Batijakakang lecak

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001224
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Maluku Utara
Responsive image

‘’ RITUAL BATIJAKAKANG LECAK ‘’

Upacara adat menginjakkan tanah (Bumi)

Ritual batijakakang lecak adalah salah satu tradisi kebudayaan masyarakat adat kesultanan Bacan yang lazim di kenal  sejak zaman-berzaman.

Kalimat “batijajakakan lecak” berasal dari bahasa Bacan asli yang memiliki arti “menginjakan tanah” dimana prosesi ritual ini  terjadi berulang  kali dalam kehidupan tiap individu masyarakat adat Bacan sesuai momen penampilannya.

Ritual “batijakakang lecak”awalnya dilaksanakan pada saat kelahiran anak atau cucu pertama dari satu keluarga yang masih masuk dalam nasab keturunan raja-raja Bacan.

Putra atau putri sulung yang lahir dari hasil pernikahan sepasang ibu dan bapak berstatus perjaka dan perawan di atas di yakini sebagai bibit terpilih sekaligus  merupakan generasi penerus keturunan keluarga bersangkutan.

Sehingga kedatanganya di dunia ini membawa sejumlah rangkaian suasana  suka cita seperti gembira, bahagia, dan menjadi penyejuk hati bagi keluarga terutama ayah bundanya.

Itulah sebabnya kedatangan sang bayi di dunia ini di sambut dengan ritual “Batijakakang lecak” sebagai wujud aktualisasi selamat datang penuh suka cita  yang lansung menyentuh naluri akal dan budi pekerti si bayi.

Hal itu mengandung makna Bahwa sebelum si bayi di lahirkan dirinya mengalami sejumlah proses pernciptaan,melewati beberapa alam hingga sampai ke alam Rahim dan selanjutnya di lahirkan  kedunia ini.

Rangkaian prosesi Batijakakang lecak adalah suatu perilaku budi pekerti yang menggetarkan naluri anak manusia  seumpama membangunkanya, bahwa saat ini dirinya telah menginjakkan kaki di alam nyata dan hidup di tengah-tengah keluarga.

Pada momen kelahiran anak pertama ini,  lazim di kenal oleh masyrakat adat bacan dengan istilah (ana magori) yang artinya bibit keturunan pemula  pembuka pintu dari keluarga kecilnya.  

Ana magori dalam arti lebih khusus adalah, anak yang lahir dari hubungan penikahan pasangan mempelai, berstatus perjaka dan perawan.

Pasangan mempelai  ini juga  berasal dari satu pasangan orang tua yang baru pertama kali   menikahkan anak sulungnya kemudian melahirkan cucu pertama.

Maka sudah barang tentu cucu atau putra sulung yang dilahirkan dari pasangan mempelai itu akan membawa suasana bahagia riang gembira bagi nenek dan kakeknya terlebih khusus ayah dan bundanya .                                                  

Wujud kegembiraan dari kelahiran bibit generasi unggul di atas itulah sehingga di pandang wajib bagi keluarganya untuk di sambut dengan prosesi ritual batijakakang lecak.

Prosesinya ini di mulai dari bayi yang telah  di lahirkan di pisahkan dengan plasenta kemudian tubuh bayi tersebut di basuh dengan air di taburi bunga mawar, melati dan kenanga untuk  membersihkanya.

Selanjutnya Prosesi batijakakang lecak dan sejumlah rapalan teriring doa serta  kalimat suci  yang mula-mula di perdengarkan di telinga sang bayi adalah panggilan  azan dan iqamah.

Bagi bayi laki-laki akan di bisikkan azan pada telinnga kanannya, dan  bagi bayi perempuan di bisikkan iqamah pada telinga kirinya.

Adapun suara azan dan iqamah itu dibiskkan oleh ayahanda sang bayi, serta diniatkan untuk meletakkan pedoman keselamatan  pada memori si bayi yang masi sucih bersih.

Perkara itu  guna mendasari pandangan hidupnya, bahwa hakikat kehidupan dan penciptaan manusia di muka bumi tidak lain hanyalah mengenal dan menyembah Allah dalam makna religious.

Tentunya yang di maksudkan dari tujuan mengenal Allah adalah Iman dan menyembahnya adalah Islam yang di implementasikan  melalui taqwa dan sholat lima waktu dalam peredaran siang dan malam. 

Setelah kelahiran sibayi berusia tujuh hari, maka kedua orang tua yang telah melahirkannya akan memberi nama pada anak pertamanya itu.

Bagi keluarga yang mampu maka pada saat pemberian nama disunahkan menyembelih hakikat kurban seperti hewan kambing  yang tanduknya sudah mencapai ukuran sekepalan tangan orang dewasa.

Sedangkan  bagi keluarga yang tidak  mampu dapat menyembelih  ayam sebagai pengganti dan berlanjut dengan pembacaan doa selamatan si  bayi dan ibunya yang telah melahirkannya.

Khusus Bagi keluarga yang mampu, kelahiran anak atau cucu pertamanya ini di laksanakan secara meriah dengan mengundang Keluarga dekatnya untuk berkumpul dalam hajatan tersebut.

Selanjutnya Keluarga akan berkumpul untuk memparsiapkan  berbagai  kuliner makanan adat dan mengundang, tetangga, tokoh agama dan badan syara untuk membacakan selamatan di berengi prosesi ritual potong  rambut sang bayi.

Pada prosesi ritual pemotongan rambuat bayi ini akan di rangkai  dengan pembacaan salawatan maulid diba dan ritual “batijakkan lecak”.

Hal itu untuk memberi kabar secara sentuhan naluriah bahwa dirinya telah hidup di tengah masyarakat dan menghirup udara dari hembusan  hawa suasana religious. 

Pada prosesi ritual  Batiijakakang lecak ini sang bayi di hiasi pakaian indah dan di taburi wewangian selanjutnya di gendong dengan selimut dalam pelukan ayahandanya.

 Sambil berjalan menyusuri saf jamaah yang melaksankan salawatan maulid diba djikir turunan, di dendangkan alunan suara dzikir berpadu merdu menyemarakkan nuansa dalam denyut napas agamis.

Iringan sair maulid diba  ini  berasal dari kitab barnanji imam saraful anam yang telah lama di kenal masyarakat adat bacan  dengan istilah dzikir turunan karna  dalam sair salawatan itu terdapat beberapa kali perubahan nadanya.  

Rangkaian prosesi ritual adat yang di mulai dari kelahiran bayi pertama, Azan, pemberian nama bayi,  pemotongan rambut, penyembelihan korban hakikat dan “batijakakang lecak”.adalah wujud pemberkatan dan keselamatan.  

Maksudnya dzikir salawatan itu tidak lepas dari munajad keberkahan  dan kesalamatan sibayi serta keluarga kecilnya selama dalam perjalanan hidup penuh dengan ridha Allah dan safaat Rasulnya dunia akhirat.

PROSESI RITUAL BATIJAKAKANG LECAK YANG KE TIGA       

Adapun prosesi  “batijakakang lecak” yang ketiga di laksanakan pada seusai momen perkawinan anak pertama, putra atau putri sulung yang berstatus perjaka dan perawan dalam suatu  keluarga. Hal mana pada seusai pelaksnaan acara perkawinan, maka biasanya orang tua mempelai lelaki dan wanita akan menuntun pasanngan kedua anaknya untuk mengunjungi karib kerabat dan handai tolan guna  berjabat tangan {basuba/ istilah tradisi}.

Pada saat kedua mempelai hendak akan melangkahkan kaki dari pintu depan rumah mempelai saat itulah di laksanakan prosesi Batijajakakang lecak di depan pintu sebagai symbol perkenalan dunia baru bagi pasangan rumah tangga itu.

Artinya jika beberapa waktu lalu sebelum menikah keduanya masih berstatus bujang dan masih bebas menentukan arah tidak terikat dalam penyatuan tujuan hidup secara hukum. Tetapi setelah menikah, keduanya telah  terikat secara hukum dan tanggung jawab masing –masing sesuai hak dan kewajibannya.

Di samping itu pesan filosofi  yang tidak kalah pentingya dalam prosesi ritual “Batijakakang lecak” dari pasangan ini adalah mereka harus menjaga keseimbangan hubungan keluarga kedua belah pihak.

Oleh karena pernikahan keduanya adalah merupakan reprecentase dari ikatan tali silaturrahiim antara kedua belah pihak antar besan ipar,  ciofo dll {istilah tradisi}. 

Sebab itu, keharmonisan hubungan keluarga kedua belah pihak akan terganggu keseimbangannya apabila rumah tangga kedua mempelai mengalami keretakan . 

Budi pekerti luhur kedua pasangan suami istri pasti di nilai secara timbal balik oleh keluarga dua belah pihak sehingga muncul kesan tergantung budi pekerti pasangan ini di mata keluarga.

 Itulah sehingga prosesi ritual batijakkang lecak dan rapalan nasihat bijak yang bacakan  di harapkan mampu menyentuh dinding naluri pasanagan mempelai untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan keluarga kedua belah pihak.

 

PROSESI BATIJAKAKANG LECAK YANG KE EMPAT 

 Prosesi ritual  “batijakakang lecak” ke empat ini di laksanakan pada saat selesai sultan  atau para pemangku adat  utama di lantik  dan diambil sumpahnya untuk memikul tanggung jawab berat dalam menjalankan segala ketentuan adat istiadat.

Dimana saat seorang sultan atau perangkat utamanya  dilantik maka setelah memakai mahkota, Lakare { lambang  kebesaran adat, maka akan di lakasanakan prosesi ritual batijakakang lecak.

 

Dalam prosesi ritualnya sang sultan terpilih dan atau perangkat utama yang di lantik akan di ambil sumpahnya untuk memikul beban amanah sebagai pemimpin spiritual adat.

Sejumlah rapalan Hadrat, sawabah, doa, bobeto,rorasa,siloloa mengiringi penobatan dan sumpah jabatan, akan tetapi yang  memadai semua itu adalah pesan moral yang menembus Nurani melalui  prosesi Ritual Batijakakang lecak.

 

PROSESI RITUAL BATIJAKAKANG LECAK YANG KE LIMA.

 

 Ritual batijakakang lecak yang kelima di laksanakan saat menyambut  keluarga berpuluh tahun pergi jauh merantau dan kembali dengan suatu keberhasilan .

Atau ada silisilah ahli nasab yang di lahirkan di luar daerah sedang beratus tahun  keturunanya baru di menemukan keluaganya dan pulang ke kampung halaman.

Maka adat akan memberikan penghormatan atas kepulangannya, dan prosesi ini bertujuan untuk mengingatkan hak dan kewajibannya serta tanggung jawabnya kepada negeri asal-usul kelahiran yang telah lama di tinggalkannya.

 

 

 

Jika tamu  kehormatan yang datang dari jauh ke wilayah kesultanan Bacan dan  di mulyakan kedatangannya itu dengan prosesi ritual Batijakakang lecak.

Baik prosesi itu di lakukan di Bandara, di dermaga, atau di depan gerbang kedatong maka itu artinya tamu yang bersangkutan wajib membayar mahar yang sesuai.

Hal ini sebagai wujud penghormatan terhadap penyambutan  adat istiadat karena telah mentasbihkan dirinya atau rombongannya sebagai keluarga.

Jika prosesi itu terjadi maka dari pihak  adat  yang menyambutnya  harus mempersembahkan tarian kegembiraan untuk menghibur tatamunya itu. 

Adapun Ritual Batijakakang lecak ini telah  lazim di kenal oleh masyarakat adat Bacan tempoe doloe sejak kerajaan Bacan masih berada di limau dolik kie Besi Mara Makian.

(Salah satu Nama Gunung di  Kec. Makeang  )

 Akan tetapi seiring perjalanan waktu Ritual batijakakang lecak pun telah berubah dalam tata laksana, makna dan nilai-nilai maupun filosofi yang terkandung di dalamnya.

 

 Tata laksana sesuai adat tradisi sebagaimana di atas telah mengalami pergeseran dari symbol aslinya, atau mungkin karena  Kesultanan Bacan secara berulang kali pernah  mengalami kefakuman beberapa waktu silam hingga banyak kebudayaan tradisi pun mulai menghilang.

 

 

Adapun kelengkapan ritual batijakakang lecak itu terdiri dari piring putih,  rumput piring, daun pulih, sedangkan pada satu mangkok putih  yg lain terdapat air, bercampur bunga melati, bunga mawar ,dan bunga kenanga,

 Kaki yang bersngkutan di basuh dengan air lalu di  injakkan keatas piring yang didalamnya terdapat rumput piring serta di tepuk kakinya dengan daun pulih disertai rapalan bobeto,  dan doa keselamatan.

Demikian sekelumit narasi ya

ng terpendam di balik paparan kronologi maksud dan tujuan prosesi ritual “batijakakang lecak”

 

{Sumber data ‘Lembaga pengkajian budaya saruma Nsantara Halmahera Selatan}.


Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Komunitas Karya Budaya

Lembaga Pengkajian Budaya Saruma NUsantara Halmahera Selatan

Amasing kota

081340527889

Isnain77@gmail.com

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Maestro Karya Budaya

Jufri Binsan

Amasing kota

081340527889

Isnain77@gmail.com

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
   Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047