ARUNGI NUSA
(Ritual Kololi Kie)
Arungi Nusa adalah nama lain dari upacara ritual adat Bacan yang lazim di kenal oleh masyarakat dari dulu hingga kini dengan istilah kololi kie. Arungi nusa adalah kalimat yang terdiri dari dua kata, dan bersumber dari penggabungan bahasa melayu Indonesia dan bahasa melayu Bacan tua, dapat pula di artikan sebagai anjangsana perairan. Arungi nusa yang disimpulkan dari kalimat Kololi kie merupakan perjalanan inspexi wilayah petuanan yang di padukan dengan ritual sejarah serta symbol-simbol expansi pengislaman di semenjung ghapi. Nilai-nilai dari muatan filosofi ritual arungi nusa (kololi kie) menyimpan misteri dari suatu peristiwa peletakan dasar pijak peradaban islam timur jauh oleh seorang muballig besar dari zasirah Arab. Kololi kie yang kemudian bernama Arungi nusa telah di yakini masyakat adat kie raha tempo dulu sebagai induk dari segala ritual yang mengilhami berbagai ritual lainnya di negeri Al-mam lakatul mulqiyah.Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan masing –masing daerah yakni empat kerajaan di kie raha terhadap prosesi ritual kololi kie yang dalam fersi Bacan di ganti namanya dengan Arungi nusa. Perbedaan pelaksanaan secara tehcnis itu karena dipengaruhi oleh letak geografis wilayah maupun karakteristik daerah masing-masing, serta berdasar pada mazhab yang telah melandasi pedoman keadatannya. Khusus pada kesultnan Bacan Kololi Kie yang kemudian di kenal sebagai arungi nusa di terjemahkan secara syariat dengan menganut aqidah islamiyah dan berpaham dengan mazhab imam syafi.
Dalam keyakinan para tetua adat tempoe doloe bahwasanya kololi kie di ilhami dari kisah seorang ulama besar yang berasal dari bangsa arab bernama Imam Noch bin dja’far As-shadiq asgarnaini malikid daiyan. Beliau adalah Ahlul bait Rasulullah yang mendapat ilham perintah dari wasiat piutnya untuk mengembara di wilayah timur jauh dalam rangka mencari negeri yang di janjikan. Sebagaimana satu riwayat dalam kitab melayu kuno tulisan syeh cermin dari negeri Sembilan yang mungkin akan di pandang lemah oleh ulama ahli syariat saat ini. Akan tetapi riwayat itu telah menjadi pegangan keyakinan para ulama ma,syum kerajaan melayu tempoe dulu yang kurang lebih terurai sebagaimana berikut. “Dan ketika beliau sang baginda rasul sedang melakukan hajat yang maha mulia di tanah suci mekah. Setelah shalat sunnat dan merenung dalam tafakkurnya, beliau pun terhentak karna mendegar tiga kali dentuman bumi, baginda rasul pun mengangkat kepala sambil bersabda. “Wahai umatku, setelah sepeninggalku akan muncul suatu negeri di atas angin dan ketahuilah, keadaan pada bentangan negeri itu di kelilingi oleh samudra. Disitulah negeri kegelapan yang dimana bapak-bapak mereka belum di berikan petunjuk keselamatan. Oleh karenanya jika kalian mendengar adanya negeri itu maka ambillah bahtera dan muatlah pekakas kalian. Pergilah kearah matahari terbit dan temukanlah negeri itu serta ajaklah penghuninya untuk masuk islam dan mengucapkan dua kalima syahadah. Sesungguhnya kelak Allah telah memberkati negeri itu dengan banyak ulama ma,syum maupun banyak auliyah yang mubarakah.
“Riwayat itu kemudian menjadi wasiat turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya, hingga sampai pada masa syeh garda dzabah. Menururut cerita lama, Syeh garda dzabah berasal dari negeri zabah merupakan sosok yang pertama menemukan negeri matahari terbit atau semenanjung ghapi. Namun syeh besar itu tidak sempat melakukan syiar karena dirinya berada dalam pengejaran pasukan romawi yang terus mengintainya. Syeh itu lalu menyembunyikan diri selama beberapa saat di gola Halmahera untuk membersihkan lunas dari kerang siput yang menempel dan semakin membebani laju bahteranya. Selama beberapa saat di Gola Halmahera, beliau sempat menerapakan pola hidup bernfaskan islam yang kemudian benular pada masyarakat primitive saat itu. Setelah merasa keberadaannya di mata-matai oleh romawi, syeh besar itupun mulai bergegas pergi dalam pengembaraannya menuju arah matahari terbenam dan riwayat pun tak bersambung lagi. Selanjutnya dimasa cicit baginda Rasul di duga pada abad 12 masehi bernama imam Noch bin dja’far asyhadiq asgarnaini malikid daiyaan, menelusuri jejak pelarian syeh garda zabah dari kejaran pasukan Romawi. Berlayar mengarungi samudra dan menyebrangi benua hingga sampai ke nusantara kemudian melinatasi selat malaka dan singgah di pasai seterusnya melakukan pelayaran menuju arah matahari terbit. Pelayaran sang imam besar ini kemudian sampailah pada suatu semenanjung yang di lingkari oleh samudra sesuai ciri-ciri sebagaimana wasiat piyutnya Baginda Rasulullah S.A.W. Setelah menemukan semenanjung negeri Alghafilin {Ghapi} artinya kegelapan sebagaimana isyarat pendahulunya ternyata olehnya, semua itu benar-benar ada. Dimana pada semenanjung Ghapi, hidup tiap-tiap suku dengan tradisinya masing-masing serta menganut keyakinan paham momole dan sering bertikai hingga memakan korban jiwa diantara mereka. Setelah bahterannya merapat di muara semenanjung Ghafilin {Ghapi} dan di sambut oleh salah satu kepala suku serta pengikutnya yang lebih dulu melihat kedatanganya sang imam besar itupun kemudian bermukim disitu. Selanjutnya bersama kepala suku dan beberapa pengikutnya yang pertama masuk islam telah mengangkat beliu sebagai saudara, {rasai} mulai belayar mengitari simenanjung Gafilin {Ghapi} nan terhampar luas. Pelayaran itu guna menemui para kepala suku momole yang bermukim di daerah pesisir dan mulai berkeliling mengumpulkan mereka dan mengajaknya untuk mengucap dua kalima syahadat dan masuk islam serta meneyembah Allah. Para kepala suku molole dan pengikutnya itupun mulai mengenal da’watul Islamiyah yang dikawinkan antara hukum islam dengan hukum adat istiadat mereka, hingga mereka pun senang serta ikhlas menerima agama baru itu. Perkawinan hukum islam dan hukum adat itupun mulai diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat ghapi yang tergolong dalam empat suku besar saat itu, hingga tiap-tiap suku besar itu membawahi sembilan persekutuan adat. Sebagai contoh, sembilan persekutuan adat itupun kemudian di kenal dengan rumpun suku soa-siu untuk julukan berbahasa ternate, dan soanang salapang untuk julukan yang kemudian di kenal dalam Bahasa Bacan.Semenjung Ghapi {Ghafilin} pun menyatu dalam ikatan ukhua islamiyah dan berpegang teguh di bawah panji tauhid, La ilaha ilallah muhammadarrasulullah.Setelah suku –suku momole itupun bersatu dan hidup bersendikan adat dan islam maka merekapun di tuntun menuju puncak keimanan dalam demensi taohid kepada Allah.Hal mana tuntunan itu lebih memperjelas asal-usul tujuan penciptaanya melalui tujuh martabat alam yang tak lain adalah untuk mengenal dan menyembah Allah dalam konsentrasi yang utuh pada martabat makam Ihksan. Dengan pedoman Islam,iman dan taohid serta Ihksan yang di tata dengan nilai-nilai moral etika, estetika adat istiadat telah menciptakan Kehidupan masyarakat simenanjung ghafi {ghafilin} menjadi sejuk dan damai, seimbang dan lestrai serta berguna dalam keseimbangan lahir batin dunia akhirat. Kehidupan meraka menjadi saling menghormati menjalani hidup bersama denyut jantung religious dan melangkah di atas sendi-sendi adat istiadat,terikat dalam tali persaudaraan telah melahirkan nilai-nilai yang mulia dan berwibawa dalam hikmat kebesarannya. Hidup berpedoman pada kitabullah Al-furqan dan Sunnah nabi serta di terapkan dalam etika dan estetika adat istiadat menjadikan simenanjung Ghapi menjadi stabil dan tenang beradab serta di berkati sebagai baldatun tayibatun warabbun ghafur.Simpati para kepala suku dan kelompoknya pun mengalir kepada sang imam besar berbangsa arab itu kemudian bersepakatlah mereka mentasbihkan beliau menjadi pemimpin tertinggi dengan gelar kolano Noch bin dja’far sadiq.Dirinya pun kemudian menikah dengan seorang putri bungsu Muhammad sahar Alam bernama Boki nur syifa yang di persuntingnya di telaga soli momo.Perkawinan itu melahirkan empat orang putera pewaris tahta, dan setelah empat putra itu beranjak dewasa maka terpikir olehnya untuk membagi wilayah Ghapi yang utuh menjadi petuanan pada ke empat puteranya.Agar tiap- tiap putranya bisa memimpin kelompok suku-suku yang terbahagi menjadi empat suku besar dengan daerah petuanannya masing-masing. Demi menyambung tali nazab ahlul bait rasulullah dan kepentingan meneruskan syiar dan dakwatul Islamiyah dalam bentuk peradaban kerjaan islam timur jauh. Lalu beilau pun menyepi dan bermunajad kepada ilahi rabbi dengan ketinggian derajad makam kewalinanya. Hingga munajad itupun terkabul dan terjadi fenomena alam maha dahsyat. Kejadian yang dahsyat itu telah berdampak pada tepisahnya semenanjung Ghapi terbahagi dalam empat wilayah.Setelah mengumpulkan empat puteranya dan mewasiatkan tiap-tiap daerah petuanan itu kepada masing-masing mereka serta menetapkan makam wilayah majhabnya. Tanpa sepengetahuan empat kakak beradiik itu kemudian beliu sang ayahanda imam yang bijaksana itupun ghaib {moksa} dalam kesendiriannya. Berdasar pada wasiat itulah sehingga empat putra bersaudara ini pun berkumpul untuk menyepakati batas-batas wilayah kuasa dan mazhabnya masing-masing. Riwayat itupun terus berlanjut, sehingga untuk mengenang amanah dari sang ayahanda mereka yang menjadi sebab musabab kronologis diataslah kemudian di implementasikan dalam bentuk upacara ritual di masing masing wilayah petuanan kerjaannya. Ritual sejarah itupun di sepakati oleh keempat pemimpin bersaudara, dengan nama “Kololi Kie” yang berarti mengitari negeri, dimana gunung {kie} sebagai pasak penegak keseimbangan bumi. Merupakan penanda keberadaan suatu daratan luas dan bertuan di atas puncak perdaban kie raha yang agung berwibawa.
ARUNGI NUSA (KOLOLI KIE)
Arungi Nusa {Kololi Kie} dalam fersi kesultanan Bacan dilakukan pada usai prosesi pemilihan sultan yang telah di kodratkan serta mendapat kesepakatan dari empat pihak yang merupakan reprecentasi dari masyarakat hukum adat soa nang salapang (9 rumpun adat Bacan}. Arungi Nusa {Kololi kie} di awali dengan musyawarah para bobato {perangkat adat dunia/akhirat} dan segala tuapin {kepala suku} soanang salapang {9 rumpun adat Bacan}.Setelah bermufakat dalam suatu musyawarah adat, maka keputusan adat memeritahkan suatu pasukan kerajaan berjuluk “Awir, {pengintai} di pimpin letnan ngofa {perwira pasukan} di bawah kendali Jo Mayor mulai menjalankan perintah kerajaan. Kepergian pasukan Awir {pengitai} ini untuk melakukan surveiy wilayah dan kesiapan lokasi serta rute yang akan di lalui dan dikunjungi oleh sang sultan terpilih saat prosesi Arungi nusa {kololi kie}. Setelah kepergian pasukan Awir,{pengintai} di bawah kendali Jo mayor yang di limpahkan kepada letnan ngofa, perangkat bobato adat dan masyarakat mempersiapkan berbagai acara puncak ritual, di jalur utama depan rumah penduduk di tata dengan gerbang janur.Tiga hari berselang perintah, pasukan awir di bawah komando ompu letnan akan kembali ke ibu kota kerajaan dan berlabuh di telaga samping kiri masjid sultan Bacan. Kadatangan pasukan ini disambut oleh kapita kie {Malesi Gam Kie} dan Jo Mayor bersama letnan Bangsa serta seluruh personil Pasukan Naga. Saat itu terjadi prosesi adat pelaporan situasi dan kesiapan lapangan yang akan di lalui dan di kunjungi sultan menggunakan Bahasa melayu Bacan {rorasa} oleh letnan ngofa kepada Jo mayor di saksikan oleh Malesi gam kie {Kapita kie} Setelah laporan pasukan Awir di terima oleh jou mayor, maka di lanjutkan dengan prosesi ritual hadiatan untuk arwah para sultan maupun munajah kepada Allah dan siloloa kepada para Arwah sahibil wilayah.
Prosesi ritual hadiatan itu di lakukan di depan mimbar mesjid sultan Bacan dengan khusyu dan hikmat penuh dengan kebesarannya di pimpin oleh bobato akhirat {Imam bangsa dan imam ngofa}.Seusai prosesi ritual hadiatan untuk para sultan dan sahibil wilayah di lakukan oleh Bobato akhirat {imam bangsa dan imam ngofa} serta sebagian badan syara yang ditugaskan di masjid sultan. Semua komponen yang hadir dalam hadiatan itu bergabung dengan dua pasukan, Naga dan awir berjalan mengitari kota raja seraya membaca doa keselamatan negri dirangkai semacam parade publikasi [pancar bubar]. Asap pedupaan mengepul keangkasa di iring doa munajad keslamatan, dengan sesekali menabuh gong 7 gunung sambil mengusung bendera panji-panji Awir dan Naga.
Rutenya diasesuaikan menuju arah barat kemudian menuju selatan, terus ke timur lalu ke utara selanjutnya kembali kebarat melaluai ruas jalan masjid sultan menuju kedaton sultan.Hal itu bertujuan meminta restu pada rakyat yang kebanyakan pewaris tahta untuk mengamininya serta memberi tahu masyarakat adat Bacan bahwa upacara arungi nusa {Kololi kie} telah siap di laksanakan. Di kedaton telah menanti rombangan sultan serta bobato dunia maupun ompu kale bersama sebagian perangkat bobato akhirat imam bangsa dan Malesi lau-lau { kapita lau} lengkap dengan pasukan Alu-alu. Masyarakat adat tua muda akan bergegas menuju kedaton untuk menyaksikan momen sakral dan berwibawa dalam perjalanan ritual sultannya , Sesampainya Rombongan parade {pancar bubar} ini ke kadatong telah di sambut oleh rombongan sultan bersama bobato dunia maka terjadi prosesi adat sakral terhadap diri sang sultan. Ketika sang sultan akan melangkah meninggalkan kedaton maka terjadi prosesi penyerahan bendera pasukan naga oleh kapita kie {Malesi Gam kie} kepada kapita lau { Malesi Lau-lau} dengan hikmat. Setelah kapita Lau menerima panji pasukan Naga dengan sumpah setianya untuk melindungi sultan dalam perjalanan maka suara adzan pun menggema memberkati langkah sang sultan , Seraya membalas adzan serta doanya sejenak maka rombongan sultan pun bergerak menuju dodoku Ali arah selatan kedaton Babayan. Sesampainnya di dodoku Ali saat akan menaiki perahu, di laksanakan doa tulak bala untuk keselamatan bagi sang sultan dan perangkat bobato selama dalam perjalanan laut. Selanjutnya saat akan bertolak meninggalkan dermaga dodoku Ali, rangkaian ritual laut ini dimulai dengan rorasa Kapita Lau {Malesi Lau-lau} sebagai penanggung jawab keselamatan jiwa dan raga seluruh komponen Arungi nusa{Kololi kie}. Setelah rorasa sakral Malesi lau-lau selesai di ucapkan maka Iring-iringan armada kerajaan Babide, Panca ribus, Pancala, Pancawala, mulai bergerak di tandai bunyi 3 x gong 7 gunung menggema di tabuh oleh Malesi lau-lau {Kapila laut}. Adapun Armada Panca ribus {armada perintis depan} di tumpangi oleh Mayor, letnan,sarjenti, al,feres, dan pasukan alu-alu mengawal Babide {Bahtera tumpangan Sultan} menyusul di belakangnya. Pada Bahtera Babide ditumpangi oleh Sultan dan permansyuri, Malesi lau-lau, Ompu kale, Palihema tuamole serta para petinggi kerajaan lainnya. Rombongan Armada bergerak menuju tumba-tumba di lakukan tawaf ritual 3 kali pada lokasi itu oleh Armada kapita lau dan palihema tuamole di iringi munajad ompu Kale. Seterusnya menuju ke depan sengga matina, {prosesi ritual} dan terus ke ujung masarang {prosesi ritual} terus tanjung kado bagigi amas {Prosesi ritual} terus ke Nanoang menuju pintu depan muara kasiruta {prosesi ritual} Lalu masuk ke kali kasiruta mendaki bukit ompu asal {prosesi ritual} , Nilai filosofi yang terkadung di dalamnya adalah peletakan dasar hakikat rukun islam dan di sempurnakan dengan rukun yang enam yakni iman di atas puncak ompu asal. Setelah selesai prosesi ritual bab dua, rombongan Arungi nusa {kololi kie} keluar kembali ke muara dan berpencar menjadi dua arah dalam dua rombongan, terdiri dari bobato dunia dan akhirat . Rutenya adalah kedua rombongan yakni bobato dunia dan akhirat berpisah jalan melingkari pulau kasiruta menuju arah barat dan bertemu di tanjung tapaya depan palamea. Pertemuan dua rombangan ini di tandai dengan bunyi tiupan sangkakala atau {Taogi dari kulit kerang di lanjutkan dengan prosesi ritual. Menyingkap rahasia dua rukun ikhsan yakni pertemuan antara Hamba dengan tuhannya dalam hakikat penyembahan. Setelah itu dua rombongan pun bergabung dan di bawa tondang armada Kapita Lau {Malesi lau-lau} haluan menuju ke kota raja lipu seki Babayan {Bacan}. Setibanya di dodoku sultan Muhammad Ali rombongan di sambut oleh bobato akhirat ompu anak-anak dan pasukan awir stenby di bawah komando letnan ngofa. Pasukan menyambut siap dengan umbul-umbul untuk mengiringi rombongan kembali ke kedaton. Sesampainya di kedaton, Kapita kie Telah siap bersama bobato dunia para juru tulis Ngofa bersama datuk alolong sten by di kedaton dan terjadi prosesi penyerahan bendera panji naga dari kapita lau {malesi lau-lau kepada Kapita Kie{malesi gam kie }.Sebagai symbol selesainya tangung jawab kapita lau {Malesi lau-lau} atas pengawalan keselamatan jiwa dan raga sultan selama perjalanan ritual dalam wilayah kuasanya. Rangkaian upacara ritual itupun di tutup dengan hadrat turunan, sawabah dan doa syukuran keselamatan rombongan yang kembali serta rakyat penghuni kerajaan Bacan. Arungi nusa (kololi kie ) ini dapat di laksanakan pada momen tahunan dan di mandatkan pada perdana mentri dengan catatan hanya replica tidak seperti ritual sultan di niatkan untuk pelestarian budaya.
Sumber data:Lembaga pengkajian budaya Saruma Nusantara Halmahera Selatan.
Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
Amasing kota
081340527889
Isnain77@gmail.com
Amasing kota
081340527889
Isnain77@gmail.com
1581520165-tetap-Arungi_Nusa.mp4 | 19.28 MB | download |
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya