Molo'opu

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101343
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Gorontalo
Responsive image
Dalam adat istiadat Gorontalo dikenal adanya empat aspek adat yang selalu dilaksanakan dalam budaya Gorontalo yaitu Adat Perkawinan, Adat Pemakaman, Adat Penobatan dan Pemberian Gelar dan Adat Peringatan Hari-Hari Besar Islam. Molo’opu termasuk dalam Aspek Adat Penobatan dan Pemberian Gelar. Molo’opu atinya menjemput (memangku) pejabat yg baru dilantik dalam jabatan tertentu dari rumah sendiri utk menempati rumah jabatan dilaksanakan secara adat. Disamping itu ada juga Adat Mopotolungo (meneduhkan) artinya mengantar pejabat (yg diberi pulanga) tersebab telah berakhir dalam jabatan tertentu dari rumah jabatan ke rumah pribadi. Bagi Pejabat yang tidak dipulanga (belum bergelar) cukup dengan acara modepito atau mengantar biasa saja. Secara histori adat molo’opu merupakan bagian dari adat istiadat Gorontalo memiliki sejarah tersendiri. Jejak adat istiadat Gorontalo berkaitan erat dengan jejak perkembangan masuknya agama Islam di Gorontalo pada masa pemerintahan Sultan Amai tahun 1525. Dalam budaya Gorontalo sendi Islam itu berakar hingga ke sendi-sendi adat yang membentuk perilaku masyarakat Gorontalo yang selanjutnya menjadi tradisi. Bahkan sering dikatakan orang bahwa budaya Gorontalo sangat identik dengan Islam. Sebelum masuknya pengaruh Islam adat-istiadat dan budaya masyarakat daerah Gorontalo dipengaruhi oleh filsafat naturalistik, dimana nilai-nilai dan norma-norma budaya bersumber dari fenomena alam semesta. Pada masa Eyato menjadi raja persatuan u duluwo limo lo pohala’a dan raja kesatuan Gorontalo-Limboto agama Islam resmi menjadi agama kerajaan. Adat sebagai wujud kebudayaan yang disebut juga sistem budaya adalah sama dengan prinsip adat Aceh dan Minangkabau yakni “adat bersendi syarak, dan syarak bersendi Kitabullah (Al-Quran)”. Istilah ini dalam bahasa Gorontalo disebutkan “Adati hula-hula’a to sara’a, sara’a hula-hula’a to kuru’ani”. Dalam kenyataan sejarah istilah ini tidak muncul dengan sendirinya, akan tetapi melalui suatu proses sejarah. Pada masa Gorontalo diperintah oleh Sultan Amai (1523-1550) slogannya adalah “sara’a topa-topango to adati” atau syarak bertumpu pada adat (Nur, 1979:220). Sultan Amai merupakan raja Gorontalo yang pertama kali menerima risalah Islam masuk ke kerajaan Gorontalo pada awal abad ke-16 atau tahun 1525 (Ibrahim, 2004). Dengan demikian keberadaan adat molo’opu sangat terkait erat dengan sejarah masuknya agama Islam di Gorontalo. Upacara adat molo’opu merupakan upacara penjemputan secara adat pejabat pemerintah di daerah Gorontalo untuk menempati rumah jabatan (Yiladia). Dalam hal ini pejabat pemerintah dijemput dari rumah kediamamnya menuju /menempati rumah jabatan atau Yiladia.Pelaksanaan upacara adat molo’opu memiliki makna bahwa pejabat yang dijemput (ta tilo’opu) dalam melaksanakan tugas harus benar-benar menjalankannya sesuai aturan dengan tidak melanggar ketentuan adat terutama agama. Sedangkan bagi masyarakat adalah sebagai wujud pernghormatan dan memuliakan pejabat yang memangku jabatan sebagai khalifah. Adapun yang berhak mendapatkan penghargaan Pohutu Molo’opu (upacara pemuliaan) adalah Gubernur (gelar Tapulu), Bupati/Walikota (gelar Tauwa) dan Camat (gelar Wulea lo Lipu). Dengan keluarnya UU Nomor 12 Tahun 2004 dan atas kesepakatan Musyawarah Adat maka Pohutu Molo’opu juga diberlakukan bagi Wakil Gubernur dan Wakil Bupati/Walikota. Sebelum pelaksanaan kegiatan molo’opu maka baik di rumah pribadi maupun di rumah jabatan (yiladia) disiapkan kelengkapan adat berupa alikusu (gapura adat), tolitihu (tangga adat), tambibala (tempat persidangan adat) dan lale (janur) beserta benda-benda budaya lainnya. Acara prosesi adat terdiri dari kegiatan sebelum dan saat pelaksanaan upacara molo’opu. Sebelum pelaksanaan diawali dengan persiapan dengan mengikuti tahapan sebagai berikut: a. Dulohupa lo ulipu berupa musyawarah para pemangku adat setempat yang disesuaikan dengan pejabat yang dijemput, dihadiri oleh Buatulo Toulongo atau tiga serangkai adat (Bubato, Sara’a, Bala) ditambah dengan para pejabat teras (wali-wali moali).; b. Mo’owoli, menyampaikan hasil keputusan musyawarah adat kepada pejabat yang dijemput; c. Pembuatan sarana adat di rumah pribadi dan di rumah dinas pejabat yang dijemput (ta tilo’opu); d. Mopodungga lo huhama wau toduwo, penyampaian undangan kepada u lipu (pejabat adat) dan ta tombuluwo (pimpinan adat); e. Penyiapan konsumsi adat dan tombulu (penghargaan); Persiapan tersebut di atas dilaksanakan dengan memperhatikan waktu pelaksanaankegiatan Molo’opu sehingga pada hari pelaksanaan segala sesuatu benar-benar telah siap. Prosesi pelaksanaan Upacara Adat Molo’opu memiki beberapa tahapan yang dilaksanakan di rumah pribadi pejabat dan di rumah dinas. A. Rumah pribadi · Penyerahan adati potidungu (berupa uang/upeti) senilai 4 kati (disesuaikan dengan keadaan sekarang) dari keluarga kepada u lipu (pelaksana adat) diwakili oleh Baate (pemangku adat); · Penjemputan pejabat yang dinobatkan (to’opu) dari kamar adat ke tempat persidangan oleh u lipu setempat diiringi dengan sajak/puisi lisan tuja’i. Tuja’i dalam hal ini digunakan sesuai fungsinya sebagai pengiring pelaksanaan adat termasuk upacara adat Molo’opu. Molo’opu dalam hal ini adalah prosesinya yang menggunakan tuja’i sebagai pengiringnya sesuai makna tuja’i itu sendiri yang isinya adalah syair-syair pujaan. Adapun tuja’i digunakan dalam Prosesi Adat Molo’opu di rumah pribadi pejabat adalah mopolengge (mempersilakan berdiri), mopodiambango (melangkah), mopolualo (menyilakan keluar), mopontalengo (mempersilakan berjalan), dan mopohulo’o (menyilakan duduk); · Mohudu Tonggota, penyerahan pimpinan dan tanggungjawab pelaksanaan tata upacara adat dari u lipu setempat kepada u lipu selanjutnya yang ditandai dengan penyerahan upeti sejumlah 4 kati yang terisi pada sebuah wadah (tapalu) diletakkan di atas baki yang ditutup kain berwarna adat dengan paying di sampingnya. · Mopoto’opu lo adati dudelo, penyerahan upeti yang terisi pada tapalu diletakkan di depan pejabat yang dinobatkan dan setelah dijamah kemudian diserahkan kepada wakil keluarga; · Molo’opu (menjemput) oleh Baate penjemput dan tetap dengan posisi duduk melafalkan sajak penjemputan (ami lipu ma woluwo, dst), selanjutnya sambil berdiri, melangkah, berjalan, keluar, naik kenderaan, duduk di kenderaan, akan diiringi dengan tuja’i (sajak adat) sesuai keadaannya. Kenderaan Ta To’opuwa beserta Mbui (pejabat yang dinobatkan beserta isteri) dan rombong- an meluncur menuju yiladia (rumah dinas) dan akan berhenti beberapa meter (15 meter) di jalan depan rumah dinas. B. Rumah Dinas Rombongan akan disambut oleh para Baate (pemangku adat), dengan melafalkan tuja’i (sajak adat) mulai kedatangan sampai duduk di ruang tempat persidangan · adat. Saat berjalan ke tempat duduk akan diiringi dengan lagu sanjungan (sa’iya lao-lao) yang dilantunkan oleh para pegawai syara, dikawal oleh pasukan longgo (keamanan adat) dan dipandu dengan genderang adat sampai di tangga adat; · Sama halnya ketika berada di rumah pribadi, pejabat yang dinobatkan (to’opu) sejak turun dari kenderaan, berada di gapura adat hingga masuk ke tempat persidangan akan diiringi dengan sajak adat (tuja’i) mopolahe to u ta’eya (mempersilakan turun dari kenderaan), mopodiambango (melangkah), mopotupalo (mempersilakan masuk gapura adat), mopontalengo (mempersilakan berjalan), mopobotulo (mempersilakan naik), mopotuwoto to tambibala (mempersilakan masuk ke persidangan), dan mopohulo’o (menyilakan duduk). Dalam kondisi duduk disuguhkan sajian minum dengan diiringi oleh syair lagu sanjungan saat duduk (sya’ia hulo-hulo’o) dilengkapi dengan madani dan salawat; · Mopodungga lo tilolo, menyuguhkan adat suguhan kepada Ta To’opuwa dan Mbu’i. Jika pejabat tersebut baru menjabat maka sekaligus dilakukan adat mopobonelo atau pengukuhan seperti Wulea lo Lipu (camat), Tauwa (Bupati Walikota) dan Tapulu (Gubernur). · Mopodungga lo u yilumo, menyuguhkan sajian minum kepada pejabat, pemimpin adat, dan hadirin dengan suguhan kue adat dan minuman the. · Modu’a, pembacaan doa oleh Tuan Kadli selaku pemegang tonggota; · Mopodungga lo tombulu, pemberian sedekah. · Mongabi, pembubaran sidang adat sebagai pernyataan selesainya siding adat molo’opu. Contoh puisi/sajak adat (tuja’i) pengiring pelaksanaan adat Molo’opu: · Mopodiambango (mempersilakan melangkah); Hulalata lo hunggia (Dengan aturan negeri) Mpohinggumo to ladia (Tata tertib di Istana) Adati lo hunggia (Dalam adat negeri) Dila hikati-katia (Tidak berbeda-beda) Adati lo tonggola (Adat yang diberlakukan) Bo tango pilopota (Tdak ada yang berlebihan) Adati Tomilito (Adat yang sudah disepakati) U malo buli-bulito (Telah diramu dan dikukuhkan) · Mopontalengo (mempersilakan melangkah) Dahai u mayango (Jaga jangan sampai beralih) Ode botu to payango (Laksana batu dalam peraduan) Dahai u lumodu’o (Jaga jangan sampai tenggelam) To baleyango bitu’o (Pada ketajaman gelombang) Bitu’io taje’uwa (Ketajaman alur pikir) To madala lolahua (Pada seluruh penjuru negeri) Olongia tombuluwo (Pemimpin yang dihormati) Wu’udu olongia (Ketentuan bagi pemimpin) Tombuluwo tadidia (Dijunjung dan dihormati) Eyanggu (Tuanku) Tahapan upacara molo’opu dengan tuja’i sebagaimana digambarkan di atas menunjukkan bahwa pada leluhur (tiombu) memberikan harapan yang besar kepada pemimpin negeri agar membina dan membimbing rakyatnya kearah kehidupan yang lebih baik serta menjaga dan mencintai negerinya. Kata tiombu juga berarti panutan, simbol panutan memiliki makna bahwa setiap pemimpin jika ingin berhasil dalam kehidupan baik lahir dan batin, harus mengikuti nasehat yang di sampaikan oleh orang tua yang menuju kepada kebaikan. Apa yang menjadi pedoman orang–orang tua yang diwariskan dari para leluhur sebelumnya, diharapkan menjadi pedoman bagi seorang pemimpin, hanya dengan mengikuti pedoman yang bersumber dari kebenaran yang hakiki dapat mengantar kepada kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat mengharumkan nama baik diri sendiri, keluarga masyakat maupun agama. Dengan kata lain seorang pemimpin Negeri adalah tumpuan hidup dan harapan bagi rakyatnya. Simbol harapan tersebut dapat dilihat pada kalimat donggo ito taa ilohuntuwa artinya “ pada tuanku tumpuan harapan.

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Komunitas Karya Budaya

H. Abdul Wahab Lihu (Maestro Budaya Gorontalo)

Kelurahan Bolihuangga Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo

96221

-

Drs. H. Karim T. Laya (Baate lo Hulontalo)

Kelurahan Lekobalo Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo

082193196836

-

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Maestro Karya Budaya

Yamin Husain (Budayawan Gorontalo)

Desa Kramat, Kecamatan Tapa

085145336588

-

Prof. Dr. H. M. Karmin Baruadi, M.Hum (akademisi)

Jalan Taman Surya Nomor 8 Kota Timur Gorontalo

08124416177

Karminbaruadi11@gmail.com

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047