Tari Ja’i

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101341
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Nusa Tenggara Timur
Responsive image
Salah satu bentuk kesenian yang berasal dari Kabupaten Ngada yaitu tari Ja’i.Kata Ja’i dalam bahasa daerah etnis Ngada berarti tarian. Tarian ini pada awalnya menjadi tarian milik etnis Ngada, hanya untuk tarian pembuka atau pelengkap dari ritual mendirikan rumah adat untuk merayakan sukacita dari kemuliaan jiwa dan kemerdekaan roh dan bentuk permohonan serta perlindungan kepada yang Maha Kuasa sebagai ungkapan syukur, menolak bala, dan sebagai pewarisan nilai- nilai ritual. Kemudian mengalami sedikit perkembangan, Tari Ja’iditampilkan di halaman tengah pelataran kampung ( Kisa Nata ) yang dijadikan tempat pemujaan sakral. Di tempat ini juga merupakan ruang bagi para pemusik “gong gendang” (go-Laba) memainkan alat musik untuk mengiringi tari Ja’i untuk segala hal yang berkaitan dengan daur hidup seperti upacara kelahiran, pernikahan hingga kematian Keberadaan tari Ja’i saat ini, tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah awal yang melatarbelakangi terciptanya gerak tari Ja’i tersebut. Adapun sejarah awal mula tari Ja’i ini, hanya diuraikan dari cerita yang berkembang di kalangan seniman tari Ja’i dan tokoh masyarakat yang mendengar cerita dari tetua pada jaman dahulu. Yang mereka ketahui, tari Ja’i merupakan hasil karya cipta nenek moyang dan leluhur masyarakat Ngada meskipun secara pasti tidak dapat diketahui siapa nama penciptanya karena tarian ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu diwariskan secara turun-temurun sebagai warisan leluhur beberapa generasi sebelumnya, meskipun tidak ada sumber tertulis yang menyebutkan kapan tarian ini diciptakan , dan siapa penciptanya. Namun secara lisan telah dijelaskan secara turun-temurun kepada tokoh-tokoh masyarakat, seniman dan para budayawan. Konon, tarian massal ini asal-usulnya dari India yang pada abad pertengahan dibawa para eksodus India ke Flores, NTT. Tak heran kalau ada yang menyebutkan bahwa tari Ja’i khas Ngada- Bajawa ini mirip dan sebangun dengan satu jenis tarian populer di India bernama Ja’i Ho. Perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri telah mempengaruhi konstruksi kebudayaan. Hal inipun terjadi pada tariJa’i. Sebelumnya tariJa’i yang hanya diiringi oleh gong dan gendang namun kini telah dimodifikasi dengan menggunakan alat musik modern. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya lagu-lagu yang berirama Ja’i di kabupaten Ngada. Tentunya hal ini memberikan dampak positif dan negatif. Hal positif yang boleh diterima adalahtari Ja’i menjadi tarian yang mudah dilakukan karena tidak menggunakan gong dan gendang. Faktor negatifnya adalah Ja’i kini dapat dilakukan dimana saja seperti pada perayaan pesta-pesta , penyambutan tamu penting dan festifal-festifal. Selain itu terdapat mitos mengenai tari Ja’i seperti yang dituturkan oleh Yohanes Mopa (71 Th) yang menyatakan bahwa, Tari Ja’i ada sejak pada jaman dimana masyarakat Ngada belum mengenal budaya besi. Tarian Ja’i ada saat masa peralihan dari masyarakat Ngada keluar dari goa menuju tempat istirahat yang baru (rumah). Jadi diperkirakan tari Ja’i ini merupakan tarian yang sudah ada diperalihan antara masyarakat nomaden hingga tinggal menetap. Setelah itu Tari Ja’iberkembang menjadi tari Ja’i seperti yang ada saat ini, dengan ragam gerak dan jenis yang beragam, tetapi intinya tetap pada kesederhanaan gerak yang ada dan menjadi warisan dari masa lampau. Adapun cerita mitos tersebut : Diceritakan dahulu kala di kampung Ine Ngadha orang-orang yang tinggal disana bermukim di gua-gua. Salah satu diantaranya adalah Ine Ngadha (Ine=Ibu yang brnama Ngadha) dengan suaminya bernama Dhena. Ine Ngadha dan Dhena melahirkan seorang anak bernama Kowe. Kowe bersuamikan Lobo memiliki Sembilan orang anak, delapan anak laki-laki dan satu perempuan yang diberi nama Woe yang akan melanjutkan turunan bagi keduanya sebagai penjaga dan merawat hari tua mereka. Sedangkan anak lelaki akan kawin dan tinggal di rumah orang tua istrinya sesuai tradisi. Diantara delapan anak laki-laki itu ada yang bernama Ga’e yang disebut pula Ema Ga. Ema Ga berarti orang yang selalu memperingati satu hal penting agar jangan dilupakan tetapi harus dirawat secara terus menerus. Ga’e ini dikenal pula seseorang yang berumur panjang. Ga’e ini sangat berpengaruh d kehidupan gua-gua, semua orang memandangnya sangat cerdas.Segala kesulitan selalu minta pada Ga’e untuk memecahkan masalah yang mereka alami itu. Dan Ga’e melakukan semua permintaan semuanya dengan senang hati. Pada suatu malam Ga’e mengundang warga para gua untuk bermusyawarah mengungkapkan segala keluhan. Banyak yang mengeluhkanbahwa ingin sekali memiliki tempat tinggal di masing-masing keluarga saja dan mengelompok antar keluarga. Suasana begitu hening menunggu pendapat Ga’e yang mereka pandang sebagai pemimpin mereka. Dalam situasi setengah hening Ga’e berbicara agar semua warga merenung dan memohon petunjuk pada Aro (Tuhan) dan para leluhur untuk memberikan petunjuk. Kemudian pada pertemuan selanjutnya Lewa mengemukakan laporan bahwa tadi pagi saat bangun tidur ia mendengar dua kelompok burung Kuau (oka Koa) bersuara ‘ kelompok satu bersuara Loa loa , sedangkan kelompok satu lagi bersuara Koa, koa. Menurut pendapat Ga’e bahwa menurut bahasa kita Loa berarti keluar, Koa mengandung arti air hujan disertai angin, Koa juga mengandung arti keluar habis tanpa sisa, Loa Koa diartikan orang-orang harus keluar dari gua dan tidak boleh tinggal di gua lagi hanya pada saat yang genting saja. Loa disusutkan menjadi Lo berarti berkembang biak secara baik termasuk semua binatang liar yang dijinakkan . Jika digabung menjadi kata Loka berarti tempat tinggal atau tempat orang berkumpul. Dianjurkan oleh para leluhur dan Tuhan agar warga hidup dalam suatu kelompok perkampungan yang dianamakan “Loka” atau setiap keluarga membangun satu rumah tinggal sendiri dan kelompok rumah itu disebut Bo’a. Perkampungan itu disebut juga “Nua”. Nua diartikan juga lubang, yang akan mengingatkan kita bahwa pernah tinggal di sebuah lubang batu yang dikenal dengan ungkapan “Kongo Kaju Aga Watu”.Di hari berikutnya Selu mendapatkan isyarat yang kedua. Ia mendengar burung tekukur bersuara du du dudu tetapi dalam rerumputan ilalang terdengan pula burung puyuh bersuara wu wu wu wu. Kemudian dari isyarat tersebut kembali diTarik kesimpulan bahwa kata Wuwu berarti ubun-ubun, yang artinya harus membangun suatu tempat tinggal agar menutup ubun-ubun dari kepanasan dan terhindar dari hujan dan panas. Du Du mengandung arti berbuat harus dalam waktu yang singkat dan jangan ditunda-tunda lagi. Kemudian Bapak Ga’e membuat kesimpulan bahwa kata wu wu wu dan du du du memiliki kesatuan dari dua kata. Du du du diambil kata Du , dan wu wuw wu diambil kata wu saja, jika digabung menjadi “wudu” artinya tali pancing mengandung pengertian bahwa semua persolan harus didengar dari semua pikiran. Bahwa musim hujan akan segera datang maka rumah yang akan dibangun nanti harus bertiang enam dua di tengah ditanam lebih tinggi, empat tiang lain lebih rendah dalam satu tali rentang yang disebut Nuba. Sehingga pengaturan rumah itu rapi dan kokoh dalam terpaan badai sekalipun. Kebahagiaan masyarakat tersebutlah disambut oleh seluruh warga , hewan dan tanaman seolah-olah ikut berbahagia. Hinga untuk merayakannya mereka bersorak sorai menari sambil bernyanyi dan menyerukan suara Ja’i….Ja’i sehinga muncullah kata Ja’I yang berarti menarilah. Kepakan dan kicauan burung rajawali seolah-olah terdengar seperti irama pukulan gong. Dari cerita tersebutlah TariJa’i dipercaya sudah ada sejak mereka keluar dari gua menuju rumah (cerita singkat dikumpulkan dan dituliskembali oleh Yohanes Mopa dari berbagai narasumber daerah Mangulewa, Rakateda, Bajawa, Wolowio, Wogo, Mengegou, Langa,Ubedolumolo dan Turekisa). Keberadaan TariJa’i dalam berbagai upacara-upacara menunjukkan betapa pentingnya tari Ja’i dalam tradisi suku-suku yang ada di seluruh Ngada. Melalui TariJa’i masyarakat dapat mengekspresikan dan mengungkapkan keceriaan di pesta-pesta rumah adat dan kesedihan pada saat upacara kematian. Tanpa TariJa’i ini upacara terasa kurang khidmat. Dalam upacara-upacara melalui TariJa’i masyarakat bisa berkumpul ikut serta merayakannya. Para penari yang terpilih mulai berkumpul dan berbentuk barisan lurus memanjang kemudian seorang pemimpin (Maza) akan mengumandangkan syair-syair indah yang isinya berupa ajakan kepada seluruh masyarakat untuk turut serta berpartisipasi. TariJa’i dipersembahkan sesuai moment dan tidak ada ritual tersendiri sebelum Tarian ini ditampilkan. Tidak ada batasan usia dalam pemilihan penari, hanya saja dalam upacara adat penari TariJa’i ini dipilih oleh tetua adat sesuai dalam penerawangan. Namun saat acara yang bukan ritual para penari tidak terbatas jumlahnya, tetapi yang diperbolehkan untuk menari hanya anggota keluarga, kerabat dari pemilik hajatan, jika orang yang tidak ada hubungan keluarga ikut serta akan dikenakan sangsi berupa menyumbang qurban/ sembelih babi. Jika TariJa’i ini tidak dilaksanakan anggota pemilik hajatan akan terkena sakit/ musibah setelah melaksanakan upacara. Bila dahulu TariJa’i difungsikan sebagai salah satu elemen penting dalam upacara-upacara adat, kini seiring perkembangannya Tarian ini tidak hanya ditampilkan untuk acara adat semata, tetapi juga sering ditampilkan di berbagai acara pentas budayabaik di tingkat daerah, nasional, bahkan internasional, menyambut wisatawan dan tamu-tamu kehormatan dan dimasukkan kedalam ekstrakurikuler sekolah baik di tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Pada zaman dahulu juga TariJa’i digelar dengan musik berbahan kayu seadanya kini sudah menggunakan gendang yang dilapisi berbahan kulit sapi dan wajib menggunakan Gong (Go) sebagai musik penanda akan digelarnya suatu upacara adat. Tari Ja’i Ngada ini sejak dahulu hingga saat ini selalu dipentaskan di luar ruangan agar suasananya lebih semarak dan bergembira. Selain itu berbagai variasi dan modifikasi juga sering dilakukan dalam pertunjukannya, agar terlihat lebih menarik dan tidak kaku. Karena perkembangannya dan harapan agar Tari ja’i ini tetap dilestarikan oleh masyarakat khususnya Ngada makakemudian yang mendasari diperlukannya inventarisasi karya budaya TariJa’i. Sedikit ragamnya namun dilakukan berulang-kali mengikuti irama lagunya yang khas atau gong-gendang yang mengiringinya. Simple ragam geraknya namun kaya energinya. Dilakukan penuh rasa, sepenuh jiwa, sembari merengkuh dan melepaskan energi. Formasi tariJa'i mirip barisan tentara. Jumlah dan panjang barisan bisa disesuaikan dengan kondisi halaman tempat pentas. Orang yang berada di barisan paling depan biasanya jadi pemimpin, yang lain tinggal mengikutinya saja. Gerak dan irama kaki tari Ja'i sebenarnya sangat sederhana. Gerak maju berupa langkah kaki yang tidak utuh, berputar setengah lingkaran di tempat sambil merentangkan tangan kemudian berjalan maju lagi dengan gerakan kaki setengah pincang. Kesamaan gerak antar penari pria dan perempuan sebenarnya mau menunjukan bahwa adanya kesamaan konsep, nasib dan atau derita serta kesamaan derajat antara keduannya. Pada umumnya para penari pria selalu berada disebelah kanan perempuan. Ini mau mengatakan bahwa pria dan perempuan selalu berada dalam kebersamaan dan pria selalu menjadi pelindung bagi perempuan. Selanjutnya, susunan penari yang berjejer menggambarkan kebermaknaan dalam struktur kehidupan dalam masyarakat. Segala sesuatu dalam kaitan dengan kehidupan komunitas sudah pasti terbentuk secara alamiah pemimpin dan pengikutnya. Seorang pemimpin selalu berada pada bagian depan untuk memberikan contoh. Tarian Ja’i menempatkan orang paling depan sebagai pemimpinnya. Yang lain tinggal mengikutinnya saja. Walaupun tidak selamanya pemimpin tari Ja’i harus ketua adat atau pemimpin dalam kehidupan keseharian. Ini semata-mata sebagai simbol dari kenyataan. Para penari tetap bergerak sesuai dengan susunan awal. Dalam gerakan maju dan mundur tidak ada yang saling mendahului. Para penari, khususnya penari pria, lengkap membawa pedang. Mereka pun ibarat pasukan Romawi yang baru pulang dari medan laga dengan rona kemenangan dan berlenggok-lenggok mengikuti irama gong-gendang. Dalam bahasa daerah gong dan gendang ini disebut Laba Go. Laba yang berarti gendang dan go yang berarti gong. Laba goini dipukul secara bersamaan dengan irama yang bervariasi. Variasi bunyi dimaksud melahirkan irama tari Ja’i yang khas. Pada umumnya irama Ja’i disesuaikan dengan bunyi Laba Go. Para penari harus dapat menyesuaikan irama Ja’i dengan bunyi Laba Go. Bunyi Laba Go mengatur ritme gerakan tari Ja’i. Laba Go ditabuh oleh orang yang berpengalaman. Pada umumnya tugas ini diberikan pada orang tua ataupun anak-anak yang telah melalui tahap latihan. Secara kasat mata, menabuh Laba Go terlihat sangat sederhana namun tidak demikian faktanya. Yang paling sulit bagi penabuh Laba Go adalah mengatur ritme gerakan para penari atau Ja’i. Bunyi tabuhan Laba menjadi instrumen gerakan kaki. Dengan ton dan ritme yang cepat menjadikan gerakan kaki penari kelihatan seperti gerakan kaki kuda. Pedang (sau) yang ada digenggaman tanggan kanannya yang kadang diangkat dan kadang menghadap ke kiri dan ke kanan menjadikan tarian Ja’i mirip pasukan berkuda zaman Romawi yang akan atau setelah berperang. Deretan panjang para menari dengan gerakan sama seakan sedang menggambarkan sebuah pasukan dengan kekuatan penuh, dengan semangat juang yang tinggi dan rela mengorbankan jiwa dan raga di medan laga. Penari yang berbaris di bagian paling depan disebutMaza. Satu orang pemimpin tersebut berperan menyuarakan maklumat. Diawali dengan tanda pemukulan gong menandakan ada sesuatu yang terjadi atau simbol bahwa ada keluarga yang memiliki hajatan. Maza menyuarakan maklumat berbunyi dan sisanya sebagai penyemangat yang menyuarakan Li li li li liiiii yang disebut Iri Lili bertujuan untuk memberi semangat dan meramaikan suasana tersebut.Penari laki-laki di bagian ekor bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini melambangkan laki-laki harus lebih aktif untuk menjaga perempuan, menjadi pelindung apapun yang terjadi sambil mengintai situasi. Syair Sa Ngaza atau syair-syair maklumat yang dilantunkan oleh Maza dalam tarian Ja’iadalah sebagai berikut. Eee Kau kau eee Kami Soga Bena Kami Soga Bena, Kae Azi Da Ngodho Puu Ge Wolo, Dia Kami Soro Nee Laba Go, Dhapi Ate Da Molo, Gojo Bhila Feo Folo, Raba Mai Moni Nua kami Da Dhengi Dhozo Da Jaga Geo P’ge Puu Olo (artinya: Orang Bena menerima dengan hati yang ikhlas disertai bunyi gong dan tarian kebesaran bagi kedatangan saudara saudari dari berbagai daerah) E kau Kau Eee…. Kami Soga Bena Kami Soga Bena, Ka’e Azi Da Baga Puu Ge Nua Tana Dia Kami Pama Nee Go Laba Dha Ate Bhara Nga Fa Bhila Lengi Jawa’ Raba Mai Nga Go Sa’o Ngaza Nee Ngadhu Bhaga’ Soga Sama Miu Tau Laba (artinya: Orang Bena menyambut kedatangan saudara saudari yang datang dari berbagai tempat dengan hati dan tangan yang terbuka serta tarian kebesaran yang meriah untuk datang melihat secara dekat rumah adat serta simbol adat yang masih terjaga rapi.) Senjata Kelengkapan Tarian : Sau adalah senjata tajam berupa parang yang digunakan sebagai perlengkapan dalam menari Ja’i. Tari Ja’i yang semula merupakan tari sakral persembahan untuk para leluhur , bisa juga digunakan sebagai penyambutan tamu saat pesta adat, pesta panen, pesta rumah adat, maka sau merupakan senjata keramat yang diserahterimakan saat menari Ja’i yang dilambangkan sebagai keperkasaan hidup para lelaki Ngada. Adapun kostum laki-laki penari laki-laki Ja’i : Tidak boleh mengenakan celana panjang, dan tidak boleh menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu), Siwe (sarung adat penari laki-laki), Keru (Ikat pinggang), Degho (gelang adat) yang duhulunya terbuat berbahan dasar gading gajah sekarang bisa diganti menjadi berbahan kayu, Aze berfungsi sebagai pengikat tas, Lega Jara (tas), Lu’e (baju/selendang di badan), Boku (Hiasan kecil untuk ikat di kepala), Boku Ba’o (kertas kecil ), Marangia ( ikat kepala), Dhego (hiasan Tangan). Kostum Perempuan Ja’i: Pakaian perempuan atau baju khas dari tari Ja’imenggunakan, kain sarung hasil tenunan, dan perhiasan emas, Medolado (hiasan rambut), Marangia (lilitan kepala perempuan), Rabhe Kodo (manik-manik hiasan Rambut), Kobho ( konde yang terbuat dari labu keci yang dilubangi dan dikeringkan), lawo (sarung atau penutup badan perempuan) dan Keru (ikat pinggang perempuan), Kasaseseh (selendang berbentuk silang di badan) Lega Kebituki (tas) dan Aze (hiasan pada tas ), Lua Manu (hiasan pada jari tangan yang berbahan bulu ayam), Kalung (Hiasan dada terbuat dari mani-manik kecil berwarna- warni), Degho (gelang adat) yang juga digunakan oleh penari perempuan Ja’i duhulunya terbuat berbahan dasar gading gajah sekarang bisa diganti menjadi berbahan kayu. TATA RIAS : - Khusus Tari Ja’i ini para penari tidaklah menggunakan tata rias wajah yang berlebihan. - Untuk laki-laki cukup menggunakan kostum saja, khusus untuk perempuan cukup mengguanakn riasan wajah natural. Cukup dengan menggunakan bedak dan lipstik agar wajah terlihat lebih segar dan tidak berminyak FUNGSI TARIAN JA'I Tari Ja’i dari Kabupaten Ngada ini memiliki fungsi, makna sekaligus nilai-nilai yakni : Religius, hiburan ,sosial, integritas dan pendidikan . Secara religius,Tari Ja’I sebagai media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan yang lebihtinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan, demi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Tari Ja’i juga hadir untuk hiburan bagi masyarakat. Sebagaimana masyarakat suku lainnya, masyarakat Ngada juga memiliki struktur sistem sosial. Pada zaman dahulu sistem sosial masyarakat Ngada terbilang cukup lengkap. Mereka memiliki raja dan juga para pemimpin adat. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat biasanya dirundingkan oleh para pemimpin adat di dalam sebuah rumah adat. Semua hal yang diputuskan dalam rumah adat ini juga telah melalui proses persetujuan dari para pemimpin adat. Segala hal yang akan dilakukan, termasuk melakukan tari Ja’i juga diputuskan dalam rumah adat. Pada masa lalu Ja’I memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sistem sosial masyarakat Ngada. Dengan menjadikan seni Tari ja’isebagai sarana interaksi sosial yang dari interaksi sosial ini akan terjadi integrasi atau menyatunya individu-individu yang menjadi bagian dari suatu komunitas atau masyarakat. Interaksi sosial merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk yang secara kodrati hanya bisa hidup jika berhubungan dengan orang lain. Dalam berkesenian, manusia juga memerlukan orang lain tentunya Fungsi dan makna pendidikan dalam tari yang bersifat untuk mengembangkan kepekaan estetis melalui kegiatan berapresiasi dan pengalaman berkarya kreatif. Dalam melakukan Ja’i diperlukan kemampuan untuk memahami budaya masyarakat Ngada serta menuangkannya dalam bentuk sastra yang tersajikan dalam syair-syair tari Ja’Iyang indah untuk didengarkan. Disinilah tari Ja’imemiliki fungsi pendidikan, baik kepada penarinya maupun kepada audien atau penontonnya. Dalam tari Ja’i tersimpan kekayaan bahasa dan sastra masyarakat Ngada. REKOMENDASI: 1. Tari Ja’i perlu dilestarikan, sebagai langkah mempertahankan budaya lokal. 2. Pemerintah daerah wajib memperkenalkan tari Ja’i secara lebih luas apabila tari Ja’i telah ditetapkan sebagai bagian dari warisan budaya tak benda Indonesia dimana hal ini sesuai dengan langkah strategis pemajuan kebudayaan yang tercantum dalam uu no 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan. 3. Harus ada batasan yang jelas, mana tari Ja’i yang bersifat sakral dan mana yang profan 4. Pemerintah daerah wajib mempertahankan tradisi-trasisi lisan yang terdapat dalam tari Ja’i bahkan kalau bisa membuat materi pelajaran bahasa lokal dalam pelajaran di sekolah.

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Fransiscus Timu ( Guru dan Ketua Sanggar Benwista)

Kampung Bena, Desa Tiworiwu, Ngada

085333649104

lelyuntaolin@gmail.com

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Maestro Karya Budaya

Emanuel Sebo

Kampung Bena, Desa Tiworiwu, Ngada

085333914152

lelyuntaolin@gmail.com

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047