Pupuik Sarunai

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101362
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Sumatra Barat
Responsive image

“Alam takambang jadi guru“, merupakan bahasa filosofis yang dijadikan dasar pemikiran bagi etnis Minangkabau. Begitu juga halnya dengan kehadiran berbagai alat musik tiup yang ada di Minangkabau misalnya seperti sarunai.

 

Teori ilmiah mengatakan “benda-benda yang sederhana lebih dahulu muncul dari benda yang bentuknya lebih rumit”. Begitu juga halnya dengan alat musik tiup Minangkabau. berawal dari pengamatan alam misalnya seperti bambu yang digunankan untuk pagar rumah, apabila ditiup oleh angin akan menghasilkan bunyi seperti bunyi “siulan” atau seperti bunyi puput.

 

Peristiwa munculnya sebuah alat musik tiup di Minangkabau antara lain saling berkaitan sebagai berikut:

-       Dari buluh (bambu) pagar menjadi saluang (versi lain ada juga yang menyebutkan berasal dari saluang peniup api di tungku).

-       Kemudian menjadi pupuik paimbau balam

-       Dari pupuik paimbau balam menjadi saluang Pauh

-       Dari saluang Pauh menjadi bansi

-       Seterusnya dalam pengembangannya menjadi pupuik  sarunai.

 

Bunyi alat tiup pada awalnya hanya dengan mengambil bunyi pupuik atau puput yang disebabkan oleh pantulan gelombang udara dalam suatu ruang. Kemudian masyarakat Minangkabau melakukan teknik cubo-cubo (uji coba) dengan menambahkan lobang yang menghasilkan bunyi yang baru. Setelah mendapatkan bunyi yang baru mereka mencoba memberi jarak atau spasi antar lobang nada, kemudian menambah atau membedakan volume lobang nada (besar kecilnya lobang nada) dan akhirnya mereka menemukan bunyi yang harmonis (tangga nada). Semua ini melalui proses yang sangat panjang dan perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam.

 

Sarunai pada awalnya adalah pupuik atau puput, yang disebut dengan lidah sarunai. Puput atau pupuik ini terbuat dari bambu tipis dengan jenis talang atau buluh kasok. Kemudian diberi induk sebagai tempat lobang nada. Dan seterusnya diberi tanduk sapi sebagai corong atau pengeras suara. Pupuik sarunai terdiri dari tiga bahagian, yang pertama bahagian lidah yang berfungsi sebagai sumber bunyi, bahagian induk sebagai tangga nada, bahagian ujung corong (tanduk ) sebagai pengeras suara.

 

Menurut cerita guru-guru Adat di sasaran Singo Barantai, kata “sarunai” terdiri dari penggabungan dua buah kosakata dalam bahasa Minangkabau yakni “saru” dan “kanai”. Yang dalam bahasa filosofinya adalah seruan mistik atau seruan dengan menggunak mistik, seruan yang menyentuh perasaan. Kecenderungan orang Minangkabau yang sering mempersingkat kata, akhirnya istilah tersebut menjadi “sarunai”.

 

Dalam permainan sarunai irama musik lebih cenderung sedih atau “baibo ibo” tak obahnya seperti orang maratok,  marauang-rauang atau menangis.

Di Minangkabau lantunan lagu yang dimainkan pada alat musik tiup lebih cenderung bernuansa sedih atau mendayu-dayu hal ini merupakan gambaran ungkapan perasaan hati seseorang yang gundah gulana, sedih, yang disampaikan melalui alat musik tiup.

Dalam permainan alat musik tiup taradisi ada tiga istilah yang mendasar antara lain adalah:

1.    Garitiak (teknik permainan jari)

2.    Garinyiak ( bunyi yang di hasilkan oleh garitiak)

3.    Gadiyiak (teknik gesek)

Sarunai memiliki 4 buah lobang nada dan menghasilkan 8 buah bunyi atau nada. Antara lain”5 nada standar “do,re,mi,fa, sol, dan 3 nada setengah “C#, D#, F#”. Perkembangan sarunai selanjutnya ada yang memiliki 5, 6, bahkan sampai 7 bh lobang nada. Nada-nada yang dihasilkan oleh sarunai pada awalnya bukan seperti nada diatonis musik barat akan tetapi hampir mirip dengan nada diatonis musik barat. Karena perkembangan zaman sarunai sudah banyak yang disesuiakan dengan tangga nada diatonis musik barat.

 

Untuk konteks Minangkabau, belum ditemukan informasi pasti kapan munculnya alat musik Sarunai ini. Namun, nama Sarunai telah ditemukan dalam manuskrip Tambo Minangkabau seperti; “maka dipalu gendang si Raja Nobat maka ditiup sarunai serendang kacang dan rabab kecapi, maka dikembang payung umbul-umbul, maka menari segala anak-anakkan bidadari dalam surga karena suka melihat anak Adam” (Manuskrip Koleksi Tambo Museum). Dalam manuskrip ini tidak ditemukan kapan Tambo ini ditulis, namun berdasarkan alas yang digunakan yakninya kertas Eropa diperkirakan bahwa manuskrip ini ditulis awal abad ke-19. Berdasarkan ini dapat diketahui bahwa pada abad ke-19 Sarunai telah dikenal di Minangkabau.

 

Puput sarunai biasanya dimainkan dalam bentuk seni pertunjukkan pada acara-acara hukum budaya yang ramai, seperti; upacara perkawinan, penghulu (batagak pangulu dalam bahasa Minang), dan alain sebagainya. Musik sarunai juga populer untuk mengiringi pertunjukan pencak silat Minang. Dalam sebuah penampilan, sarunai bisa dimainkan secara solo (sendirian) dan bisa digabung dengan alat musik tradisional yang lain, seperti talempong, gendang, dan lain-lainnya yang menghasilkan perpaduan bunyi dan irama tradisional khas Minang. Alat musik ini juga biasa dimainkan dengan lepas sama sekali, adil perorangan, pada saat memanen padi atau saat mengerjakan pekerjaan di ladang (Ediwar, Minawati, Yulika, Hanefi, 2017). 

 

Bidang corong merupakan bidang ujung sarunai yang dibuat bentuk membesar seperti ujung penghabisan alat musik trompet. Fungsi bidang ini merupakan untuk memperkeras atau memperbesar volume suara. Bidang ini biasanya terbuat dari kayu, terutama kayu gabus, dari tanduk kerbau yang secara alamiah telah mempunyai bentuk lancip mengembang, ataupun dari daun kelapa yang dibalutkan. Panjangnya sekitar 10 menyampai 12 cm, dengan garis tengah 6 cm di bidang yang mengembang. Dalam babak, cara, afal membuat sarunai terdapat spesifikasi yang bervarisi di tiap daerah. Bahkan tidak kekurangan jenis sarunai yang penataan nadanya diterapkan dengan prosedur menutup dan membongkar permukaan bidang corong (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997).

 

Terkait alat musik sarunai ini ada yang berbeda dari segi bentuknya yang berkembang di Minangkabau. Hal ini disebabkan terdapat perbedaan variasi dalam pembuatan sarunai di berbagai daerah. Bahkan ada jenis sarunai yang pengaturan nadanya dilakukan dengan cara menutup dan membuka permukaan bagian corong dan ada yang dilubangi di bagian batang sarunainya. Perbedaan variasi sarunai di Minangkabau dipengaruhi oleh kondisi geografisnya, misalkan pada daerah yang memiliki lahan sawah yang luas, maka puput sarunai akan banyak menggunakan batang padi. Sementara bagi daerah yang memiliki banyak ternak, alat musik sarunai banyak terbuat dari tanduk kerbau, dan begitu juga soal sarunai yang terbuat dari bambu juga dipengaruhi oleh tempat tinggalnya (Ediwar, Minawati, Yulika, Hanefi, 2017), (Siagian, 2016), (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997).

 

Setelah dikenal luas di dataran tinggi Minangkabau (kawasan Sumatera Barat sekarang), sarunai sebagai populer sebagai alat musik tiup tradisional Minang. Alat musik ini dikenal merata di Sumatera Barat, terutama di bidang dataran tinggi seperti di daerah Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota, dan juga di sepanjang pesisir pantai Sumatera Barat. Alat musik ini sejak lama telah dipopulerkan ke seluruh Indonesia oleh para imigran dari Minang dan juga telah dikenal di Malaysia dan masyarakat Banjar di Kalimantan dengan nama yang sama.

 

 


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Sanggar Palito Nyalo

Limau Manis, Kec. Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat

085272210914

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Maestro Karya Budaya

Irwandi

Limau Manis, Kec. Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat

082284647124

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047