Gerobak Sapi Yogyakarta

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900949
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image

 

Gerobak sudah ada sejak jaman kolonial hingga sekarang. Sejak berlakunya sistem tanam paksa yang kemudian disusul oleh sistem eksploitasi lain, yaitu sistem liberal (1870-1900) dan sistem etis (1900 – 1942) eksploitasi agraris makin intensif dan petani menderita kemiskinan dan kelaparan. Tanam paksa untuk indigo, kopi, tebu, tembakau dan tanaman perdagangan lain dipraktekkan di seluruh Jawa. Di daerah vorstenlanden atau daerah Yogyakarta dan Surakarta, meskipun tidak berlaku sistem Tanam Paksa tetapi daerah-daerah itu sudah berlaku sistem persewaan tanah-tanah untuk perkebunan swasta yang prakteknya menyerupai tanam paksa. Di daerah Sleman dan Bantul banyak terdapat perkebunan, terutama tebu, sehingga banyak dibutuhkan gerobak untuk sarana angkutan tebu dari perkebunan ke pabrik.

Setelah Belanda mengalami kekalahan terhadap Jepang pada tahun 1942, maka pada masa itu pengoperasian gerobak dikendalikan oleh pemerintah Jepang. Masa itu merupakan fase yang sangat menarik untuk membahas masalah transportasi gerobak. Pengoperasian gerobak sebagai sarana transportasi pada saat itu mengalami hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Hal itu disebabkan karena gerobak, yang sebelumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menopang kehidupan sosial-ekonominya, pada masa penjajahan Jepang dipergunakan untuk kelancaran angkutan barang-barang yang menjadi kebutuhan pihak pemerintah Jepang. Oleh pemerintah Jepang, gerobak yang dipergunakannya dikoordinasikan dalam satu wadah yang disebut kongzo. Di samping itu Jepang juga mendirikan pos-pos pemeriksaan gerobak yang membawa muatan, baik gerobak yang menjadi anggota kongzo maupun yang bukan menjadi anggota kongzo. Setiap gerobak yang bukan anggota kongzo yang lewat di depan pos pemeriksaan harus berhenti untuk diperiksa dan jika ketahuan membawa

v

Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

muatan barang-barang yang menjadi kebutuhan akan disita. Barang-barang yang disita oleh Jepang pada umumnya merupakan barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat pula, seperti hasil pertanian.

Pada jaman kemerdekaan, mulai tahun 1950 sampai sekarang, gerobak sebagai sarana transportasi masih mempunyai nilai ekonomi di samping berperan di dalam bidang pembangunan. Hal itu dimungkinkan oleh karena jumlah angkutan bermotor belum terlalu banyak jumlahnya. Pabrik gula Madukismo yang berada di wilayah Kabupaten Bantul dalam melancarkan proses produksinya juga mengambil jasa angkutan gerobak.

Menjelang akhir tahun ini segala macam angkutan trandisional, seperti kereta kuda, becak, dan gerobak, mulai mendapatkan saingan alat angkutan bermotor. Kondisi itu diakibatkan oleh karena membanjirnya barang-barang hasil produksi industri Jepang ke Indonesia terutama kendaraan bermotor. Akibat lebih lanjut ialah alat transportasi gerobak mengalami kesulitan dalam mencari muatan. Ruang gerak operasionalnya mulai menyempit dan sebagian besar gerobak akhirnya menjadi alat angkutan antardesa.

Fungsi gerobak di bidang sosial-ekonomi adalah sebagai sarana transportasi di sektor pembangunan dan perekonomian kota serta di sektor pertanian. Pada saat itu daerah operasional gerobak sedikit demi sedikit mulai mengalami penyempitan akibat bersaing dengan kendaraan bermotor.

Di dalam upaya untuk pembangunan perekonomian di Yogyakarta, pada tahun 1950 oleh pemerintah mulai dilaksanakan berbagai pembangunan, termasuk pembangunan jalan-jalan untuk perhubungan sarana transportasi. Hal ini disebabkan karena sarana transportasi juga merupakan faktor penting yang mendukung perkembangan ekonomi.

Tingkat kehidupan sosial-ekonomi para tukang gerobak dapat diukur dengan kemampuan mereka membayar pajak gerobak. Menjelang tahun 1940 pajak gerobak yang harus dibayar f.6,00 per tahun. Pembayaran pajak sebanyak itu atau bahkan kurang dari jumlah itu oleh para tukang gerobak di daerah lain dianggap mahal. Hal ini sering menimbulkan aksi protes yang menimbulkan kerusuhan, tetapi di daerah Yogyakarta tidak terjadi hal yang demikian itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan para tukang gerobak di Yogyakarta cukup baik jika dibandingkan dengan daerah lain.

Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, gerobak-gerobak dikoordinasikan dalam satu wadah yang disebut kongzo.

Pada masa itu gerobak-gerobak dipergunakan untuk kelancaran pengangkutan barang-barang yang dibutuhkan oleh pemerintah Jepang. Sebagian besar barang-barang hasil pertanian yang berasal dari desa-desa diangkut ke gudang-gudang yang berada di kota. Jaminan sosial para tukang gerobak yang bekerja pada kongzo oleh pemerintah Jepang agak diperhatikan. Mereka mendapat upah yang berupa uang, makan dan minum, serta bahan pakaian. Mengingat kondisi masyarakat pada waktu itu banyak yang ditimpa kelaparan dan kemelaratan, dengan adanya jaminan itu nasib para tukang gerobak beserta keluarganya masih cukup baik. Sikap pemerintah Jepang terhadap para tukang gerobak yang demikian itu ternyata mempunyai harapan agar mereka mampu bekerja dengan baik.

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Komunitas Pangrekso Andhini Karya

-

0

Komunitas Langgeng Sehati

-

0

Komunitas Guyub Rukun

Jodog, Gilangharjo, Pandak, Bantul

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Mbah Munthil

Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047