Batifar

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101432
Domain
Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta
Provinsi
Sulawesi Utara
Responsive image

Etimologi Wujud dan Praktek Tradisi

            Batifar bagi orang Minahasa merupakan kegiatan spesifik yang hanya terhubung dengan pohon arena tau enau dalam Bahasa Indonesia dan seho dalam Bahasa local serta arenga pinnata dalam bahas latin. Kegiatan ini hanya dilakukan pada mayang jantan (tandan buah kolang-kaling) untuk menghasilkan nira atau jus buah yang dalam Bahasa local disebut saguer. Sehingga, dalam konteks Warisan Budaya Takbenda (WBTb); kegiatan batifar dikategorisasi sebagai sebuah ‘pengetahuan’ atau ‘aktifitas’ local dan bukanlah sebagai sebuah produk. Dari sudut pandang ilmu tumbuh-tumbuhan atau pertanian; nira aren diperoleh dengan cara menyadap tangkai tandan bunga jantan. Miller (1964) menyatakan bahwa penyadapan dapat dilakukan setelah 70 hari bunga jantan muncul dari ketiak daun. Pohon aren siap disadap pada umur 7 sampai 12 tahun tergantung jenis aren dan waktu penyadapan yang terbaik apabila aren berumur 8 tahun sampai 9 tahun (Manaroinsong et. Al. 2009, 112). Namun begitu bagi petani yang melakukan praktek batifar, proses sadap menjadi lebih instingtif tanpa memperhatikan usia tumbuhan, namun dengan melihat karakteristik fisik atau fisiologis, misalnya tumbuhan seho telah menghasilkan buah yang cukup baik atau belum matang penuh.

            Batifar merupakan kata kerja dari kata dasar tifar yang diberi prefix ‘ba’ sebagai penanda kata kerja dalam Bahasa melayu-Manado. Tifar merupakan sebuah kata dalam Bahasa melayu yang diadopsi dari kata Portugis tifar dan dalam Bahasa Belanda tifferen yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti ‘disadap’ (untuk menyadap buah nira) dan dalam Bahasa Tontemboan (Bahasa local di Minahasa) make’et (Schwarz 1908 dalam Watuseke 1992, 323) berarti memukul buah/mayang dengan lembut. Meskipun istilah ini dianggap sebagai kata yang diubah dari kata “tiva” dalam Bahasa Maluku-Melayu Utara, atau bahkan dari kata Sansekerta “dvipa” yang diserap oleh pelancong Portugis (Watuseke, 1992:323) dan kata tifferen praktiknya sendiri ditemukan pada abad ke-17 di Batavia (Niemeijer 2021, 107;438).

Batifar adalah salah satu aktifitas masyarakat yang dilakukan kaum lelaki dewasa untuk menyadap atau mengambil jus tuak atau saguer dari pohon enau/aren atau pohon seho. Pohon seho adalah salah satu pohon yang mendapat posisi khusus dalam sejarah dan Kebudayaan Minahasa karena manfaatnya yang beraneka ragam mulai dari batang, daun dan  buah sampai dengan ijuk bahkan akarnya. Itulah sebabnya orang Minahasa mengganggap pohon enau adalah pohon yang paling berharga. Karena itu bagi masyarakat petani Minahasa, anak laki-laki disiapkan oleh ayahnya untuk dapat mengenal lapangan pekerjaan seperti batifar di samping pekerjaan lainnya.

Adapun material-material yang digunakan dalam menyadap buah nira atau batifar dapat dikategori dalam system teknologi tradisional karena menggunakan bahan-bahan tradisional dan relatif tidak berubah sejak dahulu dan hanya penambahan beberapa teknologi tambahan berbahan dasar plastic serta tersedia di alam sekitar, seperti: bamboo atau bulu, ijuk atau gomutu, tali (dahulu digunakan tali dari ijuk yang  dipintal dari kakendong atau alat pemintal tali ijuk), pisau khusus menyayat mayang, parang atau peda yang biasa dibawa oleh petani dan gallon.

Bambu yang diikat menggantung digunakan sebagai tempat menampung air nira saat menetes keluar dari mayang pohon enau dan bambu panjang digunakan sebagai tangga naik dan turun yang disebut totooren. Ijuk digunakan untuk mengikat (dibuat tali) dan tempat saringan yang juga untuk melindungi bambu tempat penampungan.

Aktivitas batifar dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Informasi penting yang diperoleh dari beberapa informan mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses menyadap saguer atau batifar yaitu:

1.                  Kebersihan mayang dari pohon enau atau seho;

2.                  Kematangan tangkai mayang dari pohon seho yang dapat dilihat dari buahnya yang setengah matang sebelum mennjadi kolang-kaling;

3.                  Bambu yang panjang (dapat mencapai pohon yang tinggi) dijadikan sebagai tangga, tekhniknya adalah jangan memotong habis cabang yang yang bertumbuh di ruas-ruas dari bambu tersebut;

4.                  Bambu tempat menampung saguer harus bersih;

5.                  Tangan penyadap saguer atau tukang batifar harus juga bersih.

Jika pohon seho sudah mempunyai tiga atau empat tandan buah pada berbagai ketinggian sekeliling batang, di bawah tandan yang terahir tumbuh sebuah batang yang disebut matang. Mayang ini tidak mempuyai buah melainkan hanya bunga. Andaikata orang alifuru (penduduk local) melihat sebuah pohon yang tak bertuan mulai berkembang dan sudah cocok untuk memberikan saguer, orang yang pertama datang itu menyandarkan sebuah tongkat yang diberi potongantempat berpijak pada pohon itu. Itulah pertanda hak kepemilikan yang dilakukan orang terhadap benda-benda alam. Pilihan terbaik ialah pohon yang belum pernah disadap, yang disebut pohon magori (kata ini disebut segala sesuatu yang pertama kali muncul; pohon, binatang dan sebagainya). Jika pohon tersebut terdapat ditanah orang lain, pemiliknya sendiri yang mengambbil saguer itu atau menyerahkannya kepada orang lain dengan imbalan sebagian hasil atau dengan bayaran uang.

Jika bunga mayang mulai berjatuhan, itu tandanya pohon seho akan mulai mengeluarkan cairannya. Segeralah orang memanjat dengan tangga bambu, yang pada ruasnya diberi tempat berpijak, lalu mayang itu dipukul-pukul beberapa kali dengan sepotong kayu yang disebut lo’loyan dan dengan demikian mayang menjadi lumat. Lalu orang menggoyang-goyangkannya kesana-kemari selama setengah jam dan membiarkannya selama tiga hari. Setelah itu orang mengulangi pemukulan tiap hari, sampai cairan itu berwarna keputih-putihan. Cairan itu diperoleh dengan membuat  sayatan pada mayang itu. Mayang kemudian dililit dengan beberapa daun dan setiap saat diperiksa apakah cairannya masih mengalir. Jika semua telah siap, kuncup dipotong, lalu digantungkan bambu beruas dua (gata) pada mayang tersebut. Dengan cara itu orang menampung semua cairan yang menetes dari mayang. Begitulah seterusnya tiap hari, tiap pagi dan sore gata itu diambil. Cairan yang telah diperoleh dituangkan ke dalam bambu yang lain yang dipikul di bahu. Setiap kali harus dibuat sayatan tipis pada batang dengan pisau yang memang khusus dipergunakan untuk itu.

Sejarah

Sejarah lisan dari masyarakat Minahasa, menjelaskan bahwa aktifitas batifar sudah dikenal sejak lama dan bagi mereka tidak ada catatan atau tepatnya ingatan pasti kapan aktifitas batifar ini mulai dilakukan dan mulai ada dalam khazanah budaya orang Minahasa. Namun berdasarkan informasi dari orang-orang tua yang pernah melakukan kegiatan batifar menyampaikan bahwadi zaman kakek buyut mereka aktivitas ini telah lama ada dan sampai sekarang warga Minahasa masih banyak yang melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa batifar telah ada sejak bergenerasi. Keberadaan batifar dapat dipastikan seiring dengan warga Minahasa mengenal minuman saguer karena intinya kegiatan ini adalah untuk memproduksi minuman tersebut yang kemudian dapat diolah menjadi produk-produk turunan setelahnya.

Pisau untuk menyayat mayang buah seho agar sari buahnya keluar dan dapat ditampung, adalah pisau yang khusus digunakan hanya untuk batifar. Karena jika tidak maka saguer akan berkualitas rendah, membusuk atau rasanya akan mengikuti apa yang dipotong oleh pisau dimaksud. Dicontohkan informan, bahwa kadangkala saguer yang dihasilkan rasanya akan berasa sensasi bawang atau memiliki sensasi pedas seperti cabe. Ditambahkan para informan, bahwa kadangkala saguer yang dihasilkan jika melanggar pantangan-pantangan iniakan membusuk dan hanya akan dibuang. Disamping itu juga bisa mengakibatkan pohon seho akan maraju (merajuk) dan tidak akan menghasilkan mayangbuah atau tidak akan menghasilkan saguer di kesempatan berikutnya. Secara bersamaan , tabung bamboo (aweyan) yang digunakan untuk manampung saguer tidak boleh dicuci agar raginya tetap dan dapat menghasilkan saguer yang baik (Renwarin 2007:190). 

Kearifan Lokal Batifar

Kearifan lokal masyarakat telah ada dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu hingga saat ini. Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang bisa bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam sebuah komunitas masyarakat untuk baradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Pada konteks ini batifar juga dapat dilihat dari sudut pandang kearifan lokal. Sejak dilaporkan dalam naskah-naskah colonial hingga saat ini, belum ditemukan praktek batifar dengan menggunakan alat-alat produksi dalam skala industry -sekalipun memang batifar merupakan praktek untuk mendapatkan saguer yang menjadi bahan baku industry skala kecil-. Artinya hamper tidak ada perubahan berarti dari alat-alat yang digunakan untuk batifar dan masih menggunakan peralatan yang asalnya dari alam sekitar. Kecuali beberapa penyesuaian dimana dahulu menggunakan bilah bambu sebagai penampungan sekarang lebih menggunakan galon yang terbuat dari plastik sebagai penampung akhir.

Nilai, Fungsi dan Makna di Masyarakat

Nilai dari batifar teruatam merupakan pekerjaan utama bagi kaum lelaki sehingga menuntut adanya semacam ritual inisiasi agar seseorang layak melakukan pekerjaan ini dan dilakukan sejak masih dini. Ini memperlihatkan adanya internalisasi nilai yang dilakukan sejak dini. Pada dasarnya, bagi masyarakat Minahasa, batifar dipercaya merupakan pekerjaan yang dapat membawa kebahagiaan secara utuh atau memperoleh tujuan seperti itu.

Batifar juga memiliki fungsi sosial, ketika sudah mendapatkan hasil dalam bentuk saguer, sang tifador akan berjalan pulang dari kebun mereka yang lewat sambal berkata “melep?’ (mari minum), jika mereka menanggapinya, dia harus menyuguhkan minuman ini. Di rumah dia juga harus menyajikannya dengan orang-orang lain, inilah suatu bentuk yang baru dari kebiasaan yang lama untuk minum bersama di suatu tempat minum, e’elepan (Renwarin 2007:190). Selain itu, ada pula fungsi sosial dari batifar seperti yang dapat terlihat dalam naskah Graaflan pada tahun 1850an, di mana dala deskripsinya, ketika melakukan kegaiatan batifar, juga tersirat ada fungsi sosial dari para pekerja dan masyarakat sekitar untuk mengikat silaturahmi, sekalipun nilai-nilai itu kemudian menjadi terkikis seiring semakin kentaranya nilai ekonomi dari batifar.

Potensi Budaya, Ekonomi, Pengembangan Masyarakat dan Pariwisata

Dari sudut pandang potensi kemasyarakatan secara utuh, batifar bisa menjadi batu loncatan atau penanda dari potensi budaya yang dapat memiliki efek ke bidang-bidang lain, yaitu ekonomi pariwisata dan ujungnya adalah pengembangan masyarakat. Ini dapat tercipta  lewat satu pembangunan lingkungan terpadu yang tidak hanya ‘menjual’ batifar itu sendiri tetapi produk lain, aktifitas sosial yang terkait dengannya dan hal-hal lain yang memungkinnkan. Ini dapat dilakukan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi wilayah di Minahasa pada tingkat Desa, Kecamatan ataupun Kabupaten, yang tepatnya pada suatu skala tertentu sesuai kebutuhan dan waktu tertentu –misalnya dalam pengucapan syukuratau bahkan lebih berkesinambungan-, termasuk demi pengembangan masyarakat di dalamnya.

Bagi masyarakat non-Minahasa terutama komunitas wisatawan lokal, sebagai suatu suguhan ‘eksotis’, batifar jelas memiliki potensi  pariwisata (edukatif) yang bisa digunakan untuk pembangunan masyarakat atau pun sebagai suatu ‘atraksi seni’ dan budaya. Ini bisa berlanjut dengan pengadaan sarana dan prasarana di area wisata di suatu wilayah tertentu, pelatihan pengembangan makanan lokal yang terhubung dengan kegiatan batifar dan bahkan bisa diperluas lagi serta kerajinan tangan sebagai komoditas strategi ekonomi-wisata, atau hal lainnya yang berkaitan.

Potensi pariwisata batifar memiliki potensi memberikan multiplier effects bagi berkembangnya potensi kemasyarakat lain dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan banyaknya wisatawan yang tidak hanya bertumpu pada wisatawan nasional dan mancanegara, tetapi juga lokal, akan berdampak pada miningkatnya permintaan di berbagai sektor penunjang wisata, seperti restoran, hotel, sarana transportasi, makanan daerah atau hasil kerajinan lokal. Hal ini merupakan potensi yang cukup besar dan sangat potensial untuk dikembangkan melalui program pembangunan masyarakat disuatu wilayah tertentu dengan menjadi batifar sebagai titik tolaknya. Hal ini diharapkan agar pula para penggerak usaha kecil menengah (UKM) di level terkecil, misalnya desa atau bahkan kelurahan dapat menjadi penerima manfaat dari dimanfaatkannya potensi batifar secara lebih menyeluruh dan sistematis.

Pada lain pihak, secara sosial, diperlukan kerja sama dengan semua elemen baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat lokal sebagai empunya potensi budaya dari pengetahuan batifar.


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Kelompok Tani Tumoutou

Lingkungan II, Desa Malola, Kec. Kumelembuai, Kab. Minahasa Selatan

0

(-)

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Maestro Karya Budaya

Yandri Sinaulan

Lingkungan II, Desa Malola, Kec. Kumelembuai, Kab. Minahasa Selatan

0

(-)

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047