Perang Timbung

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001192
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Nusa Tenggara Barat
Responsive image
Tradisi Perang Timbung dilaksanakan oleh masyarakat suku Sasak yang ada di Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah NTB. Tradisi ini dilaksanakan dengan melemparkan timbung (sejenis lemang) yang telah dipersiapkan sehari sebelumnya. Dalam pelaksanaannya masing-masing pihak baik kelompok yang ada di areal makam serewa dengan kelompok yang ada di jalanan dan mereka berusaha agar setiap lemparan timbungnya berhasil mengenai pihak lawan. Tradisi Perang Timbung dilaksanakan setiap bulan 4 menurut penanggalan adat Sasak dan ditandai dengan berbunganya pohon Dangah yang ada di komplek makam serewa. Perang Timbung ini dilaksanakan pada hari Jumat bisa minggu pertama, kedua maupun minggu ke tiga dan pantang untuk dilaksanakan pada minggu ke empat. Sebelum pelaksanaan tradisi Perang Timbung dilaksanakan para tokoh agama, pemuka masyarakat dan sesepuh desa mengadakan pertemuan untuk mematangkan dan menyukseskan jalannya tradisi ini. Warga desa Pejanggik mempersiapkan segala keperluan dengan cara bergotong royong. Tradisi Perang Timbung yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pejanggik merupakan perwujudan rasa bakti dan hormat kepada para leluhur, mempererat tali silaturahmi dan tidak jarang pada kesempatan ini juga digunakan sebagai ajang pencarcari jodoh, di kalangan pemuda dan pemudi dari Pejanggik maupun dari luar desa Pejanggik. Perang Timbung bagi masyarakat Pejanggik memiliki fungsi ritual, hal ini nampak dalam perilaku religius guna mencari hubungan dengan Tuhan, dengan manusia maupun dengan alam lingkungan. Sebagai masyarakat muslim perilaku tersebut terlihat ketika beberapa tokoh agama melaksanakan sarakalan, pembacaan al barzanji yang merupakan syair-syair pujaan diperuntukkan kepada Allah SWT di komplek makam Serewa. Selain fungsi tersebut juga terkandung fungsi musyawarah, fungsi silaturahmi dalam tradisi perang timbung tidak hanya melibatkan masyarakat Pejanggik saja melainkan juga warga dari desa lain di sekitar desa Pejanggik. Pelaksanaan tradisi Perang Timbung melibatkan seluruh warga masyarakat yang ada di desa Pejanggik. Di sini mereka memiliki kesempatan untuk saling bnerinteraksi, berbincang-bincang, dan saling mengenal lebih dalam antara warga yang satu dengan yang lainnya. Jika pertemuan dalam acara perang Timbung membawa kesan positif dan menimbulkan rasa suka terhadap seseorang terutama lawan jenis, maka peretemuan dalam perang timbung dapat berlanjut untuk saling mengenal lebih dalam. Tidak sedikit pertemuan dan pergaulan di arena Perang Timbung bisa berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. Tradisi Perang Timbung juga kaya akan nilai seperti nilai syukur yang merupakan perwujudan atau ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta baik dalam berbagai bentuk perilaku maupun cara yang berbeda-beda. Rasa syukur terutama sebagai ungkapan atas keberhasilan panen yang telah dicapai. Nilai yang lain adalah nilai religius yang merupakan unsur-unsur ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama yang dianut. Di samping itu nilai yang terkandung adalah nilai integrasi atau kebersamaan yang merupakan bagian dari nilai solidaritas atau saling memahami antar individu. Nilai ini tercermin tatkala masyarakat desa Pejanggik mengumpulkan kayu bakar berupa sangkal membuat timbung dan proses pelaksankan perang timbung. Semua nilai budaya yang terkandung dalam prosesi perang timbung dapat dipetik dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. PERBAIKAN USULAN PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA PERANG TIMBUNG (PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT) 1. Aspek Kesejarahan Sejarah dan asal-usul pelaksanaan Perang Timbung di desa Pejanggik Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah terdiri atas beberapa versi yang masing-masing memiliki persamaan maupun perbedaan. Masing-masing versi dapat diuraikan sebagai berikut. · Versi 1 Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, Perang Timbung merupakan tradisi masyarakat Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah NTB. Perang timbung mulai dilaksanakan pada masa berdirinya Kerajaan Poh Jenggi yang lebih sering disebut Pejanggik. Kerajaan Pejanggik berdiri sekitar abad ke-14 (Dias Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah, 2008:22). Pada saat itu Kerajaan Pejanggik masih merupakan kerajaan lokal dengan wilayah yang sempit dengan raja pertama bernama Mas Komala Dewa. Pada abad ke-16 Kerajaan Pejanggik memiliki kekuasan yang cukup besar, dan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Pemban Mas Meraja Kusuma (Monografi Daerah NTB, 1997:16). Konon, ketika Kerajaan Pejanggik sedang diperintah oleh Raja Dewa Mas Pemban Meraja Kusuma kondisi kerajaan mengalami ketidakharmonisan atau konflik internal kerajaan yang dapat menyebabkan kehancuran hidup masyarakat. Sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana, Raja Dewa Mas Pemban Meraja Kusuma berupaya mengatasi permasalahan di wilayah kerajaannya. Sang Raja pun melakukan persemedian, dalam semedinya baginda mendapat petunjuk bahwa negerinya akan mengalami keruntuhan. Kemudian sang raja mengakhiri semedinya dengan memanggil seluruh punggawa kerajaan, semua tabib, dan para ulama untuk membahas dan mengatasi masalah di wilayah kerajaan. Raja dan para tokoh masyarakat tersebut membahas permasalahan berminggu-minggu tanpa memperoleh keputusan yang tepat. Rapat berlangsung sangat alot, kemudian seorang pandite sepuh (tokoh adat atau tokoh masyarakat) menyarankan kepada raja untuk mengantisipasi semua hal itu dengan melakukan ritual tolak bala dengan membuat timbung yaitu sejenis kue lemang yang terbuat dari beras pulut/ketan dicampur dengan perasan santan kental dan dibungkus dengan bilah bambu. Saran tersebut diterima oleh sang raja. Sang raja kemudian memerintahkan jajarannya untuk mengumpulkan rakyat dan memberitahukan bahwa Kerajaaan Pejanggik akan mengalami bencana. Salah satu cara untuk mengantisipasi bencana tersebut adalah membuat dengan melakukan upacara tolak bala dengan sesajen timbung sebagai persembahan kepada Sang Pencipta. Setelah memilih waktu yang tepat, upacara mempersembahkan timbung pun dilakukan dengan melibatkan seluruh warga masyarakat. Setelah pelaksanaan upacara perang timbung, hujan turun dan warga sudah mulai menggarap hasil pertanianya. Sejak saat itu perang timbung tersebut merupakan salah satu fatwa yang dititahkan oleh Datu Poh Jenggi (Raja Pejanggik) agar selalu dilaksanakan untuk memehon kesehajteraan ke hadapan Tuhan yang Maha Esa. Setelah Kerajaan Pejanggik runtuh, ritual mempersembahkan timbung yang dirangkai dengan perang timbung tetap berlangsung secara turun-temurun. Perang timbung dilaksanakan satu kali dalam setahun karena dianggap sebagai fatwa yang dititahkan oleh Datu Poh Jenggi (Raja Pejanggik). Saat ini pelaksanaan tradisi perang timbung diawali dari lokasi bale beleq (bekas bangunan istana Raja Pejanggik) dan di Makam Seriwa (konpleks makam keluarga Raja Pejanggik). Perjalanan mengarak timbung diawali dari bale beleq berjalan kaki menuju Makam Seriwa diringi seluruh anggota masyarakat serta berbagai atraksi kesenian tradisional seperti terutama musik tradisional gendang beleq. · Versi 2 Tokoh-tokoh masyarakat Desa Pejanggik menyebutkan bahwa asal usul perang timbung yang berasal dari perjalanan Raja Pejanggik sampai ke makam Serewa ketika terjadinya perang antara Kerajaan Pejanggik dengan Karangasem Bali sekitar tahun 1600. Pada saat itu satu-satunya perbekalan yang praktis dan enak dibawa adalah timbung yang cukup untuk bekal perang. Pada Suatu Hari Raja Pejanggik dan 44 orang pengikutnya naik ke atas Makan Serewa untuk memantau keaadaan musuh. Setelah sampai di atas Makam Serewa semua bekal mereka sudah habis, yang tersisa hanya beberapa timbung. Karena lapar akhirnya raja membagikan timbung kepada seluruh pengikutnya. Setelah timbungnya habis yang tersisa hanya bambunya saja. Bambu-bambu itu kemudian dipukul-pukulkan oleh raja dan pengikutnya sehingga menghasilkan bunyi yang ramai. Karena bunyi yang ramai itulah musuh berfikir bahwa Raja Pejanggik memiliki banyak pasukan akhirnya musuh kembali dan tidak berani menyerang Kerajaan Pejanggik. Mengetahui hal tersebut, Raja Pejanggik memerintahkan untuk melaksanakan Perang Timbung sebagai peringatan bahwa Raja Pejanggik meninggalkan Desa Pejanggik karena perang dan akan kembali lagi ke Desa Pejanggik. · Versi 3. Sejarah Perang Timbung menurut versi lain bahwa perang timbung berawal dari 44 orang pengembala kerbau. Seluruh pengembala tersebut merupakan raja dan pejabat di lingkungan Raja Pejanggik pada saat itu yang menyamar dengan tidak memakai pakaian kerajaan. Orang-orang itu berjalan ke Bale Beleq, sesampainya di Bale Beleq mereka merasa haus. Kemudian salah satu dari mereka menancapkan tongkatnya yang menimbulkan sumur kecil yang keluar air. Dengan sepuas-puasnya ke 44 oarang tersebut minum sambil beristirahat. Setelah 44 pengembala sudah puas minum tetapi untuk kerbaunya mereka harus mencari tempat minum kerbaunya, akhirnya mereka berjalan ke tempat yang bernama embung tani di dekat makam Serewa. Setelah sampai di embung tani mereka membiarkan kerbaunya minum dan berkubang di embung tani tersebut. Sambil menunggu kerbaunya minum dan berkubang ke 44 pengembala itu naik ke Makam Serewa. Di puncak Makam Serewa itulah ke 44 pengembala itu membagi timbung karena pada saat itu timbung adalah merupakan takilan (bekal) untuk para pengembala kerbau. Mereka membagi timbung dengan cara sambil saling lempar seperti bermain perang-perangan. Semakin lama permainan itu dianggap semakin menyenangkan karena bermain sambil makan timbung. Lama-lama permainan tersenut menjadi tradisi Perang Timbung yang lemparannya semakin keras. 2. Siapa yang dimakamkan sehingga makamnya digunakan untuk pelaksanaan perang timbung ? Komplek pemakaman tempat berlangsungnya tradisi Perang Timbung masyarakat desa pejanggik menyebut dengan nama Makam Seriwa atau Makam Serewa. Makam ini diyakini sebagai makam keramat, karena yang dimakamkan di komplek makam tersebut adalah Raja-Raja Pejanggik beserta keturunannya. Makam Seriwa digunakan sebagai lokasi perang timbung karena beberapa keyakinan sebagai berikut. a. Makam Seriwa diyakini sebagai makam raja-raja Kerajaan Pejanggik. b. Makam Seriwa diyakini tempat Raja Pejanggik melakukan ritual timbung untuk memohoh keselamatan. c. Makam Seriwa diyakini sebagai makam dan menghilangnya Raja Pejanggik Pemban Mas Meraja Kusuma pada saat terjadinya perang dahulu sehingga masyarakat menganggapnya meninggal ditempat itu. d. Menurut Lalu Satriawangsa, yang dimakamkan di Makam Serewa bukan hanya makam Datu Pejanggik saja, tetapi juga ayahanda dari Datu Pejanggik yang bergelar Pemban Meraja Bumi. 3. Mengapa Perang Timbung dilakukan di kawasan makam dan di seberang jalan. Perang timbung pada awalnya dilakukan di kompleks Makam Seriwa setelah usai lantunan doa-doa, sarakalan, zikir, dan bersanji. Setelah semua prosesi usai, masyarakat yang hadir di dalam areal makam melaksanakan tradisi saling lempar timbung yang sudah dipotong-potong kecil. Karena minat masyarakat yang tinggi, maka acara saling lempar timbung berlanjut ke halaman luar makam. Kemudian sampai merembet lagi ke jalan raya yang ada di depan kompleks Makam Seriwa. Kebetulan Makan Seriwa terletak pada jalur lalu-lintas antar kabupaten yang cukup padat sehingga seringkali terjadi kemacetan. Ketika masyarakat Desa Pejanggik melaksanakan Perang Timbung harus meminta bantuan polisi untuk mengatur lalu-lintas dengan sistem buka tutup agar distribusi kendaraan dapar berjalan meskipun merayap. Terkait kemcetan lalu-lintas, ada keinginan beberapa pihak untuk memindahkan lokasi perang timbung ke tempat yang lebih luas dan tidak mengganggu arus transportasi. Beberapa tokoh masyarakat Desa Pejanggik mengatakan bahwa pelaksanaan perang timbung bisa saja dilakukan di luar Makam Serewa yang penting tidak jauh dari makam, namun kegiatan zikir dan doa tetap dilakukan di dalam makam. Sebab, kegiatan zikir selain untuk mendoakan arwah leluhur juga sebagai ajang silaturahmi dan mengenang para leluhur atau nenek moyang pada zaman Kerajaan Pejanggik. Di samping itu, kegiatan perang timbung dapat mebangkitkan semangat untuk melestarikan khasanah budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat. 4. Penganggalan Suku Sasak sehingga pantangan minggu ke-4 menjadi jelas Perang Timbung dilaksanakan setiap bulan Agustus, biasanya berlangsung pada minggu ke-3. Berdasarkan kalender tradisional Sasak, pelaksanaan Perang Timbung jatuh pada mangse empat (bulan ke empat menurut perhitungan kalender tradisional Sasak) yang jatuh setiap bulan Agustus. Mangse empat ditandai dengan tumbuhnya bunga pohon kapuk atau randu. Bulan ini diyakini sebagai sebagai lawang taun (pintu tahun) terbuka dan tertutupnya musim tertentu sehingga masyarakat dilarang melakukan aktivitas bertani pada bulan ini. Di Desa Pejanggik, bulan Agustus ditandai dengan berbunganya pohon dangah (sejenis pohon besar yang daunnya rontok dan bunganya mekar pada bulan Agustus) yang ada di Makam Serewa. Jika pohon dangah sudah mulai berbunga, maka para tokoh adat masyarakat Desa Pejanggik melaksakan gunem atau sangkep (rapat) untuk membahas pelaksanaan Perang Timbung. Pada tahun 2019, Perang Timbung berlangsung tanggal 24 Agustus dan telah melakukan persiapan beberapa hari sebelumnya. Tradisi Perang Timbung diikuti oleh seluruh masyarakat Desa Pejanggik. Sehari sebelum perang timbung dilaksanakan, pada hari Jumat Tanggal 23 Agustus 2019 sore, pemangku adat mengambil air suci pada sebuah sumur tua yang terletak di sebuah lembah di sekitar pemukiman penduduk. Air suci tersebut kemudian ditempatkan di bale beleq (istana peninggalan Raja Pejanggik). Keesokan harinya, Sabtu tanggal 24 Agustus 2019 air suci, timbung, beserta sesajen lainnya diarak menuju Makam Seriwa. Sampai di Makam Seriwa kemudian berlangsung prosesi upacara, doa-doa, berzikir , berzanji, dan sarakalan yang diakhiri dengan saling lempat timbung atau perang timbung. Pantangan waktu pelaksanaan Perang Timbung adalah sebagai berikut. · Pelaksanaan perang Timbung menghindari minggu ke-4 atau minggu terakhir bulan Agustus karena ada kepercayaan maliq (pamali) jika melakukan Perang Timbung pada akhir atau penghujung bulan Agustus. Jika itu dilanggar dapat menyebabkan hal-hal yang tidak baik dan diyakini dalam melaksanakan kegiatan menjadi lambat dan selalu berada pada posisi paling akhir. · Pamali jika tidak melaksanakan Perang Timbung karena Perang Timbung merupakan perintah raja. Raja Pejanggik memerintahkan seluruh rakyat melakukan ritual tulak balaq dengan membuat jajan pelemeng (timbung) yang terbuat dari beras ketan dicampur perasan santan. Raja juga memerintahkan seluruh rakyat agar melaksanakan setiap tahun untuk mengansipasi agar tidak terjadi bencana. Upacara dilakukan jika pohon dangah di makam raja kelak, sudah mulai berbunga dan tidak diperkenankan melakukan ritual pada hari Jumat minggu terakhir bulan bersangkutan. Perintah ini ditaati masyarakat Desa Pejanggik hingga saat ini melaksanakan ritual Perang Timbung jika pohon dangah di Makam Serewa mulai berbunga. Sebab ada keyakinan masyarakat, apabila Perang Timbung tidak dilaksanakan akan terjadi bencana yang menimpa masyarakat Desa Pejanggik. Misalnya, banyak orang sakit, tanaman tidak berhasil, terjadi perkelahian di desa, dan sebagainya. · Pelaksanaan Perang Timbung menghindari hari Jumat sepaya tidak menggangu waktu Sholat Jumat sehingga masyarakat dapat melakukan sholat dengan khususk. Persiapan memasak atau membakar timbung dilaksanakan hari Jumat setelah usai melaksanakan sholat Jumat. Keesokan harinya, hari Sabtu pelaksanaan Perang Timbung berlangsung sore hari setelah waktu Azhar dan berakhir samapai sebelum waktu Maghrib.

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Komunitas Karya Budaya

Mastur

Dusun Serewa Kab. Lombok Tengah

0

-

Suhaimi

Dusun Lengkok Mas Desa Pejanggik

0

-

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Maestro Karya Budaya

Zainuddin

Lengkok Mas

0

-

Amaq Dayu

Dusun Ular Naga, Desa Pejanggik

0

-

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
   Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047