Salah satu jenis puisi lisan Gorontalo pada kategori kelompok puisi lisan yang menggunakan kata-kata arif yaitu Tahuda. Dalam perbendaharaan puisi lisan Gorontalo jenis kata-kata arif ini dikenal dua jenis puisi pesan yaitu tahuli dan tahuda. Kedua jenis pesan ini berisi nasehat yang ditujukan kepada seorang yang membutuhkan nasehat. Biasanya dipakai sebagai pengiring pelaksanaan adat. Akan tetapi tahuli biasanya disampaikan dalam suatu upacara adat lengkap sedangkan tahuda tidak harus dengan upacaara adat. Tahuda lebih banyak berbentuk/berisi petuah, nasihat untuk orang banyak atau untuk umum, jadi penyampaiannya tahuda tidak harus diupacarakan sebagaimana tahuli. Tahuda dapat disampaikan pada setiap tempat dan setiap saat. Yang menyampaikan tahuda, pada umumnya orang-orang yang sudah tua. Tahuda berhubungan dengan petuah raja-raja dahulu, yang disalin atau disampaikan oleh pemangku adat sekarang, untuk difatwakan kembali kepada orang banyak. Kateogri puisi tahuli dan tahuda terlihat pada puisi yang disampaikan. Kalau tahuli diciptakan atau difatwakan, pesan (nasehat) dari orang yang masih hidup kepada orang yang akan menduduki jabatan. Sedangkan pesan tahuda berupa pesan (petuah) orang dulu (yang sudah meninggal) kepada orang yang juga akan menduduki jabatan, atau kepada semua orang (siapa saja yang perlu dinasihati), terutama menyangkit perbaikan perilaku dalam kehidupan (modaha popoli). Pada zaman dahulu tahuda merupakan nasihat kepada raja yang dinobatkan, yang diucapkan oleh baate (pemangku adat). Tahuda adalah sastra lisan atau tuturan adat dari seorang tokoh adat tertua atau yang disamakan dan disapa sebagai olongia kepada warga atau pejabat yang baru diberi gelar adat. Pada zaman itu Tahuda disampaikan oleh Mantan Raja atau Mantan pejabat kepada Pejabat Baru, Misalnya ada Walikota atau Bupati yang baru maka Mantan Pejabat Walikota/Bupati memberikan Tahuda berupa Nasihat tentang apa yang Iya sudah buat dan apa yang harus dibuat oleh Pejabat yang baru. Berdasarkan sejarah kerajaan Gorontalo sudah dikenal pada tahun 1523, masa pemerintahan Raja Amai. Akan tetapi Gorontalo mengenal Islam sejak menikahi Puteri Awutango pada tahun 1525 dari kerajaan Palasa yang telah lebih dulu menjadi kerajaan Islam. Keinginan Amai untuk masuk Islam telah mendapatkan persetujuan dari para pembesar negeri yang sangat memegang teguh adat istiadat. Mereka melihat bahwa Islam dapat diterima dan menyesuaikan dengan adat istiadat bahkan dianggap sebagai penyempurna adat. Oleh karena itu mereka mengeluarkan slogan “Syara’a topa-topango to adat”, artinya agama bertumpu pada adat. Dengan sendi tersebut maka semua hal terkait dengan nasihat disampaikan secara sakral lewat puisi lisan yang terkait dengan agama, pesan moral, kata arif, dan nasihat. Tahuda termasuk salah satu puisi lisan yang sering digunakan mengiringi pelaksanaan adat, merupakan pesan leluhur yang harus diikuti dan ditaati sebagai fatwa yang harus diikuti oleh para pejabat yang masih baru. Dalam penganugerahan gelar adat (Pulanga) baik kepada para pejabat (Ta’uwa, Wulea lo Lipu) maupun pata tamu, ragam sastra lisan tahuda sering dituturkan yang khusus dituturkan sebagai nasihat agung. Penganugerahan gelar adat ini bukanlah sebuah hadiah semata, melainkan pemberian hak serta kewajiban bagi putra daerah Gorontalo baik yang berkarir di daerah maupun diluar daerah yang memenuhi kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan atau tepatnya melalui kesepakatan para peserta seminar adat. Penganugerahn gelar adat ini selain penghargaan atas keberhasilan yang sudah dicapai, dimana yang bersangkutan menjadi salah satu diantara para pemangku adat yang menjadi pelopor dalam menjaga, merawat, menjalankan, serta mewariskan tradisi leluhur.Dalam pelaksanaannya terdapat tiga jenis yaitu tahuda dalam lingkup adat, tahuda dalam kepemimpinan dan tahuda dalam pemerintahan. Tahuda dalam lingkup adat atau Tahuda to mimbihu adati sebagaimana dijelaskan oleh Daulima (2007:116), bunyinya sebagai berikut: |
Adati ma dili-dilito Adat sudah terpola, Adati ma hunti-huntingo Adat sudah tergunting bolo mopodembingo tinggal merekatkan ta’uwa lo lo’iya pemimpin dari ucapan
|
|
Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya