Angklung Gubrag

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101264
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image

Angklung gubrag merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang berada di Kampung Cipining Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Angklung gubrag oleh masyarakatnya dianggap sangat keramat.  Dalam tulisan Juju Masunah (2003:25-26) Angklung Gubrag, adalah angklung yang berkembang di daerah Cipining Bogor. Penamaan angklung gubrag sendiri memiliki kisah yang diceritakan secara turun temurun mengenai sebuah musibah yang pernah menimpa desa ini, yaitu kegagalan panen. Kata gubrag sendiri diambil dari kata ngagubrag yang artinya jatuh secara tiba-tiba, dan memunculkan bunyi yang mengagetkan. Kini angklung gubrag selain digunakan dalam upacara atau ritual penghormatan kepada “Nyi Pohaci” atau ”Dewi Sri”. Dalam kepercayaan masyarakat Cipining, peristiwa ngagubragnya angklung adalah peristiwa penting, karena itu angklung dianggap mampu memikat Dewi Sri atau Nyi Pohaci untuk turun ke bumi dengan membawa kemakmuran kepada manusia di bumi.

Sejak peristiwa tersebut angklung diangggap sakral, sehingga setiap masyarakat yang hendak menanam dan memanen padi harus dilalui dengan sebuah ritual dan menghadirkan angklung gubrag.  Menurut Kurnia dan Nalan (2003: 23) ditampilkan untuk menghormati Dewi Padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukkeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Anggota masyarakat Kampung Cipining memiliki hubungan persaudaraan, karena generasi keturunan mereka menikah dengan saudaranya sendiri, sehingga kekerabatan mereka semakin kental. Oleh karena itu generasi para pemain kesenian Angklung Gubrag pun diteruskan oleh generasi generasi yang satu sama lain masih bersaudara saat ini angklung gubrag telah berumur 455 tahun dan telah mencapai tujuh generasi penerusnya.

Alat musik Angklung Gubrag dibuat dari bambu gombong, yang bahannya selain banyak ditemukan di wilayah Jawa Barat, bambu ini juga dapat menghasilkan suara yang lebih nyaring ketimbang jenis bambu yang lain. Bagian atas Angklung Gubrag diberi hiasan dengan ikatan kembang wiru, yang akan bergoyang jika angklung dimainkan. Berbeda dengan angklung pada umumnya yang memiliki satu nada dalam tiap rangkanya, pada Angklung Gubrag susunan nadanya tidak beraturan atau nadanya tidak sama pada setiap tabungnya. Dalam satu rangka angklung, terdapat 3 nada yang berbeda-beda. Meski demikian, angklung jenis ini terdiri dari 6 bilah angklung yang masing-masing diberi nama, antara lain Bibit, Anak Bibit, Engklok 1, Engklok 2, Gonjing, dan Panembal. Perbedaan lain antara angklung gubrag dengan angklung tradisional dapat dilihat dari bentuk ornamen hiasan yang digunakan. Ornamen yang digunakan dalam angklung memiliki cara yang khas, yaitu dibuat dari kembang wiru, sedangkan angklung tradisional yang lain ada yang dibuat dari untaian daun pelah (angklung Baduy/Kanekes), kain perca (angklung badeng), dan sebagainya.

Bagi masyarakat Kampung Cipining, selain berfungsi sebagai kelengkapan upacara ritual padi, angklung juga memiliki nilai dan makna tersendiri. Dalam budaya mereka ada pepatah yang dipegang teguh, yaitu ulah ngelmu angklung. Pepatah ini memiliki makna edukasi yang sangat dalam, mereka diajarkan untuk selalu memperhatikan orang-orang tua dan anak-anak mereka. Konon pepatah ini diambil dari posisi pemasangan tabung, dimana tabung angklung yang kecil membelakangi tabung angklung besar. Demikian juga bahwa setiap angklung di kiri kanannya ada kerabat yang bisa diajak kerja sama. Inti dari pepatah ini adalah penanaman Nilai rasa kekeluargaan atau kebersanaan. Dalam konsep Sunda lama, nada angklung yang tertua terdiri atas tiga nada yang merujuk pada makna tritangtu. Konsep tritangtu dalam filosofi orang Sunda adalah semua yang ada di dunia ini memiliki lawan. Seperti dunia langit dan dunia bawah, sehingga untuk menengahi keduanya maka diciptakanlah dunia tengah yakni tempat yang dihuni oleh manusia. Filosofi inilah yang diadopsi dalam penciptaan angklung, sehingga pada awalnya angklung hanya memiliki tiga nada. Sumardjo (2011:94).

Sesuai dengan perkembangan zaman serta pergeseran kepercayaan dan perubahan paradigma masyarakatnya, kini pertunjukan angklung gubrag tidak hanya difungsikan atau dimainkan pada siklus penanaman padi saja, akan tetapi dapat dipertunjukan juga pada berbagai acara, seperti penyambutan tamu agung, pernikahan adat, dan di berbagai ritual dalam seren taun. Perubahan fungsi ini terjadi sejak zaman kemerdekaan, terutama setelah memasuki era orde baru pada program-program yang dikelola oleh pemerintah.

Menurut Yoety (1985:10) Perkembangan Angklung Gubrag sebagai seni tradisional mengalami tantangan perubahan zaman. Masyarakat yang sudah berpikir modern mulai meninggalkan semua kegiatan yang bersangkutan dengan mistis dan adat istiadat karena dianggap kuno. Sebagian besar masyarakat mulai beralih pada seni modern karena kesenian-kesenian tradisional yang ada masih dirasakan terdapat kekurangan. Salah satu contoh nyata mengenai perubahan zaman tersebut adalah ketika tempat-tempat penyimpanan padi (leuit) yang dahulu dianggap penting dan sakral mulai ditinggalkan. Masyarakat yang mengenal teknologi mengganti leuit dengan tempat penyimpanan yang lebih praktis. Perubahan pemikiran tersebut, berpengaruh kepada kesenian Angklung sendiri. Semenjak leuit kehilangan fungsinya di tengah masyarakat, maka hal tersebut menyebabkan upacara ritual untuk menghormati padi mulai ditinggalkan karena dianggap tidak terlalu penting dan berpengaruh terhadap hasil panen.

Perkembangan Angklung Gubrag sebagai bentuk pertunjukan media ritual tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya. Namun, beriringan dengan perubahan zaman tidak sedikit yang mulai meninggalkan upacara ritual yang menggunakan Angklung Gubrag. Kebudayaan biasanya bersifat dinamis dengan menyesuaikan keadaan masyarakat. Maka jika salah satu unsur kebudayaan tidak lagi sesuai dengan keinginan masyarakat, kebudayaan tersebut akan hilang. Kesenian Angklung Gubrag juga mengalami berbagai tantangan dalam perkembangannya, terutama terhadap selera masyarakat.

Perubahan zaman menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap Nyi Pohaci semakin memudar, sehingga hal tersebut menimbulkan perubahanperubahan pada bentuk pertunjukan Angklung Gubrag. Perubahan-perubahan yang terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya perubahan sikap atau cara berpikir suatu masyarakat dari mistis ke rasional dan logis. Akibatnya masyarakat mulai memperhitungkan dari segi biaya, waktu, tenaga, dan urgensinya. Kedua, adanya proses modernisasi dalam pembangunan, yakni terdapat inovasi, teknologi, dan urbanisasi. Ketiga, adanya hubungan atau kontak dengan kebudayaan lain. Sikap terbuka cenderung menghasilkan warga masyarakat mudah menerima pengaruh dari kebudayaan lain.

Pada tahun 1983, terdapat pertentangan dari masyarakat mengenai pelaksanaan upacara Seren Taun yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Berdasarkan permasalahan terjadi, dapat diketahui bahwa, faktor perubahan yang terjadi pada Angklung Gubrag adalah akibat adanya kepercayaan baru yang dianut oleh masyarakat, sehingga perubahan kepercayaan ini menimbulkan dualisme di tengah masyarakat Cigudeg. Pada satu sisi, terdapat golongan yang ingin mempertahankan kesenian Angklung Gubrag sesuai dengan ketentuan dan fungsi awalnya,sedangkan sisi lainnya ingin menghilangkan kepercayaan terhadap Nyi Pohaci yang bersifat magis karena tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Karena perdebatan tersebut, seni Angklung Gubrag sebagai media ritual sempat tidak digunakan lagi oleh masyarakat Cigudeg.

Saat ini di grup angklung gubrag di Kampung Cipining Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor terdapat 3 grup. Ketiga grup ini apabila dilihat dari usia mewakili 3 generasi: generasi sepuh (tua), generasi muda, dan generasi anak-anak. Ketiga generasi tersebut memiliki pertalian keluarga yang sangat erat, sehingga proses pewarisan  angklung gubrag cukup berjalan.

Di kampung Budaya Sindang Barang Desa Pasir Eurih Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor, pertunjukan angklung gubrag dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Pertunjukan angklung gubrag dikemas dalam rangka mengangkat Kampung Sindang Barang yang memiliki nilai sejarah penting bagi masyarakatnya. Di kampung Budaya Sindang Barang, dibangun sebuah wilayah yang dirancang sebagai perkampungan kasepuhan Sunda. Pertunjukan angklung gubrag dimasukan dalam paket pertunjukan pariwisata yang disajikan oleh sekelompok Ibu-ibu dan ada juga oleh para remaja. Area pertunjukan dilakukan di arena lapang di depan leuit dan rumah adat.

Pemain angklung gubrag memakai baju kampret dan celana pangsi, dilengkapi dengan penutup kepala atau iket. Dahulu yang memainkan angklung gubrag adalah perempuan, karena berhubungan dengan dewi kesuburan, namun kini tidak hanya perempuan yang boleh memainkan agklung gubrag. Di daerah Jasinga misalnya, pemain angklung gubrag adalah laki-laki dewasa.


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Padepokan Seni Angklung Gubrag Cipining

Kp Cipining Desa Argapura Kec Cigudeg Kab Bogor

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022

Maestro Karya Budaya

Ikin Sodikin

Kp Cipining Desa Argapura Kec Cigudeg Kab Bogor

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047