Atib Koambai

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101351
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Riau
Responsive image

Atib Koambai disebut juga ratib kerambai. Ratib rambai dan beberapa istilah lain yang pada umumnya bagi masyarakat Kubu asal mulanya adalah upacara ritual untuk menolak bala. Orang yang pertama kali menyelenggarakan dan sekaligus memimpin ritual ini adalah Datuk Kerambai atau Datuk Koambai. Ada pula yang menyebutnya Datuk Rambai. Sebuah makam kuno yang tetap dirawat dengan baik oleh masyarakat Kubu sampai sekarang mereka yakini sebagai makam Datuk Kerambai. 

Sekitar tahun 1667 menurut informasi turun-temurun dibuka suatu perkampungan oleh orang-orang besar negeri Rawa Padang Nemang yang diketuai oleh Datuk raja Hitam beserta pengikutnya di daerah Kubu sekarang yang diberi nama Sei Baung. Beberapa tahun kemudian datang pula rombongan pengembara dari Semenanjung Malaya yang diketuai Datuk Gapa dan sejumlah pengikutnya. Mereka diterima oleh Datuk raja Hitam dengan baik, dan mereka bersama-sama membangun Sungai Baung dengan gotong-royong. Agama yang mereka anut adalah Islam. 

Hari, bulan dan tahun terus berlalu, Datuk Raja Hitam meninggal dan Datuk Gapa kembali pulang ke Malaya, yang tinggal adalah keturunan kedua suku Melayu ini. Keturunan Datuk Raja Hitam bernama Suku Rawa dan keturunan Datuk Gapa bernama suku Hamba Raja. Pada tahun 1767 datang lagi serombongan musafir dari Sulawesi yaitu suku Bugis. dari keturunan suku Bugis ini dinamakan suku Rawu dengan gelar Datuk Paduka. Mereka hidup di bawah pimpinan kepala kepala suku, dan kemudian Kubu bergabung dengan kerajaan Siak Sri Indrapura. Oleh karena merasa belum cukup tiga suku, atas kesepakatan bersama maka diangkatlah satu suku yang diberi nama Datuk Bangsawan Bungsu, sehingga genaplah empat suku yang sampai sekarang masih ada di Kubu. 

Dalam situasi yang semrawut dikarenakan keterbatasan pengetahuan pada masyarakat saat itu, datanglah pengembara dari Aceh yang diketuai Teuku Abdullah Pasai. Beliau ditemani murid-muridnya, diantaranya Abu Hasan Perlak dan lainnya. Sembilan tahun mengajarkan agama Islam sampai Teuku Abdullah Pasai wafat dan dimakamkan di daerah Teluk Nilap.

Pada mulanya istilah Atib Koambai tidak ada, yang ada pada waktu itu adalah Ratib Tolak Bala yang dimulai dari sekitar pemukiman Teuku Abdullah Pasai semasa hidupnya. Ritual ini baru dilakukan ketika ada wabah penyakit, harimau menerkam manusia dan buaya memangsa manusia. Mulanya tolak bala dilaksanakan pada waktu Kubu dilanda kemarau panjang dan hujan tiada turun selama setengah tahun. Keadaan itu menyebabkan banyak penyakit berjangkit dan banyaklah korban jiwa. Setelah dilaksanakan Ratib Tolak Bala, hujan pun turun selama satu hari satu malam. Hal ini menurut sejarahnya terjadi pada tahun 1868.

Pada tahun 1888 Tuan Guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan mengutus seorang menantu beliau bernama Tuan Haji Abdul Fattah untuk berziarah ke makam Teuku Abdullah Pasai di Kubu. Syekh Abdullah Fatah mengambil suatu keputusan di tempat yang sekarang beliau dan para jemaahnya berdo'a semoga negeri Kubu selalu dalam lindungan Allah SWT, sesuai pesan dari Syekh Abdul Wahab Rokan. 

Istilah Rambai dimulai semenjak utusan-utusan Tuan Guru datang ziarah di tempat itu yang kebetulan di sekitar tempat beliau ada satu batang pohon rambai. Jadi semenjak itu jika ada masyarakat yang membayar nazar atau sedekah ziarah saja maka mereka mengikatkan kain putih/hitam pada pohon tersebut. Hal ini sebagai tanda bahwa yang bersangkutan telah membayar nazarnya atau berziarah ke makam Teuku Abdullah Pasai. 

Pelaksanaan Atib Koambai tersmasuk ratib bergerak, dengan kata lain tidak duduk atau berdiri di satu tempat saja seperti ratib duduk atau ratib berdiri. Ratib ini bergerak dari satu tempat menuju tempat lain yang ditentukan sebagai tenpat untuk membuang bala atau sial. Ratib ini bergerak tidak dengan berjalan kaki, melainkan menggunakan kendaraan air yaitu perahu atau sampan. Kini Atib Koambai dijadikan tradisi oleh masyarakat Kubu yang dilaksanakan setahun sekali. Biasanya pada setiap hari keempat lebaran Idul Fitri. 

Di hari keempat lebaran Idul Fitri atau tanggal 4 Syawal di pagi hari sekitar pukul 08.00 Wib seluruh peserta hadir di tempat yang telah ditentukan sebagai tempat keberangkatan. Peserta terdiri dari Atik atau pemimpin ratib dan pendampingnya. Peserta ratib seluruhnya adalah laki-laki. Tempat pemberangkatan adalah di tepi Sungai Kubu dekat sebuah rumah ibadah. Setelah waktunya tiba, atik dan pendampingnya turun ke perahu. Jika perahu pertama sudah penuh, peserta lainnya memasuki perahu-perahu lainnya yang tersedia hingga penuh. Prosesi pun siap untuk dilaksanakan. Dalam pelayaran menuju tempat yang ditentukan, perahu-perahu peserta tidak boleh mendahului perahu yang dinaiki Atik dan pendampingnya. 

Bacaan-bacaan pada Atib Koambai sama dengan yang dibaca pada ratib duduk dan berjalan, namun berbeda dengan bacaan pada ratib berdiri. Hal ini disebabkan karena Atib Koambai diajarkan oleh Syekh dari aliran Thariqat Naqsyabandi. Ada pun unsur-unsur bacaan pada Atib Koambai adalah:

- Istighfar

- Tahtim

- Zikir

- Membaca Ayat Al-Qur'an

- Doa

 

Menurut informasi (Ali Badri 2019), secara ringkas pelaksanaan Ritual Atib Koambai sebagai berikut:

Ritual Atib Koambai ini dilakukan oleh Ketua Adat Kecamatan Kubu Babussalam, dimana Ketua Adat tersebut orang yang sudah lebih banyak mengenal ataupun banyak mengetahui tentang Ritual Atib Koambai tersebut dan juga jadi panutan masyarakat setempat. Ketua Adat tersebut yang akan memimpin berlangsungnya ritual tersebut. Dalam proses turun Ritual, Ketua Adat akan memimpin (membaca Doa) ataupun mantra-mantra berisikan makna nasehat, petuah untuk masyarakat supaya dijauhkan mara bahaya yang pernah ditimpa sebelumnya. Adapun rangkaian dalam prosesi Ritual Atib Koambai yaitu:

1. Proses pencarian pompong (perahu) dan ada juga sebagian dari setiap desa menyediakan pompong untuk keberangkatan menuju makam, adapun perahu yang ditumpangi oleh masyarakat setempat haruslah perahu yang layak dipergunakan dalam perjalanan jauh bermuatan ± 30 orang bahkan juga bisa lebih tergantung besarnya muatan pompong tersebut umumnya setiap desa mewakili satu perahu.

2. Persiapan tenda, umbul-umbul, toa, dan peralatan yang lainnya. Ketiga, menunggu hari besoknya, sampai pada hari akhirnya atau pukul 07:00 wib masing-masing individu membawa kebutuhan seperti makanan pokok, makan ringan, peralatan gamis (baju koko), peci, tasbih.

Penggunaan bahasa yang digunakan sarana aktifitas dan alat pemersatuan pada Ritual Atib Koambai memiliki tingakatan bahasa yaitu mengguankan Bahasa melayu Kubu untuk Ritual Atib Koambai adalah mengguanakn bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa melayu asli Kubu, (yaitu bahasa daerah yang dipergunakan dalam percakapan sehari[1]hari), dan ada juga menggunakan bahasa simbol yang mempunyai arti tersendiri. Sebelum menggunakan tiga bahasa tersebut; bahasa Indonesia, bahasa melayu Kubu, bahasa Arab), masyarakat setempta memulainya dengan bersalaman sambil berpelukan, dan juga bertegur sapa satu sama yang lainnya untuk mempererat Tali Silaturahmi sesama tamu yang hadir. Setelah Semua bersalaman bercengkrama satu sama yang lainnya tetamu yang hadir yang akan hendak memasuki makam segera untuk mengambil air wudhu’ supaya dalam berkeadaan yang suci. Sesudah mengambil air wudhu’ Tokoh Adat, Khalifah, Ulama dan tokoh masyarakat yang dituakan memasuki makam membuat lingkaran bulat untuk mengelilingi makam. Do’a akan dilantunkan oleh pemangku Adat. 

Adapun makna yang tersirat yang dilantunkan dengan sepenuh hati dan juga penuh keyakinan dengan terkabulnya do’a ini ialah memohon kepada Allah sebagai rasa Syukur yang telah diberikan kehiduapan kedamaian dan juga kesejahteraan yang telah lewat, maka Pemangku adat juga Memohon minta kesalamatan untuk hari-hari berikutnya yang dimintakannya khusus untuk masyarakat kecamatan Kubu. Hanya pemangku Adat, khalifah, ulama-ulama, orang yang dituakan yang memasuki makam dan duduk bersila diatas tikar maupun diatas kramik menghadapi makam, membuat lingkaran bulat dan ditengahnya terdapat makam Tengku Abdul Pasai. Pakaian yang dipergunakan saat pelaksanaan bersifat sopan dan bernuansa islami, seperti baju koko, baju muslim, baju batik, peci, dll. Pakaian jubah lengkap dengan sorban dan sarung, biasanya digunakan oleh pemangku adat, khalifah, ulama-ulama. Kondisi berlangsungnya ritual tersebut yang memberi kata sambutan, menceritakan sejarah dari Ritual Atib Koambai, membaca do’a, dan lantunan Azan sebelum menggemakan Zikir didalam perahu.

Sementara masyarakat yang tidak bisa memasuki makam, dikarenakan sudah penuh Maka mereka membuat aktivitas sendiri seperti halnya mandi di tepi sungai, mengambil air wudhu’ mengambil ranting pohon di tepi sungai. Setelah menggelar ziarah, masyarakat bersama-sama berlayar kembali menuju muara sambal berzikir di atas pompong.

 


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Forum Pembela Tradisi Kubu-Kuba (FORPEMTRA)

Kecamatan Kubu dan Kubu Babussalam Kabupaten Rokan Hilir

0

-

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Maestro Karya Budaya

H. Abdul Karim, MY (78 thn)

Kecamatan Kubu Kabupaten Rokan Hilir

0

-

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047