Gamad

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101357
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sumatra Barat
Responsive image

GAMAD

Gamad (musik gamat) adalah salah satu jenis musik tradisional Minangkabau yang berkembang  di daerah pantai barat Sumatera Barat (Minangkabau Pesisir). Musik ini lahir dari akulturasi beberapa budaya, yang sampai sekarang tetap hidup dalam masyarakat Minangkabau, khususnya di Kota Padang. Musik tersebut terdiri atas gabungan vokal dan instrumental. Secara tradisional instrumen musik yang digunakan dalam ansambel ini adalah biola, akordeon, gitar, kontras bass petik, marakas dan gendang. Vokal berperan sebagai pembawa lagu  dalam bentuk pantun dengan menggunakan bahasa Minangkabau, dan teks lagu tersebut  pada umumnya bersifat metafor (kiasan)[1]    

Bila ditinjau secara historis munculnya musik gamad di Kota Padang berlatar dari sejarah panjang, melewati berpuluh generasi yang mentradisikannya. Didukung dengan adanya Bandar pelabuhan Kota Padang yang menjadi pusat perdagangan Minangkabau, yang pada beberapa abad lampau banyak didatangi oleh beragam etnis dari berbagai benua, seperti Eropa, Asia dan Timur Tengah. Perpaduan kebudayaan yang terdapat di musik gamad terkandung nilai akulturasi dari beragam etnis dan kultur dimaksud. Oleh karena itu kesenian selalu dihubungkan dengan misi dagang Portugis di pantai barat Minangkabau beberapa abad yang lalu.  Konon, lagu Kaparinyo yang menjadi lagu utama dalam pertunjukan musik gamad berasal dari kata Kapa Rinho yang merupakan sebuah nama kapal yang berasal dari Portugis yang pernah berlabuh di Bandar Pelabuhan Kota, tempat lalu lalang kapal-kapal perdagangan.  Dalam pertunjukan musik gamad, khususnya di Kota Padang, lagu Kaparinyo merupakan lagu pembuka setiap pertunjukan, lagu ini dimainkan dalam tempo joget (riang). Sehubungan dengan latar belakang historis musik gamad ini, Victor Ganap dan Martarosa  peneliti dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta coba menelusurinya dengan pendekatan kajian sejarah Jalur Sutra Maritim. Menurutnya, masuknya Joget Portugis Melayu ke Minangkabau  dibawa oleh para perantau Minang yang kembali dari Malaka, tapi sebagian besar menganggap bahwa tarian/joget Portugis ini diperkenalkan oleh kelompok “Portugis” Tamil dari Malaka, yang berimigrasi ke Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Teori ini didukung oleh keberadaan komunitas “Portugis” Tamil di pesisir Minangkabau sebagai salah satu kelompok masyarakat pendukung musik gamad[2]

Pada tahun 1920 pagelaran musik gamad dilakukan sembunyi- sembunyi. Hanya ada dua tempat waktu itu untuk menggelar musik gamad, dan itu pun atas izin pemerintah Belanda. Pertama di Sri Darma sekarang gedung Bagindo Azis Chan dan gedung bulat (sekarang menjadi gedung Juang 45 di Pasar Mudik). Pada masa awal kemerdekaan, musik gamad masih berkibar. Berkat perhatian Walikota Padang yang waktu itu dijabat oleh Zainal Abidin Sutan Pangeran (1953) gamad diperlombakan di kantor Walikota Padang. Tapi sayang pada masa perang PRRI musik gamad hilang dari peredaran. Setelah pemberontakan PKI pertengahan tahun 60-an musik gamad kembali terdengar ketika alat musik elektrik sudah mulai dipakai. Barulah pada tahun 1995 musik gamad mengalami kemunduran akibat mulai banyaknya masyarakat menggunakan “Orgen Tunggal” dibandingkan gamad karena musik ini mampu mengasilkan bunyi beragam jenis alat musik dalam satu  alat instrument saja, sementara gamad gabungan dari seluruh unsur yang ada. Hal tersebut menyebabkan eksistensi komunitas HIKAGAPA (Himpunan Keluarga Gamad Kota Padang) tidak bisa bertahan lama karena pengaruh teknologi musik baru keyboard Orgen Tunggal” ini  yang sudah menjamur dikota Padang dan kota-kota  di Sumatera Barat, bahkan kampung pun sudah dikuasainya oleh “musik mesin” ini. Hal ini tampaknya membawa dampak negatif terhadap kehidupan musik gamad sehingga  dipenghujung tahun 2006 atau di awal tahun 2007 HIKAGAPA mengalami kemunduran.  

Patah tumbuh hilang berganti, beberapa tahun kemudian muncul grup/paguyuban baru HIKASMI (Himpunan Kekeluargaaan Seniman Musik Indonesia) yang berlokasi Gelanggang Olah Raga (GOR) Haji Agus Salim.  Kegiatan seni yang mereka latih seperti: dendang tradisi, talempong, musik gamad, musik pop, jazz, dan musik dangdut.[3]

 HIKASMI adalah wadah baru untuk menampung bakat-bakat seni masyarakat kota Padang khususnya seni pertunjukan, seperti musik gamad, musik pop, musik dangdut, dan dendang tradisi. Paguyuban ini bertujuan menampung aspirasi masyarakat kota Padang terhadap seni yang aktual masa kini, khusus musik tradisi dan musik populer. Dengan adanya kegiatan kesenian seperti ini, terjadilah perbauran antara generasi muda dan generasi tua. Mereka saling memberikan pengalaman terhadap musik yang mereka kuasai. Hal ini juga memberikan pengaruh terhadap musik tradisi – musik gamad, sehingga kelompok ataupun grup musik gamad di Kota Padang sampai saat ini juga masih aktif di paguyuban HIKASMI. Demikian gambaran sepintas pasang surutnya kehidupan musik gamad di Kota Padang sejak awal tahun 2007 sampai sekarang.

Sejarah lahirnya music gamad yang terbentuk dari akulturasi beberapa budaya tersebut menerangkan secara jelas bahwasannya gamad telah dilewati lebih dari dua generasi.

Instrumen yang digunakan pada musik Gamad adalah biola, gitar akustik, doble bass, akordeon, gandang katindik serta vokal. Beberapa teknik permainan dalam biola gamad seperti triller (garinyiak) pada konvensi barat teknik memainkannya adalah dengan menggerakkan nada seconde atas, namun pada musik gamad pergerakan triller (garinyiak) pada seconde bawah. Teknik ‘Ornamentasi’ ini tidak ditemukan dalam tulisan musik barat.

Hal lain yang menarik dalam permainan biola gamad adalah teknik vibrasi (getar nada). Pada teknik vibrasi biola klasik dengan mengerakkan jari pada ‘satu not’, namun pada biola gamad teknik vibrasi menggunakan gerakan jari pada dua not seconde kecil yang bergerak ke atas. Hal tersebut di atas memberikan warna tersendiri dan sekaligus membedakan nuansa musik Gamad sebagai musik tradisi Minangkabau. Ornamen (garinyiak) lain yang terdapat pada lagu gamad adalah mordent (melodi yang melangkah jarak seconde), appoggiatura dan appoggiatura ganda. Nada hias ini biasanya terdapat dalam lagu. Penggunaan ornamentasi ini sangat bervariasi sesuai dengan keinginan pemain biola, akordeon dan vokal.

Bentuk ornament lain dalam lagu Gamad adalah cengkok. Melodi ini dominan dinyanyikan oleh vokal. Bentuk cengkok tersebut menggunakan nada triol (tiga nada), kwintol (lima nada), sektol (enam nada), septimol (tujuh nada).

Bagi pemain biola, agar melodi cengkok tersebut kedengarannya lebih indah, biasanya dimainkan dengan teknik gesekan legato, yaitu semua rangkaian melodi itu dimainkan dengan satu gesekan atau dengan teknik staccato (gesekan putus-putus) dan bisa juga digabungkan keduanya. Akan tetapi bagi seorang penyanyi, biasanya melodi cengkok tersebut dinyanyikan untuk satu suku kata yang dibawakan dalam bentuk melismatis, yaitu menyanyikan satu suku kata dengan banyak nada dalam satu nafas. Bagian estetika lain yang mengandung unsur-unsur instrinsik pada musik Gamad adalah struktur musik, dalam etika tersendiri musik ini memiliki aturan baku yang sering dilakukan dalam permainan musik Gamad yaitu senter lagu (melodi introduksi), melodi penghantar (pintu lagu), lagu dan melodi penutup lagu. Senter lagu atau introduksi lagu dimainkan sebelum masuk pada melodi pokok yang dibawakan oleh vokal, alur melodi pada bagian ini biasanya diambil dari melodi pokok dan dimainkan oleh instrument melodis seperti biola dan akordeon. Bagian ini biasanya dimainkan sekitar 4 (empat) sampai 5 (lima) birama. Pada bagian intro ini pemain biola dan akordeon menunjukkan keterampilan individual dalam mengolah garinyiak dan cengkok/gayo, dan mengantar imajinasi vokalis untuk menyanyikan lagu dengan penjiwaan serta improvisasi sendiri. Menurut William A. Haviland dalam bukunya Antropologi terjemahan R.G Soekadiyo, tentang fungsi musik mengatakan bahwa seni musik adalah keterampilan kreatif individu yang dapat dipupuk dan dapat merupakan kebanggaan seseorang, karena rasa telah berhasil menciptakan sesuatu atau melulu karena kepuasan telah memainkannya. Semua itu adalah bentuk perilaku sosial, yang merupakan suatu komunikasi dan suatu pemerataan perasaan dan pengalaman hidup pada orang lain (1985:237).

Kemampuan pemain biola dan akordeon dalam mengungkapkan perasaan melalui instrumen serta daya imajinasi vokal dalam mengungkapkan perasaan dengan permainan garinyiak, cengkok, serta pantun-pantun baru merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi pemain musik Gamad. Bakat yang dimiliki oleh seorang seniman menentukan kemampuannya untuk membuat kejutan tanpa merusak keutuhan lagu itu sendiri, sehingga memberikan daya tarik atau kekuatan (intensitas) musik Gamad yang membuat penonton terpaku. Melodi pengantar (pintu lagu) dimainkan menjelang vokal menyanyikan lagu, melodi ini dimainkan sekitar 2 (dua) birama. Menurut etika, tanpa adanya pintu lagu penyanyi tidak dapat masuk pada lagu. Dengan demikian seorang pemain gamad terutama pada pemain Biola dan Akordeon harus menguasai seluruh pintu lagu yang terdapat pada lagulagu gamad, karena setiap lagu Gamad memiliki pintu lagu yang berbeda-beda. Melodi penutup lagu adalah melodi pendek yang terdiri dari 2 (dua) birama dan terletak pada akhir kalimat lagu. Melodi penutup pada umumnya dalam lagu-lagu gamad adalah sama.

Dalam pertunjukan Musik Gamat terdapat ketentuan repertoire lagu yang harus dimainkan, lagu pembuka dalam pertunjukannya adalah Lagu Duo kemudian dilanjutkan dengan lagu Sampaya Pabayan, ketentuan ini sudah menjadi kesepakatan secara tradisi bagi para kelompok Musik Gamat yang ada di Sumatera Barat. Sehingga apabila susunan tersebut tidak menurut semestinya maka pertunjukan tersebut memiliki kekurangan. Untuk repertoire lainnya diserahkan sepenuhnya pada pemain. Konvensi ini sama dengan pertunjukan Saluang Dendang yang mewajibkan pada setiap permulaan membawakan lagu Singgalang. Pada pertunjukan gamat, para penari juga dapat menyanyikan lagu secara bergiliran, sehingga dalam satu lagu dapat menghabiskan waktu yang cukup panjang, karna pengulangan melodi dengan pantun dan penyanyi yang berbeda. Mengamati lirik yang terdapat dalam lagu-lagu gamat sarat dengan nilai-nilai “keindahan yang membumi”. Istilah ini dikemukakan oleh Agus Sachari dalam buku Estetika mengatakan: kedayaan nilai-nilai estetik tidak hanya dapat diamati sebagai upaya manusia untuk membangun citra ataupun kontemplasi terhadap kosmos, tetapi juga dapat dipahami sebagai upaya manusia untuk membumi. Kepedulian terhadap kenyataan yang terjadi disekitar ataupun kepedulian kepada rakyat kecil, merupakan wujud lain kedayaan nilai estetik untuk memahami dunia (2002:45). Musik Gamat sebagai sebuah kesenian rakyat merupakan musik yang tumbuh dan berkembang dikalangan rakyat kecil atau masyarakat kelas bawah. Ungkapan pantun lebih cendrung pada penderitaan atau parasaian hidup yang mereka alami yang dinyanyikan dalam tempo lambat (langgam). Pantun-pantunnya berisikan kiasan-kiasan yang pada umumnya meratapi nasib. Karakter syair yang berbentuk parasaian ini tidak hanya terdapat pada lagu dengan tempo lambat saja, namun pada lagu yang berirama joget juga melantunkan pantun penderitaan (parasaian).

Musik Gamad memiliki nilai dan makna penting dalam relasi sosial masyarakatnya. Musik gamad merupakan saluran pemersatu masyarakat karena terdiri dari beberapa etnis  yaitu India, Cina, Melayu, dan Nias. Temuan penelitian yang dinyatakan oleh Victor Ganap dan Martarosa ini, sejalan dengan dengan temuan penelitian Rizaldi tahun 1996 dengan judul “Musik Gamat sebagai Pemersatu Etnik Minangkabau, Nias, dan Keling.” Kesimpulan penelitian ini menyebutkan bahwa musik gamat tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan masyarakat Kota Padang, tapi juga berfungsi sosial, yaitu sebagai tali pengikat persahabatan antar-etnik Minangkabau, Nias, dan Keling[1]

Gamad menyatukan antar kampung di Kota Padang. Misalnya adanya penampilan gamad di kampung Pondok, maka keikut sertaan kampung sebelah secara tidak langsung ikut meramaikan acara pertunjukan music gamad.


[1] Rizaldi, “Musik Gamat di Kota Madya Padang:Sebuah Bentuk Akulturasi Antara Budaya Pribumi dan Budaya Barat” Tesis S-2 Universitas Gajah Mada Yogyakarta th. 1994, p.vii.

[2] Victor Ganap dan Martarosa “Epistemologi Kaparinyo Musik Gamat Masyarakat Minangkabau (Kajian Sejarah Jalur Sutra Maritim)” Hibah Penelitian Dosen Sekolah Pascasarjana UGM Tahun 2015,  Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2016, p. 187.

 

[3] Rizaldi, Yon Hendri, dan Bambang Wijaksana “Komposisi Musik Gamat Sebagai Bentuk Pengembangan Kesenian Melayu Minangkabau (Penelitan Penciptaan dan Penyanjian Seni) Laporan Penelitian ISI Padangpanjang 2018 Tahun ke-1 p.7


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Komunitas Karya Budaya

HIKASMI (Himpunan Kekeluargaan Seniman Musik Indonesia)

Seberang Palinggam Kota Padang

08126782545

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Maestro Karya Budaya

Ali Hanafiah Jalil

Pasar Pagi Purus, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang

081363497652

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047