Ngrebeg Tegallalang

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101338
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Bali
Responsive image
I. PENGERTIAN UMUM Tradisi merupakan bagian dari kebudayaan yaitu suatu hasil yang berasal dari budi, pikiran ataupun akal manusia. Tradisi yang ada di Indonesia dijaga dan dilestarikan secara turun temurun. Yang menjadi daya tarik lainnya adalah setiap kebudayaan yang ada memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dapat ditemukan di daerah lainnya serta mengandung makna dan filosofi khusus atau khas. Tradisi merupakan sesuatu yang telah dilaksanakan sejak lama dan menjadi bagian kehidupan dari masyarakat yang dipercayai memiliki makna khusus, bahkan beberapa tradisi juga memiliki makna sakral sehinga dipercaya masyarakat. Kepercayaan ini membentuk keyakinan bahwa jika sebuah tradisi ditiadakan atau dihilangkan akan menimbulkan suatu bencana atau hal buruk bagi penganutnya. Hal mendasar dari sebuah tradisi adalah penyampaian informasi dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan sehingga tradisi tersebut dapat tetap lestari walaupun dalam perkembangan tekhnologi yang sangat besar.Salah satu tradisi yang dipercaya memiliki nilai sakral di Desa Tegallalang Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar Bali adalah Tradisi Ngrebeg. Ngrebeg berasal dari kata “Gerebeg” yang berarti geledah. Secara etimologi kataNgrebeg itu berasal dari kata“Gerebeg”yang artinya melakukan upacara besar, kemudian dalam bahasa Balinya mendapat “anusuara” sehingga menjadi Ngerebeg (Sanjaya, 2010 : 11 dalam Ayuk Denika Mayrina Ni Putu, 2017 : 22). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ngrebeg berasal dari kata Grebeg yang artinya 1) suatu upacara yang besar, dan 2) sebagai kata kerja yang berarti geledah. Bila diperhatikan dari kata Ngrebeg di atas, semuanya menunjukkan persamaan makna dan prinsip, dimana menggambarkan suatu kejadian yang dikerjakan berramai-ramai sehingga menimbulkan suara bising. Jadi tradisi Ngrebeg di Desa Tegallalang ini merupakan suatu upacara yang melibatkan seluruh masyarakat Desa Tegallalang secara bersama-sama mengelilingi areal Pura Kahyangan Jagat Duur Bingin dengan diirngi tetabuhan/gambelan sehingga menimbulkan suasana meriah dan ramai (Ayuk Denika Mayrina Ni Putu, 2017:22). Tradisi Ngrebegini merupakan tradisi unik dan khas di Daerah Tegallalang yang dilaksanakan setiap 210 hari (6 bulan kalender Bali), yang mengambil lokasi inti adalah di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin, Desa Tegallalang. Tradisi Ngrebeg dilaksanakan sebagai rangkaian upacara keagamaan yang disebut Puja Wali atau Piodalan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin yang jatuh pada hari Kamis/Wreshpati Umanis Wuku Pahang. Tradisi Ngrebeg merupakan sebuah prosesi atau ritual yang bersifat sakral dan diyakini kandungan spiritualnya, dan menjadi bagian dari rangkaian Piodalan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin dan dilaksanakan sehari sebelum Piodalan yaitu pada hari Rabu/Buda Kliwon Pahang. Ngrebeg sebagai simbol refleksi ”Panjak Hana Tan Hana” (pasukan yang keberadaanya ada namun tidak kelihatan yang di Bali lebih dikenal dengan sebutan “Panjak Gamang atau Samar)”. Sebagai simbolis dari panjak Hana Tan Hana/Samar ini peserta Ngrebeg yang tidak dibatasi umur dan diikuti oleh ratusan orang dengan tampilan atau hiasan kostum dan hiasan wajah yang seram sehingga tidak tampak wajah aslinya yang menyerupai “Wong Samar” (sejenis Jin, Gendoruwo, dll) dengan membawa sarana Penjor dari pohon salak yang disebut Berokan. II. SEJARAH NGREBEG Sejarah Ngrebeg berawal dari pendirian Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin sekitar abad ke-17 yatu tahun 1775 masehi, ketika pemerintahan Raja I Dewa Agung Made atau Cokorda Agung Made. Tempat berdirinya Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin dan Daerah Tegallalang dulunya merupakan hamparan tanah yang dipenuhi oleh tumbuhan alang-alang, sehingga Tegallalang dulunya disebut Kusara Jenggala (Tegal Alang-alang yang akhirnya disebut Tegallalang) dan tempat yang akan dibangun Pura berpenghuni Wong Samar. Sesuai penuturan tetua di Tegallalang, Wong Samar memiliki seorang pimpinan (Kelian) Wong Samar bernama Jero Pan Sunari sampai saat ini distanakan di sebuah bangunan suci atau Pelinggih Bebaturan/batu besar di areal Pura Duur Bingin dengan membawahi anggota/Krama Wong Samar sebanyak 1008 orang. Dipilihnya areal ini sebagai tempat suci karena Raja Cokorda Agung Made sering melihat bahwa ditempat tersebut muncul sinar suci yang begitu terang yang cocok dijadikan tempat suci. Maka Raja Cokorda Agung Made memanggil adik tiri beliau yang bernama Cokorda Ketut Segara yang suka menglelana/berkelana dengan para pengikut atau Panjak yang diberi nama “Muluk Babi” dan terakhir beliau menetap di daerah Sangeh, Kabupaten Badung. Karena Cokorda Agung Made akan melakukan pergeseran pemerintahan dari Tegallalang ke Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, sehingga dipanggillah Cokorda Ketut Segara untuk mengisi tahta yang kosong di Kusara Jenggala/Tegallalang serta melanjutkan pembangunan Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin yang sedang dalam proses. Sampai saat ini keturunan Cokorda Ketut Segara menjadi pengayom atau Pacek di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin. Sebagaimana kita ketahui tempat yang akan dibangun tempat suci sudah berpenghuni Wong Samar maka terjadi negosiasi antara Cokorda Ketut Segara dengan Wong Samar bahwa tujuan dari pembangunan Pura tersebut adalah untuk memuliakan Sang Hyang Luhuring Akasa dan memuja atau Nyungsung Bhatara Dewi Danu di Batur. Setelah mengetahui maksud dan tujuan pembangunan Pelinggih Pura tersebut maka para Wong Samar bersatu dan siap untuk mendukung atau Ngayah, karena pada dasarnya Wong Samar tersebut juga Nyungsung/memuliakanIda Bhatara Dewi Danu dengan syarat pimpinan mereka yaitu Jero Pan Sunari juga distanakan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin. Sampai saat ini masih distanakan di Pura tersebut dan ketika menyambut Piodalan para Wong Samar jauh hari sebelumnya sudah mulai Ngayah. Sebagai imbalannya para pengayah diberi upah berupa hidangan yang disebut Paica Alit dan Paica Ageng. Selesai diberi upah mereka dikembalikan secara kirab yang disebut Ngrebeg. Sebagai keyakinan warga/Krama Tegallalang adalah dengan hadirnya anak-anak ikut Ngayah tanpa disuruh oleh orang tua mereka dengan membawa perlengkapan Upakara/Sesaji yang dimiliki seperti daun pisang, buah-buahan yang diambil dari kebun sekitar Pura, sayur, daun enau, janur, kelapa dan sebagainya. Orang tua mereka tidak akan berani melarang walaupun bolos sekolah karena pernah terjadi kejadian anaknya dilarang ngayah akhirnya jatuh sakit, atau ada anak-anak dilarang memetik buah pepaya untuk sarana Upakara maka besoknya buah pepaya tersebut menjadi busuk dan pohonya mati. Kepercayaan tersebut yang mengukuhkan Tradisi Ngrebeg di Desa Tegallalang menjadi semakin sakral dan tidak berani untuk tidak menggelarnya sampai saat ini dan bahkan untuk selanjutnya. III. PROSESI TRADISI NGREBEG 1. Runtutan dari tradisi Ngrebeg diawali dari proses pembuatan Jajanan Upakara atau Mesanganan yang dilaksanakan mulai hari Sabtu/Saniscara Umanis Pujut yaitu lima hari sebelum Puncak Piodalan. Pada saat prosesi ini, mengingat besarnya cakupan upacaranya maka sudah barang tentu melibatkan komunitas desa adat. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin didukung (diempon) oleh 5 Dusun/Banjar Adat yaitu Banjar Tegallalang, Banjar Tri Wangsa, Banjar Tengah, Banjar Tegal, dan Banjar Penusuan. Kelima Banjar Adat ini akan mendukung dan bertanggung jawab pada pelaksanaan upacara peringatan/Piodalandan mengorganisir pelaksanaan Tradisi Ngrebeg dengan sistem giliran setiap 210 hari dengan melibatkan warga/Krama laki-laki, perempuan, remaja/Daha Teruna, dan anak-anak dengan pembagian tugas yang jelas. Sebagai awal keterlibatan warga Banjar Adat tersebut yaitu pada prosesi Mesanganan yaitu pengerjaan Jajanan Upakara biasanya dikerjakan oleh warga perempuan/Krama Istri yang sudah menikah. Sementara warga laki-laki/Krama Lanang bertugas membuat tenda tradisional yang disebut Tetaring, menyiapkan alat-alat/Piranti upakara yang terbuat dari bambu, menyiapkan makanan (Soda Alit), serta menyiapkan bahan upakara yang lainnya. Sementara para remaja perempuan/Daha bertugas membantu dibidang konsumsi dan remaja laki-laki bertugas membuat dekorasi dan membantu pementasan kesenian baik seni sakral maupun seni profan. Mulai saat ini anak-anak sudah mulai hadir ikut membantu/Ngayah ke Pura tanpa disuruh dan hadir atas niat dan inisiatif sendiri. Kepercayaan masyarakat bahwa anak-anak yang hadir Ngayah akan berbaur dengan Para Wong Samar dan tidak ada satupun orang yang berani melarangnya walaupun mereka mengerjakan apa sehingga suasana menjadi riuh dan gaduh serta peserta Ngayah tidak ada yang berani membatasi baik anak-anak maupun orang dewasa tidak terbatas dari wilayah Desa Tegalllalang. Biasanya kehadiran anak-anak membawa bahan-bahan yang dibutuhkan sebagai sarana upacara seperti daun pisang, daun enau, janur, kelapa, pepaya, daun sirih, dan sebagainya. Sebagai imbalan kegiatan Ngayah ini mereka diberikan Pesuguh/hidangan yang disebut Paica Alit yang umumnya berisi nasi, sayur dan sambal tanpa lauk pauk dibungkus dengan daun pisang. Hal yang unik dalam pembuatan Paica Alit/hidangan ini adalah semakin dihitung jumlah Paica maka akan banyak yang tidak kebagian, namun jika dihidangkan tanpa dihitung cuma diperkirakan saja maka yang mendapatkan hidangan akan mencukupi. Ini sesuatu yang amat aneh dan unik. Mulai saat ini pemberian Paica Alit akan terus dilakukan sampai puncak Ngrebeg jadi dilaksanakan selama 5 kali. Perlu kita ketahui bersama, selain kelima dusun/Banjar Adat tersebut sebagai pendukung Pura juga kita temui sebuah organisasi pengikut yang disebut Sekaa Pengiring yang latar belakang kehadirannya adalah disebabkan oleh janji/kaul yang ditujukan ke Hadapan Dewa Sungsungan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin karena mereka pernah mengalami sakit, celaka, dan sebagainya setelah berjanji diPura tersebut semua masalahnya menjadi sirna oleh sebab itu mereka berkaul menjadi pengiring Ida Bhatara. Biasanya Sekaa Pengiring mendapat tugas sebagai pengawal ketika Arca Simbol-Simbol Dewa diturunkan untuk mengikuti prosesi upacara di Pura seputaran wilayah Desa Tegallalang atau keluar wilayah Desa Tegallalang. Selain itu mereka juga bertugas menghias bangunan suci/Palinggih, membuat Penjor Upacara dan membantu para remaja membuat hiasan janur atau hiasan dari daun enau muda.juga ikut menghias ditempat pementasan kesenian. 2. Kegiatan ngayah/mempersiapkan Upakara/sesaji untuk pelaksanaan tradisi Ngrebeg sebagai rangkaian Piodalan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin tepatnya pada hari Senin/Soma Pon Pahang digelar upacara Ngingsah dan Nyangling yaitu upacara menyucikan sarana upakara yang berasal dari tumbuh-tumbuhan/sarwa mentik seperti beras yang berwarna 4 (empat) yaitu beras ketan mewakili warna putih, beras injin yang mewakili warna hitam, beras sendiri mewakili warna kuning (biasanya diberi pewarna dari air kunir), dan beras merah untuk mewakili warna merah. Keempat jenis beras ini disucikan disebuah pancuran/Beji yaitu sebuah tempat Patirtaan Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin yang disebut Taman Beji. Beras tersebut diusung/dijinjing oleh para wanita/Krama Istri dan diarak dari Pura menuju Taman Beji yang diiringi dengan Gambelan Baleganjur. Ketika pelaksanaan prosesi arak-arakan ini terlihat sekali keterlibatan semua komponen masyarakat baik laki-laki, wanita, remaja dan merupakansebuah acara yang cukup menarik bagi anak-anak untuk mengikutinya sehingga menambah semarak prosesi ini. Sesampai di Taman Beji keempat jenis beras ini dicuci dengan menggunakan air pancuran dengan upacara dan upakara khusus dan air cucian beras dibawa ke Pura dan dibagi-bagikan kepada masyarakat untuk diperciki disawah mereka sebagai sarana permohonan agar hasil panen sawah melimpah dan dijauhkan dari segala jenis hama. Selain mencuci keempat jenis beras tersebut juga disucikan sarana upacara yang lainnya seperti telur, buah kemiri, dan alat-alat dapur seperti talenan, sepit, kuskusan dan sebagainya. Semua perlengakapan upacara tersebut yang telah disucikan akan dijadikan sarana upacara, baik untuk upakara/sesaji maupun hidangan para peserta Ngrebeg. Selesai melaksanakan prosesi upacara NgingsahdanNyangling tersebut para Pengayahakan mendapat imbalan Paica Alit. Pemberian Paica Alit iniakan berakhir pada hari Rabu Kliwon Pahang sebagai puncak kegiatan Ngrebeg. Selama proses persiapan Upakara ini tepatnya sehari sebelum pelaksanaan tradsi Ngrebeg, anak-anak sudah mulai mempersiapkan sarana yang akan dibawa Ngrebeg berupa Penjor yang terbuat dari pelepah daun salak yang berduri disebut Berokan, merupakan simbol dari penetralisir kekuatan negatif dan rangkaian daun enau muda/Ambu yang disusun sedemikian rupa sebagai simbol ketulusan hati dalam melaksanakan upacara/tradisi Ngrebeg (Ayuk Denika Mayrina Ni Putu, 2017: 83). 3. Pada hari Rabu/Budha Kliwon Pahang atau sehari sebelum puncak Piodalan akan digelar Tradisi Ngrebeg. Runtutan Tradisi Ngrebeg ini diawali dengan Upacara Pecaruan yaitu pembersihan halaman Pura secara spiritual dengan Upakara Caru. Caru/Mecaru disebut dengan Bhuta Yadnyayaitu upacara yang dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam yaitu merawat lima unsur alam, meliputi ; tanah, air, udara, api, dan ether serta penyucian dari segala kekotoran dan menetralisir kekuatan serta pengaruh para Bhuta Kala, dengan harapan segala keburukan tidak dialami dalam rangka pelaksanaan tradisi Ngrebeg tersebut. Selesai pelaksanaanUpacara Pecaruan dilanjutkan dengan menurunkan atau Nedunang Pralingga Ida Bhatara yaitu benda-benda sakral simbolis para Dewa dari Gedong Penyimpanan untuk dihias dan disucikan. Sembari digelarnya prosesi Upacara tersebut peserta Ngrebeg yang sedari pagi merias diri sesuai selera mereka masing-masing dengan mengecat tubuh dengan berbagai cat warna sehingga wajah aslinya mereka tidak akan kelihatan (samar). Sesampai di Pura para peserta Ngrebeg disuguhi Paica Alit untuk terakhir kalinya. Selesai prosesi Upacara Pecaruan dan Nedunang Pralingga Bhatara, peserta Ngrebeg dipanggil masuk ke Utamaning Mandala (tempat tersuci) untuk melakukan persembahyangan dan diberi pesuguh/hidangan Paica Ageng berupa Gibungan yaitu nasi dan sayur khas masakan Bali yang disebutLawar biasanya berasal dari daging itik. Disini peserta makan bersama secara Tradisi Magibung yaitu makan bersama dalam satu tempat beralaskan daun pisang tanpa memandang strata sosial, kasta maupun jabatan. Merekan akan makan bersama dan berbaur dengan semua orang. Suara riuh akan terdengar karena diyakini Panjak Tan Hana atau Wong Samar ikut dalam prosesi tersebut, karena tujuan pemberian hidangan baik Paica Alit maupun Paica Ageng pada initinya adalah memberikan upah kepada Panjak Hana Tan Hana/Wong Samar karena telah ikut membantu persiapan upacara Piodalan dan diharapkan tidak menggangu jalannya Upacara Peringatan/Piodalan tersebut. Setelah mendapatkan Paica Ageng prosesi Ngrebeg dimulai dengan berkeliling Desa yang diawali berjalan dari Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin diiringi dengan Gambelan Baleganjur dengan mengambil rotasi berlawanan dengan arah jarum jam yang disebut Prasawiya karena tujuan dari Upacara Ngrebeg tersebut adalah mengembalikan Panjak Hana Tan Hana ke semua penjuru arah setelah diberi upah Paica Alit dan Paica Ageng. Dari Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin peserta Ngrebeg berjalan menuju Kuburan/Setra Desa Adat Tegallalang.Sesampai di Kuburan disuguhi dengan Upakara Segehan Agung sebagai simbol Nyomia(menetralisir) serta mengembalikan para Bhuta Kala dan Wong Samar agar kembali ke tempatnya masing-masing dan dimohonkan keselamatan dan kesejahteraan serta perlindungan agar Desa Tegallalang selalu selamat tentram dan sejahtera. Selanjutnya peserta akan berkeliling Desa dan sesampainya di Kuburan Pejengaji, Desa Tegallalang kembali peserta disambut dengan Upakara Segehan Agung dengan makna yang sama yaitu mengembalikan atau Nyomia Para Bhuta Kala dan Wong Samar. Hal yang menarik dan cukup unik serta menjadi keyakikan masyarakat Tegallalang bahwa setelah mendapat Paica baik Paica Alit, Paica Ageng dan Segehan Agung maka para pengiring yang berwujud Panjak Hana Tan Hana akan kembali ketempatnya masing-masing serta akan bertugas menjaga ketentraman prosesi Upacara Puncak Piodalan keesokan harinya, terbukti pada saat pelaksanaan Ngrebeg tersebut peserta yang awalnya banyak dan membludak namun pada akhir kegiatan peserta akan banyak berkurang padahal pada saat mengikuti prosesi Ngrebeg peserta tidak ada yang berani untuk berhenti atau mendahului pulang. Ini sebagai suatu keyakinan bahwa Panjak Tan Hana secara perlahan sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Diakhir acara Ngrebeg peserta akan meletakkan Penjor Pelepah pohon salak/Berokan disekitar Pura dan akan dibakar setelah prosesi Upacara Piodalan berakhir (Ngeluhurin) dan para peserta Ngrebeg akan kembali ke Pura untuk melakukan persembahyangan masing-masing sebagai ucap syukur telah dapat melakukan tradisi Ngrebeg dengan selamat. Selanjutnya peserta Ngrebegakanmelakukan ritual pembersihan diri/Melukat di Pesiraman atau Permandian Suci Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin yang disebut Taman Beji. Hal ini bertujuan membersihkan dan menyucikan pribadi secara lahir dan bathin dari segala kekotoran pada saat pelaksanaan Ngrebeg atau badan kasarnya barangkali sempat dipinjam oleh Wong Samar, sehingga kembali dapat beraktifitas dan menjalani hidup secara normal. Usaha untuk membersihkan dan menyucikan diri pribadi sebagai ritual terakhir pelaksanaan Ngrebeg dengan harapan,dengan kesucian diri kita dapat mendekatkan diri pada yang mahasuci yaitu Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa sebagi sumber kesucian dan dengan membersihkan diri lahir dan bathin merupakan salah satu upayanya, dengan mempergunakan sarana air suci yang telah dimohonkan ke-Hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa oleh pemimpin upacara melalui doa, puja, dan mantera dengan diikuti oleh para peserta Ngrebeg sehingga masyarakat merasakan kesucian bathin untuk memgikuti Puncak Piodalan/peringatan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin keesokan harinya. 4. Pada puncak Piodalan yaitu Hari Kamis/Wrashpati Umanis Pahang peserta Ngrebeg akan kembali hadir ke Pura untuk diberi pesuguh Paica Ageng yaitu hidangan dengan dasar daging babi biasanya berisi Nasi, Sate Babi, Lawar Babi (sayur khas masakan Bali) dan Komoh (sejenis kare) dengan disajikan secara Megibung di halaman/Mandala Utama Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin. Acara ini diselenggarakan sebelum Pendeta atau Ida Pedanda memulai menghaturkan atau menyelesaikan Upacara Piodalan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin Desa Tegallalang. Selanjutnya rangkaian Piodalanakan dilaksanakan selama 4 hari dengan kesehariannya dilaksanakan Upacara Penganyar. Upacara Piodalan akan berakhir pada Hari Minggu/Redite Wage Krulut berupa Upacara Panyineban/Pengeluhuran yaitu Ngeluhurin/menyimpan kembali Pralingga Ida Bhataraberupa benda-benda sakral simbolis para Dewa ke Gedong Penyimpanan. Dengan demikian berakhirlah kegiatan Tradisi Ngrebeg sebagai rangkaian Upacara Piodalan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin, Desa Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Provins Bali. IV. NILAI FILOSOFIS Filsafat yang dalam agama Hindu disebut Tattwa merupakan uraian mengenai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Tattwa/Filsafat adalah ilmu yang bertujuan untuk mendapatkan kebenaran obyeknya itu. Kata Tattwa jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia memiliki arti kebenaran, kenyataan ilmu. Tattwa berasal dari kata “Tat” berarti hakekat, kebenaran, kenyataan, dan “Twa” berarti bersifat. Jadi Tattwa merupakan hakikat, kenyataan, kebenaran hakikat dari obyek yang kongkrit, sari-sari dari suatu ajaran (Tim Penyusun, 1994: 3 dalamAyuk Denika Mayrina Ni Putu, 2017: 108). Dalam bahasa sehari-hari Tattwa diartikan uraian tentang ketuhanan yang didalam bahasa filsafat disebut teologi, merupakan ilmu yang mengkaji hakikat Tuhan dan hubungan Tuhan dengan manusia dan alam semesta (SukaYasa, 2009 : 9 dalam Ayuk Denika Mayrina Ni Putu, 2017 : 109). Kepercayaan umat Hindu terhadap Tuhan/Ida Sanghyang Widhi dapat dilihat dari perilaku setiap hari yang tidak pernah lepas dari aktivitas Yadnya/persembahan yang bertujuan memohon anugerah dari Ida Sanghyang Widhi. Demikian pula dalam pelaksanaan Upacara/Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang hendaknya dihayati dengan bijak dan positif serta patut dilestarikan karena sarat dengan nilai Tattwa/Filosofis yang dalam, sebagai perwujudan rasa bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.. Ketulusan hati dalam ajaran Hindu merupakan salah satu dasar untuk melakukan korban suci/Yadnya, dalam hal ini penggunaan Upakara/sesaji dalam tradisi Ngrebeg merupakan bentuk pemujaan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Menurut penuturan salah satu tokoh masyarakat Desa Tegallalang Bapak Made Jaya Kusuma (mantan Bendesa adat Tegallalang), menyatakan bahwa salah satu cara menumbuhkan bhakti ke Hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah dengan mengunakan media dan simbol sebagai penghubung, seperti Upakara/Banten/sesaji. Dalam pelaksanaan Upacara/Tradisi Ngrebeg digunakan Upakara pokok seperti : 1. Sanggah Surya dengan Upakara/Banten Surya untuk menstanakan Dewa Surya sebagai saksi agung/upasaksi dalam melaksanakan Tradisi Ngrebeg yang akan dipersembahkan kepada para Dewa (manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa). 2. Banten Suci Saji dan Pejati sebagai symbol kesucian pikiran dalam ber-Yadnya, 3. Banten Sesayut sebagai simbol permohonan atas anugerah Para Dewa atau Ida Sanghyang Widhi Wasa. Kata Sesayut berasal dari kata dasar “Sayut” yang berarti “Nyayut” atau mempersilahkan dan menstanakan, karena Sesayut disimbolkan sebagai Lingga (tempat duduk) Ista Dewata manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa (Wijayananda, 2003 : 8 dalam Ayuk Denika Mayrina Ni Putu, 2017 : 111) 4. Peserta Ngrebeg menyimbolkan Pramanca (wong samar)sebagai mahkluk astral di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin yang hadir pada saat Upacara Ngrebeg.Peserta Ngrebeg berbusana menyerupai Wong Samar agar tidak terlihat seperti aslinya (samar), diberikan pesuguh/hidangan Paica Alit dan Paica Ageng sebagai symbol pemberian upah karena telah membantu/Ngayah dalam rangka pelaksanaan Piodalan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin yang mana setelah pemberian upah tersebut mereka akan dikembalikan/dipulangkan ketempatnya masing masing dengan prosesi arak-arakan mengelilingi Desa Tegallalang dengan putaran berlawanan dengan arah jarum jam yang disebut Prasawiya ini sebagai simbol arah pengembalian mahluk astral/kekuatan Panca Maha Butha. 5. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Tradisi Ngrebeg merupakan rangkaian upacara ucap syukur dan ungkapan terimakasih kepada Panjak Hana Tan Hana/Wong Samar serta mengembalikan ke asalnya masing-masing dengan prosesi arak-arakan keliling Desa Tegalallang namun sarat dengan nilai Tattwa/filosofis dimana pelaksanaan prosesinya sudah berpegangan dengan petunjuk sastra, Weda dan ketentuan adat istiadat dan tradisi serta berdasarkan desa, kala, patra (ruang, waktu, dan kondisi) setempat. V. MAKNA Tradisi Ngerebeg yang diwarisi secara turun temurun dari generasi kegenerasi yang dimulai sekitar abad ke 17 M tepatnya tahun 1775 M ketika awal didirikannya Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin dan tidak pernah putus dilaksanakan sampai saat ini, membuktikan bahwa pelaksanaan upacara/tradisi Ngrebeg sudah dapat dirasakan maknanya oleh warga/Krama Desa Adat Tegallalang. Seperti penuturan salah seorang tokoh masyarakat Desa Tegallalang Bapak I Nyoman Gede Artawan (Ketua organisasi pendukung/Kelian Pengemong Pura Kahyangan Jagat Duur Bingin), menyatakan dalam pelaksanaan tradisi Ngrebeg ada makna yang terkandung yang dapat dirasakan terutama oleh masyarkat Desa Tegallalang, sebagai berikut : 5.1. Makna Tradisi Ngrebeg Bagi Masyarakat Tegallalang, yaitu : 1. Penerapan Ajaran Tri Kaya Parisudha Pikiran, perkataan, dan perbuatan/tindakan masyarakat diupayakan selalu berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya, dimana dalam pelaksanaan Ngrebeg para peserta tidak ada yang berani berkata, berbuat, dan berpikiran kotor karena ada suatu keyakinan apabila berpikir, berkata, dan berprilaku kotor akan mdah dirasuki energi negatif para Wong Samar dan Bhuta Kala sehingga mereka bisa kehilangan kesadaran/kerasukan. Selain itu pelaksanaan Tradisi Ngrebeg merupakan bagian dari upacara Piodalan yang merupakan suatu upacara untuk melakukan sujud bhakti ke Hadapan Tuhan Yang Maha Esa maka msyarakat diharapkan adanya kesucian lahir dan bathin. 2. Menanamkan Sikap Bertanggungjawab Pelaksanaan tradisi Ngrebeg di Desa Tegallalang tidak terlepas dari persiapan sesajen, Paica Alit, Paica Ageng dan peralatan lainnya yang dipergunakan dalam pelaksanaan tradisi Ngrebeg ini dipersiapkan oleh warga/Krama Banjar Adat yang mendapat giliran. Nilai ini menekankan pada sikap dan prilaku warga masyarakat untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana yang seharusnya dilakukan. Hal ini sangat bermakna terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), karena apa yang dilakukan adalah sebagai ungkapan rasa bhakti ke Hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, sehingga kesungguhan hati dalam bekerja/Ngayah meskipun mengalami kesulitan, hambatan, dan rintangan, namun tidak menyurutkan tekad, tradisi Ngrebeg harus dilaksanakan sesuai harapan. Hal ini mencerminkan adanya rasa tanggungjawab dari seluruh peserta dan masyarakat Desa Tegallalang. 3. Menanamkan Pendidikan Karakter Masyarakat Tradisi Ngrebeg ini menekankan pada tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang ada dalam kehidupan beragama terutama pelaksanaan prosesi Ngrebeg tersebut. Adapun ketentuan dan aturan yang harus diikuti seperti pembangian hidangan/Paica Alit pada masyarakat harus dapat dinikmati oleh semua warga masyarakat dan tidak boleh loba, walaupun pada saat membagikan terutama anak-anak mengambilnya secara berebut, karena Paica Alit yang disiapkan ada pantangan untuk menghitung karena semakin dihitung pasti ada masyarakat yang tidak kebagian. Makna yang diperoleh adalah mendidik anak-anak untuk jujur dan adil. Ketika pemberian Paica Ageng yang disuguhkan secara Megibung/makan bersama dalam satu wadah ini memberikan pendidikan karakter kebersamaan, kesopanan, persamaan derajat dimata Tuhan, dan tidak rakus. Dalam pelaksanaan prosesi Ngrebeg ada aturan yang harus diikuti seperti merias wajah mereka sedemikian rupa sehingga mirip dengan Wong Samar dan masing-masing harus menyiapkan dan membawa sarana berupa Penjor dari pelepah daun salak. Walaupun tidak ada sanksi yang mengikat, para peserta Ngrebeg tetap mengikuti aturan-aturan tersebut, dan hal ini jelas terlihat adanya kedisiplinan yang dilakukan oleh masyarakat serta para peserta Ngrebeg, sehingga Tradisi Ngrebeg tidak hanya sebagai rangkaian upacara namun juga memiliki makna pendidikan karakter berupa displin yang dapat dijadikan acuan para generasi muda, dimana mereka telah belajar disiplin tidak hanya di bangku sekolah tetapi mendapat pendidikan informal pada pelaksanaan Tradisi Ngrebeg tersebut. 4. Menanamkan Sikap Kerja Keras Sikap kerja keras yang dimaksud adalah adanya perilaku yang menunjukkanupaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna dapat menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Dalam pelaksanaan Tradisi Ngrebeg ini terlihat adanya kerja keras masing-masing peserta Ngrebeg seperti menyiapkan Penjor dari pelepah pohon salak, menghias diri sedemikian rupa sesuai selera masing masing dengan mempergunakan cat warna warni, selanjutnya melakukan perjalanan yang cukup jauh mengelilingi wilayah Desa Tegallalang terutama bagi anak-anak dan remaja untuk dapat menyelesaikan prosesi Ngrebeg tersebut, karena ada pantangan untuk menyudahi atau pulang mendahului. Selanjutnya ada usaha sendiri untuk mebersihkan riasan wajah dengan mandi bersama di pancuran Taman Beji Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin. Hal ini menandakan adanya kerja keras yang mereka lakukan untuk mengikuti tradisi Ngrebeg sehingga sangat bermakna bagi perkembangan generasi muda, dimana generasi muda ditanamkan rasa kerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan terutama dalam mengikuti prosesi Ngrebeg yaitu harapan mendapat keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. 5. Menjalin Hubungan Harmonis Antar Masyarakat Desa Tegallalang Pelaksanaan tradisi Ngrebeg ini sangat bermakna yang dapat dirasakan oleh masyrakat Desa Tegallalang yaitu terjalinnya keharmonisan antar warga masyarakat Tegallalang yang terdiri dari 7 Dusun/Banjar Adat karena dalam pelaksanaannya adanya kerja sama yang baik dalam prosesi upacara Ngrebeg dimana mereka meyakini dengan digelarnya tradisi Ngrebeg penduduk Desa Tegallalang tidak diganggu oleh Wong Samar dalam melaksanakan aktifitasnya dan bahkan dilindungi sehingga mereka dapat merasakan keselamatan dan kedamaian. 6. Menjalin Hubungan Masyarakat Desa Tegallalang Dengan Alam Sekitar Menjaga keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan dunia beserta isinya dalam agama Hindu diyakini bahwa manusia berkewajiban melakukan persembahan yang disebut Yadnya. Yadnya yang mendasar adalah bagian dari Srada yaitu keyakinan/keimanan umat Hindu, karena Yadnya menyimbolkan suatu penjelajahan dan pendakian spiritual untuk menyatukan potensi dan kekuatan yang bersifat Satwika/kebenaran. Dalam pelaksanaan tradisi Ngrebeg, Yadnya yang dilakukan merupakan aktivitas bersama yang menjadi sumber kehidupan sosial yang harmonis terutama dalam memuliakan alam sekitarnya. Seperti dalam pelaksanaan upacara/tradisi Ngrebeg itu sendiri, masyarakat Desa Tegallalang khususnya dan Umat Hindu umunya setiap pelaksanaan peringatan/Piodalan di sebuah Pura diyakini ada 3 (tiga) kekuatan alam yang diharmoniskan yaitu pertama Alam Bhur/alam bawah yang dihuni oleh mahkluk astral (Wong Samardan Bhuta Kala) diruwat/dinetralisir dengan Upacara Pecaruan, kedua Alam Bhuah/alam tengah yang ditempati oleh manusia dalam tradisi Ngrebeg disuguhi Paica Alit dan Paica Ageng, sedangkan ketiga Alam Shwah/alam atas ditempati oleh para Dewa dipersembahkan dengan sesaji/UpakaraPiodalan. Jika ketiga alam ini dapat diharmoniskan dengan pelaksanaan Yadnya maka diharapkan keselamatan, kesejahteraan dan keharmonisan dapat dinikmati oleh warga masyarakat khususnya oleh masyarakat Tegallalang. 5.2. Makna Tradisi Ngrebeg Bagi Lingkungan Desa Tegallalang Masyarakat Desa Tegallalang sejak dahulu dan turun temurun selalu mengadakan upacara/Tradisi Ngrebeg ini, karena masyarakat Desa Tegallalang meyakini dan percaya dengan digelarnya Tradisi Ngrebeg ini maka Desa Tegallalang menjadi aman dan tenteram karena Tradsi Ngrebeg merupakan merupakan upacara rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada para Wong Samar karena telah membantu pelaksanaan Piodalan di Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin dan diyakini setelah mendapat pesuguh/Paica Alit dan Paica Ageng mereka telah menjaga dan melindungi wilayah Desa Tegallalang dan menjauhkan hal-hal yang bersifat negatif baik dalam pikiran masyarakat maupun dari desa tempat mereka tinggal.

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Pengemong Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin

Br. Tegal, Desa Tegallalang, Kec. Tegallalang, Kab. Gianyar

0

0

Desa Adat Tegallalang

Br. Tegal, Desa Tegallalang, Kec. Tegalalalang, Kab. Gianyar

0

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Maestro Karya Budaya

I Made Jaya Kesuma

Br. Triwangsa, Desa Tegallalang, Kec. Tegalalalang, Kab. Gianyar

0

0

Jro Mangku Duur Bingin (I Gusti Nyoman Raka)

Br. Penusuan, Desa Tegallalang, Kec. Tegallalang, Kab. Gianyar

0

0

I Nyoman Gde Artawan (Ketua/Kelian Pengemong Pura Kahyangan Jagat Penataran Duur Bingin)

Br. Tegal, Desa Tegallalang, Kec. Tegallalang, Kab. Gianyar

081338335998

0

I Made Kumarajaya (Kelian Desa Adat)

Br. Tegal, Desa Tegallalang, Kec. Tegalalalang, Kab. Gianyar

081337008187

0

I Dewa Gede Rai Sutrisna

Br. Triwangsa, Desa Tegallalang, Kec. Tegalalalang, Kab. Gianyar

08179736320

0

Cokorda Gede Agung (Penglingsir Puri Agung Tegallalang)

Br. Tegallalang, Desa Tegallalang, Kec. Tegallalang, Kab. Gianyar

087866256873

0

Cokorda Gde Putra Nindia, SH., MH (Penglingsir Puri Agung Peliatan)

Br. Teruna, Desa Peliatan, Kec. Ubud, Kab. Gianyar

08123940987

0

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047