Mamaca Situbondo

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900993
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

 

Mamaca (Mamacah) adalah salah satu seni tradisi yang hidup dalam masyarakat Madura dan juga berkembang ke daerah Pandalungan, termasuk Situbondo. Istilah mamaca berasal dari bahasa Madura yang memiliki arti 'membaca' dan memiliki kedekatan makna dengan istilah macapat di Jawa. Mamaca merupakan sebuah kegiatan membaca teks berupa puisi atau cerita dengan cara dilagukan/dinyanyikan dalam bentuk tembang (tembhang) dan dijelaskan/diinterpretasi (tegghes) dalam bahasa Madura. Teks yang dibacakan ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu, ada juga yang menggunakan huruf Arab Pegon dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo. 

Dalam tradisi mamaca terdapat dua peran pelaku seni, yaitu tukang baca (tokang maca/pamaos) dan juru ulas (tokang tegghes/panegghes/pamaksod). Tukang baca memiliki peran membaca teks cerita dengan cara menyanyikannya dalam bentuk tembang. Kemudian dilanjutkan oleh juru ulas yang berperan menerangkan secara langsung apa yang baru saja ditembangkan. 

Teks mamaca ada beragam jenisnya di antaranya yaitu Nor Bhuwwat yang berisi kisah Kanjeng Nabi Muhammad. Pandhaba berisi kumpulan cerita Pandawa, dan Juwar Manik. Biasanya pemilihan teks yang dibacakan menyesuaikan dengan konteks acaranya. 

Di Situbondo mamaca biasa digunakan dalam dua jenis acara yakni acara yang bersifat sakral seperti Rokat Pandhaba (ruwat anak pandawa). Meret Kandung (selamatan kehamilan), Molotan (peringatan maulud Nabi) dan Isra' Mi'raj (peringatan Isra’ Mi'raj); serta acara yang bersifat hiburan atau tak resmi yaitu kompolan mamaca (perkumpulan mamaca). arisan mamaca (arisan mamaca), dan pertunjukan. 

Teks Pandhaba dibacakan khusus untuk acara meruwat anak. Nor Bhuwwat dibacakan untuk Meret Kandung, Molotan. dan peringatan Isra’ Mi’raj, sedangkan untuk acara hiburan umumnya membacakan teks cerita Juwar Manik. Selain itu teks Nor Bhuwwat juga umum dipakai untuk oghem (meramal). Sebagian orang Madura masih percaya bahwa teks Nor Bhuwwat memiliki nilai magis dan dipercaya mampu membaca nasib dan karakter seseorang. Menurut penuturan pelaku, oghem merupakan pembacaan atas dirinya sendiri (maca aba'na dhibi'). 

Mamaca pada dasarnya merupakan seni tradisi yang menonjolkan aspek suara (vokal).  Semua tergantung pada kekuatan imajinasi yang diaktualisasikan oleh gaya tutur tokang maca dan juru ulas. Teknik vokal yang tinggi merupakan turunan dari teknik dhalang pewayangan ataupun dhalang topeng. Mereka mampu menghidupkan kata, dialog dan deskripsi dalam bentuk estetik. Suara berkarakter teater itulah kekuatan dari seni tradisi mamaca, dan sebenarnya bisa dikatakan sebagai bentuk seni pertunjukan yang tidak visual. 

Bentuk pertunjukan mamaca ada bermacam macam. Bouvier membagi repertoar mamaca menjadi tiga yaitu repertoar naratif yang terdiri dari careta; repertoar prosodis yang terdiri dari tembhang; dan repertoar musikal yang terdiri dari ghendhing. Penyajian ketiga bentuk tersebut sebenarnya bergantung pada selera dan kekuatan ekonomi si penanggap atau pemilik hajat. Bentuk yang paling sederhana ialah melakukan mamaca tanpa iringan musik instrumental, artinya hanya ada peran tokang maca dan juru ulas. Paling sedikit dilakukan oleh 2-6 orang, l orang sebagai juru ulas, dan sisanya bergantian menembangkan teks. 

Beberapa jenis tembang yang dijadikan pedoman dalam melagukan teks mamaca Madura adalah tembhang Kasmaran, Senom, Salanget, Pangkor,  dan Pucung. Bentuk yang lainnya ialah menambahkan instrumen suling bambu  untuk memperindah melodi vokal si penembang (tokang maca). Bentuk yang paling lengkap dalam pertunjukan mamaca dikenal dengan istilah ghendhiran, yaitu menembangkan teks mamaca dengan iringan musik ghendhing dari beberapa instrumen gamelan Madura (klenengan) dan tari- tarian (tanda') 

Diperkirakan Mamaca lahir seiring dengan budaya Arab yang dibawa Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam sehingga turut memengaruhi pembentukan budaya di Jawa dan Madura melalui proses akulturasi.   Namun sumber yang lain menyebutkan bahwa Mamaca justru sudah ada sebelum Wali Sanga yang disebut Macapat dan banyak berkembang di Jawa.  Teks mamaca digunakan untuk syiar Islam di tanah Jawa dan  Madura. Wali Sanga melakukan syiar Islam dengan cara-cara kultural. Nilai-nilai Islam diinternalisasi ke dalam budaya lokal, tanpa menghilangkan esensi utamanya, sehingga nilai-nilai Islam lebih mudah diterima.  

Wali Sanga menginternalisasi nilai-nilai dan akidah ke-Islam-an ke dalam narasi cerita Mahabarata (pandhaba) tersebut. Kisah pandawa lima yang tadinya bernuansa Hindu kemudian menjadi bernafas Islam, dimana pandawa lima identik  dengan rukun Islam. Tokoh Batarakala tidak diasosiasikan sebagai makhluk gaib namun dihubungkan dengan sifat-sifat amarah yang dimiliki oleh setiap umat manusia.  

Mamaca bisa dikatakan pengembangan macapat Jawa dalam versi Madura. Selain pertemuan unsur budaya Jawa dan Arab, mamaca turut mengandung unsur budaya Madura yang dominan. Mamaca dalam masyarakat Madura bentuknya kompleks karena ada unsur tafsir di dalamnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tradisi mamaca berasal dari Jawa. Sebagian besar tokang maca dan juru ulas mamaca sebenarnya bukan berasal dari etnis Jawa. Mereka tidak biasa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa. Mereka menembangkan teks mamaca berbahasa Jawa dengan logat Madura yang kuat, terkadang juga mencampurnya dengan bahasa Madura, jika ada beberapa kosa kata yang tidak dipahami. 

Nilai-nilai yang terdapat dalam mamaca adalah sebuah petuah-petuah untuk menjalani hidup lebih baik, taat beribadah, menjalankan perintah agama, menyontoh kehidupan Nabi Muhammad SAW.  Namun juga memiliki nilai fungsi sebagai hiburan yang memiliki kandungan nilai-nilai Islami. 

Namun demikian Mamaca pada kondisi hari ini tinggal menanti waktu untuk benar-benar hilang digilas zaman. Hampir semua kelompok mamaca di Situbondo putus regenerasi, bahkan sudah banyak beberapa pelaku yang meninggal dunia tanpa meninggalkan pewaris atau penerusnya. 

Berdasarkan wawancara dengan para pelaku, setidaknya ada beberapa persoalan yang membuat kesenian ini mulai ditinggalkan yaitu; 

1.   Bentuk mamaca yang sederhana juga dinilai ketinggalan zaman. Menurut Sami'an, sejak maraknya televisi, orang-orang di desanya sudah tidak lagi betah menonton dan mendengarkan mamaca yang memakan waktu lama dan membutuhkan perenungan mendalam.  

2.  Mamaca adalah seni tradisi yang membutuhkan kemampuan intelektual, kreativitas, emosional dan teknik/praktik keterampilan yang tinggi.  Sulitnya membaca teks Arab berbahasa Jawa, menerjemahkannya ke dalam bahasa Madura dan menyanyikannya dalam bentuk tembhang tertentu, membuat kesulitan generasi muda saat ini.  Akibatnya, pewarisan seni tradisi mamaca tidak berjalan dengan baik.

 

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Rukun Sampurna

Dsn. Tunggul Gunung Rt-01/01

Sabar Utomo

Kp. Cottok Rt.03 Rw.01

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Supandi

Kp. Cottok Rt.03/01

085258975838

Diwanto (Suli Hasanah)

Dsn. Tunggul gunung Rt-01/01

082384171611

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047