Pewarna Alami Yogyakarta

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900958
Domain
Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image

 

Pengetahuan terkait penggunaan pewarna alami terutama untuk mewarnai kain sebenarnya telah terekam dalam naskah-naskah kuno Jawa, salah satunya yaitu serat centhini. Pada serat tersebut memuat pengetahuan tentang 6 spesies tanaman penghasil warna. Pewarna pada kain (batik) ditujukan untuk merepresentasikan pandangan tentang spiritualitas. Zat warna alam merupakan pengetahuan lokal nenek moyang atau teknologi berbasis budaya yang diturunkan secara turun-temurun. Zat warna alam batik memiliki makna bahwa Indonesia memiliki banyak varietas tanaman flora fauna yang beragam termasuk Yogyakarta sebagai penghasil produk batik alam.

Pewarna Alam Batik dijelaskan dalam Kamus Baoesastra seperti kata “menter” = marna nganggo wenter. Wenter = pewarna, atau mewarna dengan memakai wenter di halman 302. Kemudian kata „biroe= warna seperti warna langit. “Dibironi = ditembok (ditutup) ing malam wedelane (supaya yendinggo ora katut abang). Biron=djarik sing wis diwedel pada halaman 45. Disebutkan juga kata “tom” di halaman 618 dan pewarna soga di halaman 578. Keberadaan dari batik disebutkan dalam naskah teks Jawa Kuna: Wrhaspatitattwa yang menyebutkan batik dan rangkaian pewarnanya di wilayah Vorstenlanden (DIY dan Surakarta).

Secara spesifik, zat warna alam juga menunjukkan populasi dan sumber kekayaan hayati di Yogyakarta serta pelestariannya. Nilai-nilai pelestarian muncul seiring dengan lajunya produksi pewarna alam batik atau batik itu sendiri. Masyarakat Giriloyo, Imogiri, Bantul mulai menanam tanaman-tanaman yang sekiranya memiliki potensi sebagai pewarna alam di pekarangan serta di lingkungan kebun mereka. Tanaman secang misalnya, masyarakat Giriloyo

mulai memanfaatkan tanaman ini sebagai pewarna merah sekaligus difungsikan sebagai pewarna makanan.

Salah satu pengetahuan yang ditemukan oleh Masyarakat Giriloyo bahwa setiap pewarna alami batik aman untuk dijadikan pewarna makanan. Selain itu, menurut keterangan dari salah seorang buruh warna batik menunjukkan bagaimana ia telah bekerja selama hampir 10 tahun pada bagian pewarnaan tapi sekalipun ia tidak pernah menggunakan sarung tangan plastk. Zat pewarna alam memiliki tingkat resiko yang rendah terhadap penyakit kulit. Bahkan pewarna alam yang ia pakai tidak memiliki bekas pada tngannya. Dari sinilah diketahui bahwa zat atau pewarna alam memiliki sisi ramah lingkungan. Nilai-nilai kesederhanaan dan kesahajaan diajarkan oleh pewarna alam batik.

Zat warna alam umumnya berasal dari tumbuhan maupun hewan. Zat warna berupa tumbuhan, terdapat pada kayu, kulit kayu, akar, kulit akar, biji, kulit biji, daun maupun bunga. Tanaman yang umum digunakan untuk pewarna batik antara lain adalah akar mengkudu (morinda citrifolia) yang menghasilkan warna merah, kayu tegeran (cudrania javanensis) yang menghasilkan warna kuning, kayu tingi (ceriops tagal) yang menghasilkan warna cokelat, daun indigo atau nila (indigofera sp) yang menghasilkan warna biru, dan daun mangga (mangifera indica) yang meghasilkan warna hijau.

Terdapat 34 spesies tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna batik. Tanaman yang sering digunakan antara lain jolawe (elaocorpus folium), mangga (Manceera indica), tegeran (Cudraina javanensis), tingi (Ceriops tagal), jati (Tectonagrandis), secang (Caesalpinia sappan Flem.), mengkudu (Morinda citrifolia), kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus L.), bakau (Rhizophora mucronata), manggis (Gracinia mangostana) dan lain-lain (Purnomo, 2015: 73).

Pewarnaan menggunakan bahan alami yang dibuat seperti pasta merupakan pewarnaan batik tertua yang masih digunakan hingga sekarang. Pewarnaan tersebut dipraktekkan secara luas di wilayah Timur Tengah dan Wilayah asia lainnya seperti Jepang, Indonesia, India, Afrika, Cina. Bahan pembuatan pasta tersebut sangat beragam. Namun demikian, jenis pasta yang tahan lama dan banyak digunakan dibuat dari kombinasi antara beras dan tepung lainnya. Campuran beras dan bubuk sulfat seng serta garam banyak digunakan di Jepang. Campuran tersebut dimasak hingga menjadi krim transparan, yang diaduk hingga merata dan dingin.

Pewarna yang berbentuk pasta dapat diaplikasikan dengan berbagai cara, antara lain dengan menyikat tangan atau menggunakan stensil, menyeka dengan jari-jari, dan meremasnya. Pewarna dalam bentuk pasta pada batik biasanya hanya diaplikasikan pada satu permukaan saja. Bentuk pasta dihasilkan dari campuran antara bahan pewarna kering (telah ditumbuk menjadi bubuk) dengan larutan getah perekat. Larutan getah perekat tersebut bersifat kaku dan membatasi penyebaran zat pewarna yang bercampur dengan zat cair. Kekentalan larutan getah yang memberikan efek kaku. Larutan pewarna yang digunakan harus dalam keadaan dingin. Pada proses pewarnaan, kain tidak dibenamkan sehingga berbagai warna dapat diaplikasikan di area yang berbeda asalkan area tersebut dipisahkan oleh pasta perekat atau jarak antarwarna.

Langkah pewarnaan yang terakhir yaitu menyikat pewarna gelap di seluruh potongan kain. Pengukusan dilakukan untuk menyingkirkan perekat warna (pasta) yang tidak diinginkan. Beberapa helai kain dikukus secara bersamaan. Setiap helai kain yang dikukus dipisahkan oleh lembaran koran dan kemudian semuanya digulung menjadi satu. Gulungan tersebut kemudian digulung kembali dengan dilapisi oleh beberapa lembaran kertas, dan ujung-ujungnya dilipat serta diikat. Gulungan tersebut ditutupi dengan kain tebal dan digantung di atas alat pengukus.

Kain dikukus secara menyeluruh selama kurang lebih satu jam. Semakin berat kain maka membutuhkan waktu lebih banyak dalam proses mengukus. Setelah kain dikeluarkan dari ketel, kemudian dicuci bersih dengan air dingin dan dibilas beberapa kali sampai campuran pasta benar-benar hilang. Setelah kering, kain disetrika agar tidak terlipat (Krevitsky, 1964: 8).

Bahan dasar pewarna alami yang digunakan adalah damar, gondorukem (hasil sadapan getah pohon Pinus), gajih (lemak), minyak kelapa dan kote atau ampas madu (Riyanti & Dahesihsari, 2008: 29-30). Proses pengerjaan bahan pewarna alami tersebut dilakukan dengan diencerkan dan dilekatkan bersama bahan ancur. Ancur pada pewarnaan batik dibedakan menjadi dua, ancur yang berasal dari tanaman (nabati) dan yang berasal dari hewan (hewani). Ancur nabati seperti halnya yang digunakan pada pewarna aami wayang berasl dari pohon Ancur, sedangkan Ancur berbahan hewani dibuat dari lendir ikan yang dikeringkan. Lendir ikan yang kering tersebut pada penggunaannya dituangkan air panas sehingga akan membentuk cairan seperti lem. Ancur kemudian digunakan sebagai bahan perekat sekaligus campuran bahan-bahan pewarna (Subandi, 2011: 32).

Bahan pewarnaan alami pada kain batik yaitu Gondorukem dan Terpentin. Gondorukem sendiri merupakan hasil hutan berasal dari sadapan pohon pinus yang berupa getah. Gondorukem dimanfaatkan oleh perusahaan batik, sabun, dan terpentin sebagai bahan pembuat cat. Pada pewarnaan batik, gondorukem seperti halnya malam, digunakan untuk memisahkan warna dan melekatkan warna (Arief, 2001: 67).

Indigo merupakan pewarna dengannama lain nila (tarung) atau disebut juga dengan Tom. Tanaman tersebut sejak dahulu dimanfaatkan sebagai pewarna alami di seluruh dunia. Ada beberapa Legenda dan mitos berkaitan dengan pewarna alami tersebut. Masyarakat Jawa meyakini bahwa pewarnaan menggunakan Nila merupakan intervensi dari roh halus. Oleh karena itu, proses pewarnaan menggunakan Nila diawali dengan ritual selamatan terlebih dahulu. Nila memiliki keunikan dan kerap disebut juga dengan pewarna ajaib. Hal ini disebabkan karena perubahan warna kain yang dicelup, semula berwarna kehijauan namun setelah beberapa saat dikeringkan warna kehijauan tersebut berangsur-angsur menjadi biru. Hal tersebut disebabkan karena adanya pigmen penghasil warna biru pada tanaman Nila. Pigmen tersebut akan berubah warna apabila bereaksi atau bersenyawa dengan oksigen. Proses tersebut kemudian oleh orang Jawa dianggap sebagai Proses pewarnaan yang dilakukan oleh roh halus. Pada zaman Belanda masyarakat Jawa diwajibkan menanam indigo sesuai dengan kontrak tanam paksa. Belanda memiliki preferensi untuk menanam indigo karena Indigo bernilai tinggi dalam komoditas yang dipasarkan di Eropa. Masyarakat Eropa menamai tanaman Indigo sebagai keringat biru orang Jawa. Mewarnai batik menggunakan Nila (indigo) memerlukan teknik fermentasi khusus. Teknik tersebut yang membuat warna Nila menjadi sangat pekat dan cemerlang sehingga diperoleh hasil akhir berupa warna yang gelap (Ramadhan, 2013: 64).

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Masyarakat Desa Wukisari (Paguyuban Kelompok Batik)

Giriloyo, Karangtengah, Wukirsari, Imogiri, Bantul

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Drs. Purwadmadi Admadipurwa

Sinduadi, Sleman, DI. Yogyakarta

0818267725

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047