Sere Bissu

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001220
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image

Sere Bissu Maggiri di Kabupaten Bone, tidak lepas dari keberadaan Kerajaan Bone. Sere Bissu Maggiri ini, diperkirakan muncul sejak zaman pemerintahan Raja Bone pertama, yang bergelar To Manurung Ri Matajang yang memerintah sekitar tahun 1326-1358.  Pendapat lain yang menyatakan, bahwa tari Sere Bissu Maggiri itu muncul setelah adanya Bissu (waria) di Kabupaten Bone. Olehnya itu, tari Sere Bissu Maggiri menjadi salah satu bagian dari tari Sere Bissu  yang ada. Tarian tersebut hanya tumbuh dan berkembang di dalam istana dan diasuh oleh keluarga raja. Penarinya adalah bissu, petugas khusus dalam pelaksanaan upacara-upacara adat dan keagamaan suku Bugis. Sehingga keberadaan tari Sere Bissu Maggiri tersebut bersamaan dengan munculnya Sere Bissu. sebagai pengapit  To Manurung atau dengan kata lain bissu adalah silongna (teman ) To Manurung

Tari maggiri adalah sebuah tarian yang dipertunjukkan oleh seorang bissu, oleh karenanya tarian ini dikenal pula dengan nama tari mabbissu. Bissu adalah seorang wanita pria (waria) dalam kepercayaan Bugis yang dipercayakan menjadi penghubung antara dewa di langit dengan manusia biasa.

Maggiri sendiri berarti menusuk-nusukkan keris ke tubuh bissu, terutama ke daerah-daerah yang vital seperti leher, perut, dan pergelangan tangan. Para bissu yang melakukan pertunjukan tarian ini dianggap kemasukan roh dan mendapat kemampuan kebal pada senjata tajam. Tari maggiri biasanya dipentaskan pada acara-acara seperti Hari Jadi sebuah kabupaten, penyambutan tamu agung, atau menjadi pelengkap upacara adat tertentu. Tarian ini dapat dilakukan sendirian, dan bisa pula dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang bissu. Tari maggiri ini sarat dengan nuansa mistis dan memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya menarik untuk disaksikan.

Sebelum memulai menari, terlebih dahulu seorang bissu mengganti pakaiannya dengan pakaian tari bissu yang pada umumnya berwarna kuning keemasan dengan dilengkapi berbagai aksesoris yang lazimnya dikenakan oleh perempuan. Selain itu mereka juga menyiapkan beberapa peralatan pendukung seperti wadah/baskom berisi air, beberapa helai daun-daunan, gendang, dan keris.

 

Setelah berganti pakaian dan melakukan ritual awal sebelum menari yaitu membaca doa khusus (mantra), seorang bissu dianggap sudah siap untuk memulai tarian, dan dengan diawali bunyi gendang pertama yang dipukulkan oleh pa’ganrang (penabuh gendang) sebagai tanda dimulainya tarian ini, bissu membawa alusu akan melangkah masuk ke arena pertunjukan dengan menginjak kain putih yang terbentang.

Selanjutnya bissu akan melangkah perlahan, selangkah demi selangkah, dengan gerakan kaki yang pelan dengan diiringi alunan gendang yang makin lama semakin kuat terdengar. Alusu yang dibawanya akan digoyangkan perlahan-lahan, dan menimbulkan suara-suara kecil, meskipun suara alusu tersebut nyaris tidak terdengar karena tenggelam dalam suara gendang yang ditabuh cukup keras. Bunyi-bunyi yang terdengar dari alusu bertujuan agar apabila kita berdoa, doa yang kita panjatkan selalu didengarkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi bunyi-bunyian tersebut dapat dianggap sebagai pengantar jalannya doa.

Semua gerakan yang dilakukannya adalah sangat pelan dan Nampak hati-hati sekali.

lalu mulai mengeluarkan alameng dari sarungnya dan memulai lagi menari-nari bersamaalameng tersebut dengan tangan kanannya memegang sarung alameng, sedangkan tangan kirinya memegang alameng itu sendiri.

Bissu terus bergerak-gerak dengan alamengnya, dan melakukan beberapa gerakan-gerakan tertentu, seperti mengacungkan alameng ke arah depan, dan bahkan mencium alamengnya. Setelah itu, alameng akan dimasukkan kembali ke dalam sarungnya dan diletakkan di tempat semula. Bissu kemudian mengambil alusu dan kembali menari-nari dengan membawa alusu dengan kedua tangannya. Dia bergerak pelan dengan gerakan yang sedikit berputar, sambil menaik turunkan alusu yang dibawanya.

Keadaan berlutut seperti itu dianggap sebagai posisi menghormat, dan setelah dalam posisi tersebut, irama bunyi gendang yang ditabuh pun berhenti. Bissu menghentikan tariannya, lalu kedua tangannya dihadapkan ke arah atas, bawah, ke samping kiri, dan kanan. Hal itu dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada empat inti alam yaitu air, angin, api, dan tanah. Bissu kemudian mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke arah atas seperti orang yang sedang berdoa, lalu terdengar suara bissu dengan cukup lantang mengucapkan sesuatu, yaitu ucapan tertentu yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa


Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Komunitas Karya Budaya

Andi Artini Batari, S.P.d

Jl. A. Sulolipu No.45

0822922678880

aartinibatari @gmail.com

Hj. A. Murni AL, S.E.

Jl. A. palesangi

0

@gmail.com

Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone

Jln. La Tenritatta No.1

0811447091

dinaskebudayaanbine@gmail.com

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Maestro Karya Budaya

Adriadi

Jl. datu cinnong No.1 Desa Manurungee Kec. Ulaweng

0

na

Syamsul Bahri

Matoa Bissu Bone

085299218768

na

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
   Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047