PANRE BATU

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101440
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image

Panre dalam Bahasa Bugis adalah ahli (Tukang) atau ahli didalam seni pembuatan produk-produk pertukangan tertentu. Misalnya seni pahat memahat dalam produk batu dan kayu, seni menempah besi, perak dan emas, seni desain produk-produk tanah liat dan lain-lain. Panre merupakan seseorang yang ahli dalam bidang tertentu berdasarkan kemampuan tekhnik atau skill individunya yang melebihi orang lain pada umumnya.

 

            Sebelum masa Pemerintahan La Makkaraka, Addatuang Sidenreng I pada tahun 1634-1671 M, anak dari La Patiroi salah seorang warga desa Allakuang berhasil menciptakan sebuah alat yang berbahan dasar batu gunung di desa Allakuang yang berfungsi mempermudah pengolahan bahan maka sehari-hari warga yang hingga saat ini masih dimanfaatkan sebagaian warga. Warga menyebutnya “Palungeng” yang kita kenal dengan istilah lesung. Aktifitas ini diperkirakan berawal di abad ke 15 M. Lesung merupakan produk pertama yang dihasilkan oleh pengrajin saat itu, karena saat itu marak adanya kelompok gorilla sehingga warga takut beraktifitas disawah seorang diri sehingga mencari aktifitas didalam kampung yang dekat dengan pemukiman mereka. Mereka pertama kali memulai aktivitas ini dikaki gunung.

 Dulu sebelum adanya alat modern yang mampu memecah kulit gabah menjadi beras, lesung digunakan sebagai pemecah kulit gabah untuk menjadi beras. Fungsi lainnya yakni sebagai alat untuk menumbuk dan menghaluskan beras sehingga beras yang tadinya ditumbuk akan menjadi tepung. Bukan hanya itu, dahulu lesung juga digunakan menumbuk kopi yang sebelumnya digoreng menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat yang merupakan minuman khas orang tua dahulu sampai sekarang.

Dalam perkembangannya produk yang terbuat dari batu gunung tersebut memberi manfaat bagi keluarga terutama dalam mengupas kulit gabah yang kemudian di warga lainnya mengikuti jejak untuk mencoba membuat produk serupa dengan bahan Batu gunung pula yang sampai saat ini. Produk tersebut sudah dipasarkan sampai keluar daerah. Beberapa lama kemudian, warga yang mengolah batu gunung makin bertambah hingga terbentuk sebuah komunitas.

          Beras yang merupakan bahan makanan pokok menjadi salah satu latar belakang munculnya produk yang terbuat dari batu gunung. Lesung yang kecil saat itu dipergunakan untuk mengolah bahan dan bumbu dapur sebelum muncul produk lainnya yang fungsinya serupa yakni cobek atau ulekan. Pada pengembangan kreatifitas pengrajin selanjutnya, pengrajin berhasil menghasilkan sebuah produk yang berfungsi untuk mengolah beras menjadi tepung. Pada penggunaannya, beras sebelumnya digoreng menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat hingga beras tersebut panas kemudian biasanya ditumbuk di lesung sebelum diolah menggunakan alat pallilu gore werre, akan tetapi biasa pula beras yang telah dipanaskan tadi langsung diolah menggunakan alat pallilu gore werre tanpa melalui proses penumbukan menggunakan lesung untuk menjadi tepung.

            Hingga kini selain produk tersebut, pengrajin telah berhasil menciptakan produk lainnya seperti nisan, pasang dapureng sebelum menciptakan parenring yang fungsinya sama dengan pasang dapureng yakni sebagai dinding untuk nisan, cobek, serta penyangga tiang rumah.

           Seiring perkembangan teknologi, alat pembuat tepung yang mereka namakan pallilu gore werre saat ini sulit ditemui karena telah ditinggalkan dan beralih menggunakan teknologi yang lebih canggih. Akan tetapi, alat tradisional lainnya seperti lesung dan cobek masih bertahan dan masih bisa ditemui di desa ini. Peralatan dapur tradisional tersebut hingga kini masih diproduksi dan didistribusi melalui pedagang bahkan pemasarannya sampai keluar Provinsi Sulawesi Selatan.

           Kehadiran teknologi modern memberi manfaat tersendiri bagi komunitas pengrajin sehingga saat ini pengrajin mesin gulinda yang mampu mengifisienkan waktu mereka seperti pada tahap pengukiran. Dahulu ukiran yang ada pada produk hanya menggunakan alat tradisional yakni betel yang lazimnya mereka namakan sebagai pametta. Secara sekilas, terdapat makna yang bersifat filosofis pada ukiran yang ada pada produk karena memiliki motif yang berbeda. Akan tetapi, setelah di telusuri, hingga kini ukiran yang ada pada berbagai produk hanya sebatas bermakna estetika yakni sebatas memperindah produk yang mereka hasilkan.

            Pengetahuan lokal komunitas pengrajin batu gunung di desa Allakuang dalam hal pengolahan batu hingga saat ini masih bertahan, terbukti masih adanya pewarisan pengetahuan pengolahan batu keanggota keluarga serta kepada mereka yang masuk diporofesi ini. Dalam trasformasi pengetahuan kepada mereka yang mau atau masih belajar, lebih sering ditempuh melalui cara praktis tanpa pemaparan teori sebelumnya. Kemahiran serta kecakapan terbentuk melalui proses pembiasaan dan ketekunan melakukan aktivitas tersebut.

Dahulu proses trasformasi pengetahuan hanya terjadi dilingkup keluarga serta kerabat terdekat mereka. Dalam perkembangannya sampai saat ini, proses transformasi pengetahuan serta kerja sama dibidang ini sudah terbuka kepada mereka yang bersedia mempelajari tehnik-tehnik pengolahan baik atau menjalin hubungan kerja sama perdagangan produk kerajinan dilingkup mereka. Pada tahap awal bagi mereka yang masih belajar, mereka berusaha melatih dalam penggunaan palu dan betel sehingga pas dan tidak mengena di tangan mereka. Hal ini merupakan proses pembiasaan yang lambat laun akan membuat pukulannya menjadi cepat dan kuat hingga akan mempercepat pula dalam hal pengupasan batu. Pemilik usah yang biasanya bertindak sebagai pengajar tetap mengontrol cara memukul, ketujuan betel yang diguanakan serta arah dan cara penempatan betel sehingga batu yang mereka hadapi bisa pecah atau terkelupas sesuai harapannya.

            Perjalanan sejarah ukiran yang terdapat pada produk pengrajin berkembang seiring kemajuan serta pemanfaatan teknologi yang lebih canggih. Dahulu pengrajin mengukir produknya hanya menggunakan palu serta betel yang mereka namakan sebagai pametta. Saat ini, dengan kehadiran mesin gulinda serta pemanfaatannya oleh pengrajin, aktifitas mereka semakin lancar serta memilimalisir waktu dalam hal pemahatan. Mesin gulinda juga digunakan untuk mengukir sehingga mempercepat proses pengukiran.

            Batu alam yang ada di gunung Desa Allakuang merupakan pilihan utama pengrajin dalam menghasilkan produk kerajinan-kerajinan. Bongkahan batu hasil galian yang sudahnya digali oleh tenaga kerja yang ada diatas gunung kemudian dibelah untuk menjadi bahan baku pemahat. Pakkali merupakan istilah lokal bagi mereka yang bkerja menggali batu gunung menjadi bongkahan. Bongkahan batu yang telah terpisah dari sumbernya yang sebelumnya melalui proses pemahat oleh pakkali dibelah menjadi bahan baku untuk kemudian dipahat kembali oleh pemahat yang bekerja disekitar rumah mereka. Bahan baku tersebut mereka namakan Loolee.

 

          Hingga saat ini aktifitas pengolahan batu gunung dalam menghasilkan produk sudah bertahan sekitar 5 abad. Dahulu, pengrajin dalam menghasilkan produk lebih mengacu pada kualitas produk yang dihasilkan meski membutuhkan proses yang cukup lama untuk menyelesaikan suatu produk. Kondisi tersebut nampak berbeda dengan kondisi saat ini yang cenderung mengedepankan kualitas dalam menghasilkan produk. Semakin banyak produk yang dihasilkan maka semakin banyak pula pendapatan atau upah yang akan diperoleh. Sementara dalam pemahat lebih mengedepankan kualitas sehingga pemilihan bahan baku hingga estetika pahatan lebih diutamakan dengan anggapan bahwa semakin indah produk yang dihasilkan maka semakin cepat pula produk tersebut laku terjual.

 


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Komunitas Karya Budaya

KAMARULLAH

Desa Allakuang Kabupaten Sidenreng Rappang

0

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Maestro Karya Budaya

BASIR

Jln. H.M. Yunus No.60 Dusun II Allakuang Kode Pos : 91611

0

-

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047