Warung Hik Solo

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101301
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image

Hik, wedangan atau angkringan telah lama menjadi penanda kota Solo yang tidak boleh dipandang remeh. Hik berikut gerobak dan sajian makanan ala kampung ikut mewarnai dan ambil bagian dalam gerak sejarah sosial masyarakat perkotaan. Di Solo sendiri dinamika dan kondisi sosiokultur masyarakatnya menentukan corak kekhasan tersendiri, masyarakat Solo dikenal punya hobi nglaras (bersantai ria) dan senang jagongan (ngobrol kesana kemari). Malam hari tidak lantas menjadi waktu untuk istirahat penuh, untuk memulihkan tenaga selepas bekerja seharian penuh, biasanya masyarakat Solo memanfaatkan malam hari sebagai waktu untuk begadang dan bersendau gurau (jagongan ngalor ngidul diskusi omong kosong).

Kota Solo pada tahun 1902 mulai dialiri listrik, malam hari mulai berubah menjadi terang, banyak bermunculan pertunjukan layar tancap di alun-alun, gedung bioskop di taman Kebonrojo atau Sriwedari, dan lain-lain. Pada masa itulah orang-orang mulai berbondong-bondong datang ke Solo layaknya urbanisasi, akan tetapi Solo tampak unik lantaran model urbanisasinya varian. Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran menawarkan jenis urbanisasi tradisional, membuka lowongan abdi dalem lewat proses magang. Kemudian, institusi pemerintah Belanda mempengaruhi jenis urbanisasi kolonial, mengiming-imingi keluarga priyayi menjadi pegawai birokrasi profesional asalkan mengenyam bangku sekolah Eropa. Dan perusahaan industri batik, pertokoan Tionghoa serta pasar tradisional mencuri perhatian kelas bawah untuk mendaftarkan diri sebagai buruh, sehingga terciptalah model urbanisasi modern di sektor informal.

Peluang mengais rejeki yang bertebaran di waktu malam, dilirik oleh kalangan wong cilik kelas yang kurang beruntung di dunia pendidikan dan tak berjejaring dengan kelompok bangsawan. Mereka rata-rata berasal dari pinggiran wilayah Surakarta khususnya Klaten, untuk mencoba peruntungan dengan menjajakan makanan ringan. Melayani kebutuhan perut penghuni kota yang melilit sepulang menikmati pertunjukan tengah malam, atau sekedar melayani masyarakat yang gemar bepergian di malam hari.

Pada waktu itu makanan masih dipikul, tidak seperti sekarang ini yang ditaruh di atas gerobak. Untuk menjaring pembeli sebanyak mungkin, bakul (penjual) hik berhenti di titik-titik keramaian seperti di taman Sriwedari dan Pasar Pon. Kedua lokasi tersebut merupakan arena hiburan yang tidak pernah sepi pengunjung (pada waktu itu).

Adalah Mbah Karso Dikromo, yang masa mudanya akrab dipanggil Jukut. Mbah Karso yang berasal dari Desa Ngerangan, Klaten tahun 1930-an merantau ke Solo saat umur sekitar 15 tahun. Karena ayahnya meninggal dunia, sebagai sulung dari empat bersaudara Mbah Karso merasa bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Sesampainya di Solo ia bertemu dengan Mbah Wono, pertemuan dengan Mbah Wono merupakan awal dari sejarah hik atau angkringan. Bekerja dengan Mbah Wono sebagai penggembala kerbau dan membantu membajak, Mbah Karso juga berkenalan dengan pejual makanan terikan (makanan dari Jawa Tengah berkuah kental dengan lauk tempe atau daging).

Dari perkenalan itu Mbah Karso kemudian ditawari untuk ikut berjualan terikan. Bermodalkan pikulan tumbu (alat untuk berjualan makanan) Mbah Karso mulai berjualan terikan. Setelah beberapa lama ikut berjualan terikan, pada 1943 Mbah Karso mendapatkan ide untuk menjajakan minuman. Bertujuan agar pembeli bisa melegakan dahaga saat makan. Dari ide itu Mbah Karso sedikit memodifikasi pikulan jualannya. Bagian depan untuk makanan, bagian belakang untuk ceret minuman. Dari berjualan dengan pikulan ini Mbah Karso mengajak warga dari desanya ikut berjualan sepertinya. Yang semula hanya menu terikan kemudian ditambah dengan makanan lainnya seperti jadah bakar, singkong, getuk, kacang, dan aneka sate yang ada sampai sekarang. Macam-macam lauk dimasukkan dalam wadah dari daun pisang yang disebut takir.

Selain aneka lauk, ditambah juga nasi kucing. Nasi kucing ini sebenarnya adalah nasi dengan lauk sedikit ikan bandeng, karena bandeng identik dengan makanan kucing, sehingga sampai sekarang nasi bandeng ini disebut juga dengan istilah nasi kucing. Kehadiran nasi kucing ini pada waktu itu justru menggeser pamor terikan, dari sinilah kenapa nasi kucing selalu identik dengan hik atau angkringan.

Istilah hik sendiri awalnya juga dari Solo, tetapi tidak jelas bagaimana awalnya istilah hik ini muncul. Asal muasal nama unik ini memiliki beragam versi. Ada yang menduga dari cara penjualnya menjajakannya dengan berteriak “Hiiiiiik!”. Ada pula yang bilang pembelinya sendawa seperti itu. Versi lainnya mengatakan saat penjual tersandung, karena kaget kemudian berteriak “hiiiiiyek!”. Jadi sampai sekarang tidak dapat dipastikan asal kata 'hik' itu". Tetapi seiring berjalannya waktu, kata hik itu sampai sekarang dianggap merupakan akronim dari Hidangan Istimewa Kampung. Kepopuleran warung hik di Solo pada 1940-an akhirnya merambah ke Yogyakarta pada 1950an, dari sinilah baru nama angkringan mulai dikenal.

Aktifitas ekonomi terus berdetak dan ruang kota tak pernah lengang, hal ini tak lepas dari andilnya hik yang buka tiap sore dan tutup hingga menjelang pagi. Hal inilah yang menjadikan Solo dikenal sebagai “kota yang tak pernah tidur” baik penghuni maupun ekonominya. Hik mampu bertahan sampai saat ini karena tidak mengenal kasta sosial, merangkul lintas umur dan beragam. Hidangan hik juga memiliki varian makanan dan minuman yang lebih komplit dan semakin beragam. Meski harganya relatif murah, tetapi konsumen hik sangat bervariasi. Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, pegawai kantoran, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif. Antar pembeli dan penjual sering terlihat mengobrol dengan santai dalam suasana penuh kekeluargaan.

Hik tak berubah akan fungsi awalnya, yaitu sebagai fungsi sosial. Hik mampu menjelma menjadi tempat ngobrol tentang segala aspek kehidupan, bahkan kalau kita mau mencari informasi dan mencari makna kehidupan, hik adalah tempatnya. Hik juga terkenal sebagai tempat yang egaliter karena bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan strata sosial atau SARA. Mereka menikmati makanan sambil bebas mengobrol hingga larut malam meskipun tak saling kenal tentang berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang topik-topik yang serius. Harganya yang murah dan tempatnya yang santai membuat angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat persinggahan untuk mengusir lapar atau sekadar melepas lelah. Bahkan sekarang ini hik memiliki konsep baru bagi para pemodal untuk “mengangkat” hik dari bibir jalanan menjadi rumahan dengan konsep yang lebih menarik.


Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Wedangan Kota Barat

Penumping, Laweyan, Surakarta City, Central Java

085867130060

-

Wedangan Pendopo

Jl. Srigading I No.20, Mangkubumen, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah

08112564868

-

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Maestro Karya Budaya

Totok Supriyanto, Pemilik Wedangan Pendopo

Jl. Srigading I No.20, Mangkubumen, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah

08112564868

-

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022
   Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047