Hodo

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900991
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

 

Hodo adalah nama sebuah upacara ritual di dusun Pariopo, Desa bantal, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo Jawa Timur. Ritual ini merupakan kolaborasi dari seni musik, tari,  seni rupa dan seni resitasi, yang dipercaya dapat memberikan keselamatan dan mendatangkan hujan.   Kata Hodo berasal dari bahasa Madura Do Hodo maknanya “di atas langit masih ada langit” 

Upacara ini dilakukan berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup di kalangan warga Dukuh Pariopo, Desa Bantal, biasanya dilakukan bulan September – Oktober setiap tahun. Ritual Hodo ini sudah berlangsung 5 (lima) generasi. Pada mulanya ritual ini dilaksanakan secara sederhana oleh beberapa kelompok kecil di padukuhan Pariopo, namun setelah diresmikan oleh pemerintah kabupaten Situbondo tahun 2005 maka penyelenggaraannya dilakukan secara bersama dan meriah.  

Penduduk setempat percaya bahwa tradisi ini terkait dengan mitos perjalanan Raden Damarwulan, seorang tokoh dari Kerajaan Majapahit. Dikisahkan, Raden Damarwulan, keponakan dari Patih Logender seorang pejabat kerajaan Majapahit ditugaskan untuk memerangi Kadipaten Blambangan yang dinilai mbalelo (membangkang) terhadap pusat kerajaan. Setelah berhasil menaklukkan Blambangan, Raden Damarwulan dan prajuritnya kembali ke Majapahit melalui rute utara. Pada saat tiba di tempat kering dan tandus yang diapit oleh dua bukit (tempat ini kemudian dikenal dengan nama “Dukuh Pariopo”), mereka kehausan dan kelaparan.

Mereka lalu membuat batu tomang (tungku) sebagai tempat untuk memasak. Namun karena kesulitan air, Raden Damarwulan lalu bersemadi di sebuah gua. Dalam semadi tersebut Raden Damarwulan mendapat petunjuk agar memotong hewan kurban berupa kambing berwarna hitam di kaki Gunung Masali, dan membuat sajian di sekitar batu tomang (beto tomang) sebagai sarana memohon hujan kepada Yang Mahakuasa. Petunjuk tersebut dijalankan, dan tak lama kemudian hujan turun menyelamatkan warga dari bencana kekeringan.

Upacara Hodo diawali dengan pembakaran dupa wangi yang dilakukan oleh pemangku spiritual. Kidung tua dilantunkan oleh seorang pelaku ritual dan sesekali diikuti oleh para penari. Pada akhir kidung semua pelaku ritual membunyikan tabuhan secara bersahutan, dilanjutkan dengan melantunkan pujian. Para pengrawit membunyikan gamelan dan para penari menggerakkan tangan dan kepala yang menggambarkan penyembahan dan permohonan kepada Sang Pencipta. Para penari menggerakkan tubuhnya dengan khidmat untuk memohon turunnya hujan. Di bagian akhir para penari menarikan tarian suka ria yang menggambarkan bahwa permohonannya dikabulkan oleh Sang Pencipta, diikuti para peserta lain. Pemangku spiritual menaburkan bunga sebagai pertanda selesainya seluruh rangkaian upacara.

Karena itulah ritual Hodo dilakukan sebagai ungkapan puji syukur yang tiada tara kepada Gusti sang penguasa yang telah mengabulkan permohonan R. Damar Wulan dengan memberikan rahmatnya berupa turunnya hujan, sehingga selamatlah dari kehausan dan bencana kekeringan. Tanaman pun hidup subur, ternak menjadi segar dan kehidupan menjadi makmur. 

Urut-urutan upacara Ritual Sakral minta hujan Hodo dilaksanakan dengan serangkaian ritual, sebagai berikut; 

a. BERSUCI atau PESUCEN. Semua pelaku Hodo meliputi pemangku ritual, pengrawit, pelaku tari, dan orang-orang yang ikut dalam upacara ini  melakukan mandi  keramas dan bersuci (berwudlu) satu persatu di sumber pesucian mata air Se Capcap (air yang menetes, bahasa Madura) yang terletak di dinding sebuah bukit di sebuah lembah yang cukup jauh dari desa Bantal. Pasucen ini dilaksanakan sore hari dipimpin oleh pemangku ritual agar dalam pelaksanaan semuanya bersih suci lahir dan batin. 

b. SEMEDI. Semua pelaku Hodo, meliputi pemangku ritual, pengrawit, pelaku tari, dan orang-orang yang ikut dalam upacara ini  melakukan semedi / berdoa semalam suntuk (melekan) di gua Macan untuk memohon kepada Tuhan penguasa Jagad Raya, agar apa yang akan dikerjakan esok harinya mendapat ridhoNYA. Goa Macan ini dipercaya pernah digunakan oleh Raden Damar Wulan ketika melakukan semedi memohon turun hujan. 

c. BERKURBAN. Dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur terhadap Tuhan berdasarkan kisah Raden Damar Wulan yang menyembelih kambing berwarna hitam yang terdapat di gunung Masali setelah bersemedi di Goa Macan. Karena itu pelaku ritual ini juga menyembelih kambing berwarna hitam sebagai kurban dan dijadikan sesajen ketika pelaksanaan ritual Hodo. 

d. TUMPENG AGUNG. Dengan memakai busana hitam-hitam, mengenakan udheng (ikat kepala) berwarna merah dan hitam, selendang dan asesoris gelang dan ikat pinggang dari janur, semua pelaku tari, pengrawit dan generasi penerus dengan dipandu oleh pemangku spritual  memikul tumpeng agung, daging hewan kurban, serta sesajen lainnya, dan panji – panji serta bakaran dupa harum yang terus mengeluarkan asapnya menuju ke altar pemujaan yaitu Batu Tomang (batu besar menyerupai tungku untuk memasak). 

e. PELAKSANAAN. Setelah sampai di tempat pelataran Batu Tomang dan panji – panji sudah ditancapkan, maka pemangku ritual mengelilingi tempat sambil menebarkan asap dupa, kemudian seorang pelaku mendendangkan sebuah kidung tua yang merupakan mantra ritual dalam bentuk Kidung Pamoji yang sesekali diikuti oleh para penari. Mantera berbahasa Madura tersebut memberikan gambaran kepada sekumpulan orang yang mewakili penduduk desa untuk meminta hujan. Penyajian dalam pembacaan mantera tersebut merupakan sebuah bentuk seni restasi. Sementara itu para pelaku ritual lainnya berdoa dengan menggerakkan tangan dari atas ke bawah secara perlahan berulang-ulang sebagai refleksi permohonan kepada Tuhan agar diturunkan hujan. Setelah itu pengrawit memainkan instrumennya dengan tempo yang konstan. Pada puncak acara semua penari menari sambil berjalan mengelilingi sesajen dengan iringan musik dan mantera tembhang pamoji, kemudian satu persatu peserta upacara diajak menari bersama. Ritual Hodo diakhiri dengan berdoa dan makan bersama. Berakhirnya ritual ini biasanya juga ditandai dengan turunnya hujan di tempat ritual dilaksanakan.  

Makna simbolik yang ditemukan dalam ritual ini adalah mengajak masyarakat agar bersahabat dengan alam, menjaga kerukunan, dan tetap mengingat terhadap kekuasaan Yang Maha Kuasa sebagai penentu nasib manusia dan alam semesta. Disamping itu juga mengandung aspek estetis melalui keberagaman seni di dalamnya yang menyatu dengan pengalaman religius. Format musik ritual Hodo berupa ansambel sederhana, terdiri dari gong, dua bonang, seruling, kecrek dan kendang. Demikian pula gerakan tari juga sangat sederhana yang disebut nandheng (bahasa Madura). Unsur seni rupa dapat dilihat dari penataan kostum dan sesajen yang dihias untuk kebutuhan ritual.

Seiring perjalanan waktu, Ritual Hodo mengalami beberapa perubahan, terutama dengan masuknya agama Islam yang oleh para wali pada waktu itu Ritual Hodo tetap tidak dilarang dan justru digunakan sebagai media syiar agama. Ritual Hodo sudah bernafas Islam walau masih ada yang tetap dipelihara untuk menjaga eksistensi keasliannya dengan tidak bertentangan dengan syariat Islam

 

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Masyarakat Pedukuhan Pariopo

Padukuhan Pariopo Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo

081358053407

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Imam Kutunuk

Kelurahaan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo

085336085328

Hari

Asembagus

081358053407

Ki Absu

Dusun Pariopo, Desa Bantal, Kec. Asembagus

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047