Mocoan Lontar Yusup Banyuwangi

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900978
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

 

LONTAR YUSUP adalah sebuah puisi naratif tentang kehidupan salah seorang Nabi Islam yang amat populer, Nabi Yusuf. Kisah ini merentangkan perjalanan hidup seorang utusan pilihan Tuhan (duta nabi luwih) sejak usia dua belas tahun, kala ia bermimpi tentang matahari, bulan dan sebelas bintang bersujud kepadanya, sampai ia naik takhta menjadi penguasa Mesir, seusai nubuatnya tentang mimpi Raja Mesir; tujuh sapi kurus memangsa tujuh sapi gemuk dan tujuh daun kering melahap tujuh daun hijau. 

Kisah Yusuf yang bermula nun jauh di padang pasir Mesir, melintasi laut dan selat, hingga sampai di ujung timur Jawa, menjelma berlarik-larik tembang sebagai Lontar Yusup Banyuwangi.  Islamisasi Jawa, bagaimanapun juga merupakan faktor penting bagi lahirnya karya ini. Lontar Yusup, baik sebagai teks maupun saat didendangkan (performance), merupakan wujud dari ekspresi Islam- Jawa yang mewarnai identitas kultural masyarakat Banyuwangi, wilayah yang dahulu merupakan pusat negeri Blambangan pada masa akhir kekuasaannya.

Lontar Yusup Banyuwangi kemungkinan besar merupakan hasil salinan tidak langsung dari naskah tembang Yusuf dari Cirebon yang disusun pada tahun Jawa 1555 (1633-1634 M).   Meskipun demikian, di antara kedua naskah kisah Yusuf tersebut terdapat perbedaan-perbedaan yang menonjol terutama dalam hal pemilihan kosa kata dan detil-detil pengisahannya. Naskah (manuskrip) Lontar Yusup Banyuwangi tidak memuat tanggal penulisannya, sehingga tidak bisa diketahui kapan naskah ini pertama kali dituliskan. Meskipun demikian, dalam setiap naskah Lontar Yusup Banyuwangi, yang masih terus disalin hingga sekarang, selalu dicantumkan identitas penyalin naskah dan waktu penyalinan naskah. Naskah tertua Lontar Yusup Banyuwangi di temukan berangka tahun Jawa 1829 (1890-an M), yang menjadi bahan transliterasi dan penerjemahan dalam buku ini.

Di Banyuwangi, Lontar Yusup merupakan satu-satunya naskah kuna yang hingga kini masih “hidup” dalam masyarakat lokal, terutama di wilayah pedesaan. Naskah-naskah kuna Banyuwangi lainnya, seperti Kidung Sritanjung dan berbagai varian Babad Blambangan, hampir tidak pernah dibacakan lagi saat ini. 

Blambangan merupakan satu-satunya kerajaan Hindu yang masih bertahan di pulau Jawa pasca senjakala Majapahit pada tahun 1530-an. Abad 15-16 merupakan kurun waktu yang amat penting dalam sejarah politik Jawa, karena periode ini dianggap sebagai masa transisi, perubahan kekuasaan dari Majapahit yang Budha ke Mataram yang Islam.  Pada masa itu, kehidupan sosial, politik dan kebudayaan di pelbagai pusat kekuasaan di Jawa, dari Banten hingga Blambangan mengalami pergeseran yang dinamis. Sistem religi atau keagamaan masyarakat Jawa pun mengalami perubahan, dari penganut Hindu-Budha, beralih menjadi pemeluk Islam. Di ujung timur Jawa, Babad Blambangan mengisahkan tentang kedatangan seorang Arab Muslim, Sayid Ishak atau Syeh Walilanang, yang datang ke wilayah ini pada masa kekuasaan Santaguna (sekitar 1575). Dalam berbagai kronik lokal, Syeh Walilanang dianggap sebagai pemula penyebar agama Islam di ujung timur Jawa, sekaligus menurunkan putranya, Raden Paku atau Sunan Giri, salah seorang dari sembilan wali (walisanga) yang dipercaya sebagai penyebar utama Islam di tanah Jawa. 

Proses Islamisasi Blambangan tidaklah berjalan dengan lancar. Hingga paruh awal abad ke-18, Blambangan tidak berhasil diislamkan. Dua raja terkuatnya, Tawangalun dan Danureja, tetap beragama Hindu. Pengaruh Islam dalam keluarga kerajaan Blambangan baru mulai kentara pada masa kekuasaan Pangeran Adipati Danuningrat atau Pangeran Pati (1736-1764).  Ketika Blambangan akhirnya runtuh pada 1768, secara leluasa Islam pun mulai menemukan jalan terang menyebar di wilayah ini. Kedatangan Islam tentu saja tidak hanya memperkenalkan konsep religinya, tetapi juga produk budayanya, salah satunya tulisan Arab yang di Jawa beradaptasi menjadi pegon. Dampak dari penetrasi Islam ini, adalah munculnya peradaban baru yang disebut oleh de Graaf dan Pigeaud sebagai peradaban Islam-Jawa. Maka tumbuhlah pusat-pusat keislaman seperti pondok pesantren yang berfungsi sebagai pusat pendidikan agama Islam yang kemudian berkembang sebagai muara lahirnya teks-teks keislaman termasuk kesusastraan Islam-Jawa yang disebut oleh Poerbatjaraka sebagai “Sastra Pesantren”. Dalam latar sosial budaya dan keagamaan yang baru seperti inilah dimungkinkan Lontar Yusup ditulis di Banyuwangi. 

Kisah Yusuf yang ditulis dalam bentuk tembang memang telah jauh sebelumnya diciptakan di berbagai wilayah lain di Jawa. Namun Lontar Yusup Banyuwangi memiliki ciri khas tersendiri, baik unsur tekstual (pengisahan, kosakata, dan bentuk aksara pegon) maupun performance-nya (musik dan ritual pembacaan). Sementara Lontar Yusup, hingga sekarang, secara berkala masih dibacakan atau ditembangkan (puisi yang didendangkan) di hadapan khalayak dalam ritual tradisi selamatan daur hidup manusia (kelahiran, sunatan dan perkawinan) maupun ritual tahunan bersih desa. Namun dalam hal-hal tertentu, ia juga bisa diselenggarakan untuk sebuah acara pemenuhan nadar seseorang. Beberapa kelompok pembaca Lontar Yusup juga secara periodik, seminggu sekali, masih mengadakan acara pembacaan lontar Yusup (mocoan) secara bergiliran di rumah masing-masing anggota kelompok mocoan, namun bukan pembacaan secara lengkap.

Mocoan Lontar Yusup secara lengkap lazimnya didendangkan di waktu malam, selepas waktu sholat isya (sekitar jam 7 malam) hingga usai sebelum waktu sholat subuh (sekitar pukul 3 pagi). Dalam acara mocoan ini sekelompok pembaca Lontar Yusup duduk bersila, berjajajar setengah melingkar beralaskan tikar, lalu secara bergiliran mendendangkan larik-larik puisi Yusup dalam ragam tembang cara Suku Osing yang berbeda dengan nada tembang orang Jawa pada umumnya. Naskah Lontar Yusup yang dibaca diletakkan di atas bantal, dan secara bergantian dikelililingkan di antara para penembang. Sesi mocoan Lontar Yusup, sebagai sebuah laku ritual, juga memiliki tata cara dan perangkat ritual yang khusus dan bukan sekedar pembacaan tembang biasa.

Sebuah kursi panjang dengan sandaran diselimuti lembaran kain batik berada di sisi paling ujung dari para pembaca mocoan. Di tempat itulah manuskrip Lontar Yusup yang akan dibacakan, tersimpan dalam kantong kain, diletakkan di atas bantal bersama sejumlah sesajian (sajen). Sesajian itu termasuk satu kendi air, satu set wanci kinangan (seperangkat alat sirih dari tembaga), dua cangkir kopi, jam dinding, toya arum (air kembang), sepiring kue dan makanan lainnya. Di bagian depan bawah kursi yang berisi berbagai sajen itu ditempatkan pedupaan (anglo kecil tempat membakar dupa). Ketika sesi pembacaan Lontar Yusup dimulai, dupa pun dinyalakan. 

Meskipun naskah puisi Yusuf di Banyuwangi ditulis di atas kertas dan menggunakan tulisan pegon, naskah kuno ini lebih dikenal sebagai Lontar Yusup. Istilah lontar di sini berarti "manuskrip" atau "cerita" dan tidak mengacu pada daun lontar sebagai materi tempat naskah dituliskan. Karena tradisi mocoan Lontar Yusup masih berlangsung hingga saat ini, maka penyalinan naskah ini juga terus berlangsung hingga sekarang dalam bentuk tulisan tangan, untuk memenuhi kebutuhan orang yang ingin mempelajari mocoan Lontar Yusup.

*

Pada prinsipnya kegiatan adat mocoan lontar ini mirip semacam sebuah pengajian yang dilakukan oleh umat Islam. Hanya saja di dalam pengajian yang dilakukan oleh warga Desa Kemiren ini mereka menggunakan kitab/lontar berupa naskah-naskah kuno, dengan berbahasa Jawa Kuna, serta bertuliskan huruf Arab Pegon, serta menggunakan irama mirip orang menembang mocopat. Di dalam kehidupan masyarakat Using Desa Kemiren, setiap ada hajadan warga (kelahiran, khitanan, serta perkawinan) kegiatan pembacaan lontar ini tidak pernah ditinggalkan, sebagai rangkaian acara pembukaan.

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

MOCOAN LONTAR YUSUP

Dusun Krajan Desa Kemiren, Kecamatan Glagah

085258008188

MOCOAN LONTAR MILENIAL

Dusun Krasak Desa Mojopanggung, Kecamatan Giri

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Adi Purwadi

Dusun Krajan Desa Kemiren, Kecamatan Glagah

0

Wiwin Indiarti

Dusun Krasak Desa Tamanbaru, Kecamatan Banyuwangi

08152676339

wiwinindiarti@gmail.com

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047