PAKKECAPING BUGIS SIDRAP

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101438
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image

Kecapi adalah salah satu jenis alat musik yang dapat ditemui disuku bugis dan berbagai suku lainnya di Sulawesi Selatan. Instrumen musik kecapi/kecaping dapat dimainkan secara individu maupun kelompok. Kecapi dimasyarakat bugis pada umumnya terbuat dari kayu nangka (aju panasa), kayu jati (aju jati), kayu sattun (aju settung), kayu waru dan loka-loka. Namun sekarang ini kayu yang sering digunakan adalah kayu jati karena lebih muda didapat untuk dibentuk dan diukir juga lebih bagus kualitas bunyinya dibandingkan dengan kayu lainnya.

 Menurut sejarahnya, kecapi diciptakan oleh seorang pelaut bugis yang mangarungi samudera luas. Disuatu saat sang pelaut sedang berdiri diatas perahu sambil memegang tiang agung (Palla jareng) perahu. Dalam keadaan termenung dia teringat akan kampung halamannya dan sanak keluarganya yang ditinggalkan sekian lama. Disaat keadaan demikian, tiba-tiba dia memetik tali layar tiang perahu tersebut dimana dari petikan itu menimbulkan getaran yang melahirkan bunyi. Disaat itulah timbul niatnya ingin membuat suatu alat musik yang disesuaikan dengan bentuk perahu tersebut yang memakai tiang dan tali kawat halus. Demikian pada mulanya hasil ciptaannya ini diberi nama “CACALEPPA” yang terdiri dari empat grev. Lama kelamaan nama Cacaleppa ini akhirnya berubah menjadi “Kecapi” yang dikenal sekarang yang dari empat Grev kemudian ditambah satu grev sehingga menjadi lima barulah Cacaleppa ini akhirnya berubah menjadi “Kecapi” kemudian ditambah lagi satu grev sehingga menjadi enam untuk mencapai nada-nada yang semestinya. Di Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat Bugis Sidenreng Rappang (Sidrap) dikenal memiliki berbagai bentuk-bentuk kebudayaan lokal yang beraneka ragam jenisnya. Salah satu diantaranya adalah pertunjukkan Pakkecaping. Pertunjukkan pakkecaping dimainkan dengan menggunakan instrumen musik kecapi. Pertunjukkan pakkecaping sebagai tradisi masyarakat setempat merupakan salah satu bentuk yang dimainkan secara Solo, berdua, bertiga, berempat dan seterusnya. Orang pertunjukkan yang biasa memainkan kecapi bugis bagi masyarakat bugis disebut sebagai Pakkecaping. Pakkecaping berasal dari kata dasar “Kecapi/Kecaping” yang menunjuk pada alat musiknya dan merupakan salah satu instrumen musik petik disuku bugis serta terdapat pula diberbagai suku-suku lainnya di Indonesia. Kata “Kecapi/Kecaping” lalu mendapat prefiks “Pa” yang menunjuk pada pelakunya. Jadi kata Pakkecaping diartikan sebagai orang yang tampil dalam memainkan dan sering melakukan pertunjukkan dengan menggunakan alat musik kecapi. Kecapi bugis merupakan alat musik berbentuk perahu karena lehernya berbentuk tiang topang depan perahu. Pertunjukan musik kecapi yang dimainkan sambil melagukan teks-teks Bugis merupakan salah satu bentuk interaksi antara pemain kecapi (Pakkecaping) dan khalayak atau penonton. Pertunjukan Pakkecaping di masyarakat bugis Sidenreng Rappang merupakan salah satu media hiburan dan suatu bentuk kegiatan ekspresi budaya tradisional dengan melantunkan berbagai macam jenis teks-teks lisan bugis maupun tertulis. Penyampaian teks-teks lisan itu biasanya dilantunkan oleh sipelaku pertunjukan secara bergantian dengan mengikuti alur cerita yang akan dinyanyikan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh pelaku pertunjukan biasanya bertemakan tentang sejarah perjuangan, kisah tentang tokoh dalam suatu kelompok masyarakat dan lainnya. Namun tidak sedikit pula lagu-lagu yang dinyanyikan hanya berdasarkan hasil imajinasi yang secara spontan dinyanyikan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dirasakan oleh Si Pakkecaping. Dalam konteks pertunjukan Pakkecaping yang dilakukan secara berkelompok antara dua sampai lima orang dalam berbagai kegiatan, cerita yang biasanya dilagukan berangkat dari satu tema dan kemudian dinarasikan serta berangkai berdasarkan hasil imajinasi mereka.Pakkecaping di Kabupaten Sidenreng Rappang Sulawesi Selatan merupakan salah satu identitas lokal yang dimilikinya. Pakkecaping di Sidrap pada zaman dahulu berbeda dengan era sekarang. Berbagai hal yang mengalami perkembangan baik dari segi bentuk dan fungsi. Zaman dahulu memainkan kecapi berfungsi sebagai media menghibur diri atau mengusir sepi, kini mengalami perubahan yang sangat signifikan sebagai fungsi ekonomi. Pertunjukan Pakkecaping selain berfungsi sebagai mengekssspresikan diri juga sebagai media untuk kegiatan formal maupun non formal . kegiatan formal yang dimaksud seperti peresmian organisasi KKSS (Kerukunan Formal Sulawesi Selatan) yang berada di provinsi lain atau organisasi lainnya adapun kegiatan Non Formal yaitu acara hajatan seperti pernikahan (Botting), Aqiqah (Mappanololo atau Mappenre’ Tojang), Syukuran rumah baru (Menre’ bola baru) dan lain sebagainya. Pertunjukan Pakkecaping di Kabupaten Sidenreng Rappang dulu dikenal dengan istilah “ Pakkecaping Sarapo” yang artinya bermain kecapi di pesta pengantin yang lokasinya diatas rumah panggung dan hanya bermain kecapi tunggal. Dari Pemain kecapi tunggal inilah pada generasi selanjutnya membentuk group yang membuat pertunjukan pakkecaping lebih variatif dan menarik. Pada tahun 1970 s.d 1980 dikenal pakkecaping La Tati, Beddu Haling, La Sodding, La Karodding, La Runa, La Daming dan La Kereng. Generasi selanjutnya tahun 1980 s.d 1990 ada La Conding, Lande , La Daming dan Daeng Massese. Generasi tahun 1990 sampai sekarang ada Sabri Nangka, La Tanri, Sarifuddin (La Podding), Rumpis (La Nonding), Arkas dan Akkas. Saudara Sabri Nangka inilah yang membentuk group Pakkecaping yang dikenal dengan nama Group Empat Sekawan yang beranggotakan Sabri Nangka, La Tanri, Sarifuddin (La Podding) dan Rumpis (La Nonding) dan telah menunjukkan eksistensinya didalam negeri maupun diluar negeri Tahapan Pertunjukan Pakkecaping empat sekawan meliputi beberapa fase yaitu Fase sebelum pelaksanaan pertunjukan. Tahapan dalam fase ini adalah persepekatan (Assipettungeng Bicara) dan penginformasian (Assipauang ada). Setelah tahapan tersebut terdapat fase persiapan pertunjukan yang meliputi, berpakaian dan menyetel alat-alat pertunjukan. Selanjutnya ada fase pertunjukan yang meliputi irama awal malam (Amba’ mula wenninna), irama tengah malam (Amba’ tengnga benninna) dan irama penutup (Amba’ Paccapureng). Fase yang terakhir ialah tahapan pada saat selesai pertunjukan. 

Penjelasan dari Fase-Fase tersebut:

1.   Fase sebelum pelaksanaan pertunjukan.

a.  Assipettungeng bicara (Persepakatan)

Dalam hal ini ada persepakatan pelaksana acara dengan pelaku pertunjukan mengenai jadwal, honor, durasi, pertunjukan dan pakaian.

b.  Assipauang ada (Penginformasian)

Pelaksana acara menginformasikan kepada masyarakat untuk datang meramaikan acara juga kepada pemerintah setempat dalam hal permohonan izin pelaksanaan kegiatan atau keramaian, bagi Pakkecaping (group empat sekawan) kembali menyampaikan informasi kepada masing-masing anggotanya mengenai kepastian waktu dan tempat pertunjukan.

 

2.   Fase Persiapan Pertunjukan.

a.  Mappake (Berpakaian)

Untuk acara-acara formal, Pakkecaping biasanya berpakaian adat berupa sarung khas bugis (Lipa’ Sabbe) Jas tutup (Jase tutu’) dan Songko pemiring atau passapu (semacam dester). Bila acara non formal hanya berpakaian biasa (baju kemeja).

b.    Mastel alat (Menyetel Alat)

Masing-masing anggota pakkecaping menyetel alat musik kecapi yang dimilikinya menyesuaikan nada yang keluar dari speaker.

               3.   Fase Persiapan Pertunjukan.

                a.  Irama awal malam (Amba’mula wenninna/Pammulang)

Irama pembukaan atau dimulainya pertunjukan pakkecaping pada bagian ini hanya berupa irama (tanpa ceritanya nyanyian)yang dimainkan oleh pakkecaping berupa petikan kecapi atau disebut getti- getti’na. Kemudian dilanjutkan dengan getti-getti melayuna sebagai pilihan teman untuk membangkitkan semangat khalayak yang menyaksikan. Getti-getti malayu menggunakan empat alat instrumen musik yaitu dua kecapi, gendang dan rinci-rinci (tamborin). Pemain terkadang tergantung pada kreativitas pakkecaping untuk membangkitkan semangat khalayak, bahwa getti-getti melayuna bukanlah satu-satunya cara. Kemudian selanjutnya mulai pemain berinteraksi sesama pemain melalui ungkapan jenaka dengan bahasa bugis berupa teka-teki yang membuat penonton tertawa dan antusius.

 

b.  Irama tengah malam (Amba’tengnga wenninna)

Pada bagian ini semua pemain menggunakan alat musik kecapi untuk mengiringi lagu yang ditentukan dengan pertimbangan bahwa mengiringi lagu diperlukan adanya variasi-variasi nada. Beberapa lagu


yang selalu dinyanyikan pakkecaping diantaranya Mabbene Tomatoa (beristri orang tua), Labbu maneppa najaji (Jenis-jenis kue yang bahannya dari tepung beras), Otti maneng najaji(Jenis-jenis kue yang bahannya dari pisang).

                c.  Irama penutup (Amba’paccapureng)

Dalam Amba’paccapureng ini penggunaan alat musik kembali sama seperti pada saat amba’mula wenninna yakni dua orang memainkan kecapi satu orang memainkan gendang satu orang memainkan rinci (tamborin).

 

4.   Fase selesai pertunjukan

 

Berdasarkan kesepakatan untuk pelaksana dengan pakkecaping setelah pertunjukan berakhir maka pelaksana kegiatan memberi honorarium kepada pakkecaping dan pembagian kepada anggotanya.

 

Makna dan Nilai-Nilai yang terkandung pada pertunjukan Pakkecaping:

 

1.    Nilai Religius

 

Nilai religius suatu pembuktian ketaatan kepada Sang Maha Pencipta Dalam mengungkap nilai religius difokuskan kepada dua arah yang mencakup pemain Pakkecaping dan elokkelong yang dilantunkan pada saat melakukan pertunjukan. Misalnya saat pelaksanaan negosiasi untuk melakukan pertunjukan. Setelah melakukan pertunjukan (Assipettuang bicara), pelaksanaan kegiatan menyerahkan sepenuhnya kepada Pakkecaping untuk menghibur tamu pada waktu yang telah ditentukan dan pada akhirnya Ketua Pakkecaping menyatakan “ Kudeccaui Napuelo Puangnge” (Semoga tidak ada yang menyalahkan dan dikehendaki Allah SWT).

Pertunjukan Pakkecaping dimalam hari selalu dimulai setelah shalat isya dan tidak akan pernah melalukan pertunjukan sebelum shalat isya.

 

2.   Nilai Etika

 

Etika dapat mencakup sikap sopan santun, tolong menolong dan displin yang ditunjukan melalui tutur kata dan perbuatan para pemain pakkecaping dan elokkelong yang dilantunkan. Dalam masyarakat Bugis Sidenreng Rappang mengenal suatu pemahaman bahwa wujud etika sekarang menunjukkan identitas kepribadian dirinya sehingga sering dikatakan bahwa cara seorang bertutur menunjukkan identitas, sifat dan kualitas dirinya sendiri.

Batas etika dalam pertunjukan Pakkecaping terlihat pada cara mereka bermain dan duduk. Cara duduk para pemain Pakkecaping umumnya dengan cara bersila (Tudang Massulekka). Tudang Massulekka berfungsi untuk meletakkan berbagai jenis alat musik baik dipaha, kaki dan betis. Selain memiliki fungsi dalam bermain musik kecaping juga termasuk sebagai sopan santun yang ditunjukkan kepada khalayak umum. Tidak hanya di Sidenreng Rappang, masyarakat bugis pada umumnya menganggap bahwa duduk bersila merupakan suatu bentuk penghormatan kepada tamu. Para pemain pakkecaping terlihat duduk bersila pada saat dimulai hingga berakhirnya pertunjukan.


3.  
Nilai Kejujuran dan Kecendekiaan

 

Sifat kejujuran yang dimiliki oleh pemain pakkecaping mewujud pada saat melakukan persetujuan antara pelaksana kegiatan dengan ketua group mengenai honorarium. Setelah kesepakatan ada antara pelaksana acara dan pakkecaping maka pantang menerima tawaran pada hari yang sama meskipun honor yang ditawarkan jauh lebih menggiurkan. Baginya sikap tersebut wujud sipakatau (Saling memanusiakan manusia), alempureng (kejujuran) terhadap diri sendiri, orang lain dan Sang Maha Pencipta.

 

4.   Nilai Estetika

 

Nilai keindahan juga terdapat pada instrumen musik utama yang digunakan yaitu kecapi. Berdasarkan pengamatan berbagai sumber bahwa kecapi memiliki bentuk yang hampir sama dengan perahu terbalik. Asumsi tersebut berkait erat dengan sejarah penemuan alat musik kecapi itu sendiri. Selain itu, ujung atau kepala alat musik kecapi diukir sedemikian rupa dengan warna yang indah pula. Ukiran – Ukiran alat musik kecapi bisa menyerupai bentuk kepala burung elang, kepala naga dan kepala ular. Ragam hias tersebut semakin memperkuat posisi kesenian masyarakat sebagai suatu hal yang mengundang keestetikaan.

 

5.    Nilai Peduli Sosial

 

 

Keberadaan pertunjukan pakkecaping dalam masyarakat bugis Sidenreng Rappang merupakan salah satu wahana untuk berinteraksi dengan manusia satu dengan manusia lainnya. Dalam masyarakat bugis Sidenreng Rappang, peduli sosial diistilahkan sebagai Sipatuo atau Sikamaseang. Terlaksananya suatu pertunjukkan pakkecaping yang baik dan lancar tentu didasarkan oleh adanya hubungan antara subjek dan objek. Objek pertunjukan dalam hal ini ialah penikmat sedangkan pemain pakkecaping merupakan subjek. Pemain pakkecaping berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan sesuatu yang menarik bagi khalayak yang menyaksikannya. Sementara khalayak (Penonton) berusaha untuk menciptakan penikmatan baru dan meraup keindahan melalui proses interaksi.

 

 

 

 

 


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Komunitas Karya Budaya

EMPAT SEKAWAN

SALOBOMPONG, DESA DAMAI KECAMATAN WATANG SIDENRENG

085299247359

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Maestro Karya Budaya

SABRI NANGKA

SALOBOMPONG DESA DAMAI KECAMATAN WATANG SIDENRENG, KAB. SIDRAP

085299247359

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047