Genjek

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101322
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Bali
Responsive image

         Genjek merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang berkembang di Kabupaten Karangasem yang sangat digemari. Genjek adalah sebuah genre seni yang menggunakan vokal sebagai sumber bunyi utama. Sumber vokal berasal dari sepuluh sampai dua puluh orang pemain dengan pembagian vokal yakni 1 orang sebagai pembawa melodi sekaligus komando, 1 orang pemegang ritme dan yang lainnya membuat jalinan ritmis dengan suara-suara seperti sapak, spriang, cek, de, tudeng, tut, ces, byos, tria, tipung, ces, jengsi, sir, kesek. Suara-suara tersebut meniru bunyi instrument gamelan Bali seperti kajar/tawa-tawa, cengceng, kendang, reong dan gong. Jalinan dan perpaduan yang harmonis dari berbagai jenis warna suara itulah yang membentuk sebuah musik yang disebut genjek (Sugiartha, I GA,2016:3). Tema lagu-lagu Genjek antara lain kegembiraan, keindahan, romantisme, rayuan, nasehat dan kritik sosial.

 

SEJARAH 

           Sejarah munculnya Genjek sebagai sebuah kesenian di Karangasem tidak bisa dipastikan tahun keberadaannya karena tidak ditemukannya sumber tertulis yang bisa membuktikan. Namun dari beberapa informasi yang didapat baik dari pelaku genjek, pelaku Cakepung, maupun dari sejarawan menyatakan bahwa Genjek merupakan sebuah bentuk kreatifitas dari kesenian Cakepung yang sudah lebih dulu ada yakni sudah berkembang di Kabupaten Karangasem semenjak kemenangan Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem ketika menaklukkan Kerajaan di Lombok Barat pada tahun 1692 (akhir abad ke-17). Kesenian cakepung merupakan akulturasi seni Cepung dengan kesenian Bali. Menurut wawancara dengan salah satu tokoh seniman Cakepung, yakni Ida Pedanda Made Jelantik Gotama dari Geria Tubuh, Kecamatan Abang (84 tahun), beliau menyampaikan bahwa pada waktu meletusnya Gunung Agung (1963) beliau mengikuti ayahnya (Ida Wayan Padang) yang juga tokoh cakepung, mengungsi ke daerah Buleleng dijemput oleh paman beliau.       

Di tengah-tengah pengungsian di Buleleng, Ida Wayan Padang dan adiknya sering menembangkan/melakukan cakepung yang memang sudah dilakoni di Karangasem khususnya di Desa Budakeling asal beliau, jauh sebelum mengungsi untuk menghibur diri dan keluarga. Semakin lama dilakukan orang-orang yang melihat semakin menyukai dan menggemari cakepung ini sampai diundang oleh RRI Buleleng untuk pentas di radio. Dengan semakin didengar luasnya cakepung tersebut, orang-orang Karangasem yang banyak mengungsi di Buleleng seperti dari Ngis, Bugbug, Seraya, Kubu, dan banyak lagi sangat ingin mempelajari cakepung tersebut, namun mengingat cakepung memiliki tingkat kerumitan yang sangat tinggi karena memakai pupuh dalam bahasa sasak dan harus mengikuti uger-uger (pakem nyanyian), sehingga mereka menyarankan kepada Ida Wayan Padang apakah boleh tidak memakai uger-uger dan ditambahkan kopak (suara kendang). Akhirnya saran itu disetujui, kemudian beliau mulai memadukan cakepung dengan kopak sedikit demi sedikit mengabaikan aturan/pakem sehingga terciptalah sebuah harmonisasi irama suara (akapela) yang dikenal dengan genjek. Sejak itu genjek mulai digemari karena lebih gampang dilakukan dan sifatnya sangat spontanitas, di mana ketika mereka bekerja di sawah di sela-sela istirahat mereka akan melantunkan genjek ini karena tidak memerlukan instrument gamelan tetapi hanya memakai vokal yang menirukan suara instrumen musik. Dari sanalah genjek ini kemudian berkembang bahkan ketika mereka sudah kembali ke desa asal mereka di Karangasem kesenian ini juga dibawa dan dikembangkan sehingga menjadi salah satu kesenian yang sangat disukai (wawancara, 13/10/2021).

          Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Sejarawan Ida I Dewa Gede Catra (85 tahun) yang juga menyampaikan bahwa Genjek ada karena adaptasi kesenian Cakepung yang sudah ada sejak tahun 50-an namun masih sangat sederhana hanya memakai suara vokal tanpa iringan musik. Pada saat itu ketika ada upacara kematian biasanya orang-orang akan berkumpul kemudian secara spontan akan megenjekan (bersenda gurau) namun dalam bentuk nyanyian spontan tanpa arti namun harmonis (wawancara, 13/10/2021).

          Hal yang sama juga disampaikan oleh I Komang Nisma (pelaku genjek, Ketua Sekaa Genjek Kadong Iseng, Desa Seraya) yang menyatakan bahwa genjek ada adalah hasil dari kreatifitas orang-orang yang ingin meniru/mempelajari cakepung yang memiliki tingkat kerumitan tinggi (wawancara, 12/10/2021).

            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Genjek ini adalah sebuah kesenian yang merupakan sebuah adaptasi dan kreatifitas serta kreasi dari kesenian cakepung yang sudah lebih dulu dikenal dan dilakoni oleh seniman Karangasem khususnya seniman Budakeling yang secara langsung datang ke Lombok untuk mempelajari Cepung. Genjek sifatnya sangat spontan, tidak harus mengikuti pakem/uger-uger dalam melantunkan lagunya, bahasa yang digunakan Bahasa Bali yang sederhana dan mudah dimengerti dan biasa dilakukan untuk bersenda gurau, menghibur diri, menghilangkan kepenatan ketika istirahat beraktivitas. 

Video Wawancara tentang Sejarah Genjek : https://drive.google.com/file/d/1zcXgboTNcCxa1xrJ7UrINtjRBSLy6rWJ/view?usp=sharing

PERKEMBANGAN GENJEK:

 

          Pada awal munculnya genjek dilakukan secara spontanitas, yakni ketika ada upacara kematian ataupun pada habis musim panen mereka akan megenjekan hanya dengan memakai suara vokal (akapela) yang menirukan suara instrumen musik gamelan Bali seperti kajar/tawa-tawa, cengceng, kendang, reong dan gong, yang hanya bertujuan untuk menghibur diri, tidak harus mencari tempat pentas dimana pun bisa dilakukan. Semakin lama kesenian ini semakin berkembang menjadi sebuah seni yang bisa dinikmati sebagai sebuah seni pertunjukkan seperti saat ini. Sebagai sebuah seni pertunjukkan genjek mengalami banyak perubahan namun tidak sampai mengubah bentuk aslinya. Dalam perkembangannya genjek mengalami perubahan dalam hal :

-         Penambahan instrument pengiring, seperti kendang pelegongan, cengceng, gong pulu, kajar, suling, kecapi. Namun suara vokal masih menjadi instrument utama.

-         Tempat pementasan sering dilakukan di atas panggung ataupun di gedung pertunjukkan.

-         Pementasan biasanya menampilkan lakon atau cerita yang sedang terjadi ataupun mengambil lakon yang digemari penonton.

-         Pemain memakai seragam pentas

-         Dipentaskan untuk pertunjukkan, seperti di event-event budaya, hotel, ataupun menyambut tamu-tamu daerah.

-         Pementasan selain untuk menghibur juga untuk menambah penghasilan pelaku dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka.

 

 

KOMPONEN PERTUNJUKKAN:          

            Sebagai sebuah seni pertunjukkan tradisional tentunya Genjek didukung dengan beberapa komponen pertunjukkan selayaknya seni pertunjukkan lainnya di Bali. Namun komponen-komponen pertunjukkan tersebut tidak persis sama dengan bentuk seni pertunjukkan umumnya di Bali. Berikut beberapa komponen yang mendukung pertunjukkan tradisional seni genjek yakni:

1.        Penari/pelaku

      Penari genjek sebagian besar bahkan kebanyakan adalah para laki-laki, meskipun terkadang ada wanita yang ikut sebagai sendon (pengiring lagu). Jumlah pemain bisa 15 s.d 25 orang.

2.       Ragam gerak tari

      Dalam hal ini semua sekaa genjek memiliki kesamaan karena gerak biasanya akan muncul secara spontanitas pemain.

3.      Tata rias dan busana

Dari segi tatarias dan busana genjek tidak seperti seni pertunjukkan lainnya, busana yang digunakan tidak terlalu mengikat disesuaikan dengan tempat pentas dan hal ini berlaku pada semua sekaa genjek. Untuk busana genjek tidak memiliki busana khas namun hanya memakai kamben/kain, saput biasanya poleng (hitam putih / putih merah), tidak memakai baju atau hanya memakai rompi, serta udeng (destar). Dalam pertunjukkannya untuk tata rias muka para pelaku genjek biasanya hanya memakai riasan muka tipis.

4.     Musik iringan Genjek lebih menekankan pada bunyi vokal atau disebut cipak yakni sa, pak, sriang, cek, de, dut, les, jos dan sir yang menirukan bunyi instrumen gamelan seperti kendang, cengceng, reong, petuk dan sering juga dikolaborasi dengan alat musik kecapi, angklung bambu dan rindik. Cipak tersebut dilantunkan bukan secara sembarangan namun dengan ritme yang harmonis sehingga menghasilkan sebuah harmonisasi vokal dari berbagai jenis dan warna suara. Meskipun menggunakan instrument gamelan namun cipak masih sangat ditonjolkan sebagai instrumen utama.

5.      Lagu dan syair

untuk jenis lagu semua sekaa genjek menciptakan lagu sendiri dengan ritme yang hampir mirip namun liriknya berbeda-beda sesuai dengan tema yang diangkat. Lirik lagu bisa berupa kritik sosial, percintaan, keindahan alam dan kehidupan sehari-hari. Lagu biasanya bertema sosial, kritik sosial, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga kesenian ini menjadi sebuah pilihan tepat untuk menyampaikan pesan moral dan etika kepada penontonnya.

6.       Tempat pementasan

Tempat untuk melaksanakan pertunjukkan tidak terlalu ketat aturannya yakni bisa dimana saja asalkan terdapat tempat luang untuk tempat duduk antara 15-25 orang dikarenakan penari/pelaku genjek biasanya duduk melingkar. Bisa dipilih tempat yang memadai seperti dipanggung, di lapangan terbuka maupun lapangan tertutup.

7.        Tata cara pementasan

a.    Waktu pementasan

Pementasan lebih sering dilakukan pada malam hari karena sifatnya yang menghibur dan biasanya dipentaskan pada saat ada masyarakat yang melakukan upacara adat atau agama dan ingin mementaskan genjek sebagai hiburan.

b.    Pakem pementasan

Tidak termasuk dalam seni tari Bali sehingga tidak mengikuti Pakem Tari Bali pada umumnya. Pementasan biasanya diawali dengan suara gamelan pengiring, bersamaan dengan seorang pemain yang menyanyikan gending/lagu kemudian diikuti dengan bunyi cipak yang saling bersahutan menjalin sebuah harmonisasi ritme. Dalam perkembangannya genjek ini juga sering diisi dengan joged sebagai penambah daya tarik.

Genjek sebagai sebuah karya budaya warisan memiliki beberapa fungsi diantaranya:

a.  Sebagai hiburan. Kesenian genjek dapat menghibur masyarakat yang menikmatinya serta kesantaian pertunjukkan dapat menghilangkan kepenatan.

b.     Sebagai Karya Seni, meskipun awalnya hanya berupa lantunan vokal dengan meniru bunyi Gamelan namun semakin lama berkembang memiliki nilai estetika sebagai sebuah karya seni.

c.  Sebagai media integrasi sosial (solidaritas), setiakawan, menumbuhkan rasa cinta budaya. Genjek merupakan seni pergaulan yang dilatarbelakangi oleh rasa senasib dan persamaan hobi, sehingga berkesenian akan membangkitkan rasa persaudaraan dan solidaritas di kalangan komunitasnya. 

d.   Sebagai media penyampaian pesan. Lirik genjek sering kali memuat tentang kritik sosial yang ingin disampaikan kepada pemerintah hal inilah yang menjadikan genjek dapat dikatakan sebagai penyampai pesan.

e.     Sebagai alternative terapi penyembuhan gejala depresi/tekanan sosial. Memang hal ini belum banyak dikenal namun dikarenakan genjek adalah sebuah kesenian yang tidak terpaku pada pakem dan sifatnya santai sehingga mungkin bisa menjadi sebuah alternative bagi metode penyembuhan.

Bertahannya seni genjek sampai saat ini karena masyarakat pendukungnya terutama para senimannya telah memberikan nilai budaya terhadap seni ini. Berikut adalah nilai-nilai yang ada pada seni Genjek:

1.      Nilai wahana pendidikan karakter

Pendidikan karakter tidak hanya pada wadah formal namun juga dapat disampaikan melalui wadah non formal seperti pertunjukkan seni, salah satunya genjek melalui lirik lagunya dapat mewakili penyampaian pesan moral yang bisa diserap dan dihayati oleh penikmat. Nilai karakter yang disampaikan adalah jujur, sportif, satu kata satu perbuatan, berfikir, berkata, bertindak positif, cinta damai, kasih sayang, saling menghormati, kesadaran kolektif.

2.  Memiliki nilai spiritual. Pada setiap pertunjukkan seni selalu diawali dengan menghaturkan sesajen yang ditujukan kepada Sanghyang Taksu sehingga nantinya pertunjukkan dapat berjalan dengan lancar sesuai yang diharapkan bisa menghibur.

Sedangkan makna yang melekat pada tradisi Genjek adalah:

1.      Makna kasih sayang, cinta damai dan saling menghormati

    Pada setiap pertunjukkan genjek dalam setiap liriknya selalu menyampaikan pesan, dimana yang paling dominan adalah lirik tentang kasih sayang. Hal inilah yang sangat diharapkan terus dipupuk pada kehidupan masyarakat agar tetap menjalin kasih sayang dengan sesama, saling menghormati sehingga akan tercipta kehidupan yang damai.

2.      Makna kesadaran kolektif (kebersamaan)

     Kebersamaan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, dan kekompakan adalah yang dimaksudkan dengan kesadaran kolektif. Dalam seni genjek hal ini sangat terlihat yakni pada saat harmonisasi dan jalinan ritmis pengucapan cipak yang kompak sehingga menghasilkan melodi dan ritme yang bagus. Demikian juga dalam kehidupan masyarakat, falsafah kebersamaan dalam kesetaraan sering digunakan dalam kehidupan gotong royong.

3.      Makna spiritual

Dalam keyakinan umat Hindu sebelum memulai sebuah pertunjukkan/pementasan terlebih dahulu akan diawali dengan menghaturkan sesajen (ritual). Demikian halnya dengan genjek, sebelum pementasan maupun pada saat latihan-latihan akan diawali dengan ritual untuk memohon doa dan keselamatan selama pertunjukkan. Hal tersebut menyiratkan bahwa kita harus selalu bersyukur dan memohon kepada Sang Pencipta atas semua yang beliau limpahkan.


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 20-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Sekaa Genjek Gensos Mahardika

Desa Adat Jasri, Kelurahan Subagan, Kabupaten Karangasem

0

0

Sekaa Genjek Kadung Iseng

Desa AdatSeraya, Desa Seraya, KecamatanKarangasem, Kabupaten Karangasem

0

0

Sekaa Genjek Ajeg Bali

Desa Adat Ngis, Desa Tribuana, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem

0

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 20-01-2022

Maestro Karya Budaya

I Komang Krinata Apriawan

Lingkungan Jasri Kaler, Kelurahan Subagan, Kec. Karangasem

085237760828

0

I Komang Nisma

Dusun Bungkulan, Desa Seraya Barat, Kab.Karangasem, Prov. Bali

0

0

I Nyoman Mardika

Desa Ngis Kelod Kec.Abang, Kab.Karangasem, Prov. Bali

081772831170

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 20-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 20-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047