalawastu mengalami kekeringan ataupun saat pekerjaan di ladang selesai” ucap Dastam .

Jarang ada bahkan nyaris tak ada masyarakat Jalawastu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Faktornya adalah tingkat pendidikan dan akses pendidikan minimal yang menjadi persyaratan untuk PNS. Satu-satunya lembaga pendidikan terdekat di Jalawastu adalah SD Ciseurueh I. Itu pun berada di dukuh Garogol. Untuk melanjutkan jenjang pendidikan SMP atau sederajat paling dekat berjarak 12 km dari Jalawastu, tepatnya di Sindangjaya. Itu pun milik pendidikan Maarif setempat. Sedangkan untuk SMA ada di SMA Negeri Ketanggungan yang jaraknya 20 km dari Jalawastu. Tercatat keluarga Dastam yang menikmati jenjang pendidikan tinggi bagi anak-anaknya. 

     Upacara Ngasa dimulai jam 06.30 di Gedong Pesarean Jalawastu yang dipimpin Kokolot. Doa dalam Ngasa diucapkan dalam bahasa Sunda :

pun sadupun arek ngimankeun titi walari kanu baheula 

titi walari ti baharu, taratas tilas nu baheula cuwang mumunjang

anak putu sakalih, ka indung ka bapak, ka nini ,ka aki, ka buyut, ka bao

ka bumi, ka langit, ka beurang, ka peuting, kabasukana, kabasukina, 

kanu antek kaluhuran, ka nu antek kararahaban 

kanu suci paweta, ka nu kadi srengenge katinggangeun

ka nu kadi bentang kapurnaman

ka nu kadi bulan kaopat welasna

ka nu kadi saloka jinibar

ka nu kadi emas winasukan

ka nu kadi inten winantaya

ka nu kadi hujan menerang kapoyana

Pun arek ngaturaken aci kukus mayang putih, terus ka aci dewata 

kaluhur kamunggung ka sang rumuhun, ka handap ka sang Batara Jaya ingkanugrahan  aci kukus mayang putih, kabusakanan , kabasukina  panghaturkeun aci kukus ka Batara Windu Sakti Buana

 

Dusun Jalawastu merupakan daerah terpencil yang terletak dibawah kaki Gunung Kumbang. Akses jalan menuju ke sana masih berbatu dan berlumpur. Masyarakat hidup dengan menempati rumah yang masih berdiding kayu, bilih bambu dan beratap seng. Ketersediaan energi listrik masih sangat terbatas, masyarakat bahkan masih menggunakan menggunakan lilin sebagai sumber penerangan malam hari. Manyoritas masyarakat Dusun Jalawastu secara administratif merupakan pemeluk Islam, namun masih kental dengan adat istiadat terkait animisme dan dinamisme. Masyarakat dusun jalawstu bisa dikatakan sebagai ?suku badui? bagi wilayah Brebas, namun masyarakat Jalawastu lebih terbuka karena telah menggunakan teknologi yang berasal dari luar. Masyarakat Dusun Jalawastu juga memiliki upacara tradisional yang unik. Upacara Ngasa di Dusun Jalawastu digelar setiap Selasa Kliwon mangsa kasanga. Ngasa dilakukan sejak pukul 06.00 pagi hingga selesai. Masyarakat Dusun Jalawastu dan masyarakat sekitarnya turut serta dalam memeriahkan gelaran upacara Ngasa yang dihelat di Gedong. Inti dari tradisi Ngasa yaitu meminta keselamatan pada Tuhan YME yang dilakukan dengan pembacaan doa oleh juru kunci Gedong. Masyarakat juga menggelar makan bersama dengan menu nasi jagung dan lalapan khas acara ngasa. Masyarakat juga membuat sadukun (segenggam nasi jagung yang dibungkus daun pisang) untuk disebarkan di sawah dengan harapan agar dusun Jalawastu selalu dilimpahkan kesuburan dan mendapatkan hasil pertanian yang melimpah dari Tuhan YME. Gelaran Ngasa ini dihelat setiap satu tahun sekali. Ngasta pertama kali digelar sejak masa pemerintahan Bupati Brebes IX Raden Arya Candra Negara. Ngasa merupakan wujud rasa syukur kepada Batara Windu Buana sebagai pencipta alam. Ngasa juga sebagai bentuk kebaktian kepada Batara. Ngasa merupakan tradisi yang tidak terlepas dari akulturasi budaya Islam, Hindu dan Budha yang diwariskan oleh nenek moyang masyarakat Jalawastu. Upacara adat Ngasa ini telah dilaksanakan oleh warga secara turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Selain Batara Windu Buana, upacara ini juga sebagai simbol tanda terimakasih kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah dikaruniakan. Bentuk upacara ini seperti upacara selamatan lainnya, yaitu sedekah Laut dan sedekah bumi, namun dilakukan di dataran tinggi, sehingga masyarakat menyebutnya dengan Sedekah Gunung. Batara Windu Buana memiliki ajudan yang bernama Burian Panutus. Beliau sangat loyal terhadap Batara Windu Buana, dan semasa hidupnya tidak makan nasi serta lauk pauk dari hewan yang bernyawa. Oleh karena itu, masyarakat Dusun Jalawastu mengikuti apa yang dilakukan Burian Panutus sebagai abdi Batara Windu Buana dengan tidak memakan nasi dan lauk pauk berupa daging atau ikan. Makanan pokok masyarakat Dusun Jalawastu berupa jagung yang ditumbuk halus serta dedaunan (khususnya daun reundeu yang diyakini hanya tumbuh di Gunung Kumbang), umbi-umbian, pete, terong, sambal. Pola makan vegetarian ini telah dilakukan selama berabad-abad. Selain itu, masyarakat Jalawastu juga membangun rumah dengan berdinding kayu dan beratap seng, tidak menggunakan atap genteng dan menggunakan semen/keramik. Peralatan makan juga tidak menggunakan alat yang terbuat dari bahan kaca. Piring, sendok, cepon dan rantang yang digunakan mereka terbuat dari seng atau dedaunan. Masyarakat Jalawastu juga tidak menanam bawang merah, tidak menanam kedelai dan memelihara hewan ternak tertentu, seperti kerbau, domba dan angsa. Sebagian masyarakat percaya jika ada salah satu warga Jalawastu yang melanggar ketentuan tersebut, maka ada bencana yang akan menimpa.

-


Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Dastam

Dukuh Jalawastu

085875806849

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Taryuki

Dukuh Jalawastu

0

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047