Pada tahun 1940an, yang dinamakan Kebo Kinul adalah orang-orangan di tengah sawah yang disebut sawi. Sawi ini dibuat dari kayu yang dibungkus jerami dibuat membentuk tubh manusia dan difungsikan untuk mengusir burung dan hama di sawah. Kebo Kinul berasal dari kata Kebo dan Kinul. Kebo adalah kerbau yang melambangkan kesuburan tanah dan Kinul / Kinthul berarti mengikuti atau membuntuti. Kebo Kinul diartikan simbul kesuburan tanah yang membuntuti petani.
Selanjutnya pada tahun 1950an Kebo Kinul dijadikan hiburan dengan cara manusia yang dibungkus dengan mendhong (sejenis tumbuhan yang dijadikan bahan baku tikar / kloso) atau kadang-kadang diganti jerami Pertunjukan Kebo Kinul tersebut sebagai sarana dalam Upacara bersih Desa dengan iringan kenthongan dan kethuk dan gending kebokinul. Adapun instrumen yang mengiringi terdapat kendang, saron, angklung, dan gong. Pertunjukan Kebo Kinul adalah sebuah pertunjukan yang berbentuk drama berdialog. Di dalam drama berdialog syarat yang harus diperhatikan adalah adanya tokoh, alur cerita serta dialog, sehingga dalam suatu sajian drama perlu memperhatikan kesatuan unsur tersebut.
Dialog yang digunakan dalam pertunjukan Kebo Kinul menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar yang pelaksanaannya sering kali diikuti atau dipertegas dengan gerak-gerak pemain. penggunaan Bahasa Jawa dalam pertunjukan Kebo Kinul terbagi menjadi dua yaitu basa krama dan basa ngoko. Penerapan bahasa pada masing-masing tokoh berbeda tergantung tingkatan ayau drajat seseorang. seperti pak tani berbicara dengan Kyai Pethuk dsb.
Cerita dalam pertunjukan Kebo Kinul diambil dari legenda Desa Genengsari yang mengisahkan tentang masyarakat Desa Genengsari yang mengalami pagebluk. Warga Desa gagal untuk memanen karena tanamannya rusak, warga desa mengira kalau tanamannya dirusak oleh hama ternyata Kebo Kinul yang merusaknya. Kebo Kinul yang seharsnya menjaga sawah dan hanya orang-orangan sawah berubah hidup dan sebagai perusak tanaman. kebo Kinul marah karena tidak diberi sesaji pada saat petani panen, merasa tidak dihargai. Petani itu meminta bantuan Raden Panji Dikromo untuk menjinakkan Kebo Kinul. Raden Panji Dikromo mengajak kyai Pethuk untuk membantu menjinakkan Kebo Kinul. Setelah Kyai Pethuk mengeluarkan keris dan berdoa lalu keris diacungkan ke Kebo Kinul akhirnya Kebo Kinul tunduk namun meminta sesaji pada waktu panen. maka Kebo Kinul berubah menjadi orang-orangan sawah dan menjaga tanaman dari hama.
Pasang surut seni pertunjukan Kebo Kinul terjadi pada tahun 1950 – 2007. Pada tahun1950 – 1999 merupakan masa kejayaan pertunjukan kebo kinul. Sementara itu pada tahun 2000 – 2007 terjadi kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari kemunduran frekwensi pertunjukannya yang disebabkan oleh kemajuan teknologi dan tingginya urbanisasi sehingga ketertarikan generasi muda terhadap pelestarian tradisi desa mereka semakin berkurang.
Saat ini pertunjukan Kebo Kinul lebih sering sebagai sarana tontonan / Seni Pertunjukan. Pertunjukan Kebo Kinul biasanya dipentaskan dalam acara-acara penyambutan tamu, perayaan Hari Proklamasi dan sebagainya. Namun suatu pementasan yang dikemas dalam acara-acara tertentu dapat merubah bentuk pertunjukan. Misalnya dalam festival terpancang waktu, jumlah penari dibatasi, maka akhirnya pertunjukan dikemas sedemikian rupa dengan pengurangan gerak atau bahkan mengganti dengan gerak yang lain dan tidak menggunakan dialog
Upacara ini berfungsi sebagai:
1. sarana upacara Bersihdesa, yang diselenggarakan setahun sekali setiap Senin Pon di Bulan Ruwah agar terhindar dari roh roh jahat, hama padi dll
2. upacara pelepas nadar,
3. sebagai sarana hiburan.
Rangkaian kegiatan
Upacara ini meliputi persiapan, pelaksanaan, arak-arakan menuju sendang, pelepas nadar dan perebutan mendhong bekas busana yang dikenakan oleh pemeran Kebo Kinul.
Nilai yang terkandung dalam kegiatan ini meliputi :
1. penghormatan kepada arwah leluhur yang dianggap keramat
2. Gotong Royong
3. Kebersamaan masyarakat, sebagai ajang berkumpulnya masyarakat
Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 02-12-2020
1582533279-tetap-Kebokinul_Skh.mpg | 1.04 GB | download |
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya