Kampung Pitu

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900962
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image

 

Sejarah Kampung Pitu diawali dengan sebuah desa bernama Kampung Tlaga, karena hanya dihuni 7 Kepala Keluarga kemudian disebut dengan kampung Pitu. Warga Kampung Pitu sendiri juga tidak bisa menjawab secara pasti sejak kapan mulai tinggal di tempat ini, namun mereka mengatakan bahwa secara turun temurun sudah ada sejak zaman para wali,meski tidak bisa menyebutkan siapa nama wali tersebut.

Meskipun demikian, sejarah Kampung Tlaga atau Kampung Pitu yang dihuni hanya tujuh Kepala Keluarga tersebut dapat ditelusuri dari ceritera rakyat yang ada. Ceritera tutur ini masih lestari hingga kini. Mereka kuat di imajinasi warga Kampung Pitu. Konon waktu itu di puncak bukit Gunung Nglanggeran ada pusaka yang memiliki kekuatan gaib menempel pada pohon Kinah Gadung Wulung, setiap ada warga yang berniat mengambil pusaka itu selalu gagal. Kemudian pihak Keraton Yogyakarta membuat sayembara siapa yang bisa mengambil pusaka itu akan diberikan imbalan berupa tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya.

Meskipun banyak yang mengikuti sayembara, tetapi yang berhasil hanya Eyang Iro Kromo dan mendapatkan hadiah berupa tanah dari Keraton Yogyakarta. Eyang Iro Kromo sebagai cikal bakal Kampung Tlaga dan temannya yang berjumlah tujuh orang itu kemudian menetap dan tinggal dekat pohon dan membuat kesepakatan :

1. Kepala Keluarga yang tinggal di sekitar pohon tersebut hanya boleh tujuh kepala keluarga

2. Jika ada keturunan dari tujuh orang tersebut berkeinginan tinggal di sekitar pohon tersebut maka harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal.

3. Jika tetap ingin tinggal, sementara kepala keluarga sudah ada tujuh, maka keluarga mereka harus menginduk pada tujuh kepala keluarga yang ada, tak boleh berdiri dalam kepala keluarga sendiri

Kesepakatan adat tersebut tetap ditaati oleh kepala keluarga hingga saat ini. Ketika ada warga yang melanggar kepercayaan tersebut, maka akan terjadi suatu kejadian dimana salah satu dari kepala keluarga menjadi sering sakit-sakitan, merasa tidak betah ingin pergi dari rumahnya serta adanya kejadian gaib yang mengganggu kehidupannya dan bahkan meninggal dunia. Keanehan tersebut masih ada sampai sekarang yang menjadikan kawasan kampung pitu menjadi unik dan sakral.

Setelah Eyang Iro Kromo meninggal,sesepuh Kampung Tujuh itu kemudian digantikan Mbah Mento Dikromo, Mbah Kartoyoso dan saat ini dipimpin oleh Mbah Rejo Dimulyo yang usianya sudah lebih dari 100 tahun, meski pada KTP tertulis Lahir 31 Desember 1928.

Di lokasi Kampung Pitu terdapat sumber mata air. Menurut cerita sesepuh, tempat tersebut merupakan bekas tlogo guyangan/mardhido sebagai tempat pemandian Jaran Sembrani (kuda gaib) tunggangan widodari. Setiap Jaran Sembrani yang turun ingin mandi dan menginjakkan kaki di batu besar samping tlogo tersebut, tapak kaki Jaran Sembrani akan membekas di batu. Dahulu abdi dalem Kraton Yogyakarta sering mengambil bekas tapak kaki Jaran Sembrani tersebut, hanya dengan doa tertentu (mantra) batu bekas tapak Jaran Sembrani bisa terlepas sendiri dari bagian batu yang besar. Sekarang tlogo guyangan sudah tertutup oleh lumpur dan sumber mata air yang berada di samping tlogo digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari bagi masyarakat sekitar.

Kampung Pitu bisa dikunjungi di puncak Gunung Api Purba seluas 7 Ha berada di Paduluhan Nglanggeran Wetan RT 19 RW 04 Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul. Warga Kampung Pitu sendiri menyebut Gunung Nglanggeran dengan sebutan Gunung Wayang, karena bebatuan yang ada pada gunung tersebut terlihat seperti tokoh tokoh wayang yang dijajar. Masyarakat kampung pitu masih sangat arif dan bijaksana dalam menyingkapi kepercayaan terhadap tradisi leluhurnya. Nilai nilai hidup yang juga masih dipertahankan oleh masyarakat kampung pitu dapat pula dilihat ketika masyarakat mengadakan acara tingalan (ulang tahun). Tingalan (ulang tahun) sendiri memiliki makna tersendiri bagi masyarakat, khususnya untuk masyarakat kampung pitu sendiri. Dimana ritual-ritual yang masih dilaksanakan hingga saat ini adalah sebagai wujud rasa syukur msyarakat atas kehidupan yang mereka jalani saat ini. Bentuk tradisi masyarakat kampung pitu yang masih dilestarikan sampai saat ini yaitu:

1. Tingalan

Tingalan dalam bahasa lainnya adalah perayaan ulang tahun. Namun bedanya untuk acara tingalan ini hanya diperuntukkan kepada warga kampung pitu yang dianggap sesepuh. Contohnya, ada salah satu yang dianggap paling tua di kampung pitu tersebut dan masih menjalankan tradisi ini. Beliau setiap tahunnya mengadakan tradisi tingalan dirumahnya. Acara ini diadakan setahun sekali setiap tanggal lahir (tanggalan jawa) neton.

2. Tayub/ledek

Tayub merupakan kesenian tari-tarian warisan budaya yang masih dilestarikan keberadaannya. Di kawasan kampung pitu tari tayub ditampilkan dalm acara rasulan yang diadakan setiap setahun sekali. Pementasan tayub berada di dekat sumber tlogo dan ada empat lagu (tembang) jawa yang harus dinyanyikan yaitu blendrong, ijo-ijo, eleng-eleng dan sri slamet. Empat tembang tersebut sebagai ucap syukur karena hasil panen melimpah.

3. Rasulan

Sebagian masyarakat kampung pitu meyakini apabila tradisi rasulan jika tidak diadakan, maka akan terjadi berbagai macam bala (bencana) seperti musim kering yang panjang, wabah penyakit, gagal panen dan berbagai macam bentuk bencana lainnya. Rasulan yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Pitu juga sering dikaitkan dengan ucapan rasa syukur masyarakat Kampung Pitu atas panen yang melimpah. Ucapan rasa syukur itu sering dihubungkan dengan hasil panen padi yang mereka peroleh. Masyarakat Kampung Pitu memahami bahwa hasil panen itu diperoleh karena adanya peranan Dewi Sri yang dianggap dewi padi. Oleh karena itu, Dewi Sri menjadi pusat pemujaan dan rasa syukur dari kegiatan rasulan. Nilai-nilai yang dapat diambil dari kegiatan rasulan yang dilaksanakan oleh masyarakat kampung pitu yakni agar masyarakat senantiasa bersyukur kepada sang pencipta atas hidup yang mereka jalani saat ini. Selain itu terkandung makna lain yang sangat dalam pada pelaksanaan acara rasulan tersebut yakni adanya nilai kebersamaan dengan masyarakat lain. Wujudnya yakni menghaturkan doa kepada tuhan dengan disertai membuat sesaji yang dimaksudkan sebagai bentuk sedekah masyarakat Kampung Pitu kepada seluruh kerabat, keluarga, tetangga dan juga seluruh makhluk tuhan. Proses sedekah dilakukan manakala doa syukur dan ucapan terimakasih usai dilakukan, maka sesajen (uborampe) akan dinikmati bersama-sama dengan anggota masyarakat lain ataupun dibagikan kepada yang berhak. Dalam proses rasulan yang dilakukan biasanya dipersiapkan berbagai kelengkapan atau ubarampe sebagaimana lazimnya dalam bentuk slametan yang lain. Jenis sajen dalam rasulan sangat beragam dan biasanya mempunyai makna khusus.

Adanya penghayatan masyarakat Kampung Pitu terhadap nenek moyangnya pada zaman dahulu, bisa menjadikan sebuah filsafah hidup dari masyarakat Kampung Pitu dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tidak lain karena adanya pola pikir atau pengetahuan masyarakat untuk senantiasa bersahabat dengan alam yang didapatkan dari hasil menghayati pola kehidupan nenek moyangnya pada zaman dahulu. Sampai saat inipun masyarakat Kampung Pitu selalu berupaya menjaga lingkungan yang ada. Semua itu merupakan bentuk penghayatan masyarakat Kampung Pitu pada kehidupan nenek moyang mereka yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup untuk selalu hidup berdampingan dengan alam, karena alam sebagai sumber penghidupan mereka. Penghayatan terhadap lingkungan inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang khas, yakni sistem nilai adat-istiadat dan kepercayaan.

Sehingga semua yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Pitu juga tidak terlepas dari adanya kepercayaan yang masih diyakini hingga saat ini. Dapat kita ketahui bahwa kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tersebut sudah mulai pudar, maka masyarakat Kampung Pitu akan khawatir akan terjadi suatu bencana yang melanda salah satu dari anggota masyarakatnya, sehingga tidak sembarang orang boleh tinggal dan mendirikan bangunan di wilayah Kampung Pitu. Namun demikian, upaya lain yang juga dilakukan oleh masyarakat Kampung Pitu untuk tetap hidup selaras dengan alam diwujudkan dengan adanya sesaji yang dipersembahkan oleh masyarakat. Bentuk ritual tersebut yakni berupa sesaji yang diletakkan di sumber air yang ada di Kampung Pitu. Dalam pelaksanaannya bahwa dalam ritual tersebut juga diadakan doa-doa bersama yang kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Sehingga dengan adanya aktivitas ritual tersebut, masyarakat Kampung Pitu khususnya akan selalu mengingat leluhur mereka yang senantiasa mengajarkan kebaikan dalam setiap kehidupannya.

Kampung Pitu sebagai sistem organisasi adat memiliki keterikatan khusus pada siklus hidup warga Kampung Pitu. Segala apa yang ada di kampong pitu adalah jantung dari siklus hidup masyarakat Ngalanggeran ini. Nilai-nilai keluhuran yang diajarkan oleh desa ini mencerminkan adanya keteguhan sosial untuk melestarikan cara hidup leluhurnya. Aspek nilai kelestarian juga menjadi bagian dari ajaran Kampung Pitu.

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Kampung Pitu

Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Rejo Dimulyo

Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047