Randang Paku Dharmasraya

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101358
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Sumatra Barat
Responsive image

RANDANG PAKU

Aliran Sungai Pangian membentang dari Takuang sampai ke Lubuk Bulang, sebelum kemudian bersatu di Batanghari. Dari begitu banyak aliran sungai di Dharmasraya, Sungai Pangian termasuk istimewa. Selain ikan, di tepinya, banyak sekali tumbuh tanaman paku (Pakis).

Bagi warga Kampung Surau, sebuah daerah berada di tepi Sungai Pangian, pakis tak sekadar tumbuhan. Sekarang, ia tak hanya sumber makanan, tapi telah menjadi simbol budaya.

Kesulitan mendapatkan protein dari ayam dan daging, membuat masyarakat Kampuang Surau mencari cara agar tidak kekurangan makanan. Apa yang disediakan Sungai Pangian, Ikan dan pakis, kemudian diolah menjadi makanan yang berdayaguna. Dari situlah tercipta Randang Paku. Makanan yang sekarang menjadi makanan tradisi di Dharmasraya,

Bagi masyarakat Kampung Surau, ikan dan pakis ibarat aur dan tebing. Keduanya menjadi bahan yang sangat penting dalam membuat Randang Paku. Keduanya dijaga pula oleh warga. Di sana terdapat Lubuk Larangan. Ikan tidak boleh diracun, pakis dilarang untuk diambil sembarangan.

Dari tradisi lisan yang beredar di masyarakat, Randang Paku sudah ada sejak Kampung Surau berdiri. Sejarah berdirinya Kampung Surau memang sulit diterka. Begitu pula dengan tradisi masyarakat Minangkabau yang sangat terkenal, Merantau. Namun pengembangan Surau Syekh Burhanuddin di Pantai Barat Ulakan Pariaman pada abad ke-17 dapat dirujuk sebagai awal mula perkembangan Surau di seluruh wilayah Minangkabau yang cenderung menguat pada abad ke-18 melalui saluran tarekat Sufi. Azra:2004; Fathurahman 2006) Lewat perkembangan dan penyebaran tarekat Sufi di Surau-Surau Minangkabau, turut pula perlu disediakan makanan dan bekal yang diperlukan bagi santri-santri Surau selama bermukim di Surau. Di dalam tradisi tarekat Sufi, selama menjalankan amalan dan ritual tertentu, seperti puasa, bersuluk dan lain-lain, makanan yang bisa dikonsumsi dan harus tersedia adalah makanan yang tidak berasal dari sesuatu yang berdarah seperti hewan ternak, tetapi pada sisi lain, ia harus tahan lama, setidaknya selama menjalankan ritual peribadatan yang sifatnya berkala sebegaimana disebut di atas. Dengan kenyataan ini, dapat diperkirakan jejak kesejarahan tradisi dari makanan ini sudah melewati berabad lampau. Jika diasumsikan tarekat dan Surau di Dharmasraya telah ada pada sekurangya satu abad setelah era Syekh Burhanuddin, maka keberadaan Randang Paku sudah mulai dikenal dan ditradisikan sejak abad ke 19.      

Demikian pula dengan tradisi merantau. Bila bujang Minang cukup umur, maka merantau menjadi cara untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan. Dulu, merantau butuh perjalanan panjang. Bisa berminggu atau berbulan. Para Ibu, Bundo, menyiapkan bekal untuk anaknya dengan makanan yang tahan selama perjalanan. Dari situlah muncul randang dengan berbagai variasinya.

Kisah lain, seorang veteran perang menceritakan saat zaman bergolak bahwa Randang Paku disediakan untuk ransum bagi prajurit. Artinya, makanan ini sudah menjadi bagian penting di Kampung Surau.

Sebagai salah satu makanan tradisi di Kampung Surau, Randang Paku disajikan di berbagai upacara adat bersama jenis makanan tradisional lain. Setidaknya, pada acara adat yang berlangsung seperti, Baralek (Kenduri), Mandoa, aqiqah dan nazar. Sekarang, itu sudah menyebar di helat kenduri dan perayaan pemerintah di Dharmasraya.

Upaya pelestarian warisan budaya ini dilakukan oleh masyarakat Dharmasraya, sebagai salah satu bentuk perlindungan dan pengembangannya adalah melakukan pewarisan tradisi dan pembuatan usaha di bidang ini, agar masyarakat memiliki ingatan kolektif secara menyeuruh.

Malah saat ini, sebagian besar penduduk di sana bisa membuat Randang Paku. Bahkan ada yang menekuni makanan ini secara turun temurun. Misalnya keluarga Elyusri. Ia mendapat pelajaran memasak randang dari Musniati, ibu. Sedangkan Musniati mendapatkan dari Mustafa Dt. Palito Mulie.

Bahkan, Elyusri sekarang mengembangkan Randang Paku menjadi usaha keluarga. Kemudian, saat ini telah mendirikan gerai Randang Paku dengan nama “Rang Kito”. Rumah Produksi Randang Paku ini berlokasi di Jorong Kubang Panjang, Nagari Empat Koto, Pulau Punjung.

Pemerintah Daerah juga aktif mengenalkan makanan ini. Dimulai dengan manajemen perencanaan usaha. Kemudian dilanjutkan, promosi melalui media sosial, even yang diadakan pemerintah baik di Dharmasraya dan nasional. Pemerintah juga melakukan evaluasi perkembangan usaha untuk melihat apa yang masih dikembangkan.

Saat ini Randang Paku diminati masyarakat. Setiap rumah yang mempunyai usaha randang paku dapat menjual hingga 20 kg per bulan. Namun pada musim haji dan lebaran Idul Fitri permintaan ini meningkat tajam, karena daya tahan randang paku ini bisa mencapai tiga bulan, sehingga sangat cocok untuk persiapan pergi menunaikan Ibadah Haji.

Proses pembuatan randang paku ini cukup memakan waktu. Bahan-bahannya selain ikan dan paku terdiri dari: santan, cabe merah, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, kunyit, dan serai yang dihaluskan. Kemudian daun salam, daun kunyit, daun ruku-ruku, daun jeruk dan garam.

Waktu yang dibutuhkan untuk memasak randang paku sekitar 6 (enam) jam, tergantung pada jumlah porsi yang akan dimasak. Dalam proses pembuatan randang paku, kesabaran menjadi kunci utama untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Semua proses memasak masih menggunakan tungku dan kayu bakar. Randang paku ini dimasak hingga kering dan berwarna kekuningan. Hal ini dilakukan agar randang paku dapat bertahan lama dan memiliki cita rasa yang khas.


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Randang Paku Rangkito

Pulau Punjung Kabupaten Dhasmasraya

085292500506

ririmu'allimin@gmail.com

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Maestro Karya Budaya

Elyusri Febria Mu'allimin

Kubang Panjang Kec.Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya

085292500506

ririmu'allimin@gmail.com

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047