Gantangan

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101249
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image

Gantangan adalah pola sosial, ekonomi masyarakat khususnya di kawasan Subang Jawa Barat. Gantangan merupakan ekspresi kegembiraan yang dicerminkan dengan saling memberi sumbangan (nyumbang) dalam acara hajatan pernikahan, sunatan, lahiran. Dalam perkembangannya budaya Gantangan ini juga dilakukan ketika ada warga masyarakat yang membangun rumah, merenovasi rumah,  ulang tahun, atau ketika memerlukan modal. Pada awalnya tradisi nyumbang bersifat sukarela ketika ada seseorang hajatan. Pada tahun1960-an berubah menjadi tradisi Gantangan yang bersifat kontraktual dengan adanya sistem pencatatan. (Yanu Endar Prasetyo, 2012) Kekhasan tradisi ini yaitu sumbangan yang diberikan kelak akan menjadi hutang bagi yang diberi sumbangan.

Gantangan berkembang di Subang utara, tengah, dan selatan. Di Subang utara, Gantangan juga dikenal dengan sebutan Telitian. Menurut tokoh masyarakat, asal istilah telitian ini berasal dari kata “gentenan” atau “silih genten” yang berarti “saling bergantian”, (Yanu Endar Prasetyo, 2017). Gentenan atau silih genten itu sendiri merupakan bahasa campuran antara Jawa dan Sunda yang melahirkan bahasa dan logat khas masyarakat Pantura. Dilihat dari aspek sejarah, masyarakat Pantura Subang ini memang dulunya adalah pendatang dari wilayah timur, seperti Indramayu, Cirebon, hingga Tegal.  Gantangan di Subang Tengah dan Subang Selatan baru muncul belakangan dibandingkan dengan tradisi Gantangan di Subang utara. Di Subang Selatan, salah satu pengaruh dari luar tonggoh (dataran tinggi) yang saat ini eksis di tengah desa pegunungan ini adalah Gintingan, yang tidak lain adalah sebutan untuk tradisi Gantangan. Gintingan ini diakui warga Cimenteng sebagai pengaruh dari luar sebab dulunya tidak pernah ada. Dahulu, gotong royong masyarakat dalam saling membantu satu-sama lain sangat kuat dan tanpa pamrih. Transformasi nyambungan menjadi gintingan merupakan akibat dari komersialisasi ekonomi yang kian melembaga. Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin dalam pola pertukaran sosial gantangan ini merefleksikan perubahan nilai-nilai masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik menjadi individual materialistik.

Gantangan selalu melekat pada hajatan yang dilakukan oleh masyarakat. Adapun tahap-tahap hajatan terdiri atas persiapan, pelaksanaan, dan pasca hajatan. Persiapan hajatan: berunding dengan keluarga; mencari hari baik; mengumpulkan modal; membentuk panitia; menyewa perlengkapan; mengurus perizinan; memilih hiburan; mencetak undangan; membangi undangan; melekan semalam suntuk. Pelaksanaan hajatan terdiri atas: menyiapkan sesajen; jamuan makan; mencatat gantangan; menyiapkan pulangan; mengelola parkir; dokumentasi; beberes hutang tahap I; menjaga keamanan. Kegiata pasca hajatan: menghitung dan menjual beras hajat; beberes hutang tahap II; memanfaatkan hasil. (Yanu Endar Prasetyo, 2017).

Terdapat 3 tipe dalam tradisi gantangan, yaitu: tipe A (Non-Gantangan/Nyambungan), Tipe B (Gantangan Umum/Gintingan), Tipe C (Gantangan Khusus/Golongan). Tipe A merupakan tradisi sumbangan yang bersifat sukarela. Tipe B adalah gantangan yang menggunakan asas timbal balik dalam hal pelaksanaanya yang dicatat oleh juru tulis (panitia hajat). Tipe C adalah gantangan khusus yang dicatat oleh ketua kelompok. (Yanu Endar Prasetyo, 2017).

Tradisi gantangan di Subang terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan wilayah yaitu Subang Selatan, Subang Tengah dan Subang Utara. Di wilayah Subang Utara disebut ‘gantangan’ karena berjumlah besar. Gantangan berawal mula dari istilah ukuran beras. Satu gantang yaitu sebanyak 10 liter. Di wilayah Subang Selatan, istilah yang digunakan yaitu gintingan/nyambungan. Awalnya di Subang Selatan bersifat sukarela namun karena terpengaruh oleh masyarakat Subang Utara, gintingan di Subang Selatan pun menjadi bersifat pinjaman. Sedangkan di Subang Tengah, gantangan bersifat sukarela kecuali di daerah yang dekat dengan Subang Utara atau Subang Selatan. (Wawancara Nina Munazah, 2020)

Pelaksanaan gantangan di kabupaten Subang berbeda-beda di setiap desa, akan tetapi secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: ketika seseorang diundang untuk memenuhi acara hajatan, misalnya “A” diundang oleh “B” maka “A” mempunyai kewajiban untuk membawa uang atau beras atau makanan (kue kering, opak, rangginan) untuk diberikan kepada si B yang jumlah dan banyaknya dicatat oleh juru tulis dari pihak “B”. ketika “A” mengadakan hajatan maka  “B” memiliki kewajiban membayar uang atau beras atau makanan sesuai dengan jumlah dahulu diberikan oleh “A”. dalam perkembangannya apabila terdapat kesulitan untuk menemukan barang yang sama, dapat digantikan dengan barang lain sejenis.

Nilai-nilai yang terdapat pada tradisi Gantangan yaitu nilai solidaritas untuk saling membantu. (Buky Wibawa Karya Guna, 2008) Nilai ini belakangan berubah menajadi nilai resiprositas yaitu hubungan timbal balik, kewajiban bagi si pemberi untuk memberi, penerima untuk menerima dan mengembalikan pemberian tersebut dilain waktu dengan jumlah yang terbuka (tidak harus sama).

Gantangan memiliki fungsi sosial dalam masyarakat di Kabupaten Subang, antara lain:  kebanggaan, kontrol sosial, memiliki banyak teman, resiprositas (hubungan timbal balik), dan menjadi momen untuk berkumpul. Tradisi ini memiliki manfaat yang sangat baik dan perlu dipertahankan oleh masyarakat Subang, namun  terdapat kelemahan ketika sering digelarnya undangan Gantangan. Warga sering mengeluh karena beratnya beban hajatan akibat hutang yang harus dibayarkan kepada pemberi Gantangan. Hal ini dapat dicegah dengan manajemen yang baik dalam pelaksanaan gantangan seperti negosiasi atau tawar menawar jumlah sumbangan. (Kurnata Wijaya, 2009)

Selain fungsi sosial, gantangan juga memiliki fungsi ekonomi diantarnya: memperoleh untung dari selisih antara hasil gantangan dikurangi modal dan biaya hajat; gantangan merupakan salah satu bentuk tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat ditarik; beberapa golongan masyarakat menganggap gantangan sebagai arisan; sarana mencari pinjaman modal; mengutar simpanan; menghindari kerugian; sumber penghasilan tambahan bagi para pedagang, tukang parkir, dan petugas keamanan. (Wawancara Rohaeni, 2020)


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 17-01-2022

Komunitas Karya Budaya

M. Nina Munazah S.Sn

Kampung Cicariu RT 13 RW 03 Desa Bunihayu Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang

081221880777

productionnina@gmail.com

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 17-01-2022

Maestro Karya Budaya

Hj. Roehani S.Pd

Kampung Cicariu RT 13 RW 03 Desa Bunihayu Kecamatan Jalankagak Kabuapten Subang

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 17-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 17-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047