Grebeg Maulud Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101295
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image
Istilah Grebeg berasal dari kata gumbrebeg yang artinya riuh, ribut dan ramai. Salah satu rangkaian penting dalam upacara Grebeg Maulud adalah Sekaten. Upacara Tradisi Sekaten merupakan warisan budaya dari nenek moyang yang masih dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang. Upacara ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sekitar Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada khususnya dan masyarakat Surakarta pada umumnya. Pelaksanaan upacara ini hingga sekarang masih tetap dilaksanakan setiap tahunnya. Upacara Tradisi Sekaten merupakan suatu peristiwa tradisional yang sangat populer serta senantiasa menarik perhatian puluhan ribu pengunjung, tidak saja datang dari daerah sekitar Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat akan tetapi juga dari tempat-tempat yang jauh. Perayaan sekaten dimulai pada tanggal 5 Rabiul Awal dan berakhir dengan Grebeg Maulud tanggal 12 Rabiul Awal yang ditandai dengan keluarnya gunungan. Gunungan berasal dari kata gunung, terdiri dari berbagai jenis makanan dan sayuran yang diatur bersusun meninggi menyerupai gunung. Pada hari pertama perayaan sekaten tanggal 5 Rabiul Awal, diawali dengan dikeluarkannya dua buah gamelan yang merupakan peninggalan jaman Demak dari dalam karaton. Dua buah gamelan itu dikeluarkan dari dalam karaton lewat alun-alun kemudian dibawa ke Masjid Agung. Sebelum dikeluarkan dari karaton diadakan selamatan dengan diberi doa terlebih dahulu dan diberi sesajen. Setelah diadakan serah terima dari utusan karaton kepada penghulu masjid, gamelan ditempatkan di Bangsal Pradangga selatan dan utara halaman muka Masjid Agung Surakarta. Gamelan mulai dibunyikan ketika sudah ada utusan dari karaton yang memerintahkan untuk membunyikan gamelan, yaitu pada pukul empat sore. Dua buah gamelan tersebut bernama Kyai Guntur Madu, yaitu berada di Bangsal Pradangga sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid. Kyai Guntur Madu merupakan peninggalan SISKS Pakubuwana IV (1823 - 1830) dibuat pada 1718 Saka yang ditandai dengan sengkalan Naga Raja Nitih Tunggal. Gamelan yang lainnya bernama Kyai Guntur Sari, berada di Bangsal Pradangga sebelah utara dan melambangkan syahadat Rosul. Kyai Guntur Sari merupakan peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo (1613 - 1645) dibuat pada tahun 1566 Saka. Selama satu minggu, Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari ditabuh secara bergantian. Pada setiap acara sekaten sudah pasti harus ada dua perangkat gamelan sekaten yang disebut Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari tersebut. Kedua gamelan ini merupakan peninggalan dari kerajaan Jenggala (Kediri) yang pada awalnya bernama Kyai Sekar Delima. Setelah Jenggala runtuh, gamelan tadi dibawa ke Majapahit dan dijadikan gamelan pusaka. Demikian juga setelah Majapahit runtuh, selanjutnya berdiri kerajaan Islam Demak dengan Raden Patah sebagai raja pertamanya, maka atas saran Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, Kyai Sekar Delima diboyong ke Demak. Setelah sampai di Demak gamelan tersebut diubah instrumennya, dan dipecah menjadi dua perangkat kemudian diberi nama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Sampai saat ini setiap upacara sekatenan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, kedua perangkat gamelan tersebut pasti digunakan untuk memeriahkan dan sebagai daya tarik tersendiri. Kyai Guntur Madu sebagai lambang shahadat Tauhid dengan sengkala : Naga Raja Nitih Tunggal (1718 Saka), gending wajib yang diperdengarkan adalah Rambu atau Robuna yang artinya Allah Tuhanku. Sedangkan Kyai Guntur Sari melambangkan shahadat Rosul dengan sengkala : Rerenggan Tinata ing Wadah (1566 Saka), gending wajib yang diperdengarkan yaitu Rangkung atau Roukun yang artinya berjiwa besar/agung. Jumlah dan macam gamelan sekaten terdiri dari : a. Bonang besar satu pangkon yang terdiri dan dua baris b. Demung dua pangkon c. Saron dua pangkon d. Saron penerus dua pangkon e. Gong satu rakit Ciri khas gamelan sekaten yaitu : tidak diiringi waranggono ( pesinden ), tidak ada kendang dan kempul, sebagai gantinya adalah bedug. Sebab bedug sebagai ciri khas kelslaman. Gamelan sekaten hanya berlaras pelog, tidak ada laras slendronya. Ciri khas lainnya yaitu gendhing (lagu-lagunya) tidak boleh sembarangan. kecuali gendhing rambu (robuna) dan rangkung (roukun) sebagai gendhing wajib, gendhing tambahannya adalah : andong-andong, rendeng-rendeng, orang-aring, srundeng gosong dan sebagainya. Pada tanggal 5 Rabiul Awal, sebagai awal perayaan sekaten resmi dibuka, ditandai dengan dikeluarkannya gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dan tempatnya (langen katong) untuk dibawa ke Masjid Agung, setelah melalui proses upacara serah terima. Sebelum dikeluarkan dari langen katong, gamelan tersebut dijamasi dengan air landa (abu dan sekam padi yang sudah direndam), dan disetel nadanya. Kyai Guntur Madu dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian diikuti Kyai Guntur Sari. Sesampai di Masjid Agung, Kyai Guntur Madu diletakkan di sebelah selatan atau sebelah kanan halaman Masjid Agung sebagai lambang Syahadat Tauhid, sedang Kyai Guntur Sari diletakkan disebelah utara atau sebelah kiri Masjid Agung sebagai lambang Syahadat Rasul. Sekitar pukul 15.00 atau sehabis sholat Ashar, gamelan mulai dibunyikan, maka saat itulah sekatenan secara resmi dinyatakan dimulai. Waktu membunyikannya juga diatur agar tidak mengganggu jalannya sholat lima waktu,. Pengaturannya adalah sebagai berikut : a. Pagi hari pukul 09.00-12.00 b. Siang hari pukul 14.00-15.00 c. Sore hari pukul 16.30-17.30 d. Malam hari pukul 20.00-23.00 e. Kamis sore sampai Jumat pagi tidak dibunyikan karena untuk persiapan sholat Jumatan. Gamelan yang lebih dulu ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dengan memperdengarkan gendhing Rambu. Rambu berasal dari bahasa Arab Robbuna yang berarti Allah Tuhanku. Rambu mengisyaratkan gendhing yang ditabuh khusus untuk penghormatan kepada Tuhan. Sedangkan Kyai Guntur Sari memperdengarkan gendhing Rangkung yang berasal dari bahasa Arab Roukhun yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata barang kakung yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah, dan Raja-Raja Mataram yang kesemuanya laki-laki. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa gendhing-gendhing yang pertama dibunyikan, Rambu dan Rangkung adalah nama dua jin Islam yang berbincang dan sangat setuju atas usaha yang dilakukan Wali Songo dalam penyebaran agama Islam melalui media gamelan. Saat gamelan sekaten mulai dibunyikan adalah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang, sehingga masyarakat mulai berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan dipukul pertama kalinya. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. Namun G.P.H. Puger, seorang Sentana Dalem Karaton Surakarta Hadiningrat menanggapi mitos tersebut dengan pemikiran yang logis. Diungkapkannya bahwa pernyataan mitos yang sangat dipercaya masyarakat tersebut menandakan pada jaman dahulu sudah dikenal adanya ilmu kesehatan. Terbukti bahwa masyarakat dianjurkan makan sirih yang mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan tubuh. Karena kandungan sirih tersebut dapat mengobati berbagai macam penyakit, menyehatkan gigi, berfungsi dalam pencernaan, dan akan menyegarkan badan. Selain itu banyak kita jumpai jika musim sekaten tiba di areal halaman Masjid Agung akan dipenuhi oleh penjual yang ikut meramaikan perayaan sekaten dengan menjual berbagai makanan ataupun berbagai barang khas dari sekaten, tetapi tidak sembarang dagangan boleh dijual di halaman Masjid Agung pada saat sekaten, yang boleh dijual di halaman masjid pada waktu sekaten adalah : a) sirih, b) bunga setaman, c) telur asin (telur amal), d) wedang ronde, d) jenang sumsum, e) gangsingan, f) cemeti, g) celengan, selain barang-barang itu tidak boleh dijual di halaman masjid. Semua barang dagangan tersebut mempunyai makna pendidikan dan sosial budaya. Orang Jawa pada waktu mendidik moral atau budi pekerti anaknya tidak secara terus terang, tetapi dikiaskan dalam simbolisasi; a) Sirih atau kinang yang terdiri dari lima unsur yaitu, Daun sirih yang berbeda warna antara alas dan bawah tetapi mempunyai rasa yang sama, itu melambangkan dua kalimat syahadat. lnjet/kapur warna putih melambangkan sholat fardhu yang bertujuan untuk mendapat kesucian Gambir yang berwarna kecoklatan, dan pahit rasanya melambangkan zakat, orang yang tidak sadar akan kewajibannya merasa berat hati untuk berzakat. Susur atau tembakau ini tidak boleh dimakan, karena dapat memabukan, yang melambangkan supaya berpuasa pada bulan Ramadhan yang tidak boleh makan dan minum. Pinang atau jambe, pohon pinang tinggi dan licin sehingga untuk mendapatkan buahnya mengalami kesulitan, ini melambangkan naik haji. b) Telur asin/amal mendidik agar orang beramal yang dapat membuahkan hasil dalam mengikuti ajaran-ajaran Rasulluloh. c) Gangsingan, permainan yang dapat berputar kencang dan bergaung, akhirnya roboh tak berdaya, melambangkan bahwa hidup itu tidak langgeng (abadi), sehingga harus dapat tepa slira dengan sesama. d) Cemeti/cambuk, yang digunakan oleh petani dalam membajak sawah agar hewan yang menarik bajak dapat berjalan maju dan lancar. Caping yang digunakan petani melambangkan bahwa orang harus bertawakal berlindung kepada Tuhan YME. e) Celengan dan kendi yang terbuat dan tanah liat, melambangkan bahwa orang hidup itu harus mempunyai tabungan baik di dunia (hidup hemat) maupun tabungan di akherat (amal jariah dan zakat). f) Wedang ronde, setiap mangkok berisi 5 butir ronde, rasanya manis dan menghangatkan tubuh manusia, melambangkan bahwa orang yang sudah melaksanakan lima rukun Islam dengan penuh ketakwaan, maka hidupnya akan bahagia baik didunia maupun di akhirat. g) Bunga mawar atau setaman yang harum baunya, biasanya diletakkan di tempat yang keramat/suci melambangkan orang selalu mengagungkan nama Tuhan, yang dilakukan oleh orang jaman dahulu sampai sekarang ini sebagai bukti perpaduan kepercayaan Hindu dengan Islam yang akhirnya timbul budaya baru. Gamelan ditabuh selama satu minggu dari tanggal 5 sampai dengan 12 Mulud, cara membunyikannya semula pelan, makin lama semakin keras dan cepat, kemudian pelan-pelan lagi. Tanggal 12 Mulud sekaten berakhir, sekitar pukul 10.00 kedua gamelan tersebut dibawa masuk, Kyai Guntur Sari langsung dibawa ke langen katong, sedang Kyai Guntur Madu berhenti di depan sitinggil, yang nantinya dibawa lagi ke Masjid Agung untuk mengiringi keluarnya hajatan dalem Sunan yang berupa gunungan, sebagai selamatan negara atau Grebeg Maulud. Setelah perayaan sekaten berakhir, maka tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu hari lahir Nabi Muhammad SAW diadakan upacara Grebeg Maulud yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari karaton. Gunungan dibuat beberapa hari sebelum perayaan Garebeg Mulud oleh abdi dalem khusus yang ditunjuk oleh Sinuhun. Gunungan tersebut dikeluarkan dari ksraton menuju Masjid Agung. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan yang merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi masyarakat pendukungnya. Tata urutan upacara Grebeg Maulud adalah sebagai berikut : Upacara selamatan gunungan atau Grebeg Maulud diawali dengan acara pasewakan (menghadap raja), dimana Ingkang Sinuhun menitahkan kepada Patih Dalem melalui abdi dalem Keparak, untuk menyampaikan titah Sinuhun kepada Kyai Penghulu Tafsir Anom, pembesar masjid Agung, agar memimpin upacara selamatan Maulud Nabi serta membacakan doa keselamatan bagi Raja dan Karaton. Selanjutnya perjalanan rombongan pembawa sesaji Gunungan dari istana bergerak menuju ke masjid Agung dengan memikul Gunungan dipimpin langsung oleh Patih Dalem dengan diiringi (digrubyug, digarebeg) oleh para pembesar karaton serta para Bupati Adipati Mancanagari dan Negara Agung. Di depan barisan para pembesar tersebut berjalan canthang balung, yaitu abdi dalem orang aneh (orang cebol, ceko, bucu, bule, gejig, bisu, wuta, wungkuk, dan sebagainya). Canthang balung ini berjalan sambil menari-nari sangat lucu menggelikan untuk menolak bencana. Zaman dahulu (pada zaman Hindu, mungkin jenis upacara ini sudah ada), penari-penarinya dilakukan oleh para Brahmana dengan maksud untuk menguji kesungguhan iman Patih Dalem dalam mengemban titah raja. Kalau dalam menyaksikkan tarian canthang balung yang lucu itu, beliau tertawa, hal itu tandanya beliau masih mudah tergoda. Adapun nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthang balung, sirih, dan pecut yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tersebut sebagai berikut : 1. Gunungan Kakung Gunungan kakung berbentuk kerucut dan bagian puncaknya disebut mustaka atau kepala yang ditancapkan kue yang terbuat dari tepung beras dan dipasang melingkar rapat satu rangkaian telur asin. Di seluruh tubuh dari gunungan kakung tersebut dipasang ratusan helai kacang panjang secara melingkar rapat yang pucuknya diberi kue-kue kecil, seperti cincin. Selain dipasangi ratusan helai kacang panjang di tubuh gunungan kakung itu juga diberi sejumlah besar rangkaian lombok abang atau cabe merah yang besar-besar. Pada tubuh gunungan kakung diikat melingkar menjadi beberapa bagian sehingga menjadi bertahap-tahap. Gunungan kakung tersebut diletakkan di atas kotak yang bernama jodhang beserta lauk pauknya dan diberi alas kain berwarna merah putih. Untuk gunungan kakung alas kain yang berwarna merah di atas dan putih di bawah. Gunungan selain bermakna kesuburan juga mempunyai arti simbolik lain, gunungan kakung melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak, sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar untuk kejayaan karaton. Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan adanya proses penciptaan manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di samping itu gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur di dalamnya, seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya. Manusia yang dimaksud adalah seorang ksatria utama yang menggambarkan seorang figur manusia ideal bagi orang Jawa. Adapun bahan-bahan dan sesaji yang digunakan dalam gunungan kakung adalah : a. Bendera merah putih yang ditempatkan pada ujung gunungan, berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan warna putih berarti suci. Warna merah putih mengingatkan akan kerajaan Majapahit dengan istilah gula klapa yang melambangkan bahwa orang harus mempunyai sifat dan semangat keberanian serta kesucian. b. Cakra sebagai puncak dan pangkat berdirinya gunungan yang mempunyai makna yaitu, Cakra berarti gaman atau pusaka milik Prabu Kresna yang mempunyai kekuatan dahsyat dalam menegakkan keutamaan. Selain itu cakra sebagai simbol dari hati yang merupakan petunjuk dan pemimpin dalam kehidupan. Perjalanan cakra adalah berputar yang bermakna bahwa roda kehidupan manusia itu selalu berputar, manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah. c. Wapen merupakan simbol yang digunakan sebagai lambang. Wapen dalam gunungan yang dimaksud adalah petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari Raja Surakarta yang bertahta. d. Kampuh, kain yang berwarna merah putih yang menutupi jodhang (tempat makanan) yang bermakna : Kesusilaan, kampuh dibuat sebagus mungkin yang membuktikan kepribadian, pepatah Jawa mengatakan ajining salira saka busana yang berarti dihormatinya seseorang karena pakaiannya. Sandang, yang berarti pakaian yang dipakai oleh manusia. Pakaian melambangkan kenyataan hidup (senang-susah, beja-cilaka). e. Entho-entho yaitu makanan berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras ketan yang dikeringkan hingga keras, kemudian digoreng. Hal ini bermakna keteguhan hati dalam menghadapi masalah kehidupan dunia. f. Telur asin atau endhog amal dalam bahasa Jawa, melambangkan amal, adapun makna lain telur terbagi dua bagian, bagian kuning melambangkan laki-laki, dan bagian putih adalah perempuan. Kemudian keduanya bersatu dan terjadi manusia baru. g. Bermacam-macam nasi, melambangkan kemakmuran dari sebuah kerajaan. h. Bahan-bahan perlengkapan gunungan lainnya terdiri dari tebu, cabe, daun pisang, terong, wortel, timun, kacang panjang, dan daging yang kesemuanya merupakan hasil dari bumi yang dinikmati oleh manusia. Bahan-bahan hasil bumi tersebut merupakan lambang dari kesuburan bumi. Terdapat juga dami (batang padi), jodang, sujen, peniti, jarum bundel, dan samir jene. 2. Gunungan Putri Gunungan putri berbentuk mirip dengan payung terbuka yang bagian puncaknya (mustaka) dilapisi kue besar bertumpuk lempengan berwarna hitam dengan sekelilingnya ditancapi sejumlah kue berbentuk daun. Sedangkan di bagian batang tubuhnya ditutupi sejumlah kue ketan yang berbentuk bintang dan lingkaran yang dinamakan rengginan, di tengahnya diberi kue kecil-kecil serta di sekelilingnya diberi kue dan hiasan yang bermacam-macam bentuk. Sehingga gunungan putri nampak seperti bunga raksasa . Di samping berbagai bentuk kue tersebut, gunungan putri juga diberi kue yang berbentuk lingkaran-lingkaran besar terbuat dari ketan yang disebut wajik. Gunungan putri diletakkan di atas kotak atau jodang, dengan diberi kain yang berwarna putih di atas dan merah di bawah. Bentuk gunungan putri dihubungkan dengan yoni atau alat vital perempuan. Gunungan putri melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa seorang wanita harus memiliki badan dan pikiran yang dingin. Sehingga dia mempunyai penangkal untuk menahan isu-isu yang datang dari luar, baik yang menjelek-jelekkan dirinya maupun keluarganya dan dapat menyimpan rahasia manusia atau keluarganya. Adapun isi dari gunungan putri merupakan makna dan lambang dari kewajiban wanita untuk menjaga dan mengerjakan urusan belakang atau kebutuhan rumah tangga. Gunungan putri berjalan di belakang gunungan kakung dan gunungan anakan, yang merupakan simbol bahwa istri bertugas sebagai pengasuh utama dari anak dan bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah tangga. Adapun bahan-bahan dan sesaji yang digunakan dalam gunungan putri adalah : a. Bendera merah putih yang berjumlah lima buah, melambangkan sebuah negara atau kerajaan. Warna merah berarti semangat atau keberanian dan warna putih berarti suci. Jadi yang dimaksud bendera merah putih adalah sebagai lambang kepada kerajaan yang berlandaskan keberanian dengan dilandasi kesucian. b. Eter yang terbuat dari seng berbentuk jantung manusia atau bunga pisang (tuntut) yang bermakna sebagai api yang menyala, yaitu semangat hidup yang menyala terus sebagaimana modang (dalam batik menggambarkan nyala api atau uriping latu). Eter juga berwujud jantung yang merupakan pusat kebatinan atau rohani, hal ini ada pertimbangan kewajiban lahir batin atau dengan Allah dan sesama manusia. c. Kampuh penutup jodang yang terbuat dari kain mori atau lawe yang bermakna sebagai pakaian jasmani dan rohani manusia (kesusilaan dan sandang). d. Bunga sebagai pengharum, mempunyai dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna lahiriah dapat mendekatkan atau mendatangkan berkah bagi yang cocok dan menjauhkan bagi yang tidak cocok. Sedangkan makna batiniah yaitu kemuliaan atau keharuman jati diri manusia yang diperoleh dengan amal yang baik. e. Rengginan terbuat dari beras ketan yang besar f. Jajan yang terdiri dari jadah, wajik, dan jenang, sebagai isi dari jodang yang menggambarkan hasil karya wanita dalam dapur atau rumah tangga. g. Uang logam, bermakna sebagai sarana memperoleh kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia, dan bermakna batiniah sebagai simbol sebagai cobaan atau ujian hidup manusia yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat menggunakan. h. Pelengkap dari gunungan putri adalah : Bahan yang berupa makanan, yaitu kacu, terbuat dari ketan yang dibentuk bulatan kecil dan diberi warna berjumlah kurang lebih 50 buah. Bahan yang berupa alat, yaitu giwangan bima berjumlah 8 biji, samir jene 4 biji, sujen, daun pisang, tali, dan jodang. Di samping gunungan kakung dan gunungan putri ada pula gunungan kecil-kecil sebagai pelengkap, yaitu: 1. Gunungan Anakan (saradan) Bermakna bahwa anak dari sebuah rumah tangga yang sudah tentu diharapkan oleh orang tuanya, anak dapat menyambung sejarah keluarga atau dapat mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua dengan cara menjaga nama baik orang tua atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah anak sholeh yang berbakti dan mau mendoakan orang tuanya. Gunungan ini berada diantara gunungan kakung dan gunungan putri. Adapun bahan yang digunakan dalam gunungan anakan adalah sebagai berikut : a. Uang logam, banyaknya sesuai dengan Sri Susuhunan Paku Buwana yang ke berapa, misalnya yang bertahta Paku Buwana XIII, jumlah uang logam juga tiga belas. b. Rengginan kecil yang berwarna merah, hitam, putih, dan jene sebanyak untuk gunungan kakung yaitu empat biji dan untuk putri sebanyak 8 biji. c). Bunga sebagai hiasan dalam gunungan d. Tuntut atau eter kecil 2. Ancak Cantaka Ancak cantaka merupakan wujud dari selamatan kecil yang berupa tumpengan atau gunung kecil yang jumlahnya tidak ditentukan, tetapi biasanya 24 buah. Dimaksudkan sebagai sedekah para abdi dalem dan kerabat karaton yang dikeluarkan oleh raja karena mereka ada dalam lindungannya. Melambangkan kehidupan yang makmur tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Terbinanya kehidupan beragama dan tersedianya kebutuhan di dunia yaitu sandang, pangan, dan papan. Adapun kelengkapan, bahan-bahan dan sesaji yang digunakan dalam ancak cantaka yaitu : a. Perlengkapan nasi yang merupakan lambang dari kemakmuran kehidupan rakyat, jenisnya ada tiga yaitu : Sega wuduk atau nasi gurih, dengan perlengkapan daging ayam (ingkung), kedelai, dan pisang raja, maksudnya sebagai lambang kehidupan yang enak atau baik, sedang yang dituju adalah untuk para Nabi dan wali. Sega janganan (nasi sayuran) dengan perlengkapan sayuran, telur masak, buah-buahan, jajan pasar, dan jenang melambangkan kehidupan tercukupi (duniawi), sedang yang dituju adalah para roh dan danyang. Dalam kejawen dikenal dengan kiblat papat lima pancer yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sega asahan (nasi asahan) dengan perlengkapan sambal goreng, tahu dan tempe goreng, serundeng, dan jeroan ayam. Bermakna untuk menyucikan lahir dan batin. b. Buah-buahan atau jajan pasar, yaitu sejenis buah-buahan yang dijual di pasar. Bermakna sebagai penolak balak atau menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang akan terjadi. c. Sirih; Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. d. Pecut; Pecut juga salah satu barang yang dijual dalam sekaten. Pecut dipercaya dapat menghindarkan ternak dari penyakit dan berkembang biak bagi hewan ternak seperti sapi/kambing. e. Canthang balung; Canthang balung adalah abdi dalem yang bertugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut Canthang balung karena mereka membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari dan selalu dibunyikan dengan irama crek, crek, crek . Mengenai nama Canthang balung, G.P.H. Puger, seorang Sentana Dalem Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengatakan bahwa Canthang balung adalah nama yang diberikan kepada Brahmana yang memberi sesaji di tempat suci. Dan adanya pemakaian boreh pada badan Canthang balung memberikan indikasi terhadap kebiasaan pendeta Hindu yang memboreh badannya dengan arak atau tuak sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang dimaksud adalah agar tubuhnya dapat dimasuki roh halus, sehingga bisa membantu manusia. Canthang balung dengan gayanya yang lucu dan menggelikan dimaksudkan untuk dua orang yang mengikuti konsep dualis yang berlaku menguji kesungguhan dan keteguhan iman pepatih dalem dalam mengemban perintah ingkang Sinuhun. Canthang balung merupakan pengiring prosesi selamatan Gunungan Grebeg Maulud. Canthang balung adalah perwujudan sepasang manusia (laki-laki dan perempuan) yang dibuat dengan bentuk dan gaya yang aneh, lucu dan membadut, sehingga apabila orang melihatnya akan merasa geli, risi, dan jijik. Pada waktu prosesi, kedua tokoh ini berjalan mendekat dan menjauh dari kerumunan penonton. Makna yang terkandung pada canthang balung adalah sebagai berikut : 1) Penggoda Penggoda merupakan penjelmaan dari setan yang bertugas sebagai penggoda manusia yang sedang mengemban amanat dari atasannya yakni Patih Kraton yang melaksanakan perintah Raja untuk memimpin pelaksanaan selamatan Gunungan Grebeg Maulud di masjid Agung. Apabila Patih masih tertawa dalam melihat canthang balung, berarti masih dapat tergoda dan tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya. Ini juga melambangkan kehidupan manusia dalam melaksanakan amanat Allah SWT yang selalu diiringi godaan-godaan yang diperdaya oleh setan. 2) Petunjuk Canthang balung melambangkan penjelmaan dewa Brahma (utusan Tuhan) sebagai petunjuk jalan terhadap perjalanan keselamatan gunungan menuju masjid yang menghadapi banyak penghalang (baik yang ghoib maupun wadhag), diantaranya berupa kerumunan penonton dan roh-roh jahat. 3) Pemberian Do a Pelaksanaan selamatan Gunungan Grebeg Maulud adalah sebagai perwujudan rasa syukur Raja terhadap Tuhan (Allah) atas semua anugerah yang melimpah dalam memerintah. Oleh karena itu, dalam mensyukuri nikmat tersebut, Raja mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk rakyatnya. Dalam pelaksanaan, sebelumnya dibacakan doa terlebih dahulu dengan harapan Allah SWT memberi berkah atas sedekah yang dikeluarkan sehingga Raja, negara dan rakyatnya selamat. Pelaksanaan selamatan Gunungan Garebeg Maulud dalam bentuk sederhana cukup dilaksanakan di dalam Karaton, namun apabila besar (gunungan), maka dibawa ke masjid Agung dengan Raja memerintahkan penghulu Karaton untuk memberi doa bersama. Urut-urutan arak-arakan Gunungan itu dari halaman Kamandungan menuju masjid besar adalah sebagai berikut : (1) Prajurit Karaton; (2) Canthang balung; (3) Panyutra (Prajurit Karaton bersenjatakan panah dan tombak pendek); (4) Abdi Dalem Keparak; (5) Kamisepuh Karawitan; (6) Anggong; (7) Abdi Dalem Bupati Adipati; (8) Panewu Mantri Keparak; (9) Abdi Dalem Bupati Anom; (10) Gunungan laki-laki; (11) Panyanggah; (12) Sasaradan ; (13) Ancak Canthoka; (14) Gunungan Perempuan; (15) Ambage hajad dalem Raja; (16) Petugas Medis. Upacara Gunungan atau Grebeg Maulud Karaton Kasunanan Surakarta Hadinigrat pada awalnya terdapat 24 macam gunungan yang dibuat, yang terdiri dari 12 buah gunungan kakung (laki-laki) dan 12 buah gunungan putri. Di sela-sela itu terdapat gunungan anakan atau saradan dan 24 buah ancak cantaka. Namun saat ini dalam pelaksanaan Upacara Tradisi Grebeg Maulud di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sudah tidak lagi sebanyak 24 buah. Hal itu terjadi karena karaton tidak mempunyai daerah kekuasaan lagi. Ketika karaton masih memiliki daerah kekuasaan, pada saat Grebeg Maulud karaton membuat gunungan sebanyak 24 karena gunungan tersebut dibagikan pada daerah-daerah kekusaan tersebut. Sekarang karena daerah kekuasaannya telah hilang, karaton hanya membuat gunungan yang utama, yaitu sepasang gunungan, gunungan laki-laki dan perempuan. Iring-iringan Gunungan itu lewat di depan Sinuhun yang duduk di Sitihinggil, terus ke Sasana Pagelaran, Alun-alun Utara dan akhirnya menuju Masjid Agung. Iring-iringan itu dihormati dengan gendhing Monggang. Sesampainya pada rombongan ancak canthoka, gendhing berubah menjadi gendhing Kodhok Ngorek. Selanjutnya mengenai jumlah hitungan 12 24 2 di atas, masing-masing memiliki arti simbolis : Hitungan 3 (tiga kelompok angka) adalah lambang Trimurti (cipta, rasa, dan karsa; hidup, kehidupan, dan dinamika kehidupan); 4 (empat ) lambang kiblat mata angin; 2 lambang loro-loroning atunggal, Manunggaling Kawula Gusti. Angka-angka di atas itu bila dikembalikan kepada asal-usulnya adalah : 3 X 4 = 12, yaitu jumlah bulan dalam satu tahun; berikutnya 12 X 2 = 24 adalah perputaran bumi mengelilingi matahari selama 24 jam. Setelah rombongan sampai di Masjid Agung, maka Patih Dalem memberitahukan hajad Raja kepada Kyai Penghulu Tafsir Anom serta meminta dibacakan doa menurut sebagaimana mestinya. Kyai Penghulu Tafsir Anom memimpin upacara ini sampai selesai. Setelah upacara selesai, maka Gunungan dan tumpeng sewu dibagikan kepada semua hadirin, tidak lupa pula kepada Raja, dan para pembesar yang dianggap perlu. Adapun doa yang dipanjatkan dalam upacara pada gunungan itu intinya untuk memohon keselamatan pada diri Sinuhun, istri, dan para putranya, pejabat, serta rakyat semuanya, sehingga dapat menjalani hidup dengan aman, tenteram, nyaman, sejahtera, dan bahagia di dalam perlindungan negara yang adil dan makmur. Setelah diberi doa oleh Kyai Penghulu Tafsir Anom, gunungan tersebut dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada Sinuhun, para sentana dalem, dan para punggawa karaton. Kemudian gunungan tersebut dibawa keluar dari Masjid Agung untuk diberikan kepada rakyat. Karena banyak rakyat yang ingin mendapatkan gunungan itu, maka mereka memperebutkan gunungan itu dengan dirayah (diperebutkan). Hal itu terjadi karena telah menjadi kepercayaan masyarakat bahwa isi gunungan tersebut dapat mendatangkan berkah bagi siapa yang memperolehnya. Masyarakat yang datang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Surakarta, seperti Klaten, Sukoharjo, Tawangmangu, Kartasura, dan kebanyakan adalah orang tua bahkan lanjut usia. Masyarakat yang ikut meramaikan Grebeg Maulud kebanyakan adalah orang tua atau sepuh dari berbagai daerah yang datang untuk rayahan (rebutan) gunungan Grebeg Maulud. Antusiasme yang masih begitu besar itu menandakan bahwa Upacara Tradisi Grebeg Maulud di Surakarta masih banyak masyarakat pendukungnya. Untuk meramaikannya, satu bulan sebelum perayaan sekaten disambut dengan keramaian berbagai sektor dagang yang dipusatkan di halaman Masjid Agung Surakarta dan alun-alun utara Karaton Kasunanan Surakarta Hadinigrat. Masyarakat dari berbagai daerah memanfaatkan pula momentum sekaten untuk berjualan yang merupakan ladang potensial dalam sektor ekonomi. Upacara Tradisi Grebeg Maulud dan Sekaten yang monumental dilaksanakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW oleh Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat digunakan sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Allah SWT, sehingga Allah akan selalu memberikan perlindungan. Dengan selalu mensyukuri karunia Allah diharapkan agar anggota komunitas karaton ingat akan kebesaran-Nya, sehingga akan terhindar dari bahaya dan musibah. Upacara Grebeg Maulud merupakan bentuk sinkretisasi pra-Hindu, Hindu dan Islam, yang hingga sekarang masih bisa kita saksikan setiap tahun pada bulan Mulud atau Rabiul Awal. Adapun perayaan Sekaten dan upacara Grebeg Maulud pada tahun Dal agak lebih istimewa sifatnya, karena hanya terjadi dalam delapan tahun sekali. Dalam acara tersebut Kanjeng Sinuhun berkenan hadir ke Masjid Agung. Sebelum perayaan Gunungan dilaksanakan di Masjid Agung, sehari sebelumnya diadakan upacara Adang (menanak nasi) tahun Dal dengan menggunakan alat dandang. Upacara ini dilakukan sendiri oleh Kanjeng Sinuhun dan Kanjeng Prameswari (permaisuri) di Gandarasan, yaitu tempat memasak di kompleks Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dandang untuk menanak nasi itu disebut Kyai Dhudha, dan kendhil atau periuknya bernama Kyai Merica. Upacara ini melambangkan, bahwa Raja dan Ratu hendaklah memperhatikan kemakmuran rakyatnya. Menurut legenda, dandang Kyai Dhudha tersebut berasal dari zaman Majapahit, yaitu pada waktu Raja Girindrawardhana menikahkan putrinya dengan putra Patihnya. Dia minta srakah (tukon atau mas kawin) berwujud tempat untuk menanak nasi, yang bila nasinya dimakan tidak akan habis. Mas kawin itu berwujud dandang dan kendhil seperti tersebut di atas. Upacara adang dilakukan pada malam menjelang tanggal 12 Mulud bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Komunitas Karya Budaya

GKR. Wandansari Koes Moertiyah, Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

KGPH. Dipokusumo, Pengageng Parentah Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Maestro Karya Budaya

GKR. Wandansari Koes Moertiyah, Ketua Lembaga Dewan Adat Karaton Kasunanan Surakarta

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

KGPH. Dipokusumo, Pengageng Parentah Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022
   Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047