Ngikis

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001110
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image

 Upacara Adat Ngikis merupakan warisan budaya tak benda (intangible) yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Karangkamulyan. Upacara Adat Ngikis adalah kegiatan rutin sejak dulu sampai kini yang dilaksanakan oleh Masyarakat Desa Karangkamulyan menjelang Bulan Suci Ramadhan di Situs Karangkamulyan. Ngikis mempunyai makna filosofis yaitu membersikan diri dari sifat kotor dalam hati serta dalam diri sebelum melaksanakan ibadah di  bulan suci Ramadhan, dengan syimbol seluruh masyarakat Desa Karangkamulyan membersihkan, menyapu, memagar situs (batu pancalikan) dengan bergotong – royong, menyataan banyu suci dari setiap kabuyutan dan berdo’a bersama , musapaha lalu makan bersama nasi tumpeng dan memakan buah hasil dari Desa Karangkamulyan. Upacara adat ini berlangsung turun-temurun sebagai refleksi penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dunia atau patilasannya. Upacara Adat Ngikis telah berlangsung sejak lama dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Karangkamulyan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Karangkamulyan menyadari betul tentang nilai-nilai kearifan lokal yang terkadnung dalam Upacara Adat Ngikis ini memilki arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Karangkamulyan.

Nilai-nilai budaya lokal yang unggul harus dipandang sebagai warisan budaya yang sangat penting. Manakala budaya tersebut diyakini memiliki nilai yang berharga bagi kebanggaan dan kebesaran martabat bangsa, maka transmisi nilai budaya kepada generasi penerus merupakan suatu keniscayaan. Maka dari itu perlu adanya pengkajian lebih jauh sebagai salah satu upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal Upacara Adat Ngikis.

 

Sejarah Upacara Adat Ngikis

 Upacara Adat Ngikis merupakan upacara adat yang sudah ada sejak lama, yaitu sejak sekitar 150 tahun lalu. Upacara Adat Ngikis ini sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh seluruh masyarakat Karangkamulyan dari dulu hingga sekarang. Ngikis berasal dari bahasa Sunda yaitu “kikis” yang berarti pager awi anu kerep (pagar bambu yang rapat) (Satjadibrata, 1948: 147). Ngikis secara harfiah berarti memagar. Pada masa lalu Ngikis lebih bersifat fisik yakni mengganti pagar singgasana Raja di situs Pangcalikan. Warga dari berbagai dusun datang sembari membawa bambu untuk digunakan memagari singgasana raja, yang rutin dilaksanakan setiap satu tahun sekali menjelang bulan suci Ramadhan. Selain itu Ngikis juga dimaknai sebagai sarana untuk memagari dan membersihkan diri dari perilaku buruk dan hawa nafsu jahat, sehingga ketika masuk bulan Ramadhan diri dalam keadaan bersih (suci) dan dapat terhindar dari sifat-sifat tercela. Dimana inti dari puasa adalah memagari hawa nafsu, baik nafsu lahir (makan, minum) juga nafsu batin (sex, iri, dengki dan menganiaya orang).

Sejak kapan Ngikis ini dimulai, tidak dapat ditetapkan secara pasti. Tanpa menyebutkan mengenai titik awal dimulainya Upacara Adat Ngikis. Memang sukar ditetapkan angka tahun yang relatif tepat. Sepanjang penelaahan yang peneliti lakukan, sampai sekarang belum ada bukti-bukti otentik yang dapat dijadikan landasan untuk menetapkan angka tahun sejak kapan Upacara Adat Ngikis itu ada, karena untuk Upacara Adat Ngikis ini tidak ada dokumen tertulis yang membahasnya. Namun, dari beberapa penjelasan narasumber yang penulis wawancarai, dapat diperkirakan bahwa Ngikis ini sudah ada sejak sekitar tahun 1800-an, Upacara Ngikis sudah dilaksanakan kurang lebih oleh 8 orang kuncen, yang terdiri atas 1) Wangsa Di Kara; 2) Karta Wisastra; 3) Haji Jakaria; 4) Jaya; 5) Basri; 6) Eundan Sumarsana; 7) Perdi; 8) Kistia. Jika dihitung mundur dari seberapa lama kuncen itu menjabat, maka dapat diperkirakan Ngikis sudah ada sejak tahun 1800-an atau sejak sekitar 150 tahun silam.

Ngikis ini merupakan upacara adat hasil akulturasi antara Islam, Hindu dengan kebudayaan asli, dimana proses akulturasi tersebut terjadi melalui pertemuan dari budaya Hindu, Islam dan kepercayaan asli masyarakat Karangkamulyan sendiri. Hal tersebut berdasarkan sejarah Situs Karangkamulyan yang sudah ada sejak masa Hindu. Sehingga dari akulturasi budaya tersebut menghasilkan sebuah Upacara Adat Ngikis. Upacara Adat Ngikis dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan masyarakat Karangkamulyan terhadap nenek moyang mereka. Geertz (1981: 103) mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang dewasa ini, tidak lebih dari suatu pernyataan hormat yang tulus kepada almarhum (orang yang sudah meninggal dunia), ditambah suatu kesadaran yang hidup tentang perlunya berlaku baik terhadap almarhum (nenek moyang) dan menjamin bahwa sekadar nasi dan bunga-bungaan akan disampaikan kepada mereka. Apa yang disampaikan Greetz dalam bukunya ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Karangkamulyan melalu Upacara Adat Ngikis sebagai bentuk pernyataan hormat dan kesadaran dari orang yang hidup tentang perlunya berbuat baik terhadap orang yang sudah tiada (meninggal) yaitu nenek moyang mereka, karena mereka menyadari bahwa perlunya menggali tradisi agar tidak “putus wekas” (putus jejak/keturunan) atau pareumeun obor.

Upacara Adat Ngikis merupakan upacara adat yang diciptakan berdasarkan pertimbangan keindahan, seni, emosi (perasaan) dan akhlak serta adat istiadat masyarakat Karangkamulyan. Upacara Adat Ngikis lebih mendekati bagian dari ritual keagamaan yang merupakan hasil dari proses akulturasi antara Hindu, Islam dan kepercayaan asli (animisme, dinamsme). Masyarakat Tatar Galuh (Karangkamulyan) meyakini bahwa siapa pun yang telah meninggal, rohnya akan selalu ada di sekitar masyarakat (Aip, wawancara 19 Maret 2018). Ini merupakan kepercayan asli (animisme dinamisme) yang sampai sekarang masih tertanam dan diyakini oleh masyarakat Karangkamulyan. Ngikis adalah bagian dari penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dunia, terutama leluhur Galuh yang tersebar di Tatar Galuh khususnya Situs Karangkamulyan.

 

Prosesi Pelaksanaan Upacara Adat Ngikis

Persiapan Upacara Adat Ngikis

Masyarakat Karangkamulyan mempersiapkan Upacara Adat Ngikis sejak kurang lebih tiga bulan sebelum Upacara Adat Ngikis tersebut diselenggarakan, terutama mengenai persiapan dana. Dana yang didapatkan bermacam-macam, ada yang melalui iuran warga yang berdagang di sekitaran Situs Karangkamulyan, besarnya iuran warga berbeda-beda bergantung hasil dagang atau pendapatan masing-masing warga yang berdagang. Kemudian dari Pemerintah Desa, Dinas atau Instansi-instansi terkait, donatur-donatur, dan dari Provinsi, BPCB (Badan Pelestari Cagar Budaya) Banten dan lain-lain (Irma Puspitasari, wawancara 20 Maret 2018).

Persiapan Upacara Adat Ngikis cukup panjang dan rumit. Hal ini karena membutuhkan banyak dana, dan peralatan yang perlu dipersiapkan juga banyak. Berikut peralatan yang harus disiapkan untuk Upacara Adat Ngikis:

1) Gotongan Tumpeng, alat ini terbuat dari bambu yang dihias menggunakan kertas berwarna dan sayuran. Alat ini dibuat oleh warga dari setiap RW (Rukun Warga) di Desa Karangkamulyan.

2) Tampah/Tampir, terbuat dari belahan bambu yang dianyam dengan bentuk bulat. Alat ini biasa dipakai untuk tempat/alas tumpeng/sesaji.

3) Kendi, alat ini biasa digunakan untuk menyatukan air yang telah diambil dari tujuh sumber mata air atau sering disebut air senusantara.

4) Lodong, alat ini terbuat dari bambu yang masih utuh berukuran kurang lebih 1 meter, yang dibuat dengan cara dipotong bagian atasnya untuk membuang ruas yang menutupinya untuk membuat lubang, dan bawahnya masih dibiarkan supaya air yang dimasukkan tidak tumpah. Alat ini digunakan untuk membawa air yang diambil dari salah satu sumber mata air.

5) Pagar, alat ini terbuat dari belahan bambu yang dipotong dengan ukuran panjang kurang lebih 1 m dan lebar 5 cm/bambu, yang disusun berjejer secara rapih dan disatukan menggunakan paku. Pagar ini digunakan untuk acara inti dari Upacara Adat Ngikis, yaitu untuk memagar Situs Pangcalikan atau Singasana Raja.

6) Naga-nagaan, Naga ini digunakan sebagai simbol dari Nagawiru, yaitu naga yang dipercaya oleh masyarakat

Karangkamulyan sebagai naga yang telah mengerami telur ayam milik Ciung Wanara.

7) Piring Nyere (lidi), alat ini terbuat dari lidi kelapa, alat ini digunakan untuk makan.

 

Selain persiapan peralatan ada juga persiapan tumpeng dan sesaji di antaranya:

1) Kupat, yaitu beras yang dibungkus menggunakan janur kelapa yang dianyam hingga berbentuk persegi empat dan kemudian dimasak hingga matang.

2) Rujak, ada rujak cau (pisang), rujak asem, dan rujak kelapa.

3) Rokok (rokok jarum, bangjo, super dan lain-lain).

4) Kopi pahit (kopi hitam), dan kopi manis.

5) Seupaheun, terdiri atas gambir, seureuh, dan lain-lain

6) Cai herang atau air putih

7) Kembang tujuh rupa, yaitu bermacam-macam bunga, seperti mawar, melati, kantil, kenanga dan sebagainya yang semuanya harum.

8) Pisang, pisang yang dipilih adalah pisang raja yang kualitasnya nomor satu, maksudnya tua betul, tidak cacat.

9) Sementara untuk pembuatan tumpeng terdiri atas nasi uduk atau nasi gurih, beras yang dimasak bersama santan, garam, dan sebagainya; lalapan, terdiri atas kol, timun, buncis, kacang dan lain-lain; sambal, terbuat dari ulekan cabai, bawang, tomat, terasi dan lain-lain.

10) Selain itu juga ada lagi gunungan buah, gunungan buah ini adalah kumpulan buah-buahan yang dirangkai dalam sebuah rangka yang terbuat dari bambu, kayu dan kardus yang membentuk kerucut (membentuk gunung). Tingginya mencapai kurang lebih 2,5 meter.

 Upacara Adat Ngikis selain dilaksanakan bulan (Rewah), juga harinya ditentukan. Ngikis tidak boleh dilaksanakan selain hari Senin dan Kamis. Pemilihan hari tersebut atas dasar kepercayaan orang tua zaman dulu yang beranggapan hari Senin dan Kamis ini adalah hari yang dianggap baik untuk mengadakan acara (upacara adat, pernikahan, dll.) atau bepergian (ziarah).

 

 Pelaksanaan Upacara Adat Ngikis

Kegiatan Upacara Adat Ngikis diawali dengan penyambutan tamu kehormatan. Penyambutan ini dilakukan oleh Ki Lengser1. Mapag tamu kehormatan dimulai ketika para tamu kehormatan sudah tiba di lokasi. Tamu kehormatan didampingi para tokoh, mulai dari tokoh kabuyutan, tokoh agama, pemerintah daerah, kepala desa bahkan hingga civitas akademik. Setelah semua persiapan telah siap. Ki Lengser bertindak sebagai pemimpin upacara memberi tanda bahwa upacara akan segera dilaksanakan.

Setelah terjadi percakapan antara Ki Lengser dengan ketua rombongan tamu kehormatan. Kemudian Ki Lengser mempersilahkan rombongan tamu kehormatan untuk menempati tempat yang telah disediakan. Kegiatan penjemputan ini diikuti dengan arak-arakan membawa tandu makanan tradisional (tumpeng) yang diikuti oleh seluruh masyarakat.

Setelah mapag tamu kehormatan, acara selanjutnya adalah bubuka yang dilaksanakan di pelataran Situs Karangkamulyan. Setelah bubuka selesai, kemudian dilanjutkan pada acara inti yang dilaksanakan di dalam Situs Karangkamulyan yaitu di Situs Pangcalikan atau Singgasana Raja. Di dalam situs ada ruatan¸ yaitu menceritakan tentang sejarah singkat Kerajaan Galuh termasuk mengenai kisah Ciung Wanara yang dikisahkan menggunakan wayang kawung2. Dalam pelaksanaan ritual Ngikis, Kuncen (juru kunci) bersila sebagai pemimpin upacara. Kuncen dengan khidmat memimpin ritual ini dengan membacakan “rajah pamunah” atau doa dalam bentuk bahasa Sunda buhun (kuno). Setelah pembacaan rajah pamunah pertama selesai, kemudian kuncen melanjutkannya dengan membacakan rajah kedua.

Setelah itu, kemudian dilanjutkan dengan prosesi “patepung rasa”, yaitu penyatuan cai sanusantara (air senusantara) yang telah diambil dari beberapa sumber mata air di Tatar Galuh dan juga dari luar. Air yang sudah dimasukkan ke dalam kendi itu kemudian digunakan untuk berwudu atau sekadar membasuh muka. Prosesi ini dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan/menyucikan diri agar kesucian selalu dibawa oleh seluruh masyarakat dari hidup sampai nanti di akhirat.

Ngikis dilaksanakan oleh para tamu kehormatan bersama para tokoh masyarakat Desa Karangkamulyan. Diawali dengan penaburan bunga di atas Batu Pangcalikan yaitu batu yang akan dikikis (dipagar). Penaburan bunga ini diawali oleh Bupati yang kemudian diikuti oleh para tokoh kabuyutan (tamu kehormatan), setiap orang yang melakukan penaburan bunga diawali dengan membaca doa terlebih dahulu dengan tujuan untuk mendapat rida dan keberkahan dari Allah SWT. Setelah penaburan bunga selesai, kemudian dilakukanlah Ngikis (memagar Situs Batu Pangcalikan).

Setelah prosesi Ngikis selesai dilaksanakan, kemudian rajah dilanjutkan kembali. Dalam prosesi ini juga kuncen akan membacakan mengenai silsilah leluhur Kerajaan Galuh. Pembacaan silsilah Kerajaan Galuh ini dimulai dengan pembacaan rajah dan pasaduan terlebih dahulu3. Pasaduan dalam Upacara Adat. Ngikis merupakan permohonan maaf dan izin kepada Tuhan dan para leluhur Galuh.

 

Penutupan Upacara Adat Ngikis 

Setelah acara Ngikis selesai, acara selanjutnya sekaligus sebagai acara akhir dari Upacara Adat Ngikis yaitu pemberian santunan kepada anak yatim, makan tumpeng bersama-sama, penampilan kesenian tradisional dan juga pemugaran (pembongkaran) gunungan buah sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki yang telah diberikan kepada seluruh masyarakat Karangkamulyan.

 


Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 05-11-2020

Komunitas Karya Budaya

Situs Bojong Galuh Karangkamulyan

dusun. Karangkamulyan .Desa Karangkamulyan Kec Cijengjing

081323668901

Kawargian Adat Karangkamulyan

Ruang informasi samping Gong Perdamaian Dunia,Desa Karangkamulyan Kec Cijengjing

085223637442

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 05-11-2020

Maestro Karya Budaya

Sodikin

Desa Karangkamulyan.Kec Cijengjing

081323668901

Aip Saripudin

kec Cisaga

085223204189

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 05-11-2020
   Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 05-11-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047