Di istana raja (olongia) pada waktu dulu terkenal dua jenis tidi (tari) yaitu tari yang digunakan untuk menghibur para pembesar istana yang ditarikan biasanya oleh dayang-dayang atau putri kerajaan istana, dan tidi yang secara khusus ditarikan oleh permaisyuri raja. Tari jenis inilah yang disebut Tidi Da’a. Adapun tarian yang dilakukan oleh putri atau dayang-dayang terdapat tujuh jenis yaitu Tidi. lo Malu'o, Tidi lo Oayabu, Tidi lo Tonggalo, Tidi lo Polopalo, Tidi lo Tihu'o,. Tidi lo Tabongo dan Tidi lo Bitu’o. Perkataan Da’a pada Tidi Da’a artinya adalah besar atau agung/mulia. Besar dalam pengertian tidak sembarang orang diperkenankan untuk menarikan tari ini, cukup para permaisyuri dan puteri dalam lingkunnan istana kerajaan. Untuk saat sekarang Tidi Da’a ini khusus ditarikan oleh pengantin puteri sebagai bukti keanggunan seorang puteri yang siap menerima seorang pangeran yang kelak mendampingi hidupnya. Karena merupakan tidi lo Yiladia maka kelahiran Tidi Da’a pun tidak lepas dari kelahiran Tari Klasik Gorontalo itu sendiri. Tari Tidi merupakan tarian klasik Gorontalo yang berkembang pada abad ke 17 dan 18 di kalangan istana, yaitu raja-raja dan kaum bangsawan, yang memiliki kristalisasi artistik yang tinggi dan telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang sehingga memiliki nilai Tradisional. Kata tidi menguatkan bahwa tarian ini merupakan jenis tarian klasik yang terlihat dari busana, gerakan tari, properti tari semua bernilai moral. Pada masa pemerintahan Sultan Eyato sejak tahun 1672 tidi termasuk Tidi Da’a merupakan tarian wajib kalangan istana. Akan tetapi jika dikaitkan dengan keberadaan agama Islam sejak Amai memerintah tahun 1523 dan kemudian masuk Islam dan mengislamkan rakyatnya, jika dikaitkan dengan adat maka tarian istana sudah dberlakukan sejak tahun 1525. Akan tetapi berkembang pasat dan menjadi wajib adalah pada masa pemerintahan Sultan Eyato. Daulima (2006:20) mengemukakan bahwa busana adat yang diapakai dalam Tidi Da’a dan semua artibut melambangkan empat keterikatan yaitu keterikatan dalam menjalankan syare’at Islam, keterikatan sebagai ratu rumah tangga, keterikatan dalam menjalin kekerabatan antar keluarga tetangga dan masyarakat, dan keterikatan (membatasi diri) dalam pergaulan sehari-hari. Dari makna busana adat dan semua atribut serta aksesorisnya melambangkan keterikatan seorang putri dalam (1) menjalankan syareat Islam, (2) sebagai ratu rumah tangga (3) menjalin kekerabatan antar keluarga, tetangga dan masyarakat (4) pergaulan sehari-hari (5) menjalankan hak dan kewajiban dalam struktur rumah tangga sesuai adat dan syara’ menuju rumaah tangga sakinah mawaddah warrahmah . Berdasarkan wawancara dengan Ibu Reinyers Bila, seorang maestro Tidi, beliau menjelaskan sekitaran tahun 1970an bahwa Tidi Da'a mulai ditarikan kembali setelah ada permintaan dari seorang ketua DPRD pada waktu itu untuk ditarikan oleh putrinya pada acara pernikahannya. Saat itu bersama tim Reinyers Bila mulai menggarap kembali berdasarkan penuturan penari Tidi Da'a yaitu ibu Tuti Wartabone Gobel ibunda dari Wakil Bupati Kabupaten Bonebolango saat ini bapak Kilat Wartabone. Reinyers Bila dkk mulai menggarap kembali Tari Tidi Da'a serta menciptakan lagu serta iringan rebana. Lagu yang dipilih saat itu lagu dengan suasana sedih tapi syarat akan makna.
1) Pelaku/ penari: anak Raja (puteri Raja) yang menjadi pengantin perempuan; 2) Jumlah penari: satu orang yakni pengantin wanita dan disaksikan langsung oleh mempelai wanita |
1) Busana adat: Bili’u lengkap terbuat dari emas, yang berasal dari warisan turun temurun. 2) Hiasan dada: kecubu panjang dengan kalung terbuat dari wulu (manik-manik); 3) Alat tari: permadani khusus yang dialaskan sebelum menari didepan pu’ade. Permadani inipun adalah permadaniwarisan dari leluhurnya yang hanya boleh dipakai oleh turunannya secara garis lurus. Selesai menari permadani disimpan kembali pada buluwa lo pake; 4) Musik iringan: musik iringan rebana 5) Lagu iringan: Lagu Tidi Da'a 6) Tempat: istana atau yiladiya, di depan pu’ade. 7) Waktu pelaksanaan: setelah pelaksanaan prosesi akad nikah 8) Yang hadir: kerabat kedua belah pihak, para Tulaibalaa dari Buwatulo to wulongo atau pejabat kerjaan, Pemerintah, pemangku adat dan pegawai syara’) . URUTAN-URUTAN GERAKAN |
keluarga dari calon mempelai putra. |
Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya