Kiprah Glipang

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900989
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

 

Tari Glipang adalah tarian yang merupakan kebiasaan masyarakat Kabupaten Probolinggo yang akhirnya menjadi tradisi. Glipang sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu Gholiban yang artinya kebiasaan. Tari tersebut diwariskan secara turun-menurun sehingga masih dapat bertahan hingga sudah menurun empat generasi. 

Dari sejarahnya, Glipang bukan sekadar tarian, melainkan  menggambarkan keberanian prajurit yang gagah berani dalam upayanya mengusir penjajah Belanda. Bahkan ada semboyan khusus terkait dengan keberanian para prajurit ini “katembheng poteh mata angok poteh tolang”. Maksudnya, lebih baik mati dari pada menanggung malu di tangan penjajah. Tarian dengan napas Islam itu juga menjadi karakteristik warga Probolinggo yang memiliki religiusitas tinggi. 

Menurut penuturan Suparmo (67), asal usul Tari Glipang bermula dari Sardan,  seorang seniman dari desa Omben, Sampang. Karena berebut mengembangkan tari topeng di Madura lantas dia hijrah ke desa Pendil Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo. Tetapi  tari topeng yang dikenalkan Sardan ditolak warga setempat. Alasannya, tarian tersebut menggunakan gamelan yang identik dengan aktivitas tarian yang mana aurat penarinya terbuka. Karena itu, dia berpikir keras untuk memunculkan seni tari baru yang cocok untuk warga lokal. Sayang, sampai meninggal dunia, dia belum bisa mewujudkan ambisinya tersebut. Akhirnya, cita-cita itu coba diwujudkan Seno, putra Sardan.

Bersama Asia alias Bu Karto, anaknya, Seno akhirnya berhasil mewujudkan tarian yang cocok untuk warga setempat pada 1935. Tarian itu bermula dari aktivitas Seno yang kemudian berjuluk Sari Truno yang menjadi mandor tebu di Pabrik Gula Gending yang dikuasai Belanda. 

Temperamennya yang keras serta nasionalismenya yang tinggi membuatnya sering konflik dengan tentara Kompeni Belanda yang dikenal sewenang-wenang. Karena jiwa nasionalismenya itulah, dia lantas menghimpun kaum pribumi untuk membentuk perkumpulan pencak silat. Dengan keberhasilan Sari Truno mengajarkan ilmu beladiri, akhirnya mampu mengatasi kesombongan sinder-sinder Belanda. Tetapi aktivitasnya berlatih silat bersama kawan-kawannya itu akhirnya diketahui Belanda. Dia dituduh hendak memberontak. 

Untuk mengelabui Belanda, gerakan pencak silat itu dia iringi dengan musik. Harapannya, Belanda tak lagi menaruh curiga. Belanda pun percaya. Terciptalah kemudian warna muslim gholiban yang berarti kebiasaan terus-menerus. Lambat laun, ekspresi perlawanan dalam bentuk seni tersebut menjadi sebuah ekspresi seni yang nyata dengan nama Tari Glipang. 

Dalam tarian Glipang, mempunyai tiga gerakan. Tiap-tiap gerakan tarian tersebut mempunyai makna dan cerita pada saat diciptakan. 

Pertama, tari olah keprajuritan atau yang biasa disebut dengan Tari Kiprah Glipang. Tari Kiprah Glipang ini menggambarkan ketidakpuasan Sari Truno kepada para penjajah Belanda. Ciri khas tarian ini memperlihatkan nafas besar yang diartikan sebagai ungkapan rasa ketidakpuasan terhadap penjajah pada masa itu. Bahkan semangat perlawanan itu juga tercermin pada riasan yang sangar dan kostum serta aksesorisnya menggambarkan seorang prajurit. Gerakannya merupakan paduan dari gerakan Rudat, kesenian Topeng Gethak Madura, seni hadrah, gerakan samman, dan pencak silat. 

Dalam hal tata rias, melambangkan karakter seorang prajurit yang kuat, dan pantang menyerah melawan penjajah dan siap tempur. Busana dengan warna merah dan hitam melambangkan keberanian dan tidak pernah takut yang menjadi simbol orang Madura yang tidak kenal ampun apabila ada orang yang mengganggunya. Aksesoris selain untuk memperelok penampilan, mempunyai makna sendiri seperti odeng sebagai ikat kepala, yang menjadi ciri khas Madura. Dan sebagai identitas seorang prajurit yang berani seperti rompi, sabuk blangdang, lancor, sampur, dan peralatan perang seperti gungseng dan keris. 

Dalam tarian Glipang, mempunyai tiga gerakan. Tiap-tiap gerakan tarian tersebut mempunyai makna dan cerita pada saat diciptakan. Jiwa Sari Truno yang sering bergolak melawan prajurit-prajurit Belanda pada waktu itu diekspresikan melalui bentuk tari ini. Tari Glipang yang telah diciptakan oleh Sari Truno benar-benar serasi dan sejiwa dengan pribadi penciptanya. 

Kedua, Tari Papakan yang mempunyai makna pertemuan dua orang setelah lama berpisah. Digambarkan Anjasmara bertemu dengan Damarwulan. Dimana waktu itu Damarwulan diutus untuk membunuh Minakjinggo. Akhirnya Damarwulan berhasil dengan dibantu oleh dua  istri Minakjinggo. Tapi sebelum bertemu Anjasmara, Damarwulan dihadang oleh Layang Seto dan Layang Kumitir di Daerah Besuki. Penari perempuan pada Tari Papakan hanya memakai aksesoris sunggar bunga dan gungseng. 

Ketiga, Tari Baris yang menggambarkan para prajurit Majapahit yang berbaris ingin tahu daerah Jawa Timur. Waktu itu prajurit Majapahit tersebut berbaris di daerah Jabung untuk mengetahui daerah Jawa Timur. Awalnya tari ini berawal dari badut, lawak, dan kemudian berubah menjadi cerita rakyat. Tari Baris juga menggambarkan kegembiraan prajurit setelah menang dalam perang. Aksesoris yang digunakan adalah kelat bahu, sorban, simbar, dan samper/jarit yang dimaknai sebagai bentuk ekspresi kegembiraan prajurit yang menang dalam perang. 

Dalam perkembangannya, tari Kiprah Glipang yang merupakan bagian pertama dari tari Glipang ini lebih terkenal sehingga tari Glipang juga populer disebut Tari Kiprah Glipang. 

Untuk mengenang jasa Sari Truno, maka pewaris-pewaris mengembangkan ilmu beladiri dan diubah menjadi gerak tari yang kemudian dinamakan “Tari Glipang”, sebagian besar terdiri dari unsur-unsur gerak silat yang diperbarui sedemikian rupa.  Tarian ini didominasi oleh gerakan patah-patah dan kostum yang digunakan merupakan suatu bentuk penggambaran kebudayaan Suku Madura. Tarian ini kemudian menjadi salah satu ikon kabupaten Probolinggo. Keberadaan Tari Glipang sendiri patut dibanggakan mengingat terdapat unsur perjuangan yang melekat di dalamnya. Selain dapat menghibur dalam tiap pertunjukannya. 

Tari ini juga untuk mengingat sejarah masa lampau tentang arti perjuangan leluhur dalam upayanya melawan aksi kekejian penjajah Belanda. Perlawanan dalam bentuk simbolis kesenian ini dimaksudkan untuk mengapresiasi keberanian prajurit dalam melawan penjajah. Selain itu tari Glipang juga mengandung edukasi di dalamnya, yaitu pendidikan karakter berupa rasa cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, suka menolong dan gotong royong.   

Seiring perjalanan waktu,  eksistensi Suparmo di dunia seni sudah mulai menurun, sebanding dengan usianya yang semakin menua. Hal ini menimbulkan kecemasan di dunia kesenian Kabupaten Probolinggo, beruntung ada M. Natsir yang mau dan siap untuk menggantikan peran Suparmo. Sehingga tampuk pimpinan Tari Glipang juga diambil alih olehnya, tentunya dengan persetujuan semua pihak terutama Suparmo.  

Meski demikian, tarian ini masih memegang teguh aturan yang ada dan berlaku pada masyarakat dan masih menggunakan alat yang tradisional. Alat musik yang terdiri dari lima jenis alat musik dimaknai sebagai simbol ajaran Agama Islam yang berisi ajakan atau anjuran untuk berbuat baik, dan juga larangan yang tidak boleh dilakukan. Kalau semula berupa gamelan, berubah menjadi berubah menjadi ketipung lanang, ketipung wedok, kecrek, terbang, dan jidor

 

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

M. Nasir/ Sanggar “Putra Andika”

Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo

082335343706

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Suparmo

Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047