Tari Denge-Denge

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001231
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Maluku Utara
Responsive image

Pada jaman dahulu kala terdapat suatu komunitas kehidupan Rakyat yang terletak di bagian timur pulau Sula tepatnya di Kampung Baleha. Mayoritas rakyat hidup dengan cara bercocok tanam/berkebun dalam bahasa Sula disebut dengan Bamus. Pada saat bercocok tanam rakyat selalu menyanyikan lagu-lagu seperti pantun, dengan tujuan agar meringankan pekerjaan di saat bertanam. Kemudian tiba pada saat memanen hasil kebun tersebut, pada malam harinya rakyat mensukuri nikmat yang diberikan oleh Allah S.W.T dengan cara merayakan hasil kebun mereka dengan gembira yaitu membunyikan alat-alat musik seadanya yang pada saat itu mengandalkan suara pukulan Lesung dan anak lesung serta Auyota atau Bambu yang dikelaborasi menjadi sebuah musik tarian.

Kemudian perkembangan zaman sejak tibanya Sultan Ternate DJabir Sjah. Tarian ini diperagakan dengan menggunakan alat rabana dan nyanyiannyanyian dengan bahasa daerah setempat, sambil menari antara pria dan wanita yang dilaksanakan di tempat umum di bangunan bertiang tinggi Uma Led atau rumah panggung yang disaksikan oleh para penguasa atau tokoh-tokoh adat setempat. Nyanyian dan tarian itu kemudian di kenal dengan nama tarian Denge Denge yang berarti tarian Penjemputan Kapita. Tarian Denge Denge juga ditarikan disertai dengan pantun-pantun yang digunakan di saat mereka mendayung dengan perahu joanga, ketika mereka mengantar upeti ke kesultanan Ternate. Pantun Denge-Denge juga berfungsi sebagai simbol pengenal yang berfungsi sebagi instrumen penangkal aktivitas bajak laut. Karena pada masa itu bajak laut melancarkan aktivitasnya di perairan laut Halmahera dan sekitarnya. Dalam menangkal kapal-kapal Belanda maupun penduduk antar pulau di kawasan Maluku Kie Raha (Maluku Utara sekarang). Pada saat itu, seluruh wilayah di bawah kekuasaan kesultanan Ternate diwajibkan bagi mereka untuk menyetor upeti kepada kesultanan.

Untuk mengantar upeti oleh warga kepulauan Sula, sering mendapat tantangan dari armada bajak laut atau perompak di perairan Halmahera dan sekitarnya yang berasal dari Tobelo dan Gelela Halmahera Utara. Salah satu cara untuk menangkal bajak laut pada saat itu adalah dengan cara melantunkan sair-sair Denge-Denge kepada pasukan bajak laut. Karena dengan demikian pasukan bajak laut tidak akan melancarkan atau melakukan penangkapan perahu-perahu joanga dari Sula, Bacan, Makian dan Banggai sekitarnya yang sedang mengantar upeti di kesultanan Ternate (A.B. Lapian, 2001).

 

Denge-Denge pada masa itu adalah sebagai salah satu simbol patron klein antar kesultanan Ternate dengan rakyatnya di pulau-pulau dalam wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu tarian Denge-Denge masa itu dijadikan sebagai salah satu instrumen penguat identitas masyarakat kesultanan. Ketika pasukan bajak laut melakukan aktivitas penangkalan perahu-perahu Joanga dan jika terdengar ayunan sair dan pantun-pantun Denge-Denge diperahu tersebut, maka mereka tidak berani untuk melakukan penangakapan atau perampokan, karena mereka tahu bahwa orang-orang dari pulau sekitarnya lagi mengantar upeti ke Ternate.( Adnan Amal, 2013).


Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Komunitas Karya Budaya

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara

Jl. Lorong Depan SMA Negeri 1 Sanana

082194159499

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Maestro Karya Budaya

Jaria Sanaba

Jl. Lorong Depan SMA Negeri 1 Sanana

082194159499

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
   Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047