TETAKEN

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001176
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

Upacara adalah sistem aktivitas atau rangkaian atau tindakan yang diatata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masayarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1980:140).  Upacara adat yang didasarkan dari budaya masyarakat suatu wilayah secara turun-temurun.  Tetaken berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti teteki atau maknanya adalah pertaapaan. Tak heran, dalam pelaksanaan ritual ini, suasana religius yang kental namun sederhana menandai ritual ini. Sejarah Upacara ritual tetaken ini bermula dengan kisah, ketika Tunggul Wulung bersama Mbah Brayat mengembara. Tujuan, melakukan pengabdian dan menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa setelah bertapa di Gunung Lawu. Namun, dalam perjalanan, dua orang ini berpisah. Mbah Brayat memilih tinggal di Sidomulyo, sementara Kiai Tunggul Wulung memilih lokasi yang sepi di puncak Gunung Lima Kebonagung (Reizya Gesleoda Axiaverona, RB. Soemanto, 2018).

 Prosesi Upacara Adat Tetaken ada dua rombongan yaitu: pertama, rombongan Juru Kunci (keturunan Tunggu Wulung) turun Gunung Limo diikuti oleh siswa atau murid disertai dengan abdi yang selalu setia melayani keperuan murid dan ki juru Kunci selama bertapa atau bersemedi di gunung Limo.  Rombongan kedua, iring-iringan besar warga disertai dengan perangkat Desa Mantren memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung dengan dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira (air yang diperolah dari pohon aren). Saat berada di tempat acara, secara bergilir para pembawa legen menuangkan isi bumbungnya ke dalam sebuah gentong yang diyakini bermanfaat untuk kesehatan.

Tumpeng (Tumungkula Sing mempeng) mengandung pengertian bahwa pada hakikatnya manusia jika ingin selamat dunia dan akhirat harus selalu berdoa, berusaha, serta mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.  Tumpeng mempunyai bentuk kerucut sebagai wujud manusia yang semakin berumur akan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan urap merupakan sayuran yang dikasih parutan kelapa yang telah diberi bumbu mempunyai perlambang sebagai berikut: 1) Urip (hidup) manusia harus tahu hakikat dari kelahiran dan kematian; 2) urup (berharga) manusia dalam kehidupan bermasyarakat harus berguna bagi sesama; 3) urap (campur) manusia sebagai makhluk sosial harus senantiasa dapat berinteraksi dengan manusia dan lingkungan sekitarnya.

Ayam panggang manusia jika diuji dengan cobaan dalam hidup harus ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Telur rebus mengandung pengertian bahwa kehidupan ini ibarat dua pasang yang sangat berlawanan.  Jenang sebagai perlengkapan upacara Tetaken merupakan simbol kebersihan hati dan kesejahteraan.  Sedangkan jenang sengkala merupakan jenang abang sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan senantiasa berdoa sebagai wujud penyerahan diri untuk keselamatan dan keberkahan dalam hidup.

Upacara adat di Jawa berhubungan dengan tiga hal, yaitu berhubungan  dengan  kehidupan manusia, berhubungan dengan alam, serta  berhubungan  dengan agama dan kepercayaan, bahwa masyarakat Jawa sangat mendambakan  hubungan dinamis antara manusia dengan alam dan Tuhan (Sri Wintala, 2017: 57). Tetaken merupakan tradisi  masyarakat sekitar Gunung Lima, yang masih terpelihara hingga saat ini.  Tetaken berasal dari kata Sansekerta yang berarti Teteki. Artinya pertapan. Di mana tradisi ini sangat kental yang masih menggunakan ritual. Tradisi adalah  sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat  pendukungnya. Bahwa menurut Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Jalaluddin  bahwa “Tradisi merupakan unsur sosil dan budaya yang telah mengakar dalam  kehidupan masyarakat dan sulit untuk diubah (Jalaluddin, 2004: 187-188).

Proses pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima dibagi  menjadi dua yaitu a) proses awal dengan tahapan: sebo, cantrik, semedi dan thontongan. b) proses pelaksanaan yakni: pelaksanaan awal: hasil bumi dan  peserta, pelaksanaan inti: mandhap, siraman, padhadaran, kirab, srah srahan, ujuban, doa, legen (Yantika Eka Saputri, 2018) .  Tahun 2018 atau 15 Muharram 1440 H memilki kesamaan dengan upacara adat Tetaken pada tanggal 15 Muharram 1441 H yaitu pembukaan, turun gunung, prosesi nyuceni, prosesi pendhadaran, kirab, serah terima siswa Tunggul Wulung kepada Demang Mantren, doa serta kembul buceng dan hiburan.

Adapun prosesi Upacara Tetaken 15 Muharram 1441 H sebagai berikut.  Pembukaan dengan dibunyikannya kenthongan yang berada di Padepokan Tunggul Wulung diiringi langgam lagu Gunung Limo. Kemudian Ki Juru Kunci beserta murid akhirnya menuju pelataran yang telah disediakan untuk melaksanakan prosesi Nyuceni murid atau membersihkan diri secara simbolik sebagai perwujudan sucinya siswa setelah menyelesaikan ilmu hubungan manusia dengan alam di Gunung Limo.

Prosesi Nyuceni terdiri dari tiga kegiatan: pertama, sebagai tanda kelulusan, ikat kepala para murid itu dilepas; kedua satu persatu siswa diberi minum air dari sari aren / sajeng; ketiga secara bergilir, para murid tersebut menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri. Prosesi tersebut  bermakna bahwa setelah diwisuda, juru kunci memberikan wejangan kepada siswa bahwa tantangan bagi pembawa ajaran kebaikan tidaklah ringan, banyak sekali  ujian dan rintangan yang berat yang harus dihadapi dalam realitas kehidupan. Pemberian wejangan dan nyuceni disaksikan oleh Demang  dan seluruh masyarakat Mantren yang hadir dalam upacara Tetaken.

Setelah selesai memberikan wejangan dan menyerahkan murid yang telah diwisuda kepada masyarakat Mantren prosesi selanjutnya mendengarkan penerimaan siswa yang diwakili oleh Demang Mantren, Ucapan Alhamdulillah, Bacaan Al Fatihah diucapkan oleh Demang Mantren sebagai rasa syukur telah diwisudanya Siswa yang telah melalui proses pendidikan (bertapa) di Gunung Limo. Harapannya siswa dapat membaur dengan masyarakat Mantren sehingga dapat mewujudkan Mantren yang aman, makmur,  sejahtera,  dan hidup berdampingan dengan alam sekitar. Acara diakhiri dengan makan bersama-sama

Daftar Pustaka

Jalaluddin. 2004.  Psikologi Agama.  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropolog Jilid I dan II Jakarta : Universitas Indonesia

Reizya Gesleoda Axiaverona, RB. Soemanto. 2018. Nilai Sosial Budaya Dalam Upacara Adat Tetaken (Studi Deskriptif Upacara Adat Tetaken Di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan).  Journal of Development and Social Change, Vol. 1, No. 1, April 2018: P.18-28 p-ISSN 2614-5766, https: //jurnal.uns.ac.id/jodasc. 

Sri Wintala. 2017.  Filsafat Jawa: Menguak Filosofi, Ajaran, dan Laku Hidup Leluhur Jawa. Yogyakarta: Araska

Yantika Eka Saputri. 2018.  Nilai-Nilai Religius Dalam Tradisi Upacara Adat Tetaken Gunung Lima (Studi Kasus Di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan). Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam  Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan  Institut Agama Islam Negeri Ponorogo.

 

 


Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Komunitas Karya Budaya

Komunitas Pengembangan Sosial Budaya

Jl. Buwono Keling Km-1, RT 03 RW IV Dusun Krajan Desa Sirnoboyo Pacitan

085235845151

Rafid.musyffa@gmail.com

Pemerintah Desa Mantren

Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan , Propinsi Jawa Timur.

0

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Maestro Karya Budaya

Ismail

Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

0

-

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
   Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047