Bantengan Jawa Timur

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900980
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

 

Kesenian Tradisional Bantengan adalah sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang berasal dari Jawa Timur yang menggabungkan unsur sendratari, olah kanuragan, musik, dan syair/mantra yang sangat kental dengan nuansa magis. Permainannya akan semakin menarik apabila telah masuk tahap trans yaitu tahap pemain pemegang kepala Bantengan menjadi kesurupan arwah leluhur Banteng (Dhanyangan).

Kesenian Tradisional Bantengan yang telah lahir sejak jaman Kerajaan Singasari (situs Candi Jago – Tumpang Malang) sangat erat kaitannya dengan Pencak Silat. Walaupun pada masa itu bentuk kesenian bantengan belum seperti sekarang, yaitu berbentuk topeng kepala Bantengan yang menari. Gerakan tari yang dimainkan mengadopsi dari gerakan Kembangan Pencak Silat (Febrianto Wihanda Putra, 2011:2). Kesenian tradisional ini berlanjut pada masa Pemerintah Kolonial Belanda terdapat seorang tokoh bernama Mbah Siran yang membuat topeng Bantengan dari tanduk banteng (Ruri Darma Desprianto, 2013:150) di Desa Claket Kecamaten Pacet Kabupaten Mojokerto. Pada masa Orde Lama Kesenian Tradisional Bantengan bermunculan di berbagai daerah pegunungan di Jawa Timur.

Saat ini Kesenian Tradisional Bantengan sudah berkembang diberbagai Kabupaten/Kota, antara lain Kabupaten Mojokerto, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Pasuruan. Data Tahun 2018 dari Dinas Pariwisata Kota Batu terdapat kurang lebih 200 grup kesenian Bantengan, sedangkan data Dinas Pariwisata Kabupaten Pasuruan tercatat di Nomor Induk Kesenian berjumlah 12 paguyuban, padahal fakta di lapangan terdapat ratusan paguyuban. Melalui wawancara dengan sesepuh Paguyuban Pencak Silat Macan Putih di Dusun Ngadipuro Desa Wonosari Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan, beliau merintisnya sejak tahun 1962 dan berkembang sampai saat ini. Di setiap Kabupaten/Kota terdapat banyak paguyuban yang mengelola dan mengembangkan dalam bentuk Pertunjukan maupun Festival Bantengan. Bahkan di Kabupaten Mojokerto sudah menerbitkan Buku Teks Kesenian Bantengan untuk Sekolah Dasar Kelas IV, V, dan VI dengan tujuan mengembangkan dan melestarikan Kesenian Tradisional Bantengan.

Dalam sebuah pementasan Kesenian Tradisional Bantengan yang sarat dengan nilai, makna, dan fungsi. Diperlukan penyajian yang lengkap dalam sebuah pementasan meliputi : gerak yang mirip dengan banteng, busana, iringan musik, properti, tempat pementasan(biasanya di lapangan), pawang/tetua/pendekar/sesepuh (masing-masing daerah menggunakan sebutan yang berbeda),dan sesaji.

Permainan Kesenian Tradisional Bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala Bantengan dan pengontrol tari Bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor Bantengan. Kostum bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala kepala banteng yang terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli banteng.

Kabupaten Mojokerto, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Pasuruan (khususnya daerah pegunungan)

 

Berhubung hewan banteng terutanma Banteng Jawa semakin sulit ditemukan, maka kepala dan tanduk sekarang lebih banyak digunakan adalah kayu dan tanduk dari sapi dan juga kerbau yang sudah mati (Ruri Darma Desprianto, 2013:154). Disamping kedua pemain masih ditambah dua orang lagi sebagai pemegang tali kekang yang berguna untuk mengendalikan pemain Bantengan yang sudah kesurupan.

Kesenian Tradisional Bantengan merupakan kesenian komunal yang melibatkan banyak orang dalam setiap pertunjukannya, seperti halnya sifat kehidupan banteng yang hidup berkelompok (koloni). Kebudayaan Bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong, dan menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan (Muhamad Nashichuddin, dkk, 2018:60).

Dalam Kesenian Tradisional Bantengan memiliki fungsi, makna, maupun nilai. Dilihat dari fungsinya terdapat fungsi Eksternal maupun Internal. Fungsi Eksternal, yaitu fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat awam atau pada umumnya sebagai bagian dari kesenian daerah atau tontonan kesenian kebudayaan daerah setempat. Sedangkan fungsi internal, yaitu fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat tertentu, yang memang mengembangkan kesenian tersebut (Arista Yosi Antiar, 2015:22).

Makna dari Kesenian Tradisional Bantengan menurut Wiwik Istianah melalui karya tulis berjudul ‘Tari Bantengan dalam Upacara Tolak Balak di Kabupaten Mojokerto” tahun 2017 dapat ditinjau dari pagelaran, alat perlengkapan, dan sesaji. Ditinjau dari pagelaran akan terlihat sebuah pertarungan yang menggambarkan kekuatan Sang Pendekar yang memiliki ilmu yang tinggi dan dihormati oleh warga desa sebagai panutan mereka. Ditinjau dari alat perlengkapan merupakan simbol keharmonisan atau keselarasan hidup manusia di dunia. Ditinjau dari sesaji memiliki makna persaudaraan antara warga dan sebagai penghormatan bagi leluhur atau nenek moyang dan makanan bagi orang yang kesurupan.

Menurut Ruri Darma Desprianto dalam Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Simbolik dan Nilai Moral, tahun 2013 menjelaskan bahwa banyak nilai yang terkandung dalam Kesenian Tradisional Bantengan. Nilai tersebut meliputi nilai kebersamaan atau gotong royong, nilai keindahan, nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai tanggung jawab, nilai religius, nilai kepercayaan, serta nilai keburukan dan kejahatan. Berdasarkan hasil pementasan Kesenian Tradisional Bantengan baik ketika di panggung maupun saat arak-arakan ditemukan adanya nilai-nilai moral yang bermanfaat bagi kebudayaan.

Kesenian Tradisional Bantengan Jawa Timur dipentaskan dengan tujuan sakral, tolak balak, melestarikan seni budaya tradisional, dan menghormati leluhur nenek moyang. Untuk lokasi pendukung kesenian ini berada di daerah pegunungan Bromo Tengger Semeru, Arjuno-Welirang, Penanggungan (Pacet), Kawi, dan Raung-Argopuro(Ruri Darma Desprianto, 2013:154). Pementasan/pertunjukan diadakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat memperingati Tahun Baru Islam, HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, Bersih Desa/Selamatan Desa, diundang masyarakat yang memiliki hajat, dll. Dalam sebuah pementasan terdapat sebuah larangan bagi penonton, yaitu dilarang bersiul karena dengan bersiul penonton dianggap mengejek arwah roh yang memasuki tubuh pemain.

Untuk urutan pementasan terdiri dari tiga tahap, dimana masing-masing derah memiliki istilah yang berbeda. Ketiga tahapan tersebut yang pertama adalah ritual nyuguh atau sandingan, kedua adalah pementasan meliputi karak’an dan pementasan sampai kesurupan atau ndadi, dan yang ketiga adalah nyuwuk dengan tujuan memulangkan arwah leluhur ketempat asalnya. Untuk melaksanakan ketiga tahapan tersebut harus melengkapi berbagai kelengkapan/persyaratan dalam sebuah pementasan.

Kelengkapannya meliputi kelengkapan busana, iringan musik, dan sesaji. Kelengkapan busana meliputi busana Pencak Silat, busana Harimau, busana Bantengan, dan busana Pendekar dan pecut. Iringan musik terdiri dari kendang, jidor, ketipung, peking, saron, demung, gong, kempul, kenong, dan tidak lupa seorang Sinden lengkap dengan panjak. Kelengkapan sesaji terdiri dari kelapa, pisang, ketan, nasi kabuli, rokok, susur, bedak, telur ayam kampung, kembang boreh, kaca, dan uang.

Menurut masyarakat Jawa, sifat-sifat roh sama seperti manusia dengan satu pengecualian, yaitu tidak mempunyai badan/wadag. Sebaliknya roh itu dianggap sama-sama memiliki pemikiran, perasaan, dan nafsu seperti manusia. (Stange, P, 2008 hal 44). Setiap desa memiliki pemimpin (lurah) dan pada saat yang sama juga roh penjaga dan nenek moyang pendiri (dahnyang). Di desa-desa, kebiasaan rutin slametan merupakan suatu struktur yang secara eksplisit dimaksudkan untuk merukunkan hubungan dengan alam roh.

Seni Bantengan adalah seperti jaranan tetapi dalam menampilkan aksinya menggunakan kepala banteng dan kain hitam putih. -Bantengan ini dimainkan oleh 2 (dua) orang dengan posisi 1(satu) di depan dan yang 1 (satu) dibelakang. -Kepala bantengnya di letakkan didepan diberi tali, seakan terlihat diikat. -Dalam atraksinya, tali tadi ditarik oleh dua orang dengan posisi satu orang di samping kiri dan satu orang lainnya disamping kanan. -Diiringi gamelan jawa dan pemainnya menggunakan kostum warna menyolok (merah, hitam) dan memakai ikat kepala.

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Gumarang Sakti

Jln. Semeru No. 95 RT 09 Pendem Kec. Junrejo Kota Batu

0

Punggawa Nuswantara

Jln. Sudiro No. 27 Kota Batu

0

Paguyuban Kartika Remaja

Desa Karanganyar Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

0

Padepokan Gunung Ukir

Desa Torong Rejo Tutup Krajan RT 05 RW 06 Kecamatan Junrejo Kota Batu

0

Paguyuban Pecak Silat Macan Putih

Dsn. Ngadipuro Ds Wonosari Kec. Tutur Kab. Pasuruan

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

M. Satu

RT. 03 RW. 01 Dusun Ngadipuro Desa Wonosari Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan

0

Mbah Sanimin

Desa Karanganyar Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

0

Saiful Huda

Jl. Sudiro No. 27 Kota Batu

0

Purro Bagus P.

Jln. Semeru No. 95 RT 09 Desa Pendem Kec. Junrejo Kota Batu

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047