Sanggring Gumeno

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900984
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

 

Sanggring atau Kolak Ayam adalah tradisi masyarakat Desa Gumeno, Gresik, Jawa Timur, yang dilaksanakan setiap tahun pada malam hari tanggal 23 Ramadan. Pada acara itu masyarakat setempat menyediakan masakan yang kemudian disebut Sanggring atau Kolak Ayam ribuan piring banyaknya untuk dimakan bersama-sama. Catatan pada tahun 2014, jumlah porsi mencapai 2.200 porsi kolak ayam yang disajikan untuk berbuka bersama di masjid Jami’ Sunan Dalem. Kolak ayam merupakan makanan ta’jil atau makanan pembuka untuk berbuka puasa yang sifatnya hanya sementara. 

Tradisi ini berasal dari  suatu riwayat, di saat pelariannya di Desa Gumeno, Sunan Dalem jatuh sakit dan ternyata dapat disembuhkan dengan membuat makanan Sanggring ini. Kemudian beliau memerintahkan kepada penduduk agar mengusahakan obat supaya sakitnya bisa sembuh. Sebagian penduduk mencarikan obat ke sana ke mari, tetapi mereka tidak dapat menemukan obat atau orang yang bisa menyembuhkan Sunan Dalem. 

Menurut Babad Gresik, Sunan Dalem adalah putra dari Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedathon. Sunan Giri meninggal pada tahun 1506 M, kemudian kekuasaan Giri Kedathon digantikan oleh putranya yaitu Sunan Dalem. 

Di tengah kebingungan penduduk tersebut, Sunan Dalem mendapat petunjuk dari Allah SWT lewat mimpi agar membuat suatu masakan untuk obat. Esok harinya Sunan Dalem memerintahkan semua penduduk supaya membawa seekor ayam jago berumur sekitar satu tahun atau jago lancur ke Masjid. Maka segeralah semua penduduk membawa seekor ayam jago untuk dimasak dengan santan kelapa, jinten, gula merah dan bawang daun.  

Setelah masakan selesai, Sunan Dalem memerintahkan kepada penduduk Gumeno agar membawa ketan yang sudah dimasak. Pada saat itu bertepatan dengan Bulan Ramadlan sehingga ketika tiba waktu Maghrib (waktu berbuka puasa), Sunan Dalem dan semua penduduk berbuka bersama di Masjid. Akhirnya Sunan Dalem mendapat Hidayah, Mau’unah serta ‘Inayah dari Allah sehingga beliau sembuh dari sakit yang dideritanya setelah menyantap masakan tersebut.

Masakan tersebut akhirnya dikenal dengan nama Kolak Ayam atau Sanggring. Nama Sanggring berasal dari kata Sang yang artinya Raja/Penggedhe dan Gring yang artinya gering atau sakit. Jadi Sanggring artinya raja yang sakit. Kepatuhan kepada beliau, maka warga Desa Gumeno selalu melanjutkan tradisi tersebut setiap tahun. Juga disebut Kolak Ayam karena bahan utamanya memang berupa daging ayam yang dimasak menggunakan santan sehingga menyerupai kolak. 

Prosesi memasak Kolak Ayam yang pertama tersebut bertepatan pada tanggal 22 Ramadlan 946 H (31 Januari 1540 M). Sunan Dalem kemudian berwasiat kepada semua penduduk agar tiap-tiap tahun pada malam tanggal 23 bulan Ramadhan diadakan Sanggring / Kolak Ayam.  

Dalam membuat masakan Sanggring dibutuhkan bahan-bahan yang semuanya berkhasiat bagi kesehatan tubuh, yaitu : bawang daun, jinten, kelapa, gula merah dan ayam kampung.

Dalam prakteknya tradisi ini tidak hanya diikuti oleh warga desa Gumeno atau Gresik saja melainkan kedatangan tamu dari berbagai daerah lain. Ada yang mengaku diberi petunjuk oleh kyai dimana mereka tinggal untuk mencoba kolak ayam yang dipercaya menyembuhkan berbagai macam penyakit. 

Di dalam tradisi sanggring sendiri tidak pernah ada perubahan–perubahan dalam pelaksanaannya. Masyarakat Desa Gumeno melestarikan tradisi ini dari asal mula terjadinya hingga sampai sekarang ini selalu diusahakan sama dari proses memasaknya, bahan-bahannya, hingga tempat dilaksanakannya. Cara memasaknya pun  tetap menggunakan tungku dan kayu bakar. 

Meski demikian ada beberapa hal yang sedikit demi sedikit berubah yaitu, alat memasak yang digunakan berupa kuali dan alat memasak yang lainnya sudah tidak lagi asli lagi dari masa Sunan Dalem. Ini dikarenakan alat-alat memasak itu sendiri sudah terlalu tua dan rapuh bahkan sudah hancur hingga benar-benar tidak dapat digunakan lagi, sehingga digunakan kuali aluminium, bukan tanah liat.  

 Selain itu, pada masa Sunan Dalem, digunakan  ayam kampung jago. Tetapi sekitar tahun 90-an, tidak hanya menggunakan ayam jago, tetapi juga ayam betina, karena  bertambahnya jumlah kolak ayam yang dibuat setiap tahun. Seperti tradisi sanggring yang dilaksanakan pada tahun 2014, membutuhkan 210 ekor ayam kampung untuk membuat 2.200 porsi kolak ayam. Yang penting adalah menggunakan ayam kampung. 

Yang juga menarik dari tradisi ini adalah pembuat kolak ayam semuanya adalah orang laki-laki tanpa ada seorangpun perempuan yang ikut membuat kolak ayam. Pada budaya masyarakat Jawa, umumnya memasak diidentikkan dengan peran yang dilakukan perempuan, karena peran tersebut berkaitan dengan nilai kelaziman perempuan Jawa, yaitu perempuan sebaiknya berada di dalam rumah. Namun sejak tahun 1987 terdapat keterlibatan perempuan namun hanya memasak ketan, memarut kelapa dan membersihkan bulu ayam. Kedua kegiatan ini tetap dilakukan di rumah masing-masing. Parutan kelapa dan ayam yang sudah bersih dari bulu tersebut diantarkan ke masjid setelah sholat teraweh untuk dilanjutkan oleh orang laki-laki. 

Dari tradisi ini dapat ditemukan beberapa fenomena, yaitu:

1. Fenomena sosial: Dari pelaksanaan tradisi sanggring terdapat fenomena yang melahirkan kerjasama di dalamnya. Misalnya, adanya pembagian tugas dalam pembuatan kolak ayam, pemilihan orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing, seperti ahli memasak, ahli memilih bahan, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan sebuah tradisi, masyarakat akan menampakkan sebuah rutinitas yang akan dilakukan secara rutin. Rutinitas ini melahirkan sebuah etika baru dan adat istiadat yang dijalankan oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat tersebut akan mampu mempunyai harapan yang selalu ingin diujudkan

2. Makna Budaya.  Tradisi tersebut menjadi jatidiri dan identitas bagi pendukungnya karena sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat Desa Gumeno. kebudayaan ditempatkan sebagai keseluruhan ‘cara hidup’ suatu masyarakat yang diwariskan, dipelajari, dipelihara dan dikembangkan dari generasi ke generasi sesuai dengan tuntutan lingkungan hidup yang dihadapi.  

3. Makna Ekonomi.  Dalam pelaksanaan tradisi sanggring, terdapat peran pedagang  ayam, pedagang kelapa, pedagang gula jawa, maupun yang lainnya dalam mencukupi kebutuhan pembuatan kolak ayam. Sumber dana didapat dari masyarakat Gumeno yang melakukan iuran yang dijadikan dalam bentuk kupon.  

4. Makna religi. Masyarakat melaksanakan tradisi sanggring didasari atas rasa ketaatan terhadap seorang keturunan insan kamil (orang suci), yaitu Sunan Dalem yang merupakan putra dari Sunan Giri. Ketaatan ini dapat dianggap sebagai ibadah yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan acara ini pada bulan Ramadhan,  tanggal 22 Ramadhan atau malam 23, dipercaya sebagai masa-masa yang penuh barokah sebagai malam-malam turunnya Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.   

Disamping itu tradisi ini mengandung makna simbolis terkait dengan waktu dilaksanakannya, tempat pelaksanaan, para pembuatnya, ubarampe  atau bahan-bahan yang digunakan dalam kolak ayam, serta doa yang dibaca saat pelaksanaan tradisi sanggring

 

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Warga Desa / Masjid Jami’ Sunan Dalem

Desa Gumeno Kec. Manyar Kab. Gresik

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

DIDIK WAHYUDI

Jl. Rambe No. 17 Desa Gumeno, Kec. Manyar Kab. Gresik

082213132222

didikwah@gmail.com

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047