Upacara Tedhak Siten

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101487
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image

Tedhak Siten adalah salah satu upacara adat budaya Jawa. Tedhak Siten atau upacara turun tanah merupakan upacara yang dilakukan sebagai peringatan bagi manusia akan pentingnya makna hidup di atas bumi yang mempunyai relasi, yaitu relasi antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan alam di sekitarnya. Artinya, upacara Tedhak Siten merupakan suatu upacara yang mengandung harapan orang tua terhadap anaknya agar si anak nantinya menjadi orang yang berguna bagi keluarga, nusa, dan bangsa. Harapan orang tua ini termanifestasikan dalam suatu upacara yang diselenggarakan pada masa kanak-kanak yang dinamai upacara Tedhak Siten. 

Tedak Siten berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu “tedhak” yang berarti “menapakkan kaki”, dan “siten” (berasal dari kata “siti”) yang berarti “bumi” atau “tanah”. Upacara ini dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh lapan (satu lapan sama dengan 35 hari / 7 x 35 hari atau 245 hari) yaitu ketika bayi mulai belajar duduk dan berjalan di tanah. Bagi para leluhur, adat budaya ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada bumi tempat anak mulai belajar menginjakkan kakinya ke tanah. Sehingga dalam istilah Jawa disebut dengan Tedhak Siten. Upacara Tedhak Siten selalu diiringi dengan doa-doa dari orang tua dan sesepuh sebagai pengharapan agar kelak anak sukses menjalani kehidupannya.

Simbol yang tersirat dalam upacara Tedhak Siten adalah mengungkapkan masa depan bayi. Sedangkan maksud diadakannya upacara Tedhak Siten adalah diharapkan kelak kalau anak sudah dewasa akan kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan yang penuh tantangan dan harus dihadapinya untuk mencapai cita-cita. Selain itu upacara ini sebagai perwujudan rasa syukur karena pada usia ini si anak akan mulai mengenal alam di sekitarnya dan mulai belajar berjalan. Tujuan lain dari upacara ini adalah untuk mengenalkan si anak kepada ibu pertiwi. Dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan “Ibu Pertiwi Bapa Angkasa” yang berarti bumi sebagai ibu dan langit sebagai bapak.

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, sebelum melakukan segala sesuatu selalu diawali dengan ritual “slametan” atau selamatan. Selamatan merupakan sebuah tradisi ritual yang hingga kini tetap dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Salah satu upacara adat Jawa ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah dan karunia yang diberikan Tuhan.

Istilah selamatan sendiri berasal dari bahasa arab yakni Salamah yang memiliki arti selamat atau bahagia. Sementara itu, jika merujuk pada pendapat Clifford Geertz, selamatan bisa berarti “ora ono opo-opo” (tidak ada apa-apa). Dalam prakteknya, selamatan atau syukuran dilakukan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional acara selamatan dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk.

Demikian juga sebelum memulai prosesi upacara Tedhak siten, dimulai dengan mengadakan “slametan” yang merupakan manifestasi dari doa memohon keselamatan secara bersama-sama kepada Tuhan agar diberikan kelancaran dan terhindar dari halangan sehingga tidak akan terjadi apa-apa.

Sesaji yang disediakan dalam selamatan ini yaitu terdiri dari nasi tumpeng dengan sayur mayur (kacang panjang, kangkung, kecambah) dan iwak ingkung (lauk ayam utuh), bubur merah dan putih, bubur boro-boro, kembang boreh, jajan pasar lengkap, serta aneka umbi-umbian.

Arti sesaji :

• Tumpeng sebagai simbol permohanan orang tua agar si anak kelak menjadi anak yang berguna. Sayur kacang panjang sebagai simbol umur panjang. Sayur kangkung sebagai simbol kesejahteraan. Kecambah sebagai simbol kesuburan, sedangkan ayam adalah simbol kemandirian.

• Bubur merah yang melambangkan darah.

• Bubur putih yang melambangkan air mani.

• Bubur boro-boro ialah bubur yang terbuat dari bekatul, sesaji ini ditujukan untuk kakang kawah dan adhi ari-ari (plasenta/ari-              ari), yang merupakan saudara yang dilahirkan bersama dengan anak tersebut.

• Kembang boreh yaitu macam-macam bumbu dapur dan kinangan, sesaji ini ditujukan untuk nenek moyang.

• Jajan Pasar yaitu makanan dan kue basah beraneka macam yang melambangkan dalam berkehidupan kita akan banyak                      berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai macam karakter sehingga si anak dapat mudah bersosialisasi dengan                    masyarakat di sekitarnya.

• Aneka pala pandem (umbi-umbian) yang mempunyai makna agar si anak mempunyai sifat andap asor atau tidak sombong.

 

Setelah acara selamatan dengan mengumpulkan para undangan telah selesai dilakukan, rangkaian prosesi acara Tedhak Siten segera dimulai. Dalam upacara adat ini ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh si anak, dimana tiap tahap atau proses tersebut melambangkan doa-doa dan harapan dari orang tua dan sesepuh serta memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi. Prosesinya adalah sebagai berikut;

Pertama, orang tua anak membimbing si anak menginjakkan kakinya di tanah kemudian menginjakkannya ke “jadah” atau “tetel” yang berjumlah tujuh warna. Jadah merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih, warna jadah tujuh rupa itu yaitu warna hitam, ungu, biru, hijau, merah, kuning, dan putih. Makna yang terkandung dalam jadah tujuh warna ini merupakan simbol kehidupan yang akan dilalui oleh si anak, mulai dia menapakkan kakinya pertama kali di bumi ini sampai dia dewasa, sedangkan warna-warna tersebut merupakan gambaran dalam kehidupan si anak yang kelak akan menghapapi banyak pilihan dan rintangan yang harus dilaluinya. Jadah tujuh warna disusun mulai dari warna yang gelap ke terang, hal ini menggambarkan bahwa masalah yang dihadapi si anak mulai dari yang berat sampai yang ringan, maksudnya seberat apapun masalahnya pasti ada titik terangnya yang disitu terdapat penyelesaiannya. 

Lalu anak dibimbing menaiki tangga tebu. Setelah sampai pada tangga tebu yang teratas, lalu diturunkan untuk menapaki tanah lagi. Tangga tebu ini dibuat dari tebu jenis “arjuna”, melambangkan harapan agar si anak memiliki sifat ksatria seperti Arjuna (tokoh pewayangan yang dikenal bertanggungjawab dan tangguh). Dalam bahasa Jawa “tebu” merupakan kependekan dari “antebing kalbu” yang maknanya diharapkan dalam menjalani kehidupan ini dengan tekad yang kuat dan hati yang mantap.

Turun dari tangga tebu, si anak dituntun untuk berjalan dionggokan pasir yang ditempatkan dalam satu wadah. Disitu dia mengkais pasir dengan kakinya, bahasa Jawanya ceker-ceker, yang arti kiasannya seperti ayam mencari makan. Maksudnya si anak setelah dewasa akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Kemudian anak dibimbing untuk masuk kurungan ayam. Di dalam kurungan ayam tersebut terdapat beberapa barang seperti barang perhiasan, alat-alat tulis, padi, barang-barang mainan, dan lain-lain. Anak biasanya tertarik untuk memperhatikan dan kemudian mengambil barang yang tersedia. Prosesi ini menyimbolkan kelak anak akan dihadapkan pada berbagai macam jenis pekerjaan. Anak dihadapkan dengan beberapa barang untuk dipilih. Kemudian ia dibiarkan mengambil salah satu dari barang tersebut. Barang yang dipilihnya merupakan gambaran hobi dan masa depannya kelak. 

Prosesi selanjutnya ayah dan kakek si bocah menebarkan “udik-udik”, yaitu beras kuning (beras yang dicampur dengan parutan kunyit) yang telah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan oleh undangan anak-anak. Maksudnya si anak sewaktu dewasa menjadi orang yang dermawan dan suka menolong orang lain. Karena dengan suka memberi, baik hati, dia juga akan mudah mendapatkan rejeki. 

Rangkaian prosesi tedhak siten diakhiri dengan memandikan anak ke dalam air bunga setaman lalu dipakaikan baju baru. Hal ini menyimbolkan pengharapan agar bayi selalu sehat, membawa nama harum bagi keluarga, hidup layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya. Dengan demikian, selesailah upacara Tedhak Siten.

Perlengkapan atau “uba rampe” yang diperlukan dalam upacara Tedhak Siten antara lain adalah sebagai berikut :

1. Nasi tumpeng

2. Jenang (bubur) merah dan putih

3. Jenang boro-boro

4. Jajan pasar lengkap

5. Jadah tujuh warna

6. Kembang setaman

7. Tangga yang terbuat dari tebu

8. Kurungan (sangkar) ayam dihiasi janur kuning dan kertas warna-warni

9. Pasir dalam wadah

10. Beras kuning dan beberapa lembar/coin uang

11. Barang-barang perhiasan, antara lain kalung, gelang, peniti

12. Barang-barang yang bermanfaat, misalnya buku dan alat-alat tulis

 

Upacara Tedhak Siten memiliki beberapa simbol yang dapat ditafsirkan sebagai berikut :

- Jadah terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan kelapa dan garam, dikukus dan dihaluskan kemudian dicetak sesuai dengan kebutuhan. Rasanya gurih, namun setelah diberi beberapa warna alami, rasa dan makna yang dikandung pun jadi lain. Makna yang terkandung dari jadah adalah perjalanan hidup yang akan dilalui oleh si anak. Menggambarkan kehidupan yang penuh cobaan, suka dan duka sehingga membutuhkan keuletan. Jadah tujuh macam warna melambangkan suatu harapan agar anak dalam setiap harinya dapat mengatasi berbagai macam kesulitan. Jadah tujuh warna ini masing-masing melambangkan arti harapan dan doa yang berbeda-beda.

Hitam: memiliki arti kecerdasan. Diharapkan Sang Anak dapat memiliki kecerdasan yang tinggi, cerdas dalam menghadapi                             apapun.

Ungu: memiliki arti ketenangan. Diharapkan dimasa yang akan dating, Sang Anak dapat bersikap tenang dalam pengambilan                        keputusan.

Biru: memiliki arti kesetiaan. Diharapkan Sang Anak menjadi orang yang setia.

Hijau: memiliki arti kemakmuran. Diharapkan kelak Sang Anak memiliki kehidupan yang makmur sejahtera.

Merah: memiliki arti keberanian. Diharapkan Sang Anak memiliki keberanian dalam menjalani kehidupannya kelak.

Kuning: memiliki arti kekuatan. Diharapkan anak dapat memiliki kekuatan dalam hidupnya dan mencapai kejayaan.

Putih: memiliki arti kesucian. Diharapkan Sang Anak memiliki kesucian hati kelak dikemudian hari.

 

• Tangga tebu wulung (tebu hitam) jenis Arjuna : Mantapnya hati, pendirian yang teguh.

Menaiki tebu wulung : untuk menggambarkan perjalanan hidup dan mencapai cita-cita yang tinggi dan luhur. Menandakan si anak mengenal kenyataan hidup yang akan dilalui di kemudian hari. Tangga tebu melambangkan tingkat-tingkat kehidupan yang mengandung harapan suatu ketetapan hati (antebing kalbu, Jawa) dalam mengejar tingkatan hidup yang lebih baik.

• Kurungan ayam jago melambangkan dunia fana yang terbatas, atau suatu lingkungan masyarakat yang akan dimasukinya dengan mematuhi segala peraturan dan adat-istiadat setempat. Kurungan yang diisi dengan berbagai macam mainan : maknanya menggambarkan dunia dengan berbagai pilihan untuk hidup di kemudian hari.

• Barang-barang perhiasan melambangkan kekayaan.

• Pasir dalam wadah mengandung makna agar anak setelah dewasa akan mampu mencari mata pencaharian dan memenuhi kebutuhan hidupnya, serta harapan agar anak kelak selalu kecukupan sandang pangan.

• Jenang blowok : Terdiri dari jenang merah putih dan jenang katul (bekatul) yang melambangkan perjalanan hidup itu tidak selalu mulus, kadang-kadang terperosok (keblowok – bahasa Jawa).

• Udik-udik : beras kuning yang dicampur dengan empon-empon, uang logam dan bunga mawar dan melati yang melambangkan agar si anak suka menolong orang lain dengan memberikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan.

• Kembang setaman melambangkan sifat suci dalam tingkatan hidup yang akan dijalani. Mandi dengan air kembang setaman menggambarkan bahwa anak tetap sehat jasmani dan rohani. Membawa keharuman nama keluarga.

 

Ringkasan Jalannya Upacara Tedhak Siten

No.

Acara

Makna

1.

Orangtua anak membimbing si anak menginjakkan kakinya di tanah kemudian menginjakkannya ke jadah yang berjumlah tujuh

Perjalanan hidup yang akan dilalui oleh si anak. Menggambarkan kehidupan yang penuh cobaan, suka dan duka sehingga membutuhkan keuletan. Jadah tujuh macam warna melambangkan suatu harapan agar anak dalam setiap harinya dapat mengatasi berbagai macam kesulitan.

2.

Anak dibimbing menaiki tangga tebu. Setelah sampai pada tebu yang teratas, lalu diturunkan untuk menapaki jadah itu lagi.

Untuk menggambarkan perjalanan hidup dan mencapai cita-cita yang tinggi dan luhur. Menandakan si anak mengenal kenyataan hidup yang akan dilalui di kemudian hari. Tangga tebu melambangkan tingkat-tingkat kehidupan yang mengandung harapan dan suatu ketetapan hati (antebing kalbu, Jawa) dalam mengejar tingkatan hidup yang lebih baik.

3.

Anak dituntun untuk berjalan dionggokan pasir

Mencari makan. Maksudnya si anak setelah dewasa akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

4.

Anak dibimbing untuk masuk kurungan ayam. Di dalam kurungan ayam tersebut terdapat beberapa barang seperti barang perhiasan, alat-alat tulis, padi, barang-barang mainan, dan lain-lain.

Melambangkan dunia fana yang terbatas, atau suatu lingkungan masyarakat yang akan dimasukinya dengan mematuhi segala peraturan dan adat istiadat setempat. Kurungan yang diisi dengan berbagai macam mainan : maknanya menggambarkan dunia dengan berbagai pilihan untuk hidup di kemudian hari.

5.

Ayah dan kakek si bocah menyebar udik-udik, yaitu uang logam dicampur dengan beras kuning dan berbagai macam bunga.

Maksudnya si anak sewaktu dewasa menjadi orang yang dermawan, suka menolong orang lain. Karena suka menberi, baik hati, dia juga akan mudah mendapatkan rejeki.

6.

Anak dimandikan dengan air kembang setaman lalu dikenakan pakaian yang bagus.

Menggambarkan bahwa anak tetap sehat jasmani dan rohani. Membawa keharuman nama keluarga.

 


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Dinas Kebudayaan Kota Surakarta

Jl. Slamet Riyadi 275 Surakarta, Jawa Tengah

0271714942

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Maestro Karya Budaya

KRAT. Radjana Pradja Dipura, Dwija (Guru) Pawiyatan Kabudayan Jawi Karaton Surakarta Hadiningrat

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

GKR. Wandansari Koes Moertiyah, Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta (54)

Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271645412

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047