Kerajinan Ata Karangasem

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101331
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Bali
Responsive image

Sejarah Kerajinan Ata

Kerajinan Ata ini dikenal pertama kali di Desa Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem dalam bentuk perisai untuk tradisi Megeret Pandan atau Perang Pandan (tradisi Mekare-Kare). Tradisi ini diperkirakan telah ada sejak Desa Tenganan Pegringsingan berdiri, yaitu sekitar abad X dan XI Masehi. Tradisi ini lahir dalam upaya untuk penghormatan terhadap Dewa Indra sebagai Dewa Perang, yang merupakan satu kepercayaan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan. Dalam peperangan akan selalu membawa perisai atau tameng (istilah lokal disebut dengan tamiang), dengan menggunakan bahan yang kuat dan lentur untuk menahan serangan yaitu dari anyaman paku ata. Kebetulan bahan paku ata ini banyak tumbuh liar di kebun-kebun dan hutan Desa Tenganan Pegringsingan. Selain tamiang, masih ada beberapa kerajinan Ata yang memang juga telah ada pada saat itu yaitu berupa Ingke Ati Ata (sebagai tempat canang atau persembahan) dan Wanci (sebagai tempat sedah atau sirih pinang). Inilah bentuk kerajinan Ata pertama yang memang keberadaannya telah ada sejak sekitar abad X dan XI masehi di Desa Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem.Tiga bentuk kerajinan Ata inilah yang menjadi cikal-bakal kerajinan Ata yang sekarang berkembang di Bali pada umumnya dan di Karangasem pada khususnya.

Menurut penuturan I Wayan Mudita (sesepuh masyarakat Tenganan Pegringsingan) pada tahun 1930-an peralatan yang dibuat dari anyaman ata dibuat hanya untuk keperluan adat dan upacara saja. Pada saat itu dalam kehidupan masyarakat Tenganan Pegringsingan ada sebuah Sekehe yang bernama Sekehe Naga Sungsang yang bertugas setiap bulannya menghaturkan sesaji berupa canang dengan menggunakan Ingke Ati Ata, menghaturkan sirih pinang (sedah) dengan menggunakan Wanci secara bergilir masing-masing anggotanya sebagai kewajiban adat. Kewajiban ini membuat semua anggotanya bisa menganyam Ata Ingke Ati Ata dan Wanci. Khusus untuk menganyam tamiang dibuat oleh laki-laki untuk kegiatan adat Perang Pandan atau Mekare-Kare. Sedangkan kegiatan menganyam Ingke Ati Ata dan Wanci dilakukan oleh para wanita dalam Sekehe Naga Sungsang, sambil melakukan kegiatan berkebun (yang diistilahkan dengan Mertiwi). Para wanita Desa Tenganan Pegringsingan sambil pulang dari kebun mencabut beberapa pohon Ata, dan menganyamnya di rumah sambil memasak di dapur. Tradisi ini berkembang sangat lama sekali di Desa Tenganan Pegringsingan.

Perkembangan Kerajinan Ata

Perkembangan awal yang lebih kreatif terhadap kerajinan anyaman Ata selanjutnya terjadi pada tahun 1974, yang dilakukan oleh I Nyoman Sambiah dengan mengembangkan bentuk yang baru berupa bakul, leper atau nare, dan tas kompek. Bentuk-bentuk kerajinan anyaman Ata ini menjadi inspirasi baru bagi masyarakat di Desa Tenganan Pegringsingan. Banyak masyarakat yang mulai meniru bentuk-bentuk kerajinan Ata tersebut terutama para wanita di Desa Tenganan Pegringsingan. Kerajinan anyaman Ata ini sebagian besar dibuat oleh para wanita untuk memenuhi kebutuhan sendiri terutama kebutuhan peralatan rumah tangga seperti bakul untuk tempat nasi serta leper atau nare untuk tempat minuman.

Kerajinan Ata mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai tahun 1980 seiring dengan perkembangan pariwisata yang menjadikan Desa Tenganan Pegringsingan sebagai salah satu destinasi wisata desa tradisional di Karangasem. Muncul tokoh yang kreatif dalam kerajinan anyaman ata di Desa Tenganan Pegringsingan yaitu I Nengah Kedep. Kerajinan tangan yang berbahan dasar batang tanaman ata dikerjakan I Nengah Kedep yang pertama kali dibuat merupakan anyaman sederhana yang berbentuk bola dengan kegunaan sebagai gantungan kunci. Nengah Kedep menceritakan bahwa dulu pada tahun 1980-an tanpa sengaja anyaman yang berupa bola tersebut dilihat oleh wisatawan asing dan wisatawan tersebut tertarik untuk membelinya. Dari sanalah kerajinan Ata mulai ditilik karena memiliki nilai ekonomi hingga berkembanglah kerajinan Ata tersebut di Desa Tenganan Pegringsingan. Hal ini juga karena didukung akan kondisi geografis Desa Tenganan Pegringsingan tersebut, tanaman Ata tumbuh subur di kebun maupun hutan-hutan yang terdapat di bukit yang mengapit Desa Tenganan Pegringsingan.

Beberapa masyarakat di Desa Tenganan Pegringsingan sudah mulai menekuni untuk menganyam kerajinan Ata tersebut. I Nengah Kedep mulai mengembangkan dengan berbagai bentuk dan model, serta bentuk-bentuk baru sesuai dengan permintaan pelanggan. Beliau dibantu oleh beberapa pengerajin ahli di Desa Tenganan Pegringsingan seperti I Nyoman Sambiah, I Komang Karya serta anaknya yang bernama I Wayan Durpa. Pesanan bukan hanya dari dalam negeri saja, tetapi sudah mulai memenuhi permintaan untuk ekspor ke luar negeri. Ada berbagai bentuk dan model yang telah tercipta dari kerajinan Ata di Desa Tenganan Pegringsingan dalam rangka memenuhi permintaan pelanggannya. Sejak itu terjadi perkembangan yang pesat terhadap kerajinan Ata, dan mulai menyebar ke berbagai banjar di wilayah Tenganan seperti ke Banjar Gumung, bahkan menyebar sampai ke luar Kecamatan Manggis. Penyebarannya merambah beberapa wilayah seperti di Seraya, Seraya Barat, Seraya Timur, Bebandem, Bungaya, Desa Les serta desa-desa lainnya di Kabupaten Karangasem. Hal ini terjadi karena permintaan yang sangat besar terhadap kerajinan Ata di Desa Tenganan Pegringsingan, sehingga para pengerajin kewalahan untuk memenuhi order pelanggannya yang bukan saja di tingkat lokal, nasional, bahkan sampai ketingkat internasional. Oleh sebab itu mulailah keahlian kerajinan anyaman Ata ini ditularkan ke berbagai wilayah di luar Desa Tenganan Pegringsingan terutama di wilayah Karangasem.

Proses Pembuatan Kerajinan Ata

a.     Bahan

Dalam menganyam kerajinan Ata, hal yang diperlukan adalah pengelintihan atau dii (batang pohon Ata), pisau kecil (pengutik) untuk membelah batang pohon Ata,  sitsitan (tali yang terbuat dari batang pohon ata yang di belah menjadi 4 atau 5 belahan), pengepresan (terbuat dari plat seng untuk membentuk ukuran sitsitan sama besarnya), penusukan (alat untuk membuat lubang kecil), pengangsudan (alat penghalus sisitan), gunting kuku (dipakai untuk memotong sisitan yang tajam agar tidak melukai jika anyaman dipakai), benang tasi (dipakai untuk mengikatkan engsel). Dalam pembuatan kerajinan tangan ata tidak ada teknik yang harus diterapkan secara pasti. Semuanya itu dilakukan tergantung dari kreativitas serta desain dari penganyam itu sendiri.

Untuk pemilihan bahan kerajinan Ata sendiri tidak boleh sembarangan, karena harus memenuhi syarat bahan tertentu agar lentur dan mudah dianyam. Adapun tata cara pemilihan bahan ata sebagai anyaman di antaranya sebagai berikut: bahan Ata yang dipilih adalah yang masih muda, agak lurus sehingga mudah untuk dianyam atau sifatnya lentur (diistilahkan dalam bahasa lokal dengan sebutan lambes); bahan Ata yang batangnya besar dikumpulkan sebagai bahan tulangannya atau rangkanya, biasanya ukuran batangnya berdiameter 5 mm dengan panjang minimal 3 meter; dan bahan Ata yang kecil dikumpulkan sebagai bahan untuk menjalinnya, biasanya ukuran batangnya berdiameter 3 mm dengan panjang minimal 2 meter. 

b.     Cara pembuatan

Setelah bahan Ata didapat biasanya diproses terlebih dahulu dengan jalan dijemur di bawah terik matahari selama sehari agar bahan menjadi lebih lentur, kemudian keesokan harinya seorang pengerajin akan melakukan beberapa langkah.

a.       Pertama, melakukan pemecahan terhadap Ata dengan pisau kecil (pengutik) yang akan dijadikan sitsitan (bahan menjalin) yang disebut dengan      istilah Nyebit.

b.      Kedua adalah menghaluskan pecahan (sitsitan) dari bekas cabang daun dengan pisau kecil (pengutik) agar tidak mudah putus, yang disebut       dengan istilah Ngerot.

c.       Ketiga membentuk sitsitan (bahan menjalin) agar berukuran sama besarnya yang dilakukan dengan plat yang dilubangi sesuai ukuran yang         dikehendaki, yang disebut dengan istilah Ngepres.

d.       Keempat melakukan penganyaman yang disebut dengan istilah Ngulat.

e.      Kelima, setelah anyaman jadi maka perlu dilakukan penganyaman pada pinggirannya agar rapi dan kuat serta pemasangan tali untuk pegangan     atau gantungan yang disebut dengan istilah Nutus.

f.       Langkah terakhir yaitu memberi warna alami dengan cara diasapi, atau warna sintetik dengan cara direbus, yang disebut dengan istilah Ngunun.

 

1). Nilai dan Makna Budaya

            Nilai adalah sesuatu yang berharga bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu yang bernilai adalah sesuatu yang berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai dapat diartikan sebagai kumpulan sikap atau perasaan atau anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik,buruk, benar, patut, tidak patut, mulia hina atau penting tidak penting.

Nilai Estetika.

Keindahan adalah nilai-nilai estetis yang menyertai sebuah karya seni. Keindahan juga diartikan sebagai pengalaman estetis yang diperoleh ketika seseorang mencerap objek seni atau dapat pula dipahami sebagai sebuah objek yang memiliki unsur keindahan. Kerajinan anyaman bukan sesuatu yang baru lahir melainkan suatu kekayaan budaya yang telah berusia hampir sama dengan lamanya manusia hadir dimuka bumi ini. Kerajinan anyaman ata merupakan seni yang mempengaruhi kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Menganyam merupakan sebuah proses menjaringkan atau menyilangkan bahan-bahan  seperti ata dan sebagainya menjadi satu rumpun yang kuat dan bisa digunakan serta indah dipandang mata bagi yang melihatnya. 

Nilai Kreativitas

      Perwujudan karya seni belum dikatakan sempurna sebelum menyebut dua macam perbuatan dan perilaku kesenian yang berbeda secara mendasar, yakni kreativitas: perilaku kesenian yang menghasilkan kreasi baru, dan produktivitas: perilaku kesenian yang menghasilkan produksi baru merupakan ulangan dari apa yang telah terwujud, walau sedikit percobaan atau variasi di dalam pola yang telah ada. Kreatifitas  merupakan sebuah perwujudan pempertahankan nilai budaya bangsa yang kini diduga semakin terjepit oleh peradaban global.

         Kreativitas para pengrajin ata terlihat dari pengembangan motif-motif kerajinan ata yang terdapat di Karangasem. Anyaman ata Karangasem ini juga memiliki motif-motif yang khas yang tentu saja mampu membedakannya dengan hasil kerajinan serupa dari wilayah yang lain. Dilihat dari segi motif anyamannya dapat dilihat dengan jelas, serta juga akan mempengaruhi nilai jualnya. Di desa Tenganan Pegringsingan lebih kaya akan motif karena memang kerajinan anyaman ini lahir di sini. Adapun bentuk motif-motif yang ada di Desa Tenganan Pegringsingan seperti; motif huruf T, motif tetambahan, motif tulang lindung, motif bebintangan, motif bebatikan, motif geliged, dan motif lubeng. Ada juga motif yang lahir di desa lain seperti di Seraya yaitu motif bedeg, dan motif bunga. Munculnya tangan-tangan kreatif dari para pengrajin ata membuat nilai jual ata semakin meningkat dan semakin terkenal di tingkat lokal, nasional bahkan ke manca negara.

Nilai Sosial

       Nilai-nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedang mencuri bernilai buruk. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Permintaan akan kerajinan ata semakin tinggi dengan bentuk dan motif yang baru sesuai dengan permintaan pelanggan yang sangat bervariatif dengan kualitas pengerjaan yang semakin rumit. Oleh sebab itu persatuan antar kelompok pengerajin, pengepul, penyediaan bahan baku, serta peningkatan tehnik menganyam menjadi hal utama untuk menjadikan pengerajin ata Karangasem seperti sekarang dengan hasil yang sangat luar biasa dalam hal kerajinan paku atanya. Jadi diantara para pengrajin ata saling bahu membahu, saling tolong menolong antar pengrajin, kerjasama antar pengepul, menjaga kwalitas hasih kerajinan sehingga citra kerajinan ata dimata konsumen baik dalam negeri maupun manca negara tetap terjaga.

Tingkat toleransi, interaksi, gotong royong dan menjaga prilaku yang baik antara pengrajin dengan pengepul kerajinan ata di Karangasem tetap terjaga dengan baik, sehingga produksi kerajinan ata yang diharapkan tercapai sesuai dengan keinginan konsumen atau keinginan pasar. Jadi kerjasama yang baik dan tanggungjawab antar pengrjin perlu tetap dijaga sehingga terjadi keharmonisan sehinga produk kerajinan ata tetap menjadi incaran pasar.

Nilai Religius dan Upacara

        Nilai-nilai religius muncul dalam symbol symbol yang dimunculkan pada motif ata. Kerajinan Anyaman Ata ini dikenal pertama kali di Desa Tenganan Pegringsinagn dalam bentuk perisai untuk tradisi Megeret Pandan atau Perang Pandan (tradisi mekare-kare). Tradisi ini diperkirakan telah ada sejak desa Tenganan Pegringsingan berdiri.Tradisi ini lahir dalam upaya untuk penghormatan terhadap Dewa Indra sebagai Dewa Perang, yang merupakan satu kepercayaan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan. Dalam peperangan akan selalu membawa perisai atau tameng yang terbuat dari ata (istilah lokal disebut dengan Tamiang). Selain Tamiang, anyaman ata yang memang juga telah ada pada saat itu berupa Ingke Ati Ata (sebagai tempat canang atau persembahan) dan Wanci (sebagai tempat sedah atau sirih pinang). Inilah bentuk kerajinan ata pertama yang memang keberadaannya telah ada sejak sekitar abad X dan XI masehi, di Desa Tenganan Pegringsingan. Jadi anyaman ata sejak lama sudah digunakan sebagai sarana upacara dan sebagai tempat upakara dalam masyarakat Tenganan. Penggunaan ata yang masih utuh (masih ada daunnya) juga merupakan pelengkap didalam melaksanakan suatu upacara di Desa Tenganan. Ata yang masih utuh ini sebagai penghias yang diletakkan pada sarana upacara (sanggah cukcuk).

Nilai Ekonomi

      Manusia merupakan makhluk ekonomi (homo economicus) yang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara sosioekonomis, kerajinan ata merupakan salah satu pendorong tindakan masyarakat memenuhi kebutuhan hidup. Keberadaan seni kerajinan ata sudah memiliki kearifan-kearifan yang mengharuskan warga untuk beraktivitas sesuai aturan dan tujuan. Nilai ekonomi lain seperti pengembangan motif dapat juga sebagai nilai tambah, maksudnya makin bagus motif yang didesain oleh pengrajin ata maka makin mahal pula harga dipasaran. 

    Kerajinan ata mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai tahun 1980 seiring dengan perkembangan pariwisata yang menjadikan Desa Tenganan Pegringsingan sebagai salah satu destinasi wisata desa tradisional di Karangasem. Muncul tokoh yang kreatif dalam kerajinan anyaman ata di Desa Tenganan Pegringsingan yaitu I Nengah Kedep, yang pertama kali dibuat merupakan anyaman sederhana yang berbentuk bola dengan kegunaan sebagai gantungan kunci. Anyaman yang berupa bola tersebut dilihat oleh wisatawan asing dan wisatawan tersebut tertarik untuk membelinya. Dari sanalah kerajinan tangan ata mulai ditilik karena memiliki nilai ekonomi hingga berkembanglah kerajinan tangan ata tersebut di Desa Tenganan Pegringsingan.

    Kerajinan ata semakin berkembang seiring dengan waktu, karena mulai banyak orang melirik hasil kerajinan ini. Hasil kerajinan ini sangat menarik, kuat dan indah, sehingga mulai ada permintaan terhadap kerajinan ata ini. Muncullah seni kerajinan ata bagi pemenuhan akan pasar. Perkembangan puncak pengerajin anyaman ata Karangasem adalah memasuki era tahun 1990-an, di mana hasil kerajinan ata Karangasem mulai memasuki pasar ekspor ke manca negara.

Nilai Solidaritas

            Solidaritas sosial adalah perasaan emosional dan moral yang terbentuk pada hubungan antar individu atau kelompok berdasarkan rasa saling percaya, kesamaan tujuan dan cita-cita serta adanya kesetiakawanan dan rasa sepenanggungan. Masyarakat di Desa Tenganan dan desa lainnya sebagian besar merupakan pengrajin ata yang telah tergabung dalam beberapa kelompok pengrajin yang saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Kelompok-kelompok tersebut mendapat tugas masing-masing, yaitu ada beberapa kelompok yang membuat barang dasar yang belum di modifikasi, kelompok yang khusus membuat aksesoris seperti tali dan lapisan kain dalam kerajinan ata yang berbentuk tas, maupun kelompok pengrajin yang memodifikasi hasil barang dasar sehingga memiliki bentuk yang artistik sehingga memiliki nilai jual yang lebih mahal. Pengrajin ata tidak bisa bekerja sendiri didalam menyelesaikan produknya, mereka tetap membutuhkan tenaga orang lain untuk menyelesaikan anyaman ata seperti pemasangan kancing pengikat, pemasangan lapisan kain dan sebagainya. Pengrajin ata saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya dam menyelesaikan hasil karyanya sehingga memiliki nilai ekonomi yang semakin meningkat di pasaran, baik pasar lokal, nasional bahkan ke tingkat pasar manca negara.

 


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Komunitas Karya Budaya

I Nyoman Uking

Desa Tenganan Pegringsingan

087762040467

0

I Wayan Durpa

Banjar Tempek Seked, Desa Tenganan

087863151533

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Maestro Karya Budaya

I Wayan Mudita Adnyana

Banjar Tengah, Desa Tenganan Pegringsingan

085935329140

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047