Srimpi Ludiramadu

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101481
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image
TARI SRIMPI LUDIRAMADU Tari Srimpi Ludiramadu merupakan salah satu karya seni yang lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1618 – 1748) Jawa, atau 1790 – 1820 Masehi. Tari ini diciptakan oleh Hamengkunagoro III (Putra Paku Buwana IV), setelah naik tahta bergelar Paku Buwana V, Memerintah Pada Tahun (1820 – 1823). Dijelaskan oleh Pradja Pangrawit bahwa tari Srimpi Ludiramadu diciptakannya oleh Hamengkunagoro III penciptaan diawali dengan penciptaan Gending Ludiramadu dan dianggap sebagai Tari Srimpi yang pertama di Karaton Kasunanan Surakarta (Pradja Pangrawit 1990 : 110 – 111). Beksan/Tari Srimpi Ludiramadu secara konvensional diyakini sebagai salah satu karya Hamengkunagara III. Kemungkinan memiliki ciri dan sifat yang secara umum melekat pada karya seni yang lahir pada masa Paku Buwana IV. Diungkapkan oleh Pradjapangrawit bahwa hampir sebagian besar karya Hamengkunagara III yang lahir pada masa Pakubuwana IV memiliki rasa halus, gecul dan prenes (lincah, kenes) disini seperti watak kijang yang lincah. Hal ini cenderung dipengaruhi oleh individu seniman (Hamengkunagara III) (Pradjapangrawit 1990:110). Latar belakang penciptaan tari Srimpi Ludiramadu ini bermula dari perselisihan diantara kedua orang tua Kanjeng Adipati Anom Hamangkunegara III hingga berujung sebuah perceraian. Perselisihan Sri Susuhan Pakubuwono IV dengan Kanjeng Ratu Anom yang mengakibatkan dikembalikannya Kanjeng Ratu Anom ke pulau Madura dengan menggunakan sebuah perahu, inilah yang kemudian membuat Kanjeng Adipati Anom Hamengkunagara III membuat sebuah tarian guna mengenang ibundanya dan sebagai wujud kebanggannya terhadapat ibundanya yang berdarah Madura. Selain itu terdapat penggambaran kesedihan Kanjeng Adipati Anom Hamengkuganara III ketika ibundanya dipulangkan kembali ke Madura digambarkan dengan gerakan pada bagian beksan mijil yang ditafsirkan sebagai perwujudan perahu yang terombang ambing di atas lautan lepas. Sebelum dipadatkan secara bentuk sajian tari Srimpi Ludiramadu bisa dikatakan masih wutuh. Wutuh dalam artian di keraton pada saat sebelum memulai beksan selalu menggunakan pocapan dalang, jika di Yogyakarta disebut dengan kondho. Bentuk garap secara wutuh masih menggunakan konsep kiblat papat lima pancer, meliputi struktur beksan merong dan beksan inggah yang diulang sebanyak empat kali dengan arah hadap yang berbeda mengikuti empat arah penjuru mata angin. Pada bagian sirep dilakukan bergantian sebanyak dua kali, sehingga seluruh penari memiliki peran yang kuat. Tari srimpi dikatakan budaya keraton karena yang menciptakan Tari Srimpi Ludiramadu adalah hasil karya Hamengkunagara III lahir pada pemerintahan Paku Buwana IV. Pada masa itu beliau belum naik tahta sehingga bergelar Hamengkunagara III. Ini dapat disimak pada Wedha pradangga yang secara eksplisit menyebutkan sebelum menjadi raja, Hamengkunagara III banyak menciptakan karya seni : “Ingkang Sinuhun wau wiwit kala dereng jumeneng nata sampun kathah iyasan-iyasan utawi anggitan dalem”. Terjemahan : sinuwun memiliki bakat dalam penciptaan seni tari, rupa, sastra sebelum naik tahta menjadi raja dan kemampuan sudah kelihatan dari karya-karya yang diciptakannya. (Pradjapangrawit, 1990:11). Ungkapan ini secara lisan dikuatkan oleh K.R.T.Hardjonagoro yang menyatakan bahwa hampir sebagian besar karya Paku Buwana V. Karya-karya Hamengkunagara III lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV : artinya, karya-karya tersebut diciptakan oleh Paku Buwono V semasa menduduki jabatan Pangeran Adipati Anom / Putra Mahkota (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara 5 Desember 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut pada pemaparan selanjutnya penulis cenderung menggunakan sebutan Hamengkunagara III setelah menjadi raja dengan gelar Paku Buwana V. Kegiatan berkesenian Hamengkunagara III dapat terungkap di Wedha pradangga sebagai berikut : “Kacariyos kala raksih Jumeneng Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, saben pasewakan ing dinten Senen miwah Kemis, saderengipun miyos dalem, Kanjeng Gusti kapareng lenggah ing bangsal pradangga nunggil abdi dalem niyaga, lajeng angasta rebab utawi sanesipun ingkang dados kepareng dalem. Cakipun alus angrawit sarwa miraos. Ananging manawi ingkang rama (Sampeyan Balem Ingkang Sinuwun Paku Buwana IV) sampun katingal lenggah ing kajogan prabasuyaso, Kanjeng Gusti wau anggenipun angasta (nabuh) lajeng kadamel-damel radi kaduk sembrana. Yen nuju ngasta bonang lajeng dipun imbal kacengkokaken ngantos gobyog sangat, adamel cingakipun ingkang sami sowan ing plataran, sami noleh tumuju ing bangsal pradangga. Sareng mangertos yen ingkang ngasta bonang Kanjeng Gusti, lajeng sami tumungkul ajrih” (Pradjapangrawit, 1990:1170) Terjemahan : pada saat masih bergelar putra mahkota/pangeran muda setiap ada latihan karawitan yang dilaksanakan setiap hari senin dan kamis. Pangeran muda selalu duduk ditempat pangrawit (nayogo) dan memegang rebab dan alat musik yang lainnya. Kemampuan memainkan alat-alat karawitan Jawa dibuat sedikit salah dan ceroboh disaat ayahanda Pakubuwana IV sudah duduk dikursi singgasana/kursi kebesaran. Pangeran megang bonang dipukul keras sampai orang lain kaget bahkan jantungan, ternyata setelah dilihat pangeran muda yang memainkan, abdi dalem tidak berani menasehati. Pada sumber yang sama karya Hamengkunagara III memiliki corak ini dipandang sebagai corak baru pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Kemudian dianut pada periode berikutnya. Misalnya, bentuk garap imbal (pergantian) pada instrumen bonang yang kemudian dijadikan pa nutan pada bentuk kesenian periode berikutnya, oleh Pradja Pangrawit diungkapkan sebagai berikut : Ingkang punika mula bukanipun wonten lagu bonangan imbal (imbal-imbalan) saha gendhing geculan sarta bonang imbal-imbalan wau kaangge nabuhi nayuban (lelangen tayuban) (1990:118) Terjemahan : beberapa kali dibunyikan iringan yang lucu disertai bonang yang berulang-ulang dipukul menyerupai iringan tayuban (tari tayub/ngibing). Hamengkunagara III memberikan sentuhan kebaharuan pada hampir setiap karya seni pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Hal ini tampak pada karya Hamengkunagara III, karawitan, tari, sastra ataupun kriya (1965:98). Bahkan karya Paku Buwana IV mendapat pengaruh dari karya Hamengkunagara III dan juga karya Hamengkunagara III dipersembahkan sebagian besar untuk Paku Buwana IV. Tari Srimpi Ludiramadu menggambar putri yang memiliki watak serang prajurit. Ditarikan 4 (empat) orang gadis yang menggunakan busana yang sama dan melakukan gerak yang sama pula. Tari Srimpi Ludiramadu berwatak prajurit : “Beksan enggal kala wau kaparingan nama beksan srimpi, punika anggambaraken putri awatak prajurit”, hyang artinya tarian baru itu diberi nama srimpi, menggambarkan 4 (empat) penari putri yang berkarakter prajurit. Tari Srimpi Ludiramadu berkarakter agung, berwibawa, halus dan memiliki rasa sigrak, gagah dan prenes. Pada Tari Srimpi Ladiramadu terdapat pada buku serat pasinden bedhaya srimpi oleh Satra Kartika (1985:419) dapat diungkapkan srimpi-srimpi yang sering dipentaskan untuk pelestarian dan pengembangan karya seni tari tradisi. Nama Srimpi diambil dari nama gending yang untuk mengiringi contoh : · Srimpi Ludiramadu dengan gending Ludiramadu, Namanya gending Ludiramadu ciptaan seperti di bawah ini: Ludira Madura dhawah Kinanthi, pelog barang, Ranumanggala, pelog nem, Raranangis dhawah Ladrang Welingweling, slendro nem, Montro Madura, slendro sanga, Mijil Wastrangangrang (ladrangan) gendhing kemanak, pelog barang. Pocung, slendro manyura, Gonjing Glewang, slendro manyura, Kagok Madura (ladrang), slendro sanga. · Srimpi Dhempel dengan gending Dhempel · Srimpi Lobong dengan gending Lobong · Dll Tari srimpi ditarikan oleh empat penari putri yang masing-masing penari mempunyai jabatan. Yaitu Batak, Gulu, Dhaha dan Buncit, nama tersebut menurut pandangan orang Jawa ada kaitannya dengan bagian tubuh manusia yaitu : · Batak digambarkan sebagai kepala yang mewujudkan pikiran dan jiwa; · Gulu menunjukkan bagian leher ; · Dhadha menunjukkan bagian dada ; · Buncit menunjukkan bagian organ baswah yaitu dubur atau anus (organ pengeluaran). Tapi menurut kanjeng Brotodiningrat, komposisi penari srimpi melambangkan empat unsur dunia, yaitu grama (api), angin (udara), toya (air) dan bumi (tanah). Keblat papat lima pancer (empat penjuru mata angin dan aku (manusia) sebagai porosnya. Manusia hidup pada kenyataannya dipengaruhi 4 (empat) nafsu yang saling berebut. Adakalanya nafsu supiah mempengaruhi nafsu mutmainah, nafsu-nafsu tida ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Semuanya dilambangkan dalam peran masing-masing penari yaitu: 1. Batak : Penari batak merupakan perwujudan dari pikiran dan jiwa manusia yang disimbolkan sebagai kepala. Peran penari batak di sini adalah sebagai yang memimpin atau yang mengendalikan. Perwujudan batak jika dikaitkan dengan keempat nafsu manusia dapat dikaitkan dengan nafsu mutmainah yang mana seorang pemimpin harus senantiasa membawa anggotanya dalam hal yang positif, membawa ketenangan serta mampu mengkoordinasi anggotanya. Penari Batak yang merupakan seorang kepala atau ketua dalam kelompok yang senantiasa harus mampu memberikan ketenangan serta mengayomi para anggotanya agar mampu berjalan beriringan dengan sebuah pemikiran yang sama. Elemen air memiliki kelemahan yaitu udara. 2. Gulu : Penari gulu atau jangga merupakan perwujudan dari nafsu aluamah atau nafsu serakah yang dimiliki oleh manusia yang disimbolkan sebagai leher. Secara metafora manusia makan, minum dengan mulut dan masuk ke perut melalui leher. Nafsu untuk terus ingin memiliki sesuatu walaupun itu bukan milikinya, melakukan kegiatan secara berlebihan. Gulu merupakan simbol dari elemen tanah yang mana memiliki sifat yang kokoh, keras. Ketika mengambil suatu tindakan memiliki ketegasan, sabar, dan tenang. Bumi atau tanah merupakan tempat manusia tinggal atau berpijak. Elemen ini memiliki kelemahan yaitu air. Seorang penari Gulu dalam menari harus memiliki prinsip karena berperan sebagai acuan bergerak. Selain itu, lintasan gerak yang lebih sempit dari penari lainnya membuat penari Gulu harus mampu mengolah sabar serta ketenangan dalam nyemelehke rasa agar nantinya sama dan tidak mendahului. 3. Dhadha : Penari dhadha merupakan perwujudan dari bagian tubuh manusia yaitu dada yang dapat dikaitkan dengan nafsu amarah seorang manusia. Emosi atau amarah seorang manusia secara simbol dapat dirasakan di dada oleh sebab itu ada istilah jawa dada muntab atau sebuah kemarahan yang sudah berlebih dan tidak bisa ditahan lagi untuk diungkapkan. Dhadha dapat disimbolkan sebagai elemen api. Umumnya api memiliki sifat panas, yang memiliki unsur warna merah, api dalam kehidupan sehari-hari dapat digunakan untuk membakar. Pada tubuh manusia api dapat dilambangkan sebagai amarah, atau emosi yang membara. Kelemahan api adalah air. 4. Buncit : Penari buncit merupakan perwujudan dari bagian organ seks yang dapat dikaitkan dengan nafsu supiyah atau nafsu manusia yang selalu menginginkan keindahan. Misalnya berganti-ganti pasangan, keinginan akan hal keindahan yang bersifat duniawi. Sedangkan pancernya adalah nafsu mulhimah. Buncit dapat disimbolkan sebagai elemen angin. Elemen angin saling berkaitan dengan elemen udara karena elemen angin merupakan serapan dari elemen udara. Angin dalam kehidupan di alam semesta memiliki peranan sebagai media respirasi udara. Angin atau udara memiliki sifat yang selalu berubah-ubah atau tidak konsisten. Angin memiliki kelemahan yaitu elemen api. Setiap elemen memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing yang saling berhubungan. Oleh sebab itu, masing-masing penari tidak bisa dikatakan menari Srimpi apabila hanya menari sendiri tanpa adanya suatu keseimbangan atau keselarasan rasa. Jumlah 4 (empat) pada srimpi Ludiramadu menggambarkan : 1. Nafsu Amarah : manusia memliki nafsu mudah marah, sulit mengendalikan emosi sehingga grusa grusu (tergesa-gesa) memutuskan berbagai hal atau masalah , cepat mengambil tindakan tanpa berfikir yang matang. 2. Nafsu Aluamah : manusia biasa sulit menyeimbangakan kehidupan di dunia dan akhirat. Kebutuhan di dunia kadang lebih dipentingkan disbanding kehidupan di akhirat/ alam kelanggengan (kekal). Nafsu serakah pada diri manusia sulit dikendalikan apalagi minimnya iman pada diri manusia. 3. Nafsu Supiah : manusia memiliki nafsu pelupa ( lupa dengan yang menciptakan/Tuhan akhirnya bersikap sombong, congkak selalu merasa dirinya pintar, cantik, yang paling kaya dan lain-lain. 4. Nafsu Mutmainah : manusia harus memilili sifat mutmainah sebagai penyeimbang sikap-sikap yang diatas sehingga kehidupan akan seimbang dan manusia akan sabra dengan segala cobaan, rintangan dan berbagai permasalahan yang dihadapi, sehingga hidup didunia dipersiapkan dengan baik apalagi kehidupan yang akan datang (akhirat). Adapun ciri khas tari srimpi adalah geraknya yang lembut dan mengalir sesuai dengan iringan gendhingnya. Sedangkan tari Srimpi Ludiramadu adalah pisungsun (karya) Paku Buwono V yang waktu itu masih menjadi putra mahkota kraton Kasunanan Surakarta yang bergelar Kanjeng Gusti Adipati Anom (KGPA). Tari ini pada awalnya bernama tari Srimpi Ludiramadura. Ludira = darah yang berati darah Madura. Karena tari ini diciptakan untuk mengenang ibunya, Amengkunegara III yang masih mempunyai garis keturunan Madura. Karena sang ibu adalah putri Adipati Cakraningrat, Bupati Pamekasan. Untuk selanjutnya tari ini lebih dikenal dengan nama tari Srimpi Ludiromadu. Tari srimpi adalah "produk" karaton Kasunanan Surakarta ditarikan oleh 4 (empat) orang yang konon penarinya harus perempuan yang belum menikah, tidak sedang haid dan masih virgin/perawan baik pada waktu latihan maupun saat pentas. Disamping itu jumlah empat pada penari juga bisa dihubungkan denagn kelahiran manusia , menurut keprcayaan orang Jawa /falsafah Jawa bahwa pajupat diartikan dengan yang mengelilingi hidup manusia, pancer atau yang ada ditengah/pusat diartikan manusia. Sebetulnya manusia sejak lahir dan menghirup udara yang pertama kali ia tidak sendiri tetapi sudah memiliki saudara yaitu : · Kakang Kawah, sebagai saudara tua atau kakak terlebih dahulu; · Adi Ari-ari adalah adik, karena Ari-pari lahir setalah bayi; · Getih Putih (darah putih) · Getih Abang (darah merah) Tari Srimpi Ludiramadu sebagai tarian sakral karena hidup dan berkembang di lingkungan karaton dan digunakan untuk upacara pada acara-acara penting di Karaton, dibilang sakral karena pemengtsannya selalu menggunakan ritual sesaji yang lengkap misalnya : · Pisang raja · Nasi wuduk · Sambel goreng · Tumpeng · Wajik · Cenggereng, · Ingkung · Dll Ditempat pertunjukkan diberi tempat tungku berbentuk kembang setaman dan juga dupa. Sebelum pertunjukkan dimulai ada pawang yang berasal dari karaton menyalakan dupa itu supaya upacara yang ada di karaton yang menggunakan tari Srimpi Ludiramadu dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kesakralannya dikarenakan tari Ludiramadu hasil putra raja sehingga makna yang ada dalam tari memiliki makna yang dalam. Kesakralan juga dikarenakan pada waktu pementasan Raja Jumeneng di singasananya sehingga pada saat pementasan keadaannya hening (sunyi senyap) hal ini membuat kesan siasana terkesn magis. Fungsi Tari Srimpi Ludiramadu : 1. Dalam Karaton Kasunanan Surakarta tari Srimpi digunakan untuk wetonan raja Ingkang Sinuwun sehingga menggunakan prosesi secara lengkap dab sejaji lengkap. Wetonan bagi pihak karaton suatu prosesi mutlak dilaksanakan karena untuk memperingati hari kelahiran raja di dunia fana ini. Sehingga harus selali diperingati untuk tidak lupakan kelahiran dan umur yang sudah diberikan kepada-Nya dan sebagai ucapan rasa syukur diberikan nikmat kesehatan yang tidak ternilai sehingga tidak dapat dinilai dengan uang dan apapun. Bentuk sesaji wetonan antara lain sebagai berikut : · Tumpeng disesuaikan Dengan Jenis Kelamin , kalau laki-laki tumpeng berbentuk mengerucut, kalau perempuan tumpeng berbentuk ceper (leter); · Gudangan yang terdiri dari aneka sayuran seperti : mbayung, kacang Panjang, thokolan/cambah, wortel, buncis, bumbu kelapa parut dll ; · Ingkung (Ayam Jawa ), harus ayam jantan ; · Telur ; · Jenang abang putih; · Pisang raja diletakkan di mampan (tampah) · Nasi Uduk, golong asahan, sambel goreng, peyek, serundeng, kerupuk, lentho, apemJawa, dll. 2. Tari Srimpi Ludiramadu merupakan tari klasik karaton yang juga berfungsi untuk penyambutan tamu kerajaan , misalnya ada tamu dari kerajaan Malaysia, Belanda bahkan dari Karaton Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat ataupun tamu-tamu penting misalnya : Presiden, Menteri pejabat pemeringtah dan Walikota. Faktor-faktor yang mendorong perubahan bentuk, gungsi dan makna yang lama ke yang baru antara lain : 1. Faktor Ekonomi : Faktor yang mendorong perubahan yang dikehendaki oleh keluarga karaton (Raja), abdi dalem dikarenakan banyak hal. Apalagi masa pemerintahan tidak lagi di tangan Raja, setelah tahun 1945 kekuasaan Raja dialihkan ke Republik (Walikota) sebagai pemerintah baru. Pemasukan dari hasil pabrik tebu , pajak (upeti) yang berupa bahan pangan (padi, jagung, sayurandan uang kepeng/rupiah) dari rakyar (Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Boyolali, Karanganyar) otomatis berhenti. 2. Faktor Sosial : Piuntuk melakukan sendirihak Karaton Kasunanan Surakarta merasa sangat membutuhkan pihak luar dalam membantu melestarikan budaya Jawa, karena Karaton tidak mampu untuk melakukan sendiri.Rasa prehatin hyang ada dibenak Raja bahwa penari karaton sedikit, dikawatirkan masyarakat umum tidak mengetahui kesenian tradisi karaton, khususnya tari karaton yag berbentuk srimpi. Keingin Raja setelah tidak memerintah ingin membaur dan dekat dengan rakyat dan mengenal masyarakat diluar tembok karaton. Keterbukaan Raja (Sinuwun Paku Buwana XII) dan keluarga membuka diri, dalam menggali kesenian tradisi, yang diawali pada tahun 1970 dengan memanggil pengelola ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Surakarta Bp. Gendon Humardani untuk ikut dalam melestarikan kesenian tradisi dan memberi tempat untuk latihan tari yang berbentuk (Wireng, srimpi), kecuali Bedhaya Ketawang), Srimpi digali pada tahun 1971 di Sasana Mulyo, PKJT (Pusat Kesenian Jawa Tengah) dan Sitinggil diserahkan untuk kampus ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) yang sekarang menjadi ISI Surakarta (Institut Seni Indonesia) Surakarta. 3. Faktor seniman Karaton : Perubahan pada Tari Srimpi Ludiramadu juga dipicu oleh kreativitas yang berkembang dari seorang seniman untuk berkreasi dan menciptakan kebudayaan atau karya yang baru. Demikian halnya dengan Srimpi Ludiramadu juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. 4. Faktor Politik : Perkembangan kebudayaan yang terjadi tidak lepas adanya beberapa sejarah masyarakat, warisan dan dasar politik di dalam negara. Peralihan pemerintahan dari tangan Raja ke tangan negara Republik Indonesia mempengaruhi keberadaan kesenian tradisi, disini Tari Srimpi Ludiramadu tidak digunakan untuk upacara wetonan raja digunakan missal ada tamu kerajaan, misi kesenian ke Inggris, Belgia, Perancis, Arab, Singapore, Jepang dan Amerika. 5. Faktor Pariwisata Budaya : Pariwisata Budaya pada tahun 1970-an yaitu dunia kepariwisataan menjadi salah satu industry terbesar di dunia dan industry yang paling cepat berkembang terkait dengan masalahitu, Pemerintah Indonesia telah menentukan sikap pada tahun 1978 untuk mengembangkan kepariwisataan. Tari Srimpi Ludiramadu sekarang digunakan sebagai paket pariwisata budaya berpengaruh pada bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Srimpi Ludiramadu. Pengembangan warisan budaya karaton menjadi kemasan atraksi dan objek wisata budaya slah satu alternative yang memungkinkan diperolehnya sumber dana untuk kegiatan pelestarian dan pengembangan warisan budaya secara berkelanjutan. Garap isi tari Srimpi Ludiramadu ini adalah tari yang memiliki rasa seperti agung ,gagah, antep, tenang tapi juga ada rasa kenesnya. Rasa agung, gagah, dan antep terlihat dari gerakan laras sawit dan engkyek dalam pola lantai jejer wayang. Sedangkan untuk rasa kenesnya terdapat atau terlihat dari gerakan lincak gagak. Bentuk Garap Tari Srimpi Ludiramadu : Dalam tari Srimpi Ludiramadu mempunyai garap bentuk yang diantaranya garap bentuk srimpen dengan susunan sebagai berikut : 1. Maju Beksan Dalam maju beksan ini diawali dengan gerak kapang-kapang memasuki ruang diiringi pathetan wantah laras pelog pathet barang. 2. Beksan Pada bagian beksan ini diawali dengan gerakan sembahan ,kamudian sekaran laras sawit jengkeng ,laras sawit berdiri ,sekar suwun ,lincak gagak ,panahan,lembehan wutuh ,engkyek, sekar suwun, sampai pendhapan asto. Iringan yang digunakan adalah gendhing Ludiromadu kethuk papat minggah kinanthi pathetan laras pelog pathetbarang dan ladrang mijil laras pelog pathet barang. 3. Mundur Beksan Pada bagian ini penari berjalan kapang-kapang meningalkan ruang .Iringan yang digunakan ialah ladrang singa-singa laras pelog pathet barang. · Rias Tari Srimpi Ludiramadu : Rias dalam tari srimpi Ludiramadu ini memakai rias cantik yaitu memakai alis wanita atau putri, dengan memakai sogokan yang terdapat disamping telinga atau biasa dalam istilah jawa disebut dengan godek. · Kostum yang dipakai dalam Srimpi Ludiramadu : Kostum merupakan elemen penting terutama sebagai medium bantu khususnya tari. Begitu juga dalam tari Srimpi Ludiramadu disini kostum berfungsi tidak hanya sebagai palengkap, tetapi kostum merupakan salah satu bagian untuk membangun suasana dan rasa.. Kostum- dan Perhiasan yang dipakai dalam tari Srimpi Ludiramadu ialah sebagai berikut : 1. Gelung Kadal Menek : adalah merupakan salah satu bagian atau nama gelung yang di pakai dalam srimpi ludiramadu .Dalam srimpi Ludiramadu dapat juga sebagai pengganti gelung tersebut adalah jamang. Jamang merupakan benda yang fungsinya sebagai pengikat kepala dan biasanya jamang ini mempunyai pasangan, yaitu sumping yang merupakan aksesoris telinga. 2. Jambul : merupakan hiasan yang dikenakan di kepala. Dalam tari srimpi jambul ini berwarna hijau berbentuk oval ( warna biasanya sama/disesuaikan dengan warna sampur). 3. Kokart : ialah sebuah hiasan kepala yang berbentuk bunga yang bahannya terbuat dari pita. Biasanya kokart ini di pasang menyatu dengan kantong gelung menghadap kebelakang. Pada umumnya kokart ini berwarna hitam atau hijau. 4. Cunduk Mentul : adalah hiasan kepala bentuknya menyerupai bunga biasanya hiasan ini dipasang di depan jambul menghadap ke depan. 5. Giwang : merupakan hiasan atau sebagai anting yang dikenakan di telinga. 6. Centhung : adalah hiasan yang dipakai di kepala .Biasanya centhung ini dalam gelung kadal menek ditempatkan tepat di tengah-tengah bagian depan. 7. Kalung Kalung ialah merupakan hiasan yang dikenakan di leher dan memiliki fungsi sebagai pelengkap atau asesoris. sebagai pelengkap atau asesoris. 8. Mekak Mekak disini berfungsi sebagai kostum yaitu bisa juga disebut atau di gunakan sebagai baju dari penari .Mekak dalam srimpi ada bermacam-macam warna akan tetapi warna yang digunakan dalam tari Srimpi Ludiramadu berwarna merah karna ada hubungannya dengan latar belakang tari tersebut. -rompi :rompi merupakan sebagian dari kostum pengganti mekak atau juga bisa disebut sebagi pengganti busana tetapi dalam menggunakan rompi penari memakai jamang. Jadi penari tidak menggunakan gelung kadal menek. Warna yang digunakan oleh rompi tari ini ialah berwarna merah. 9. Jarit atau Jarik : digunakan dalam srimpi Ludiramadu ini bermotif lereng. Berbentuk samparan. Jarit ini dikenakan pada bagian bawah mekak sebagai pelengkap kostum. 10. Sampur : dalam tari srimpi ini selain sebagai pelengkap kostum tetapi juga mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai property tari. Bentuk dari sampur ini ialah segi panjang dalam sampur ini terdapat hiasan manik-manik renda terbuat dari payet dan mote .Warna yang di pakai atau warna yang di gunakan dalam tari ini ialah warna hijau yaitu sama dengan warna jambul. 11. Slepe : ialah sebuah ikat pinggang yang di gunakan untuk menari atau bagian dari kostum Warna yang digunakan dalam tari ini ialah warna merah .slepe berbentuk persegi panjang dengan warna keemasan di bagian tengahnya menyerupai bentuk blumbangan.Slepe merupakan pelengkap dari pada kostum. 12. Totokan : merupakan pasangan dari pada slepe yaitu buat pengancing dari pada slepe Warnanya yaitu kuning keemasan biasanya totokan ini dipasang tepat didepan pusar. 13. Gelang : merupakan hiasan yang dikenakan di bagian tangan oleh penari srimpi .Fungsi dari gelang tersebut adalah untuk mempercantik dan memperindah si penari agar kelihatan anggun dan menarik. 14. Bunga Melati : disini ditujukan hanya sebagai hiasan.dan hiasan ini bertujuan untuk memperindah dan mempercantik penari.bunga melati ini di pasang pada gelung kadal menek. Sebuah tarian tidak akan lepas dari sebuah elemen pendukung atau media bantu seperti halnya kostum .Dalam penggunaan kostum jika pemakaiannya itu pas sesuai dengan apa yang ingin di tampilkan atau disajikan maka kostum akan mempunyai atau dapat dikatakan pas sebagai sarana atau medium bantu akan tetapi jika dalam penggunaan pemakaian kostum kurang pas maka kostum itu tidak bisa dikatakan sebagai medium bantu karena dianggap melemahkan sajian tarian tersebut dan bisa saja karakter dari tarian tersebut tidak bisa nampak . Seperti halnya pada tari tradisi sebagai salah satu cabang seni tradisi, keberadaan dan kehidupannya akan selalu menyesuaikan dengan kehidupan manusia pada zamannya. Bertolak dari pemikiran tersebut diatas tari tradisi yang hidup sekarang merupakan kesinambungan atau kelanjutan dari tradisi masa lampau dalam hal ini adalah tari tradisi kraton untuk itu pengkajian atau pembahasan masalah tari tradisi baik dari segi konsep maupun wujud garapnya tidak akan dapat dilepaskan dari akarnya, yaitu tradisi masa lampau. Suatu kesulitan tersendiri ketika durasi tari srimpi yang sebenarnya rata-rata 30 (tiga puluh)menit sampai 40 (empat puluh) menit yang beralih menjadi singkat dengan durasi wakti 15 (limabelas) menit. Namun, seiring perkembangan jaman, tarian srimpi yang dahulu hanya "hidup" di dalam tembok kraton sekarang sudah tidak lagi. Materi tari srimpi sudah masuk dalam mata kuliah (praktek) wajib di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Sehingga kita bisa menyaksikan tari srimpi baik pada saat ujian pembawaan atau ujian tugas akhir di ISI Surakarta, menjadi sajian pada waktu ada tamu lembaga (instansi) ataupun pada waktu hajatan. Hasil kebudayaan apalagi yang berhubungan dengan karya selalu berkembang menyesuaikan ruang dan waktu. Tari Srimpi melewati perjalanan sejarah melewati waktu ke waktu hingga zaman kemerdekaan bahkan kini telah memasuki era modern dimana perkembangan dinamika, kehidupan berbudaya mengalami perubahan yang begitu drastis memberi dampak terhadap perkembangan segi-segi kehidupan budaya yang senantiasa harus tunduk pada perubahan nilai-nilai kehidupan zaman. Pada awal kehadirannya tahun 1700-an tari Srimpi hanya mampu dinikmati oleh kaum bangsawan di dalam tembok keraton. Kemudian mulai tahun 1940-an tari Srimpi dan Bedhaya mulai berkembang di luar tembok keraton dan tumbuh menjadi tari gaya Surakarta didukung dengan munculnya beberapa pusat kesenian pada tahun 1950 seperti Himpunan Budaya Surakarta (HBS), dan Sekolah Konservatori Karawitan Indonesia yang kemudian disusul munculnya beberapa konservatori lain seperti ASKI dan PKJT pada tahun 1980-an ( Minimnya dokumentasi maupun penulisan tari pada masa itu mendorong para empu tari untuk mengadakan sebuah kegiatan revitalisasi berupa rekontruksi, reinterpretasi sebagai upaya dalam melestarikan dan mendukung kehadiran tari tradisi ini. Kegiatan revitaslisasi dilakukan terhadap beberapa tari tradisi seperti Bedhaya dan Srimpi. Salah satunya Srimpi Ludiramadu yang direkonstruksi oleh Agus Tasman pada tahun 1977. Kegiatan revitalisasi dilakukan guna mempermudah dalam menghayati tari Srimpi yang awalnya berdurasi kurang lebih 1 jam dipadatkan menjadi kisaran 18 menit dengan mengurangi pengulangan sekaran dan gending tanpa menghilangkan atau mengurangi nilai yang ada. Kehidupan tari dari masa ke masa mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan sendiri dapat mengarah ke hal yang lebih baik maupun tidak, sedangkan perkembangan lebih mengarah menjadi lebih baik. Perubahan dan perkembangan ini dipengaruhi oleh beberapa aspek kehidupan antara lain masyarakat, lingkungan, jaman dan kehadiran tari itu sendiri. Meningkatnya jumlah lembaga pendidikan baik formal maupun non formal seperti sanggar-sanggar tari, meningkatnya jumlah penari, serta munculnya koreografer tari tradisi. Permasalahan bagaimana agar kita mampu menangkap isi dan nilai-nilai luhur yang tinggi, yang bermutu, dan semua itu dalam arti sebagai ciri dan wujud kepribadian kita sendirI. Dari sanalah akan tumbuh sikap memiliki serta rasa kehormatan diri.

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Novita Sofia Iskandar, S.Sn

Kemantren Langenpraja Pura Mangkunegaran

081329428636

Sofiaiskandar5@gmail.com

Citra Wahyu Arsiani, SE

Kemantren Langenpraja Pura Mangkunegaran

085647162673

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Maestro Karya Budaya

Rusini, S.Sn, M.Hum (72 Tahun)

Keprabon Tengah,RT 001 RW 002 Kel. Keprabon, Banjarsari - Surakarta

089652009243

-

GPH. Dipokusumo (Pengageng Parentah Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat)

Lojen Sasono Mulya, Baluarti

0811263753

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047