Upacara Adat Mahesa Lawung

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101291
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image
Upacara adat Mahesa Lawung merupakan tradisi turun-temurun sejak era dinasti Mataram dengan cara mengubur kepala kerbau di hutan Krendowahono Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Mahesa Lawung adalah upacara meminta keselamatan kepada Tuhan. Menurut Pengageng Budaya Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Satrio Hadinegoro ritual Mahesa Lawung dilakukan setiap hari Senin atau Kamis di Rabiul Akhir atau bulan keempat dalam kalender Jawa. Ini bertujuan membuang sial atau sifat buruk manusia melalui penguburan kepala kerbau. Upacara dimulai di Bangsal Sewayana Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dipimpin oleh Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan membuka acara sebelum sesaji kepala kerbau termasuk ubarampenya dibawa ke alas Krendhowahono. Proses Persiapan Sesaji Proses persiapan sesaji dalam tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung dibagi menjadi dua yaitu proses memperoleh bahan-bahan yang digunakan seabagai sesaji dan prosesi mengolah dan mempersiapkan sesaji. 1. Proses Memperoleh Bahan Sesaji Meskipun bahan-bahan yang diperlukan dalam menyusun sesaji pada umumnya dapat diperoleh di pasar tradisional, namun ada sesaji tertentu yang proses memperolehnya tidak dapat dilakukan dengan mudah. Sesaji tersebut adalah kerbau yang hendak disembelih sebagai sesaji utama dalam pelaksanaan tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung. Sesaji ini diperoleh dengan berbagai ketentuan. Kerbau yang digunakan sebagai syarat sesaji dalam tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung merupakan kerbau umbaran, masih muda, perjaka, serta belum digunakan tenaganya untuk keperluan manusia. Umbaran maksudnya adalah kerbau yang digunakan sebagai sesaji dalam ritual ini merupakan kerbau liar atau boleh kerbau ternak namun tidak hidup di kandang. Masih perjaka maksudnya adalah kerbau yang akan digunakan sebagai sesaji belum pernah kawin serta belum pernah digunakan tenaganya untuk keperluan manusia seperti untuk membajak sawah, mengangkut barang, menyeret gerobak atau sarana transportasi lainnya. Kerbau yang sudah didapat kemudian disembelih. Tatacara menyembelih kerbau menggunakan aturan penyembelihan binatang dalam agama Islam yaitu dengan membaca Al-Fatihah dan kalimat Takbir. Kucuran darah kerbau yang pertama kali keluar saat disembelih diambil sebagai salah satu syarat sesaji. Beberapa bagian tubuh kerbau seperti kepala, daging, paru, hati, dan jantung ditempatkan di sebuah bejana tempat sesaji dan dibawa ke dalem Gondorasan untuk diolah sebagai sesaji, sedangkan sisa daging yang tidak diperlukan sebagai sesaji dibagikan kepada para abdi dalem yang bertugas menyembelih kerbau. 2. Proses Mengolah Sesaji Berbagai bahan yang sudah diperoleh kemudian diolah menjadi sesaji. Sesaji wajib diolah dan dipersiapkan di dalem Gondorasan yang merupakan dapur Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Gondorasan berasal dari bahasa Jawa yaitu ganda berarti aroma dan rasa yang berarti rasa, sehingga dalem Gondorasan dapat diartikan sebagai tempat untuk memasak dimana para abdi dalem yang bertugas hanya diperbolehkan menakar kualitas cita rasa masakan dengan mengandalkan indera penciuaman, tidak diperkenankan menakar kualitas rasa dengan mencicipi olahan yang sedang dibuat. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa mencicipi sesaji sama halnya memberikan sisa masakan untuk ritual persembahan. Syarat lain yang harus dipenuhi oleh abdi dalem yang bertugas memasak sesaji adalah bahwa para perempuan abdi juru saji harus dalam keadaan suci. Suci yang dimaksud adalah suci dari hadas besar yang dalam agama Islam hadas besar terdiri dari haid, nifas, dan wiladah. Bahkan beberapa masakan tertentu ada yang wajib diolah oleh wanita yang sudah menopouse atau dalam istilah Jawa uwis luwas getih. Selain beberapa ketentuan tersebut di atas, ada beberapa syarat sesaji yang lebih spesifik yang tidak boleh ditinggalkan dalam mengolah dan mempersiapkan beberapa sesaji. Beberapa syarat sesaji tersebut adalah sebagai berikut. 1. Lele Sajodho Kendhil (wadah) yang digunakan untuk menaruh sepasang ikan lele tersebut harus diisi dengan air sungai tempukan atau tempuran, yaitu air yang diambil dari pertemuan dua arus sungai. Menurut kepercayaan orang Jawa, air pertemuan dari dua arus sungai merupakan air yang memiliki energi yang dapat digunakan untuk sarana meditasi. Sesaji ini adalah sajen memule Kangjeng Nabi Salalahungalaihiwassallam. Syarat yang wajib dilaksanakan dalam mengolah dan mempersiapkan sajen memule Kangjeng Nabi Salalahungalaihiwassallam yaitu dalam mengolah dan menata sesaji abdi dalem yang bertugas wajib membaca Salawat. Adapun Salawat tersebut bunyinya demikian ?Allahumma sali ngala syidina Muhammad wa ala ngalihi sayidina Muhammad?. 2. Panggang Tumpeng Sesaji yang juga disebut sebagai sajen memule Seh Ngabdulkadir Jaelani ini wajib diolah dan dipersiapkan oleh wanita yang sudah menopouse atau dalam istilah Jawa uwis luwas getih. Sesaji ayam yang digunakan dalam sajen memule ini adalah ayam jago pethak kang lumancur (ayam jantan putih yang masih muda). Pada saat mengolah sesaji ini juga diwajibkan membaca Salawat serta tidak diperkenankan berbicara dengan siapapun kecuali mengamalkan bacaan Salawat tersebut. Pengolahan sesaji yang akan digunakan dalam tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung dipimpin oleh kepala abdi dalem Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bagian juru saji yakni Nyai Lurah Gondoroso. Beliau memerintahkan kepada para abdi dalem juru saji untuk memulai mempersiapkan sesaji setelah mendapatkan surat perintah dari kantor Pengageng Sasana Wilapa atau pada jaman sebelum era Sri Susuhunan Pakubuwana XIII surat perintah tersebut diberikan oleh kantor Pengageng Parentah Karaton. Kemudian dimulailah proses memasak sesaji. Proses memasak sesaji ini dilaksanakan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh rumah tangga dapur Karaton Surakarta Hadiningrat. Aturan tersebut diantaranya adalah bahwa sesaji yang bersifat khusus dalam pengolahnya harus dilaksanakan secara pribadi oleh Nyai Lurah Gondoroso dibantu oleh asistennya yakni Nyai Lurah Sokolanggi. Sesaji yang dimasak dan disiapkan langsung oleh Nyai Lurah Gondoroso adalah sajen pepak ageng. Sesaji yang lainnya yang membutuhkan laku khusus dilaksanakan oleh Nyai Lurah Sokolanggi dengan dibantu oleh bebrapa abdi dalem juru saji lainnya. Tugas-tugas memasak sesaji yang lain kecuali sesaji yang telah diolah oleh Nyai Lurah Gondoroso dan Nyai Lurah Sokolanggi dilaksanakan oleh para abdi dalem juru saji lainnya dengan diawasi dan dibimbing oleh Nyai Lurah Sokolanggi hingga proses persiapan sesaji dan penataan sesaji yang dibutuhkan dalam ritual ini telah usai. Setelah semua sesaji yang dibutuhkan dalam tradisi ritual ini selesai dipersiapkan kemudian ditata di pendhapa dalem Gondorasan. Prosesi Pelaksanaan Ritual Sesaji Terdapat dua rangkaian tradisi dalam prosesi upacara ritual ini. Rangkaian yang pertama adalah tradisi ritual Wilujengan Nagari yang dilaksanakan di Bangsal Sewayana Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan rangkaian ritual tradisi yang kedua yakni caos sesaji di hutan Krendowahono. A. Prosesi Wilujengan Nagari di Bangsal Sewayana Wilujengan Nagari di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah upacara tradisi dalam rangka permohonan keselamatan atas keberadaan Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Upacara ini digelar tiga kali dalam setahun berdasarkan pedoman kalender Jawa Sultan Agungan. Upacara Wilujengan Nagari yang pertama adalah Kirab Pusaka Malem Siji Sura dengan mengkirabkan pusaka-pusaka Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat keliling Baluwarti. Wilujengan Nagari yang kedua dilaksanakan setiap tanggal tujuh belas Sura yaitu upacara Wilujengan Nagari Pengetan Boyong Kadhaton atau peringatan perpindahan karaton Mataram Kartasura ke desa Sala yang sekarang menjadi Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Wilujengan Nagari yang terakhir adalah setiap pisowanan pungkasan dalam bulan Rabingul Akir atau bulan Bakda Mulud yang disebut dengan Wilujengan Nagari Mahesa Lawung. Ketiga tradisi ritual Wilujengan Nagari yang dilaksanakan oleh Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini memiliki ciri khusus dalam setiap tradisi-tradisi yang dilaksanakan. Ciri-ciri yang membedakan antara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung dengan Wilujengan Nagari lainnya adalah pada prosesi berlangsungnya tradisi ritual ini. Wilujengan Nagari Mahesa Lawung digelar sebelum melaksanakan tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung. Prosesinya adalah dimulai dengan mengusung ubarampe sesaji dari dalem Gondorasan ke Bangsal Sewayana kompleks Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Prosesi mengusung sesaji ini dilakukan oleh para abdi dalem keparak putri, ulama karaton, abdi dalem Suranata, dan abdi dalem pangkat jajar. Urutan mengusung sesaji ini adalah paling depan bregada unen-unen (prajurit drum band), prajurit Jagaraga, prajurit Jangengastra, prajurit Sorogeni, prajurit Joyosuro, prajurit Prawiroanom, pajurit Panyutra, sepasang prajurit Cantang Balung, dan abdi dalem penabuh Gamelan Corobalen yang kemudian disusul dengan para ulama karaton dan abdi dalem Suranata yang menggendong sesaji berupa sepasang manten yang dilanjutkan para abdi dalem keparak putri yang membawa sesaji yang ditempatkan di dalam kendhil yang dibalut sindur, dan paling belakang adalah para abdi dalem pangkat jajar yang membawa sesaji yang dimasukan kedalam jodhang (tandu sesaji). Iring-iringan ini dimulai dari plataran Sasana Sewaka melewati Bangsal Sri Manganti, kori Kamandungan Lor, Regol Brojonolo Lor, dan berakir di Bangsal Sewayana, Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sesampainya di Bangsal Sewayana sesaji diletakkan di atas meja yang telah disediakan dengan urutan paling utara adalah kepala kerbau, sepasang manten, sesaji-sesaji yang dibalut kain sindur, dan selanjutnya sajen-sajen memule serta sesaji wilujengan. Setelah semuanya tertata kemudian para abdi dalem, dan para sentana dalem duduk bersila mengelilingi sesaji. Busana yang dikenakan oleh abdi dalem adalah beskap cemeng, sedangkan sentana dalem menggenakan busana padintenan pethak, terkecuali para ulama abdi dalem Suranata mengenakan atela putih. Upacara Wilujengan Nagari dipimpin oleh pemuka abdi dalem juru Suranata setelah mendapatkan perintah dari Sri Susuhunan Pakubuwana untuk memulai prosesi ritual Wilujengan Nagari. Dimulainya acara pemanjatan doa dalam upacara ini bertepatan dengan mengepulnya asap kemenyan madu yang dibakar oleh Nyai Lurah Sukarsih. Adapun doa yang dipanjatkan dalam upacara Wilujengan Nagari ini adalah doa dalam agama Islam yang berbahasa Arab serta doa berbahasa Jawa. Setelah prosesi pemanjatan doa dalam ritual Wilujengan Nagari di Bangsal Sewayana selesai, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan menuju hutan Krendowahono untuk melaksanakan tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung. Tidak semua sesaji yang digelar dalam acara Wilujengan Nagari dibawa ke hutan Krendowahono. Sesaji yang dibawa hanya kepala kerbau, manten sepasang, sesaji yang dibalut dengan kain sindur, dan sajen pepak ageng. Sesaji yang lain yakni sajen memule dan sajen wilujengan dibagi di Siti Hinggil kepada mereka yang tidak ditugaskan mengikuti jalannya prosesi ritual di hutan Krendowahono. B. Prosesi Tradisi Ritual Sesaji Mahesa Lawung di Krendowahono Tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung yang dilaksanakan di hutan Krendowahono merupakan kelanjutan dari prosesi ritual Wilujengan Nagari yang dilaksanakan di Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Urutan upacara ritual yang diselenggarakan di hutan Krendowahono ini dimulai dengan menata sesaji di atas pundhen yang berada di bawah pohon beringin putih di tengah hutan yang dipercaya sebagai tempat sakral sekaligus kedhaton dari Kangjeng Ratu Batari Kalayuwati. Kangjeng Ratu Batari Kalayuwati merupakan putri Batari Durga yang dipercaya sebagai penguasa bangsa jin, brekasakan, drubiksa, priprayangan, ilu-ilu, banaspati, wewe, gandarwa, dan berbagai jenis makhluk gaib lainnya. Setelah sesaji selesai ditata, kemudian salah satu ulama karaton mendapat perintah dari Pengageng Sasana Wilapa untuk membuat perapian dengan menyalakan arang menjadi bara api di atas tunggu yang disebut dengan anglo. Arang yang sudah menjadi bara api tersebut kemudian sedikit demi sedikit disiram dengan arak, badheg, dan darah kerbau hingga menimbulkan kepulan asap dan bau menyengat yang tidak sedap. Setelah dirasa cukup mengeluarkan banyak asap, kemudian perapian tersebut digunakan untuk membakar kemenyan sehingga menimbulkan bau yang sangat apek. Bebauan atau aroma yang ditimbulkan dari pembakaran arak, badheg, darah kerbau dan kemenyan ini dipercaya dapat mendatangkan makhluk gaib brekasakan sebangsa drubiksa, wewe, jin, priprayangan, dan lain sebagainya. Para makhluk halus semacam brekasakan menyukai aroma-aroma yang tidak sedap. Maka tidak benar apabila pembakaran kemenyan, dupa, atau ratus yang berbau harum itu dianggap memberi makan setan. Bau wewangian yang demikian itu merupakan sarana untuk meditasi atau mengheningkan cipta dalam berdoa memohon kepada Sang Khalik. Bertepatan dengan munculnya asap dari perapian tersebut, kemudian dimulailah acara ritual dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ulama karaton dan abdi dalem Suranata. Usai pembacaan doa yang dipanjatkan oleh ulama karaton dan abdi dalem Suranata kemudian dilanjutkan dengan pemanjatan doa secara pribadi oleh masing-masing putra sentana yang dilakukan secara bergiliran dengan menaiki pundhen dibawah pohon beringin putih. Upacara pemanjatan doa dilakukan secara bergiliran dimulai dari para Gusti yaitu putra-putri Sinuhun Pakubuwana, para wayah dalem, para buyud dalem, para canggah dalem, dan para wareng dalem. Adapun para sentana dalem grad enam dan seterusnya serta para abdi dalem melakukan doa di bawah pundhen. Setelah upacara pemanjatan doa, kemudian dilanjutkan dengan upacara mengubur kepala kerbau di hutan Krendowahono yang letaknya tidak jauh dengan keberadaan pohon beringin putih, sementara sesaji-sesaji yang lain diturunkan dari atas pundhen dan dibawa ke sebuah pendhapa yang letaknya bersebelahan dengan pundhen tersebut. Sesaji yang telah diturunkan kemudian dibagikan kepada para abdi dalem dan kawula dalem yang mengikuti prosesi ritual sesaji Mahesa Lawung hingga selesai. Makna Upacara Sesaji Mahesa Lawung Sesaji Mahesa Lawung yang dilaksanakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah ritual rutin tahunan. Tradisi yang digelar di hutan Krendowahono ini adalah sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sebagai bentuk penghormatan terhadap Kangjeng Ratu Batari Kalayuwati yang dalam pewayangan dipercaya sebagai putri dari Batari Durga. Meskipun secara singkat keberadaan ritual sesaji Mahesa Lawung dijelaskan demikian, namun dalam tradisi tersebut tersimpan makna yang lebih luas. Sesaji Mahesa Lawung sebagai sebuah tradisi ritual permohonan keselamatan dapat dilihat dari adanya rangkaian upacara tradisi Wilujengan Nagari. Kata wilujeng dalam bahasa Jawa berarti selamat dan nagari berarti negara, sehingga upacara Wilujengan Nagari merupakan sebuah upacara pemohonan dan ungkapan syukur atas keselamatan negara. Upacara yang dilaksanakan di Bangsal Sewayana ini sebagai ungkapan syukur karaton atas limpahan rahmat Tuhan yang telah memberikan keselamatan terhadap Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atas seratus hari perpindahan ibu kota negara dari Kartasura ke desa Sala. Kala itu Sri Susuhunan Pakubuwana II memindahkan ibu kota kerajaan pada tanggal 17 Sura Je 1670 Saka dan seratus hari perpindahan karaton jatuh pada tanggal 26 Rabingul Akhir (Bakda Mulud) Je 1670 Saka. Atas dasar peringatan tersebut, kemudian Wilujengan Nagari Mahesa Lawung dilestarikan turun temurun sampai sekarang yaitu dilaksanakan pada hari pisowanan pungkasan dalam bulan Rabingul Akhlir (Bakda Mulud). Adapun jadwal pisowanan di Karaton Kasunanan Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah setiap hari Senin dan hari Kamis. Tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung berangkat dari pengetahuan kepercayaan manusia bahwa Tuhan menciptakan dunia tidak hanya untuk dihuni oleh makhluk-Nya yang bersifat nyata, namun Tuhan juga menciptakan makhluk yang bersifat gaib untuk turut menempati dunia sebagaimana manusia. Manusia dianugerahi akal dan budi oleh Tuhan Yang Maha Esa, merasa perlu untuk dapat menyambung dan menjaga keharmonisan antar sesama makhluk ciptaaan Tuhan. Terlepas dari istilah syirik, musrik, dan takhayul, tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung dilaksanakan oleh Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai sarana untuk mencapai tujuan membangun hubungan keharmonisan antar sesama makhluk Tuhan tersebut, dalam hal ini Karaton Kasunanan Surakarta dengan karaton gaib di hutan Krendowahono. Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merasa perlu melaksanakan tradisi ini karena meyakini bahwa Tuhan menciptakan makhluk-Nya untuk dapat saling membantu dan melengkapi tanpa perlu adanya permusuhan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa sesaji Mahesa Lawung merupakan sebuah sarana yang ditempuh Karaton Kasunanan Surakata Hadiningrat sebagai bentuk permohonan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai upaya komunikasi menjaga hubungan kerharmonisan dengan penguasa gaib yang turut andil dalam menjaga kelestarian karaton. Secara lebih luas keberadaan sesaji Mahesa Lawung juga sebagai sarana penyelaras antara jagad cilik dan jagad gedhe atau lebih poluler dikenal dengan istilah mikro kosmos dan makro kosmos. Jagad cilik dan jagad gedhe adalah kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan, maka keduanya dituntut untuk dapat seimbang dan selaras. Jagad cilik, dalam hal ini adalah Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menduduki sebagian dari dunia nyata dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan jagad gedhe, yaitu alam semesta sebagai tempat berlangsungnya roda pemerinthan Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berserta kehidupan di dalamnya. Makna Simbol- simbol Sesaji Mahesa Lawung Sesaji sebagai syarat terpenting dalam melaksanakan sebuah upacara tradisi memiliki makna penting. Sesaji merupakan ungkapan harapan atau doa yang diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol sesaji. Sesaji yang digunakan dalam tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung dibagi menjadi beberapa kategori. Ketiga kategori tersebut yaitu sajen uba-uba, sajen pepak, sajen memule, dan sajen wilujengan. Adapun penjabaran makna dari masing-masing bentuk sesaji tersebut sebagai berikut. A. Makna Sajen Uba-uba Sajen uba-uba merupakan sesaji yang dipersiapkan untuk dibawa ke hutan Krendowahono setelah dilaksanakannya prosesi Wilujengan Nagari di Bangsal Sewayana, kompleks Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sesaji ini menjadi syarat utama dan tidak dapat ditawar dalam pelaksanakan sesaji Mahesa Lawung. Sesaji ini terdari dari aneka macam ubarampe sebagai berikut. 1. Sirah Mahesa Sirah mahesa merupakan sesaji berupa kepala kerbau yang diberi sangsangan bunga melati dan sepasang sumping gajah oling yang kemudian ditaruh pada sebuah bidang kayu berbentuk bulat dan ditutup menggunakan kain kafan. Sesaji ini kelak dikubur di hutan Krendowahono. Kepala kerbau yang dikubur di hutan Krendowahono ini sebagai lambang pemberantasan kebodohan. Hewan kerbau dalam filosofi Jawa identik dengan simbol kebodohan, sebagaimana unen-unen dalam bahasa Jawa yang berbunyi ?bodho longa-longo kaya kebo? yang berarti orang bodoh diibaratkan seperti kerbau, selain itu juga ada unen-unen ?aja cedhak kebo gupak?, ?kebo nusu gudel?, dan lain-lain. Pepatah Jawa ini menggambarkan bahwa sosok hewan kerbau merupakan simbol keadaan ketidakberdayaan. Terlebih lagi kerbau yang digunakan dalam sesaji ini adalah kerbau muda, liar, masih perjaka, dan belum dipekerjakan oleh manusia. Ini mengisyaratkan bahwa kebodohan yang amat sangat buruk yang disandang oleh masyarakat terutama para pemuda harus segera diberantas, karena kaum muda merupakan penyangga berdirinya sebuah negara. Apabila kaum muda dalam sebuah negara dilselimuti oleh kebodohan, maka negara tersebut tidak akan berkembang, bahkan terancam menjadi negara yang terbelakang. Adapun makna sangsangan bunga melati dan sumping galah oling adalah sebagai penyelaras. Penyelaras dalam hal ini adalah penyelaras antara dunia gaib dan dunia nyata. Hal gaib yang dimaksudkan adalah doa yang dipanjatkan melalui simbol sesaji kepala kerbau yang akan dikuburkan dan hal nyata yang dimaksud adalah langkah kongkrit dalam upaya memberantas kebodohan melalui penghayatan makna dari simbol sesaji tersebut. Adanya sangsangan bunga melati dan sepasang sumping galah oling pada sesaji kepala kerbau ini dimaksudkan bahwa ritual penguburan kepala kerbau bukan hanya semata-mata merupakan sebuah seremonial yang dilaksanakan secara simbolis saja, namun diharapakan agar menjadi kenyataan dengan menyelaraskan antara doa dan usaha. 2. Sekar Burba (Sekar Purbonagoro) Sekar burba atau sekar purbonagoro terdiri dari setangkai bunga matahari yang diberi sangsangan bunga melati dan sumping galah oling serta dibawahnya terdapat sesaji sekar setaman, ratus, gambir, kemenyan, dan letrek. Serangkaian sesaji ini ditempatkan pada sebuah kendaga yang didalamnya dibalut dengan daun pisang. Pada bagian luar tempat sesaji ini dibalutkan kain sindur yakni sebuah kain yang pada bagian tepi berwarna putih dan bagian tengah berwarna merah. Sesaji ini juga disebut dengan manten kakung. Sesaji sekar burbo yang juga disebut dengan manten kakung atau dalam bahasa Indonesia artinya pengantin laki-laki ini memiliki filosofi makna sebagai harapan pada kaum laki-laki dalam sebuah negara harus dapat memberikan pencerahan dan pengayoman. Kaum laki-laki harus bisa ngrampungi gawe atau dalam bahasa Indonesia berarti harus dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dalam dalam negara tersebut. Filosofi bunga matahari juga sebagai simbol bahwa laki-laki harus bisa berperan sebagai pencerah bagi kehidupan keluarganya dan bagi lingkungan di sekitarnya, sedangkan letrek yang terdiri dari sisir dan kaca pengilon (cermin) melambangankan bahwa laki-laki harus dapat menata hidupnya dan berkaca pada diri sendiri, sehingga dapat menyesuaikan diri dan bagaimana bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Adapun sekar setaman, ratus, dan kemenyan merupakan syarat sarana dalam doa yang dipanjatkan melalui simbol sesaji sekar burba tersebut. Sekar setaman yang terdiri dari bunga mawar merah dan putih merupakan lambang harapan layaknya simbol lingga dan yoni yang menggambarkan kesuburan, bunga kantil dan bunga kenanga sebagai lambang dari apa yang diharapkan dalam doa tersebut bisaa kumanthil lan hangenangana yang maksudnya doa yang dipanjatkan dalam bentuk simbol tersebut dapat terkabul menyertai dan mengenai setiap orang yang didoakan. Ratus dan kemenyan yang dibakar merupakan sarana wewangian dalam meditasi pemanjatan doa. Semua sesaji ini diletakan pada kendaga dan dibalut dengan kain sindur. Kain sindur yang berwarna merah dan putih adalah lambang purwaning dumadi yang maksudnya adalah awal keberadaan sesuatu hanyalah atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. 3. Pisang Ayu dan Sedhah Ayu Pisang ayu dan sedhah ayu terdiri dari setangkeb pisang raja temen yang diiris bagian-bagian ujungnya serta dibawahnya diberi sesaji berupa kinangan dan sekar setaman. Serangkaian sesaji ini ditempatkan pada kendaga yang didalamnya dibalut dengan daun pisang. Pada bagian luar tempat sesaji ini dibalutkan kain sindur. Sesaji ini disebut dengan manten putri atau ada juga yang menyebutnya dengan manten estri. Sesaji yang disebut dengan manten estri atau dalam bahasa Indonesia berarti pengantin perempuan ini memiliki makna sebagai harapan terhadap kaum muda perempuan. Pisang raja setangkeb memiliki makna bahwa perempuan harus dapat menyatukan tekad dalam mendukung kaum laki-laki untuk mencapai kemakmuran. Kinangan atau juga disebut sebagai ganten yang terdiri gambir, injet, sirih, dan tembakau melambangkan sikap pengendalian diri manusia untuk mencapai derajat kayuwanan, kasantosan, dan kautaman yang berarti manusia dapat menjadi sosok yang mulia, kuat, dan berbudi baik, sedangkan sekar setaman bermakna sesabagai harapan dari doa yang dipanjatkan agar dapat terkabul. Adapun kain sindur memiliki makna sebagai purwanaing dumadi yaitu awal keberadaan sesuatu hanyalah atas kehendak Tuhan. 4. Cengkir Cengkir merupakan buah kelapa muda yang dislumbat (dihilangkan sabut bagian atasnya) dan diberi hiasan tiga buah janur berbentuk spiral yang disebut sebagai sempritan. Cengkir ini berjumlah dua buah dan masing-masing dibalut menggunakan kain sindur. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah tembung jarwa dhosok yaitu sebuah kata yang menjadi singkatan yang dapat dijabarkan menjadi beberapa kata. Cengkir berasal dari kata kencenging pikir atau dapat diartikan sebagai tekat yang sudah bulat. Dengan demikian, sesaji ini memiliki makana sebagai harapan untuk tetap memiliki kekuatan tekad dalam menggapai sebuah keinginan. Adapaun janur yang dihiaskan dalam cengkir tersebut memiliki makna sebagai penerangan, dan kain sindur yang dibalutkan memiliki filosofi sebagai purwaning dumadi atau awal keberadaan sesuatu hanyalah atas kehendak Tuhan. 5. Gecok Mentah Gecok merupakan sebuah masakan tradisional Jawa, namun gecok yang disajikan sebagai sesaji dalam ritual ini adalah gecok yang masih mentah. Adapun resepnya terdiri dari thethelan daging sapi, santan kental, bawang putih, bawang merah, kencur, dan cabe merah. Sesaji ini ditempatkan pada kendhil yang juga dibalut dengan kain sindur. Gecok mentah dalam upacara tradisi berfungsi sebagai sajen buwangan yang memiliki maksud agar dalam memulai suatu pekerjaan selalu bertolak dengan awal yang baik dan berpengaruh baik pula dengan segala sesuatu yang dikerjakan. Selain itu, gecok mentah juga memiliki makna bahwa manusia dalam menempuh perjalanan hidup harus ditempa dengan berbagai macam pengetahuan. Kain sindur yang digunakan untuk membalut kendhil memiliki filosofi sebagai purwaning dumadi atau segala sesuatu dapat terjadi atas kehendak Tuhan. 6. Sambel Goreng Tombro Kakap Sambel goreng tombro kakap yaitu sebuah masakan sambal goreng pada umumnya namun bahan utama yang digunakan dalam masakan ini adalah ikan tombro atau ikan kakap. Sesaji ini juga diletakkan pada kendhil yang dibalut dengan kain sindur. Sesaji ini memiliki makna sebagai wujud kesetiaaan terhadap penguasa. Adanya sesaji ini diharapakan para rakyat dan pejabat tetap setia kepada negara dan tanah tumpah darahnya, sedangkan kain sindur adalah lambang purwaning dumadi yang berarti segala sesuatu akan terjadi atas kehendak Tuhan. 7. Pindang Ati Pindang ati yaitu masakan dengan bumbu pindang seperti umumnya, namun bahan baku yang digunakan adalah hati sapi. Sesaji ini juga diletakan pada kendhil yang dibalut dengan kain sindur. Sesaji ini merupakan harapan yang dipanjatkan terhadap Tuhan untuk selalu senantiasa memberikan peringtan kepada hamba-Nya agar lembah manah atau rendah hari dalam mengahadapi segala situasi, sedangkan kain sindur adalah lambang purwaning dumadi, yaitu segala sesuatu akan tercipta atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. 8. Ingkung Semur Kuning Ingkung adalah sebuah masakan Jawa terbuat dari ayam utuh yang diikat bagian kaki dan lehernya. Sedangkan ingkung semur kuning merupakan sebuah masakan ingkung dengan bumbu semur kuning. Sesaji ini diletakan pada kendhil yang dibalut dengan kain sindur. Ingkung memiliki filosofi yaitu manekung mring Gusti Kang Murbeng Dumadi yang berarti sesaji ini juga melambangkan sikap permohonan dan kepasrahan terhadap kuasa Tuhan Yang Maha Esa agar dilimpahkan segala anugrah dan dikabulkan segala doa yang dipanjatkan terhadap-Nya. Kain sindur yang digunakan untuk membalut tempat sesaji ini memiliki filosofi sebagai purwaning dumadi yang berarti segala sesuatu akan terjadi atas kehendak Tuhan. 9. Panggang Mahesa atau sesaji kebo siji Panggang mahesa terdiri dari beberapa bagian tubuh kerbau diantaranya daging, hati, paru, dan jantung kerbau yang dipanggang tanpa bumbu. Tempat menaruh sesaji ini adalah cemung yaitu sejenis bejana seperti bokor yang berbidang lebar. Sejaji ini juga dibalut dengan kain sindur. Kerbau merupakan binatang yang memiliki tenaga kuat yang dapat digunakan untuk membajak sawah. Sesaji panggang mahesa atau sesaji kebo siji merupakan sesaji pengorbanan seekor kerbau yang memiliki makna sebagai bentuk permohonan terhadap Tuhan agar dilimpahkan kekuatan dan kesejahteraan dalam hidup. Begitu pula dengan kain sindur, memiliki makna sebagai purwaning dumadi yang berarti segala sesuatu akan terjadi atas kuasa dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. 10. Panggang Ayam Panggang ayam yaitu sebuah masakan ayam utuh yang dipanggang dengan bumbu panggang. Sesaji ini juga diletakan pada cemung dan dibalut dengan kain sindur. Panggang ayam memiliki makna sebagai bentuk kepasrahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia diwajibkan memiliki rasa syukur dan narima ing pandum (ikhlas menerima pemberian Tuhan) atas apa yang telah diperjuangkan semasa hidupnya, sedangkan kain sindur memiliki filosofi sebaga purwaning dumadi yaitu setiap apa yang tercipta di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. 11. Kutu Walangan Ataga Kutu walangan ataga merupakan istilah kumpulan hewan-hewan kecil yang digunakan sebagai sesaji Mahesa Lawung. Jenis hewan tersebut yakni terdiri dari berbagai jenis belalang yang ditaruh dalam sebuah kendhil dan dibalut dengan kain sindur. Sesaji ini merupakan panjatan doa yang memiliki filosofi bahwa kehidupan rakyat kecil di dalam sebuah negara agar dilimpahkan fikiran dan ide yang kreatif untuk menjalani hidup agar mampu bersaing dalam setiap perubahan jaman. Kain sindur yang membalut sesaji ini memiliki makna sebagai purwaning dumadi atau awal keberadaan sesuatu di dunia ini adalah dari kehendak Tuhan. 12. Lele Sajodho Sepasang ikan lele hidup yang ditaruh di dalam kendhil berisi air dan juga dibalut dengan kain sindur. Sesaji ini memiliki filosofi sebagai bentuk permohonan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk senantiasa diberikan kesejahteraan dan generasi penerus yang lebih baik. Kain sindur yang membalut kendhil bermakna purwaning dumadi atau awal mula keberadaan sesuatu adalah atas kehendak Tuhan. 13. Kemenyan, arak, badheg, dan rah mahesa Arak adalah sebuah minuman beralkohol yang dibuat dari hasil fermentasi beras ketan. Arak ini ditempatkan di dalam pengarakan yaitu semacam klenthing yang berleher panjang dan juga dibalut dengan kain sindur. Badheg merupakan sejenis minuman beralkohol yang terbuat dari deresan aren atau kelapa. Sesaji ini juga di tematkan dalam botol kecil yang juga dibalut dengan kain sindur. Rah Mahesa merupakan darah kerbau segar yang ditutup dengan bulu bebek putih. Darah ini diambil dari kerbau yang disembelih untuk sesaji dan kemudian ditempatkan pada sebuah kendhil yang dibalut dengan kain sindur. Arak, badheg, dan rah mahesa digunakan untuk menyiram bara api yang sudah membara di atas anglo yang kemudian digunakan untuk membakar kemenyan. Dari pembakaran kemenyan ini kemudian tercium bau menyengat yang sangat tidak sedap. Timbulnya bau yang semacam ini dipercaya dapat mendatangkan makhluk gaib penghuni hutan Krendowahono. Kepulan asap dari pembakaran kemenyan memiliki makna sebagai penghantar doa dan maksud yang disampaikan melalui upacara sesaji Mahesa Lawung. Sedangkan kain sindur yang digunakan untuk membalut tempat sesaji ini memiliki makna sebagai purwaning dumadi yaitu segala sesuatu berawal atas kehendak Tuhan. B. Makna Sajen Pepak Sajen Pepak merupakan sesaji yang selalu ada dalam setiap upacara tradisi di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, baik itu upacara sesaji Mahesa Lawung maupun upacara tradisi lainnya. Sesaji ini terdiri dari dua macam yaitu sajen pepak ageng dan sajen pepak alit. Perbedaanya adalah apabila sajen pepak ageng terdapat sesaji ayam hidup, sedangkan sajen pepak alit tidak disertakan sesaji ayam hidup. Sajen pepak ageng digunakan dalam prosesi ritual upacara ageng seperti wilujengan nagari, labuhan ageng, sesaji Mahesa Lawung, dan lain sebagainnya. Sajen pepak alit digunakan dalam tradisi ritual upacara alit seperti caos dhahar padintenan. Meskipun terdapat dua jenis sesaji pepak, namun keduanya memiliki filosofi makna yang sama yaitu sebagai sarana pemanjatan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Sajen pepak yang digunakan dalam tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung adalah sajen pepak ageng.

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

Lembaga Dewan Adat Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Baluwarti RT 001/RW 001, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Maestro Karya Budaya

GPH Dipokusumo

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0811263753

-

GKR. Wandansari Koes Moertiyah, Ketua Lembaga Dewan Adat Karaton Kasunanan Surakarta

Baluwarti RT 001/RW 001, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022
   Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047