Pada tahun 1881 M, di Kota Semarang pada masa Bupati KRMT Purbaningrat, berkembanglah sebuah tradisi berupa arak-arakan menyambut datangnya bulan Ramadhan atau bulan puasa, masyarakat Kota Semarang menyebutkannya dengan istilah Dugderan. Setelah sesaat umat Islam melaksanakan shalat Ashar ,tepat sehari menjelang bulan Ramadhan, dipukullah bedug Masjid Besar Kauman disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan. Bedug mengeluarkan bunyi “dug” dan meriam mengeluarkan bunyi “der” yang berkali-kali pada akhirnya digabungkan menjadi istilah Dugderan.
Mendengar suara Dug dan Der yang keras dari sekitar alun-alun pusat kota, masyarakat pun berbondong-bondong datang untuk menyaksikan apa yang terjadi. Masyarakat pun berkumpul di alun-alun di depan masjid, keluarlah Kanjeng Bupati dan Imam Masjid Besar memberikan sambutan dan pengumuman. Pada saat itu yang menjadi Imam Masjid Besar Kauman adalah Kyai Tafsir Anom. Salah satu isinya adalah informasi yang pasti tentang penentuan awal bulan puasa bagi masyarakat pelosok dan golongan. Selain itu ada pula ajakan untuk selalu meningkatkan tali silaturahim atau persatuan dan ajakan untuk senantiasa meningkatkan kualitas ibadah. Tradisi ini pun berjalan berulang-ulang, dari tahun ke tahun dan menjadi sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Semarang.
Tujuan lain dari diciptakannya tradisi dugderan tersebut untuk mengumpulkan lapisan masyarakat dalam suasana suka cita untuk bersatu, berbaur dan bertegur sapa tanpa pembedaan. Selain itu dapat dipastikan pula awal bulan Ramadhan secara tegas dan serentak untuk semua paham agama Islam berdasarkan kesepakatan Bupati dengan imam Masjid. Sehingga terlihat semangat pemersatu sangat terasa dalam tradisi yang diciptakan tersebut.
Dalam sejarah, Dugderan pertama kali dilaksanakan di Masjid Kauman, Bupati Semarang selaku umara datang ke Masjid Besar Kauman untuk bersama-sama ulama menyampaikan hasil keputusan tentang awal puasa. Dari peristiwa tersebut dapat dipahami bahwa Dugderan merupakan ritual keagamaan dan masjid merupakan pusat perkumpulan umat.
Prosesi tradisi Dugderan terdiri dari tiga agenda yakni pasar (malam) Dugderan, prosesi ritual pengumuman awal puasa dan kirab budaya Warak Ngendok. Tiga agenda tersebut yang sekarang menjadi satu kesatuan dalam tradisi Dugderan. Tradisi hingga sekarang masih terus dilestarikan dan dilakukan dengan segala dinamika dan perkembangannya
Pasar Dugderan dilakukan selama satu minggu penuh mulai siang sampai malam dan dipusatkan di Pasar Johar atau sekitar Masjid Besar Kauman. Menariknya pasar Dugderan ini ramai dikunjungi oleh masyarakat pada malam hari untuk menikmati pasar malam. Setelah diadakan pasar malam dilanjutkan dengan prosesi ritual pengumuman awal bulan Ramadhan dan kirab Dugderan.
Pada saat Bupati membacakan surat keputusan suasana menjadi hening dan penuh perhatian, seusai membacakan naskah kemudian Bupati memukul Bedug dan pada saat itu juga disulut meriam sehingga masyarakat merasa gembira dan senang. Dalam suasana bingarnya meriam dan bedug, dikeluarkan sebuah karya fenomenal dan menarik perhatian yang berupa seekor binatang khayal yaitu Warak Ngendok. Hadirnya Warak Ngendok dalam tradisi tersebut sebagai seekor binatang khayalan yang dapat menarik perhatian masyarakat sekitar, dan sebagai simbol tradisi Dugderan yang diadakan setiap menjelang bulan Ramadhan.
Warak Ngendok merupakan salah satu unsur utama dari tradisi Dugderan yang ada di Kota Semarang, dan mampu bertahan hingga sekarang. Bahkan Warak Ngendok menjadi maskot masyarakat Semarang. Sebenarnya warak ngendok dahulu kala dikenal sebagai hewan mitologi yang sakti oleh warga Semarang , bentuknya merupakan perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala dan buraq di bagian badannya.
Warak Ngendok sendiri berasal dari dua kata, yakni warak yang berasal dari bahasa arab “Wara”I” yang berarti suci. Sedangkan Ngendok sama artinya dengan bertelur, dua kata itu bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan kelak diakhir bulan akan mendapatkan pahala di hari lebaran.
Menurut cerita warga, Warak Ngendok sudah hadir sejak awal mula pendirian Kota Semarang, bahkan saat Ki Ageng Pandan Arang mendirikan Kota Semarang dan menjadi Bupati pertama kali, hewan mitologi ini pun sudah hadir ditengah masyarakat.
Dalam mensyiarkan agama Islam, Ki Ageng Pandan Arang memadukan unsur kebudayaan lokal seperti Warak Ngendok. Raden Pandanaran memperkenalkan Warak Ngendok pertama kali kepada warga Semarang kuno kala itu. Sejak saat itu Warak Ngendok terus dijadikan salah satu maskot Kota Semarang.
Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 02-12-2020
1575347411-tetap-video_dugderan_durasi_10_menit.mp4 | 264.21 MB | download |
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya