Langendriyan Mangkunegaran

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101473
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image
LANGENDRIYAN MANGKUNEGARAN Langendriyan adalah seni drama tari khas Jawa yang menggabungkan seni tari, drama, musik, narasi, gerak dan ekspresi. Langendriyan berasal dari kata langen yang artinya hiburan, dan driya artinya hati. Jadi Langendriyan dapat diartikan sebagai tarian hati. Dialog dalam Langendriyan menggunakan tembang macapat. Dalam pertunjukannya, menari, melantunkan tembang dan menyampaikan narasi dilakukan secara bersamaan atau sekaligus. Tembang macapat (puisi tradisi Jawa) dibawakan oleh satu orang dalam adegan monolog, dan lebih dari satu orang secara bergantian saat terjadi dialog antar pemain. Tari Langendriyan dalam pementasannya tidak dilakukan dalam posisi berdiri utuh, tetapi juga dengan berjongkok atau setengah jongkok, dan sesekali bertumpu pada lutut. Gerakan tari yang lembut tetapi atraktif membuat Langendriyan tak mudah dilakukan. Gerakan gemulai bisa berganti menjadi atraktif dengan cepat, sementara alunan tembang terus mengalir dari mulut para penari saat mereka bergerak. Langendriyan berawal di lingkungan keraton Yogyakarta, diciptakan oleh R.T. Purwadiningrat yang dikembangkan oleh KGPA Mangkubumi. Tujuh tahun kemudian, KGPAA Mangkunegara IV memerintahkan Raden Hario Tandakusuma mengubahnya dalam gaya Surakarta. Dalam Serat Babad Ila-Ila disebutkan bahwa Langendriyan bermula dari keinginan seorang Belanda bernama Godlieb Kilian, yang meminta Raden Mas Hario Tondokusuma menyusun tari berlakon Adipati Minakjinggo melamar Ratu Ayu Kencana Ungu. Namun ada versi lain tentang proses lahirnya Langendriyan yang cukup menarik. Pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara IV ada sebuah pabrik batik besar milik seorang keturunan Jerman Godlieb di daerah Pasar Pon, Solo. Buruh batik disana mempunyai kebiasaan ura-ura (rengeng-renggeng) atau menembang. Raden Mas Hario Tandakusumo (Seorang Menantu KGPAA Mangkinagoro IV) yang berdarah seni kemudian menciptakan atau menyusun tembang yang kemudian diberi nama La ngendriyan Mandraswara (R.M.Sayid.1980:112), naskah yang pertama adala Minakjinggo Lena selanjutnya ditulis dengan lakon-lakon lainnya. Pada awalnya pagelaran Langendriyan dilakukan dengan duduk melingkar berhadapandan para paraga yang melagukan tembang maju lebih kedepan dengan jengkeng. Dalam pagelaran itu belum menggunakan tarian meskipun sudah diiringi dengan gamelan. Ketika Langendriyan Mandraswara telah terwujud, usaha Godlieb jatuh pailit. Hal ini menyebabkan kegiatan Langendriyan mengalami krisis. Oleh karena itu R.M.H. Tandhakusuma mengusulkan kepada KGPAA Mangkunagoro IV (1853 1881), agar Langendriyan dapat dikembangkan di Mangkunegaran, dan ternyata KGPAA Mangkunagoro IV menyetujui. Akan tetapi kehadiran Langendriyan di Mangkunegaran ini mempunyai keterkaitan dengan Langendriyan yang berkembang di Yogyakarta, hal ini juga dinyatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa Langendriyan itu berasal dari Yogyakarta, tetapi kemudian secara khusus berkembang di Mangkunegaran (1984 :300). Bahkan selanjutnya, Langendriyan berkembang menjadi kesenian khas dan kebanggaan Istana/Pura Mangkunegaran (Suwita Santoso 1991:67). Setelah Langendriyan menjadi salah satu bentuk kesenian di Pura Mangkunegaran, maka KGPAA Mangkunagoro IV berkeinginan merubah bentuk penyajiannya. Perubahan itu berdasarkan pada pertimbangan tempat pementasan di pendhapa Ageng Pura Mangkunegaran yang luas, sehingga apabila para peraganya melakukan tembang dengan posisi jengkeng dan melakukan peralihan (maju mundur) dengan laku dhodhok , maka dibutuhkan waktu yang cukup lama dan para [eraganya tidak terlihat jelas oleh penonton. Maka disusun bentuk tari untuk melengkapi bentu sajian Langendriyan. Akan tetapi sebelum gagadsan itu terujud KGPAA Mangkunagoro IV sudah surut/seda/wafat. Baru pada saat KGPAA mangkunagoro V (1881 1896) disusun tari yang dilakukan dengan berdiri, untuk yang pertama susunan tari untuk 3 (tiga/telu) tokoh yaitu Minakjinggo, Damarwulan dan Dayun yang diberi nama Langendriyan Telu (Langendriyan Tiga). Pada tahun 1920-an KGPAA Mangkunagoro VII (1916 1944) mengembangkan bentuk sajian Langendriyan dengan peraga berjumlah 7 (tujuh) orang atau dikenal dengan sebutan Langendriyan Tujuh , tujuh orang tersebut memerankan tokoh Damarwulan, Menakjinggo, Dayun, Sabdo Palon, Nayagenggong, Dewi Wahito dan Dewi Puyengan. Selain itu bentuk sajian ini juga mengalami berubahan dalam busana/kostum yang khas kebanggaan Mangkunegaran. Pada tahun 1930-an Langendriyan Mangkunegaran berkembang dengan mempagelarkan semua lakon dari cerita Damarwulan yang disusun oleh R.M.H. Tandhakusumo, cerita itu adalah Damarwulan Ngarit, Ronggolawe Gugur, Minakjinggo Lena dan Pernikahan Ratu Ayu dengan Damarwulan. Langendriyan berkembang cukup menggebirakan pada waktu KGPAA Mangkunagoro VII . Hal ini ditandai dengan dibentuknya abdi dalem khusus yang mendukung kegiatan tari dan karawitan terutama Langendriyan. Selain itu juga dilakukan perubahan -perubahan dalam susunan tari, karawitan maupun tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam lakon. (RT.Rono Suripto , wawancara 27 Nopember 1993) . Pada masa itu Langendriyan tidak hanya dipentaskan di dalam Pura Mangkunegaran tetapi juga dipentaslan di luar Pura Mangkunegaran (Puspararas Suseno, wawancara 5 Nopember 1993). Penari yang terkenal pada masa itu adalah Nyi Bei Mardusari sebagai tokoh Minakjinggo dan Nyi Bei Mintolaras sebagai pemeran Damarwulan. Setelah KGPAA Mangkunagoro VII surut/sedo/wafat, Langendriyan di Pura Mangkunegaran semakin menurun, hal tersebut dikarenakan para penari yang sudah dibentuk oleh KGPAA Mangkunagoro VII tidak aktif lagi, sebab sudah tua atau bertempat tinggal di luar Surakarta, dilain pihak tidak dipersiapkan genersi penerus untuk menjadi pendukung Langendriyan Mangkunegaran. Kejadian ini menyebabkan Langendriyan jarang dipentaskan ( R.A. Praptini Partaningrat, wawancara 7 September 1993). Pada dekade 1970-an, Langendriyan Mangkunegaran berkembang baik di dalam maupun di luar Pura Mangkunegaran. Tahun 1975 Himpunan Wanita Mangkunegaran (HWMN) membentuk kelompok penari yang terdiri dari putri-putri kerbat Mangkunegaran untuk mempergelarkan Langendriyan Mangkunegaran. Upaya ini untuk melestarian Langendriyam sekaligus mengarahkan kerabat Mangkunegaran untuk tetap mengakrabi bentuk kesenian miliknya. Kelompok pendukung Langendrian ini bertahan sampai tahun 1983. Pentas terakhir dilkukan Manggala Wana Bakti Jakarta dalam rangka syawalan Keluarga Besar Suryasumirat dengan lakon Ronggolawe Gugur. Berkurangnya penari Langendriyan dan adanya perubahan pengelola kegiatan kesenian di Pura Mangkunegaran dari HWMN ke Langenpraja Mangkunegaran membuat Langendriyan jarang dilaksanakan. Apalagi setelah para pembina dan pelatih Langendriyan yaitu R.M.H. Suseno Suryasumasta, Nyi Bei Mintolaras dan Nyi Wursitalaras sedo/meninggal dunia. Dalam perkembangan selanjutnya kendala yang dihadapi Langendriyan Mangkunegaran adalah tidak ada peraga yang memiliki kemampuan tari dan menyajikan vocal tembang untuk dapat mendukung pagelaran Langendriyan. Selain itu jarang sekali ada penari yang mampu mengekspresikan karakter tokoh sesuai dengan peran yang ditampilkan. Disamping itu besarnya dana sebagai biaya pementasan Langendriyan menyebabkan pula Langendriyan jarang dilaksanakan. Oleh karena itu bentuk Langendriyan yang sering ditampilkan adalah bentuk pethilan atau bagian dari suatu lakon atau lakon yang dipadatkan. Pada Tahun 1986 R.M.T. Tarwo Sumasutargio berusaha mempergelarkan Langendriyan Mangkunegaran dengan lakon Ronggolawe Gugur. Untuk mewujudkan pagelaran tersebut didukung oleh kerabat Mangkunegaran , SMKI dan STSI Surakarta, ide pergelaran dicetuskan oleh R.M.T. Tarwo Sumosutargio dengan para pelatih R.T.Rono Suripto, Puspararas Suseno dan Suyati Tarwo Sutargio. Langendriyan adalah opera Jawa yang berbentuk dramatari namun dalam penyajiannya lebih menekankan pada dialog yang berupa nyanyian Jawa dengan menampilkan legenda Damarwulan. Langendriyan mulai muncul di Pura Mangkunagaran pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853-1881) atas usul dan kreatifitas R.M.H Tandakusuma seorang seniman tari dari Pura Mangkunagaran yang pernah menekuni tari di Yogyakarta. Langendriyan Mandraswara, nama dari tari opera Mangkunagaran ini sama dengan yang telah lahir di Yogyakarta. Nama Mandraswara dalam prakata buku yang bersumber dari naskah milik Mangkunagara VII di Surakarta ini, adalah nama lain dari Langendriya. Hal ini tersurat pada prakata yang berbunyi sebagai berikut, Lelangen Langendriya oegi winastanan lelangen Mandraswara, poenika saking pakem Wasana (Klitik), mendhet lelampahan joemenengipun Sri Kenja Soebasiti Brakoesoema, Ratu Ayoe ing Madjapahit .... (Langendriya Madraswara, 1939). Artinya, Seni hiburan Langendriya yang juga dinamakan Mandraswara ini adalah kutipan dari pakem Terakhir (Klithik), mengambil lakon penobatan Sri Kenya Subasiti Brakusuma, Ratu Ayu di Majapahit .... Nama Langendriya Mandraswara jelas merupakan nama yang oleh penerbit Bale Poestaka dimaksudkan agar tidak membingungkan dengan nama langendriya yang telah lebih dahulu lahir di Yogyakarta pada tahun 1876 yang ditarikan oleh penari laki-laki semua. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya drama tari opera dari Mangkunagaran yang ditarikan oleh wanita semua ini disebut langendriyan atau langendriyan. Pada masa K.G.P.A.A. Mangkunegara V (1881-1896), pertunjukan langendriyan disertai dengan susunan tari yang dilakukan dengan berdiri. Lakon yang dipertunjukan yaitu Patine Menakjinggo (Gugurnya Menakjinggo). Pada waktu itu penarinya hanya tiga yaitu Menakjinggo, Dayun, dan Damarwulan. Garapan tari ini terkenal dengan sebutan Langendriyan Telu atau Langendriyan Tiga. Pada masa K.G.P.A.A. Mangkunegara VII (1916-1944) yang terkenal sebagai pangeran adipati yang cerdas serta memiliki rasa seni yang tinggi, langendriyan mulai lebih disempurnakan dengan menampilkan tujuh penari. Oleh karena ditampilkan oleh tujuh penari langendriyan yang sudah memiliki bentuk yang agak utuh ini dikenal dengan istilah Langendriyan Pitu. Ketujuh karakter itu adalah Damarwulan, Menakjingga, Dayun, (abdi Menakjingga), Sabdapalon dan Nayagenggong (abdi Damarwulan), Dewi Wahita dan Dewi Puyengan (kekasih Menakjingga). Selain itu tata busana juga mengalami penyempurnaan yaitu busana yang digunakan menjadi khas Mangkunagaran. Bila sejak tahun 1895 Mangkunagaran boleh dikatakan kehilangan pamor miliknya yang semula membanggakan yaitu wayang wong yang telah dipopulerkan oleh Gan Kam menjadi wayang wong panggung komersial, di bawah Mangkunegara VII pamor itu diganti dengan hadirnya Langendriyan. R.M.H. Tandakusuma yang terkenal paiwai dalam bidang tari dan sastra menjadi koreografer, sutradara, serta sekaligus penulis naskah lakon yang sampai kini menjadi acuan langendriyan. Pada tahun 1930-an, Langendriyan Mangkunagaran berkembang dengan mempergelarkan semua lakon dari cerita Damarwulan yang disusun oleh R.M.H. Tandhakusuma. Cerita itu adalah Damarwulan Ngarit, Ronggolawe Gugur, Menakjingga Lena, dan Pernikahan Ratu Ayu dengan Damarwulan. Dalam tulisannya sularto menyebutkan bahwa melalui Tandakusuma (ketika belajar menari di Yogyakarta), Mangkunagara VII meminjam buku-buku lakon serial Damarwulan kepada Mangkubumi. Selanjutnya Mangkunagara VII memerintahkan Tandakusuma untuk membuat turunan ketujuh buah lakon buku tersebut dengan penyesuaian gaya bahasa berupa gaya bahasa Surakarta. Kemudian timbul gagasan Mangkunagara VII untuk menyebarluaskan ketujuh buah buku lakon Damarwulan tersebut melalui cetakan (Penerbit Volkslectuur yang terkenal dengan Balai Pustaka) yang konon atas persetujuan K.G.P.A Mangkubumi. Hal ini tersirat dalam halaman pertama buku lakon Langendriya terbitan Balai Pustaka yang menyebutkan bahwa Langendriya digubah oleh K.G.P.A. Mangkubumi. Langendriyan Mangkunagaran berkembang cukup mengembirakan pada masa K.G.P.A.A. Mangkunegara VII. Hal ini ditandai dengan dibentuknya abdi dalem khususnya sebagai pendukung kegiatan tari dan karawitan terutama langendriyan. Selain itu juga dilakukan perubahan-perubahan dalam susunan tari, karawitan maupun tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam lakon. Pada masa itu Langendriyan Mangkunagaran juga sering dipergelarkan di pendapa Mangkunagaran maupun di luar Mangkunagaran. Penari yang terkenal pada masa itu diantaranya Nyi Bei Mardusari yang terkenal sebagai pemeran Manakjingga dan Nyi Bei Mintalaras sebagai pemegang peran Damarwulan. Nyi Bei Merdusari yang nama aslinya Jaikem adalah seniwati yang serba bisa, dan karena keampuannya kemudian diangkat menjadi selir/garwa ampil oleh Mangkunagara VII. Namun bersamaan dengan wafatnya Mangkunegara VII (1944), langendriyan yang merupakan teater daerah kebanggaan Pura Mangkunagaran ini juga ikut mundur, dan diluar istana pertunjukan ini tidak pernah mencapai popularitas seperti halnya Wayang Wong. Pada tahun 1957 tepatnya pada acara Konferensi Kehutanan Asia Pacifik di Pura Mangkunagaran dipertunjukkan Langendriyan untuk menyambut para tamu dari anggota delegasi Luar Negeri yang datang dalam acara Konferensi tersebut. Langendriyan Mangkunagaran merupakan kesenian yang mirip dengan wayang wong/ketoprak (yang menggunakan alur cerita), hanya saja dialognya menggunakan tembang. Cerita yang dibawakan adalah tentang sejarah Majapahit. Kesenian ini muncul atas ide dari saudagar batik yang bernama Godlieb Killiaan. Godlieb adalah seorang saudagar batik di Surakarta, pada saat mengawasi para pekerjanya (sebagian besar para wanita), dia sering melihat para pembatiknya bekerja sambil menyanyikan tembang Jawa, dia tertarik dan berniat untuk menggarapnya menjadi sebuah tontonan, kemudian oleh Raden Mas Tondokusumo, seorang ahli gendhing tari dan putra mantu Mangkunegara IV, ide Godlieb digarap menjadi kesenian Langendriyan. Setelah Godlieb bangkrut kesenian tersebut diserahkan sepenuhnya pada Mangkunagaran. Pada zaman Mangkunegara V, diadakan pentas Langendriyan yang menggunakan gelar tari yang dimainkan oleh 3 orang penari, dengan memerankan tokoh yaitu: Damarwulan, Menakjingga, dan Dayun. Mangkunegara V yang merancang sendiri busana para penari seperti busana pada wayang wong/ketoprak. Oleh sebab itu lalu disebut degan Langendriyan 3, sesuai dengan jumlah pemainnya. Lakon yang dibawakan pada saat itu adalah Menakjingga Lena. Menginjak tahun 20-an yaitu pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, pemain pada kesenian Langendriyan ditambah lagi menjadi 7 orang, yang kemudian disebut dengan Langendriyan 7. Penambahan pemain yaitu pada peran: Sabdopalon, Nayagenggong, Wahito dan Puyengan. Kesenian ini mengalami masa kejayaan pada tahun 1930 dan ada dalam kesempurnaan karena telah berhasil menampilkan semua babak lakon yaitu: Damarwulan Ngarit, dan Rabine Damarwulan. (Reksa Pustaka-Mangkunagaran. Kesenian Langendriyan Mandraswara . 2005. Penyebar Semangat. No 36, 3 September 2005, hal.27-44). Sepintas ada kemiripan dengan pentas Wayang Orang dengan Langendriyan. Namun dalam Langendriyan, menari, melantunkan tembang dan menyampaikan narasi dilakukan sekaligus. Kadang satu orang penari melakukan monolog atau beberapa penari berdialog dengan melantunkan macapat (sebuah puisi Jawa tradisi). Konon, tak banyak orang yang dapat melakukan ini. Gerakan tari yang lembut namun atraktif membuat Langendriyan tak mudah dilakukan. Seorang penari kadang harus melantunkan macapat dalam posisi tubuh setengah jongkok dan kemudian bertumpu pada lutut. Gerakan gemulai kadang berganti atraktif dan cepat. Di antara penari yang terus bergerak, alunan puisi Jawa terus mengalir dari para penari. Mereka menari dan menembang secara bersamaan. Seni pertunjukan yang dijuluki opera Jawa ini adalah seni drama tari yang lahir dari tradisi Pura Mangkunegaran Surakarta, KGPAA Mangkunagara VII (1885-1944) atau dikenal dengan juga dengan nama Raden Mas Soerjosoeparto yang mempelopori lahirnya seni pertunjukan ini. Atas jasa-jasanya dalam memajukan kebudayaan Jawa, khususnya Langendriyan, KGPAA Mangkunagara VIII dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma secara anumerta oleh Pemerintah RI melalui Keppres RI nomor 66/TK/ Tahun 2016 yang diserahkan oleh Presiden Joko Widodo kepada perwakilan kerabatnya melalui acara Anugerah Kebudayaan tahun 2016 yang dilaksanakan oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Nama Raden Mas Hario Tandakusumo sebagai pencipta Langendriyan terdapat pada syair tembang dhandanggulo yang ditulis dalam Poerwaka Serat Langendriyan. Bunyinya sebagai berikut: RAding tjandra angesti doemadi / DENiramrih sarkara ginita / MASang lelangen sedyana / HARdaning tyas kajoengjoen / JAjah kadya nggajoeh wijati / TONtonen kandanira / DAdaring para noeng / KOEmaraning noengswa Djawa / SOEmawana winahjoe wahjeng pamardi / MAladi kata dibya. Menurut tradisi penulisan sastra Jawa, nama pengarang tersamar pada suku kata pertama bait pertama pada tembang yang diciptakan. Berdasarkan pupuh pertama suku kata tembang pertama bait pertama dapat disimpulkan pencipta tembang adalah Raden Mas Harja Tondakoesoema. Naskah Langendriyan Mandraswaramengambil kisah/cerita tentang perjalanan hidup seorang satria muda yang bernama Damarwulan, naskah tersebut oleh R.M.A.Tandhakusuma dibagi menjadi 4 (empat) lakon yaitu : 1. Damarwulan Ngarit; 2. Ranggalawe Gugur; 3. Minakjinggi Lena/ Terbunuhnya Minakjinggo; 4. Perkawinan Ratu Ayu Kencanawungu dengan Damarwulan. Langendriya gaya Mangkunegaran dipentaskan pertama kali dalam penobatan K.G.P.A.A Mangkunegara V sebagai raja pada tanggal 15 Desember 1881. Drama tari Langendriyan mengambil kisah Panji lakon Raden Damarwulan dengan latar belakang kerajaan Majapahit. Penari Langendriyan Mangkunegaran sekaligus pemeran tokoh semuanya dilakukan oleh perempuan, berbeda dengan Langendriyan Yogyakarta yang dimainkan oleh laki-laki. Pertunjukannya dilakukan dengan berdiri, sesekali jongkok atau setengah jongkok, sedangkan gaya Yogyakarta dilakukan dengan sikap jengkeng (duduk di atas kaki). Langendriyan berkembang pesat pada tahun 1970an tampak adanya berbagai penggarapan,diantaranya kepadatan garapan, garap tari termasuk pola lantai, garap tembang dan iringan. Walupun Langendriyan garap banyak perkembangan tetapi tetap mengacu pada Langendriyan Mangkunegaran. Untuk saat ini Langendriyan di Pura Mangkunegaran jarang sekali dipentaskan dikarenakan sekarang jarang sekali penari yang bisa memainkan tokoh-tokoh yang ada didalam Langendriyan karena : Penari Langendriyan harus bisa menari, mengetahui gending dan harus bisa nembang. Penari-penari Langendriyan sudah pada sepuh (tua) sudah tidak aktif menari lagi. Maestro tari Langendriyan sudah tidak ada, kalaupun ada sudah sepuh. Gending-gendingnya jg harus dilatih terlebih dahulu Kurangnya pelatih Langendriyan, pelatih Langendriyan tinggal Eyang Suyati Tarwo Sutargio dan beberapa pelaku/penari Langendriyan yang jadi pelatih. Langendriyan Mandraswara gaya Mangkunegaran semuanya diperankan oleh perempuan, semua tokoh laki-laki diperankan oleh perempuan, baik tokoh Minakjingga, Dayun, Damarwulan, Sabdo Palon, Nayaginggo, Ronggalawe, Layang Seta, Layang Kumitir semuanya diperankan oleh perempuan. Pementasan Langendriyan di Pura Mangkunegaran bisa dipentaskan lakon/cerita utuh/komplit contoh cerita Majapahit dari Ronggolawe sampai Damarwulan dinobatkan sebagai raja Majapahit. Juga bisa dipentaskan cerita sepotong-sepotong contoh cerita Damarwulan Kantaka, Minak Jinggo Leno, Damarwulan Winisuda dan lain-lain. Kalau Langendriyan dipentaskan semua itu akan membutuhkan penari yang sangat banyak, kostum yang sangat banyak, dan gending-gending Langendriyan utuh, juga biaya yang tidak sedikit. Pementasan Langendriyan utuh dipagelarkan terakhir pada tahun 1986 pada waktu KGPAA Mangkunagoro VIII. Pada tahun 2019 di acara pentas seni Catur Sagotro (pentas tari dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran, Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman), dari Pura Mangkunegaran menyajikan tarian Langendriyan yang untuk peran tokoh seperti Minakjinggo, Damarwulan, Dayun, Samdopalon, Noyoginggong di perankan oleh para penari Langendriyan yang sudah sepuh lama tidak menari, beliau-beliau diundang untuk menguati dalam pementasan Langendriyan acara Catur Sagotro di Pagelaran Kasultanan Yogyakarta. Solusi atau upaya untuk melestarian seni pertunjukkan Langendriyan Gaya Mangkunegaran supaya tidak punah antara lain : Penggalian naskah Langendriyan Gaya Mangkunegaran. Mendatangkan Narasumber pelaku penari Langendriyan Memanggil guru untuk melatih tembang Penari-penari muda untuk berlatih tembang yang benar, krena kebanyak penari hanya bisa menari saja. Pengenalkan Langendriyan Gaya Mangkunegaran ini kepada generasi muda (penari muda), setiap seminggu sekali diadakan latihan Langendriyan untuk pengenalan, Pelestarian dan pengembangan seni Langendriyan. Pengembangan Langendriyan : Tahun 1853 1881 : Langendriyan tumbuh di Pura Mangkunegaran Surakarta pada zaman pemerintahan K.G.P.A.A Mangkunegara IV. Menurut R.M. Sayid, Langendriyan di Mangkunegaran Surakarta diciptakan oleh R.M.H. Tandhakusuma (menantu Mangkunegara IV) pada tahun 1881. Tahun1970 : Langendriyan tampak berkembang di dalam maupun di luar Mangkunegaran. Tahun 1972 : S. Maridi menyusun pethilan Langendriyan Menakjingga - Damarwulan yang berpijak pada gaya atau versi Mangkunegaran. Cerita Damarwulan terbagi menjadi empat episode, yaitu: Damarwulan Ngarit, Ranggalewe Gugur, Menakjingga Lena, dan Jumenenging Damarwulan Dados Ratu ing Majapahit Kagarwa Ratu Ayu. Tahun 1974 : Langendriyan menjadi materi yang diajarkan di SMKI / SMK Negeri 8 Surakarta, walaupun dengan gaya Surakarta pemainnya disesuaikan dengan tokohnya ( laki-laki dan perempuan), tetapi pakemnya tetap berpijak pada Langendriyan Mangkunegaran, baik cerita, susunan tari, susunan karawitan dan tembangnya. Tahun 1979 : Langendriyan menjadi materi perkulihan di ISI Surakarta yang menitik beratkan pada medium tari daripada vocal dan juga menggunakan sarana otawecana (dialog). Oleh Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Negeri Surakarta sekarang SMK Negeri 8 Surakarta-dipadatkan lagi menjadi dua episode saja yaitu : 1. Ranggalawe Gugur dan 2. Menakjingga Lena. Dua lakon/episode ini pernah menjadi mata uji wajib pelajaran Pagelaran tingkat akhir bagi siswasiswi jurusan seni tari. Lakon Ranggalawe Gugur lebih menitikberatkan pada tema kepahlawanan. Tema kepahlawan sepertinya lebih tepat untuk dikaji karena relevan dengan kondisi bangsa kita pada saat ini. Ranggalawe Gugur bertema kepahlawan. Tema kepahlawanan ini ditunjukkan oleh tokoh Ranggalawe. Ranggalawe adalah seorang ksatria yang berdedikasi tinggi dan begitu setia terhadap negaranya yaitu Kerajaan Majapahit. Demi membela kepentingan Majapahit, Ranggalawe rela meninggalkan istri dan keluarganya bahkan sampai mempersembahkan jiwa raganya. Dalam Langendriyan Ranggalawe Gugur ini ditampilkan beberapa tokoh dengan segala perannya, yang masing-masing merupakan unsur dari kesatuan yang membangun cerita. Keseluruhan tokoh dalam cerita ini berjumlah enam belas, yaitu; 1. Ranggalawe, 2. Menakjingga, 3. Ratu Ayu Kencana Wungu, 4. Patih Logender, 5. Dewi Banuwati, 6. Layang Seta, 7. Layang Kumitir, 8. Sindura, 9. Menak Koncar, 10. Dayun, 11. Watangan, 12. Buntaran, 13. Wangsapati, 14. Angkat Buto, 15. Ongkot Buto, dan 16. Menak Sabawa.

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Pertiwi

Jl. Parang Putih , Sondakan Kec. Laweyan Surakarta

0818250538

tiwitiwi_pertiwi@yahoo,com

KemantrenLangenpraja Pura Mangkunegaran Surakarta

Jl. Ronggowarsito, Keprabon, Kec. Banjarsari Surakarta

08122638809

s_samsuri@yahoo.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

Maestro Karya Budaya

Samsuri, S.Kar, M.Hum , PengagengKemantenLangenpraja- Pura Mangkunegaran Surakarta (58 th)

Pura Mangkunegaran Surakarta

08122638809

s_samsuri@yahoo.com

Rusini, s.Kar, M.Hum (72 tahun)

Keprabon Tengah, RT 001 RW 001 Keprabon, Banjarsari Surakarta

089652009243

-

Suyati Tarwo Sutargio (88)

Jl. S. Indragiri No. 75 Rt.001 Rw.001 Sangkrah, Pasar Kliwon Surakarta

085647162673

Citrawahyu84@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 31-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047