Tradisi Adang Tahun Dal Keraton Kasunanan Surakarta

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101465
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image

Adang Tahun Dal Keraton Kasunanan Surakarta yaitu tradisi menanak nasi yang dilakukan oleh Raja Keraton Kasunanan Surakarta sendiri, lalu dibagikan pada abdi dalem (pegawai) karaton dan masyarakat. Tradisi ini tidak hanya formalitas belaka, tetapi dalam memasak nasi, Raja (Sinuhun) sendiri yang menanaknya dengan dibantu para kerabat istana, serta dalam jumlah cukup besar, mempergunakan dandang besar. Beras yang dimasakpun, dipilih beras yang istimewa sebagai bahan utamanya yaitu beras wulu rojo lele. Dandang, periuk dan perlengkapan memasak lainnya adalah pusaka keraton Surakarta. Dandangnya bernama Kyai Duda, dan periuknya bernama Nyai Rejeki. Begitu pula perlengkapan yang lainnya, semua serba pilihan yakni Kyai Tambur, dan Kyai Mrico. Selain itu dalam upacara adang tersebut ada juga dandang-dandang peninggalan jaman Demak, Pajang, dan Mataram yang ikut dipergunakan, yaitu Nyai Blawong, dan Nyai Godrag. Nyai Blawong digunakan sebagai wadah nasi yang sudah tanak yang kemudian akan dibagi-bagikan kepada para punggawa, sentana, dan abdi dalem keraton. Setelah selesai memasak kemudian dilanjutkan dengan upacara selamatan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, baru selanjutnya dibagi-bagikan kepada para abdi dalem keraton Surakarta Hadiningrat.

Tradisi ini merupakan gambaran rasa kebersamaan antara Raja dan para abdi dalem, yang merupakan simbol “manunggaling kawula gusti” (bersatunya raja dengan rakyatnya). Ini tercermin dari tindakan Sinuhun memasak nasi kemudian membagi-bagikan serta makan bersama rakyatnya. Tindakan semacam ini sangat dihargai oleh rakyat. Rakyat merasa mendapat perhatian, bahkan kehormatan karena rakyat (abdi dalem) mendapat nasi yang ditanak sendiri oleh Sinuhun dari nasi yang sama.

Adang Tahun Dal adalah tradisi yang sangat langka dan sulit diikuti oleh orang di luar lingkungan keraton, karena hanya dilaksanakan di dalam keraton. Tradisi ini hanya terjadi sekali dalam delapan tahun, serta selalu jatuh pada hari Minggu Pahing malam Senin Pon setiap bulan Maulid tahun Dal.

Dandang yang dipergunakan untuk menanak nasi dinamai Dandang Kyai Duda yang riwayatnya konon merupakan peninggalan Jaka Tarub. Menurut cerita rakyat, Jaka Tarub beristrikan bidadari bernama Nawangwulan. Karena kesaktiannya setiap kali menanak nasi hanya membutuhkan setangkai padi saja. Dandang Kyai Duda inilah yang digunakan Nawangwulan untuk menanak nasinya. Kyai Duda sampai saat ini masih tersimpan di keraton Surakarta. Dalam perkawinannya dengan Nawangwulan, Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub) menurunkan seorang putri bernama Nawangsih. Setelah dewasa Nawangsih bersuamikan putra Majapahit bernama Raden Bondan Kejawen. Raden Bondan Kejawen kemudian menggantikan kedudukan Ki Ageng Tarub dan bergelar Ki Ageng Lembu Peteng. Raden Bondan Kejawen kemudian menurunkan Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa menurunkan Ki Ageng Sela yang terkenal dapat menangkap petir. Ki Ageng Sela menurunkan Ki Ageng Henis; dan Ki Ageng Henis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pamanahan berputra Raden Sutawijaya yang kemudian menjadi pendiri kerajaan Mataram Islam dan merupakan nenek moyang raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.

Adang Tahun Dal tidak bisa dilepaskan dari mitos tentang Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Mitos ini menceritakan tentang tokoh Jaka Tarub yang merupakan rakyat biasa, bukan keturunan seorang bangsawan akan tetapi ia beristrikan seorang bidadari bernama Nawangwulan. Suatu saat Nawangwulan akan pergi mencuci ke sungai dan berpesan kepada suaminya agar menjaga nyala api tungkunya karena ia sedang menanak nasi, dan dipesannya agar suaminya jangan sekali-kali membuka tutupnya. Namun Jaka Tarub melanggar janjinya untuk tidak membuka tutup dandang, karena marah Nawangwulan akhirnya pergi meninggalkannya kembali ke kahyangan. Dandang yang digunakan oleh Nawangwulan tersebut konon selanjutnya digunakan terus oleh Jaka Tarub dan puterinya Nawangsih sepeninggal Nawangwulan untuk memasak nasi dalam hari raya Maulud. Atas berkah para roh leluhur konon nasi dalam dandang tersebut cukup dimakan oleh orang-orang di desanya. Konon prosesi inilah yang hingga kini diteruskan oleh Kraton Kasunanan Surakarta, yakni upacara ritual Adang Tahun Dal.

Dalam cerita mitos Jaka Tarub dan Nawangwulan ini terdapat hubungan dengan mitos dandang Kyai Duda. Dandang Kyai Duda konon merupakan peninggalan Jaka Tarub dan Nawangwulan yang kemudian menjadi benda pusaka yang disimpan di Keraton Kasunanan Surakarta. Benda peninggalan Nawangwulan ini dipakai oleh Jaka Tarub untuk prosesi menanak nasi dalam hari raya Muludan (Maulud) di desanya. Prosesi tersebut kemudian turun-temurun dilangsungkan hingga sekarang menggunakan dandang yang sama oleh Keraton Kasunanan Surakarta.

Upacara ritual Adang Tahun Dal konon berasal dari prosesi yang pernah dilakukan oleh Jaka Tarub. Melalui mitos prosesi peninggalan Jaka Tarub ini menandakan bahwa terdapat konsep legitimasi kekuasaan spiritual. Bagaimana hubungan antara legitimasi kekuasaan spiritual dengan mitos ini dapat dirunut kembali dari terbentuknya kerajaan Mataram Islam, yakni kerajaan yang didirikan oleh Raden Sutawijaya, putera Ki Ageng Pemanahan. Setelah menjadi raja ia bergelar Panembahan Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah, yang biasa disebut secara singkat dengan Panembahan Senapati. Dalam mitos ini, bidadari Nawangwulan yakni istri Jaka Tarub juga dianggap sebagai nenek moyang mereka. Sehingga dari sinilah dianggap cikal bakal keturunan raja-raja Mataram hingga Keraton Kasunanan Surakarta.

Upacara Adang Tahun Dal dipersiapkan secara teliti, melelahkan, memakan biaya cukup besar serta memerlukan waktu cukup lama. Hal ini karena semua perlengkapan yang digunakan serba khusus. Penutup dandang (kekep) yang terbuat dari tanah liat hanya digunakan dalam satu kali upacara. Begitu pula perlengkapan yang lain seperti kukusan, siwur, centhong dan sebagainya, semua hanya dipakai dalam satu kali upacara, untuk kemudian harus dilabuh, kecuali dandang yang selalu digunakan yakni Kyai Duda yang merupakan benda pusaka tidak ikut dilabuh. Peralatan yang digunakan dalam upacara Adang Tahun Dal yang hanya dipakai satu kali itu untuk kemudian diadakan upacara labuhan. Upacara labuhan sendiri merupakan salah satu diantara sekian banyak upacara ritual yang ada di keraton Surakarta. Upacara labuhan ini diadakan setelah upacara Adang Tahun Dal berlangsung. Labuhan dapat diartikan membuang atau mencampakkan ke air (laut). Labuhan yang dilakukan bertepatan setelah upacara Adang Tahun Dal ini dinamakan labuhan ageng karena hanya diselenggarakan setiap sekali dalam delapan tahun. Upacara Labuhan dimulai pada jaman Panembahan Senapati, merupakan wujud syukur atas kelangsungan Kerajaan Mataram. Upacara Labuhan Ageng (Labuhan Besar) dilaksanakan berdasarkan tahun Dal, jadi hanya dilakukan sekali dalam delapan tahun. Benda-benda peralatan yang dipakai dalam upacara Adang Tahun Dal ini sesudah selesai harus dilabuh sebagai wujud rasa syukur kepada roh para leluhur. Peralatan seperti kekep, siwur, centhong tersebut dibuat dari tanah yang diambil dari beberapa tempat yang ada kaitannya dengan para leluhur raja Kasunanan Surakarta, dan dilabuhnya peralatan tersebut merupakan wujud rasa syukur pihak keraton Kasunanan Surakarta terhadap para leluhur atau nenek moyang mereka.

Tanah yang digunakan untuk pembuatan tungku dalam upacara Adang Tahun Dal diambil dari berbagai tempat tertentu dan tidak sembarangan, yang memiliki hubungan erat dengan keraton Kasunanan Surakarta. Seperti tanah yang diambil dari makam Imogiri, yang merupakan makam dari raja-raja Mataram. Tanah dari makam Kota Gedhe yang di dalamnya terdapat makam Ngabehi Loring Pasar (Raden Sutawijaya), merupakan pendiri kerajaan Mataram yang bergelar Panembahan Senapati. Kemudian tanah makam Ki Ageng Bayat yang merupakan makam Sunan Bayat. Makam Sunan Bayat ada di kecamatan Bayat, kabupaten Klaten. Makamnya terletak di atas bukit. Kompleks makam Tembayat (makam Sunan Bayat) ini sendiri dibangun sejak tahun 1526 dengan nuansa Hindu yang sangat kental. Jadi lebih tua dari makam Imogiri. Sunan Bayat sendiri hidup semasa Sunan Kalijaga (dan Syekh Siti Jenar). Nama aslinya adalah Ki Ageng Pandanarang. Selain itu tanah untuk pembuatan tungku juga diambil dari masjid Demak. Latar belakangnya adalah karena kota Demak merupakan kota dimana pernah berdiri sebuah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Sampai sekarang masih dapat disaksikan sebuah monumen pada masa pendirian kerajaan Demak, yaitu Masjid Agung Demak. Pembuatan tungku untuk memasak nasi yang terletak di dapur Gondorasan dilakukan oleh abdi dalem (pegawai kraton) pembuat barang gerabah, dan disertai dengan laku dan doa, sejak mulai membentuk tanah liat sampai membakarnya.

Kayu bakar yang dipakai dalam upacara Adang Tahun Dal juga bukan kayu bakar sembarangan. Kayunya berasal dari hutan Donoloyo. Sebuah hutan di wilayah Kabupaten Wonogiri yang dikeramatkan oleh keraton Surakarta dan masyarakat sekitarnya. Pada waktu pendirian keraton Kasunanan Surakarta, kayu jati yang digunakan juga berasal dari hutan Donoloyo ini. Di dalam hutan jati yang disebut dengan Alas Donoloyo ini terdapat sisa-sisa pohon jati yang tumbuh pada masa Kerajaan Majapahit, 700 tahun yang lalu. Nama Donoloyo merupakan nama pendiri desa di kawasan tesebut, yakni Ki Ageng Donoloyo, seorang anggota laskar Kerajaan Majapahit saat dipimpin oleh Raja Airlangga. Karena ingin mengabdi pada Kerajaan Majapahit, Ki Ageng Donoloyo yang tertinggal ketika mengikuti perjalanan Raja Airlangga, memutuskan untuk menetap di tempat itu, serta menanam pohon jati, yang ia niatkan bisa dimanfaatkan untuk Kerajaan Majapahit. Hingga saat ini, Alas Donoloyo masih dikeramatkan masyarakat sekitar, khususnya kawasan Punden, yang sebelumnya terdapat pohon jati yang pertama ditanam dan dipotong untuk pembangunan Masjid Agung Demak. Ki Ageng Donoloyo sendiri dipercaya masih berada di Alas Donoloyo. Karena dari dulu hingga kini, belum diketahui dimana letak makam sang laskar setia Majapahit ini.

Api yang digunakan dalam upacara Adang Tahun Dal diambil dari gunung Merapi. Latar belakang diambilnya dari gunung merapi ini konon puncak Gunung Merapi dianggap sebagai pusat kekuatan dan kekuasaan Panembahan Senapati. Masyarakat Jawa, terutama yang tinggal di pusat kerajaan Surakarta dan Yogyakarta sampai awal abad ke-20 masih percaya bahwa pada saat-saat tertentu Kanjeng Ratu Kidul mengadakan pertemuan dengan Panembahan Senapati (dan raja-raja keturunannya). Pertemuan itu terjadi di Pantai Parangtritis, atau di puncak gunung Merapi. Sampai saat ini pada waktu-waktu tertentu masih diadakan upacara mengirimkan pakaian dan perlengkapan lainnya bagi Kanjeng Ratu Kidul dari penguasa kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Upacara tersebut disebut “nglarung” atau “nglabuh”. Pengiriman itu menuju tiga tempat, pertama ke Laut Selatan yang diadakan di Pantai Parangtritis atau Parangkusuma tempat Panembahan Senapati bertapa dan pertama kali bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul, kedua ke puncak Gunung Merapi yang dianggap sebagai pusat kekuatan dan kekuasaan Panembahan Senapati, dan ketiga Dlepih Kahyangan (daerah Wonogiri) yang merupakan tempat jatuhnya wahyu keraton turun kepada Panembahan Senapati.

Air yang digunakan untuk mencuci beras dan menanak nasi juga diambil dari beberapa sumber air suci, salah satunya dari Dlepih Kahyangan, karena pada jaman dahulu tempat ini dipergunakan bertapa oleh Panembahan Senapati. Pada waktu itu Dlepih Kahyangan masih berupa hutan yang di tengahnya dilalui Sungai Wiraka (sungai Dlepih). Di dalam hutan Dlepih Kahyangan itu terdapat petilasan yang dikeramatkan oleh Keraton Kasunanan Surakarta maupun Keraton Kasultanan Yogyakarta. Dlepih Kahyangan dianggap sebagai tempat yang keramat oleh para raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, karena di tempat itu Panembahan Senapati, Sultan Agung Hanyakrakusuma, dan Pangeran Mangkubumi bertapa dan memperoleh ilham, dan di tempat itu pula Sunan Kalijaga pernah bertapa.

Selain sumber air suci yang digunakan berasal dari Dlepih Kahyangan, sumber air lainnya diambil dari Umbul (mata air) Pengging. Umbul Pengging berada di Desa Dukuh Kecamatan Banyudono, Boyolali. Kemudian di Umbul Pengging ini dibangunlah pemandian oleh Paku Buwono X. Disana terdapat makam Yosodipuro I yang merupakan kakek buyut dari Ranggawarsita III dan juga terdapat makam Ki Kebo Kenanga, ayah Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir; serta makam Pangeran Handayaningrat kakek Jaka Tingkir. Pangeran Handayaningrat adalah menantu Brawijaya V, raja terakhir dari Majapahit yang bermukim di Pengging yang merupakan cikal bakal kerajaan Pajang. Umbul Pengging ini merupakan peninggalan Ki Ageng Pengging ketika zaman peralihan dari kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak, lantas dibangun oleh Keraton Surakarta. Penggunaannya pun dikhususkan untuk Raja dan kerabat Keraton Kasunanan Surakarta.

Sehari sebelum upacara Adang Tahun Dal berlangsung, semua peralatan “disiram” disucikan dengan upacara ritual. Dandang Kyai Duda dicuci bersih dengan air buah masam serta air mawar kemudian diminyaki. Sesudah semua peralatan dibersihkan, kemudian diserahkan kepada Nyai Lurah Gondoroso (yang memimpin pekerjaan di dapur keraton), bersama dengan Nyai Lurah Sekul Langgi, sebagai sesepuh acara. Dandang-dandang dipangku oleh para abdi dalem wanita yang berpangkat lurah, lalu disirami. Sementara itu para ulama karaton terus-menerus tanpa hentinya mengalunkan doa memuji kebasaran Tuhan serta memohon keselamatan dengan disertai kepulan asap kemenyan.

Ketika semua peralatan dan perlengkapan sudah tersedia dan siap, Ingkang Sinuhun kemudian menuju dapur Gondorasan, didampingi Kanjeng Prameswari (permaisuri raja) dengan diiringi payung pusaka Kyai Tunggul Jiwa. Untuk menuju pawon Gondorasan, Sinuhun Paku Buwono mengenakan beskap Sembagi dengan berjalan kaki melewati pelataran bangsal Hondrowino, bangsal Karyo Baksono, dan Kadipaten. Sepanjang lorong istana yang dilewati Sinuhun, ratusan kerabat keraton dengan bersimpuh menghaturkan sembah. Selain itu, para wanita yang sudah diperintahkan untuk melakukan tugas masing-masing dalam upacara ritual Adang Tahun Dal itu memakai kemben (kain batik yang menutup dada ke bawah) dan samir kuning. Samir kuning merupakan aksesoris wajib yang harus dikenakan. Samir kuning tersebut dipercaya sebagai penolak bala. Sedangkan para pria memakai beskap putih.

Sesudah membaca puja-puji dan doa, lalu Kanjeng Prameswari memulai mencuci, lalu memasukkan beras ke dalam dandang. Seterusnya, dipasang kukusan dan kekep. Yang menyaksikan, selain para tamu, juga putra-putri keraton yang sudah menikah. Dalam upacara Adang Tahun Dal ini juga terdapat beberapa pantangan, diantaranya adalah pantangan bagi raja untuk tidak berbicara ketika upacara Adang Tahun Dal ini sedang berlangsung ; pantangan adanya orang asing yang menyaksikan upacara Adang Tahun Dal ini selain para kerabat keraton, yang konon bisa berakibat nasi yang ditanak tidak akan segera matang; pantangan bagi yang belum menikah agar tidak diperbolehkan ikut menyaksikan ketika upacara ini berlangsung; serta pantangan bagi pria (tidak boleh menunggui menanak nasi di dapur). Sejak jaman para wali dahulu, yang menunggu di dapur saat ritual Adang Tahun Dal hanya Ingkang Sinuhun bersama Sunan Giri dan Sunan Bonang saja. Selain itu, menurut kebiasaan di keraton Surakarta dan Yogyakarta, ketika menunggu matangnya nasi yang sedang ditanak itu, Sinuhun dan Kanjeng Prameswari juga tidak boleh berbicara, begitu juga para tamu yang datang hingga yang berada di dapur Gondorasan.

Adanya pantangan-pantangan tersebut umumnya adalah untuk menjaga kesakralan upacara Adang Tahun Dal ini. Kesakralan tentunya berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap keramat. Kesemua pantangan-pantangan yang ada dalam upacara Adang Tahun Dal itu adalah sebagai wujud adanya emosi religius yang ada dalam suatu ritual. Adanya emosi keagamaan ini menyebabkan manusia mempunyai emosi serta religi, yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Dari emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, tindakan, gagasan mendapat suatu nilai keramat (sacred value) dan dianggap keramat. Emosi keagamaan yang menghinggapi manusia akan membuat manusia bersikap takut, kagum, terpesona bercampur percaya terhadap hal-hal yang keramat itu.

Pada hari minggu sore tanggal 11 Mulud para abdi dalem termasuk para ulama keraton serta juru kunci makam-makam milik keraton telah hadir. Kurang lebih pukul 20.00 Sinuhun diiringi putra-putri Sinuhun tiba di Gondorasan (dapur keraton). Ikut pula hadir para istri (selir) Sinuhun serta para tamu kehormatan. Para petugas dan keluarga keraton berpakaian adat Jawa dengan warna putih. Sementara itu dandang Kyai Duda serta kendil Nyai Rejeki telah berada diatas tungku api. Dandang Kyai Duda terus-menerus dikoyohi (diusapi) dengan semacam param, sementara para ulama dan juru kunci terus menerus berdoa tanpa henti. Setelah istirahat sejenak Sinuhun menuju tungku untuk membetulkan nyala api. Tindakan ini diikuti para putri Sinuhun secara bergantian. Yang bertugas memasukkan beras ke dalam dandang adalah Kanjeng Prameswari. Selama berlangsung adang ini Sinuhun, Kanjeng Prameswari beserta putra-putrinya bergantian mengamati dandang Kyai Duda dan kendil Nyai Rejeki yang terus menerus dikoyohi (diusapi semacam param). Koyoh ini langsung diusapkan dengan tangan telanjang tanpa alat, tetapi aneh tidak terasa panas, padahal air sudah mendidih serta nasipun sudah masak. Sekitar pukul 24.00 Sinuhun diikuti beberapa putra kembali ke keraton, sedang yang lain tetap di Gondorasan menunggu hingga nasi masak. Kurang lebih pukul 00.30 nasi telah masak, digelar di atas tempat yang sudah disediakan lalu dikipasi hingga dingin, menjadi nasi yang pulen.

Keesokan harinya, Senin pon tanggal 12 Mulud tahun Dal pukul 11.00 para keluarga Sinuhun beserta para abdi dalem telah hadir di keraton. Dengan diiringi beberapa kerabat Sinuhun memasuki tempat upacara dan menempatkan diri ditengah-tengah, bertempat di Ndalem Probosuyoso Pakoe Boewono. Di depan tempat duduk Sinuhun telah tersedia meja panjang berisi piring serta nasi hasil adang semalam. Nasi sudah diwadahi dengan wadah yang besar yang bernama Nyai Blawong, Nyai Satigi, Nyai Sepet, dan Nyai Lembah Sentana. Walaupun jumlah nasi dalam wadah itu terbatas, akan tetapi ketika dimakan oleh yang datang pasti cukup (semua mendapat bagian satu kepal).

Kemudian tiba saatnya selamatan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dimulai. Inti selamatan adalah pembacaan doa memuji kebesaran Tuhan, mengucapkan puji syukur atas karuniaNya memohonkan pahala Nabi Muhammad SAW. Setelah para ulama selesai memimpin pembacaan doa, kemudian Sinuhun mengambil satu centhong ditaruh di atas piringnya. Tindakan ini diteruskan oleh Kanjeng Prameswari dan putra-putri Sinuhun lalu membagi-bagikan nasi kepada semua yang hadir. Kemudian selesialah upacara makan bersama.


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Maestro Karya Budaya

GPH. Dipokusumo, Pengageng Parentah Karaton

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047