ANTAR AJONG

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101422
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Kalimantan Barat
Responsive image

Salah satu tradisi masyarakat Desa Tanah Hitam Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas adalah kegiatan Antar Ajong. Menurut Awang Bujang (74), seorang pawang senior di Kecamatan Paloh, Antar Ajong sudah dilakukan masyarakat setempat sejak Zaman Kerajaan Majapahit, sebelum Kesultanan Sambas berdiri. Waktu itu, secara periodik masyarakat mengirimkan atau mengantar upeti kepada Kerajaan Majapahit berupa hasil-hasil bumi menggunakan perahu lancang kuning (Ajong).

Setelah Kesultanan Sambas berdiri, pengiriman upeti tersebut tidak dilakukan lagi. Dengan kata lain, masa awal munculnya antar ajong ini adalah bentuk hubungan pemerintahan dengan kerajaan Majapahit, yakni sudah menjadi lumrah jika suatu wilayah yang telah dikuasai sebuah kerajaan, maka rakyat di wilayah taklukannya tersebut harus patuh pada segala aturan kerajaan. Salah satu aturan tersebut adalah membayar upeti pada pihak kerajaan. Jadi saat itu, tidak ada kaitannya dengan keyakinan. Selain itu, amanah dari para leluhur bahwa tradisi ini jangan sampai hilang, maka seiring waktu, makna dari Antar Ajong tersebut mengalami pergeseran. Antar Ajong menjadi sebuah ritual yang dilakukan untuk menghindarkan masyarakat dari segala hal negatif seperti wabah penyakit, hama tanaman yang merajalela dan bencana alam.

Ritual ini juga sebagai pertanda dimulainya masa bercocok tanam padi. Pengaruh Animisme dan Dinamisme terhadap Melayu Sambas Sebelum Islam datang, alam Melayu Sambas sudah dipengaruhi oleh alam ajaran agama Hindu. Tercatat kerajaan Hindu Majapahit pernah memberikan pengaruh terhadap kerajan Sambas. Majapahit sebagai Kerajaan Hindu tentu sangat kental dengan animisme dan dinamisme di dalam peri kehidupan masyarakat pada waktu itu. Sehingga, Munawar M.Saad (2005: 69) mengatakan meskipun orang Melayu Sambas beragama Islam, pengaruh kepercayaan tradisional itu masih melekat kuat pada sebagian mereka.

Salah satu bentuk animisme dan dinamisme tersebut adalah Antar Ajong ini. Antar Ajong sebagai tradisi masyarakat Melayu Sambas, bahwa setiap tahun di bulan musim tanam, bulan Agustus diadakan suatu tradisi pantai disebut dengan Antar Ajong. Ada yang mengatakan asal muasal Antar Ajung ini adalah dilakukan untuk membalas jasa para leluhur yang telah datang untuk memberikan rezeki berupa padi kepada penduduk pantai. Untuk menghormati para leluhur dibuatlah semacam ’jung kecil’ yang diumpamakan ajong milik para leluhur yang berjasa itu. Ke dalam ajong tersebut diletakkan sesajian berupa beras atau padi, minyak kelapa, ketupat, ayam jantan yang masih hidup, dan banyak lagi bahan-bahan yang lain, persis seperti bahan-bahan yang ada dalam ajong milik para leluhur yang pernah mereka lihat itu, kemudian dilepas ke laut (pontianakpost.com). Antar ajong merupakan salah satu contoh amalan-amalan masyarakat pada alam Melayu Sambas yang sudah turun temurun hingga pada hari ini. amalan-amalan yang lain seperti bertepung tawar melahirkan, berkhitan atau besunat. Amalan-amalan itu merupakan tradisi masyarakat Melayu Sambas yang sulit untuk dihilangkan (pontianakpost.com). Dengan demikian, jelaslah bahwa kehidupan masyarakat Melayu Sambas khususnya pada tradisi ritual banyak dipengaruhi animisme dan dinamisme bahkan sebelum agama budaya yakni Hindu dan Budha muncul di Indonesia.

Melalui masyarakat yang dituakan maka dilakukan musyawarah masyarakat untuk menentukan hari atau tanggal pelaksanaan antar ajong. Apabila telah disepakati maka masyarakat secara bersama-sama mempersiapkan segala perangkat yang diperlukan khususnya untuk mencari kayu atau pohon di hutan kampung yang tepat untuk dijadikan bahan ajong tersebut. Dalam menentukan pohon tersebut terlebih dahulu dilakukan renungan oleh tetua untuk mendapatkan petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa dengan melakukan pembacaan doa bersama.

 

Apabila kayu tersebut sudah ditemukan maka dilakukan pengasapan atau pembersihan kayu tersebut dari roh-roh yang jahat, dengan harapan agar kayu tersebut tetap mampu membawa segala beban yang terdapat dalam ajong tersebut. Sebagaimana Hendropuspito (1983: 42) menyebutkan dalam upacara ini benda-benda lambang yang dipercaya memiliki kekuatan guna maksud tersebut. Pembuatan ajong tersebut dilakukan oleh masyarakat secara bergotong royong dari mulai memotong, membelah bahkan hingga mengecat serta memberi bentuk layar ajong tersebut. Sebagai informasi bahwa ajong yang didesain seperti layaknya perahu layar tersebut juga diisi dengan beberapa muatan seperti telur ayam, ratteh, beras kuning dan sebagainya.

 

Salah satu warga, Tamrin (52), yang berpartisipasi membuat Ajung menjelaskan, Ajung dibuat dari kayu Pelaik atau Lempung. Ini jenis kayu ringan dan mudah terapung. Warga juga menggunakan kayu Sengon. Kayu diambil dari pinggir hutan di sekitar kampung. Panjang Ajung sekira 1-2 meter. Lebar badan sekira 20-30 cm. Tinggi layar sekira 2-3 meter. Ada tiga layar di Ajung. Layar depan, berfungsi menentukan arah kapal, selain kemudi tentunya. Layar utama dan kedua untuk membuat ajung berlayar. Di samping ajung diberi cadik atau katir. Ini sebagai penyeimbang, supaya Ajung tidak roboh. Di bagian buritan ada kemudi dari kayu keras. Biasanya dari kayu Boris atau Kompas yang bisa tenggelam. Biaya pembuatan Ajung ini hasil patungan secara bersama seluruh warga dusun, atau orang yang sukarela dan mampu. Satu ajung menghabiskan dana sekitar Rp 250-300 ribu. Kepala Buana Lancang Kuning memberi bantuan sekitar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu, pada setiap dusun untuk pembuatan ajung. Pembuatan Ajung ini juga dilakukan secara bergotong royong; mulai memotong, membelah, bahkan hingga mengecat serta memberi bentuk layar Ajung tersebut. Apabila Ajung sudah selesai, maka dilakukan penurunan Ajung pada parit kecil sebagai wujud adaptasi untuk mengarungi lautan luas.

 

Sebelum Ajung dilepas, terlebih dahulu diantar dengan tradisi joget, dan tarian radat yang diiringi dengan bunyi-bunyian gendang tradisional masyarakat setempat. Pelepasan ajung harus dilakukan secara serentak oleh pemilik ajung yang merupakan wakil dari masing-masing dusun. Ajung pun digiring ke bibir laut yang selanjutnya akan terbawa arus menuju lautan lepas. Proses perjalanan Ajung-Ajung ini mempunyai arti yaitu bila waktu dilepas mengalami tingkat kesulitan untuk berlayar, maka dipercaya masih adanya unsur ketidakikhlasan. Begitu juga sebaliknya, bila Ajung tersebut melaju secara cepat tanpa hambatan, maka diasumsikan bahwa masa tanam akan berhasil. Ajung yang didesain seperti layaknya perahu layar ini juga diisi dengan beberapa muatan seperti telur ayam, ratih, beras kuning dan sebagainya. Tujuannya, tradisi ini merupakan proses mengantarkan sementara para penganggu tanaman padi akan ditanam oleh masyarakat agar dapat pergi sementara waktu.

Proses Antar Ajung ini terbagi dalam tiga fase. Fase pertama, masa pemberitahuan dari penghuni Ajung. Biasanya ada isyarat sejak enam bulan sebelumnya yang intinya memberitahukan bahwa sudah saatnya musim panen dilakukan, dan ini akan diiringi dengan masa makan emping bersama antar masyarakat secara terbuka. Selanjutnya, memasuki masa mengantar upeti ke istana dengan bahan-bahan seperti beras kuning, beras pulut, retih, emping dan padi yang jumlahnya serba sedikit sebagai syarat, biasanya dilakukan pada akhir tahun atau akhir masa panen padi. Malam harinya dilanjutkan dengan acara mengisi ajung. Ajung diisi dengan bermacam-macam wabe (hama penyakit bahasa Melayu Sambas), baik penyakit untuk tanaman, ternak maupun penyakit yang bisa menjangkiti manusia. Pada malam itu pula disediakan air untuk mandi benih. Setelah antar Ajung, barulah air tersebut dibagikan   kepada masyarakat untuk memandikan padi yang akan disewakan. Keesokan harinya, Ajung lalu diturunkan ke laut.

Pada malam harinya dilanjutkan dengan acara mengisi ajung, yaitu ajung diisi dengan bermacam-macam wabe atau hama penyakit. Baik penyakit untuk tanaman, ternak maupun penyakit yang bisa menjangkit kepada manusia. Inilah yang disebut masyarakat setempat dengan upacara besiak. Menurut Awang Bujang, Besiak adalah sebuah kegiatan untuk menangkap roh-roh jahat penguasa hal negatif guna dimasukkan ke dalam Ajong.

Proses penangkapan roh jahat tersebut juga dilakukan dengan menggunakan roh-roh (baik) penguasa alam gaib di kawasan setempat yang merasuki pawang. Beberapa pawang yang didampingi "peradi" (asisten pawang yang menjembatani komunikasi dengan roh) pun sudah siap dengan pakaian khusus berwarna kuning dan perlengkapannya. Pemain musik gendang, gong dan rebana pun telah bersedia. Tampak satu tong besar air yang dicampur dengan berbagai jenis bunga-bungaan di depan para pawang. Air ini nantinya akan digunakan warga untuk merendam benih padi sebelum ditanam.

Tak lama kemudian, upacara dimulai yang ditandai dengan pembakaran kemenyan oleh peradi sambil mengambur-hamburkan "ratteh" dan beras kuning ke sekeliling penonton. Aroma menyengat yang memberikan nuansa mistis dan merindingkan bulu roma serta-merta menyebar ke seluruh penjuru. Lalu, dimulailah proses pemanggilan roh. Ketika memanggil roh, peradi dan pawang bersahut-sahutan melantunkan syair dan lagu khusus yang diiringi dengan pukulan gendang dan alat musik lainnya. Sebelum syair habis dilantunkan, tiba-tiba, terjadi perubahan pada sang pawang. Tubuhnya berkelojotan sesaat dan matanya nanar. Itu diyakini sebagai pertanda bahwa tubuhnya telah disusupi oleh roh. Peradi kemudian berkomunikasi dengannya dan menyatakan maksud pemanggilan. Roh baik yang datang itu diminta untuk "menangkap" roh-roh jahat dan memasukkannya ke dalam ajong. Pawang yang sudah dirasuki roh itu terkadang bertingkah aneh-aneh. Ada kalanya ia memanjat di atas atap rumah, pohon dan sebagainya. Setelah itu, ia akan mengelilingi ajong sambil menaburkan ratteh atau mengipasinya dengan mayang pinang. Biasa pula ia minta dihibur dulu dengan nyanyian dan tarian.

Tak heran dalam prosesi ini, beberapa penari raddad memang telah disiapkan. Uniknya, di sini penari raddad yang ditampilkan terdiri atas ibu-ibu yang telah berumur, bukan para remaja. Menurut penulis, dari awal persiapan penentuan kapan waktu antar ajong sampai penari raddad sekalipun yang lebih diutamakan adalah mereka yang dituakan. Selain mereka lebih berpengalaman dan memahami betul prosesi tradisi ini, ini juga merupakan salah satu bentuk penghargaan dan penghormatan bagi tetua atau sesepuh. Pepatah melayu mengatakan, “mereka lebih dulu makan garam”. Artinya merekalah orang yang berpengalaman dalam tradisi ini. Pawang biasanya dirasuki oleh beberapa roh. Ini diketahui dari pengakuan roh yang meminjam tubuh pawang. Ketika ditanya peradi, ia memperkenalkan diri dengan nama yang berbeda-beda. Tak jarang juga ditemukan penonton yang ikut-ikutan dirasuki roh. Upacara baru dinyatakan selesai setelah roh tersebut menyatakan bahwa semua roh jahat yang ada dan potensial mengganggu telah ditangkap dan dimasukkan ke dalam ajong. Dengan demikian, ajong-ajong itu sudah siap untuk dihanyutkan ke laut. 

kepada masyarakat untuk memandikan padi yang akan disewakan. Keesokan harinya, Ajung lalu diturunkan ke laut.

Pada malam harinya dilanjutkan dengan acara mengisi ajung, yaitu ajung diisi dengan bermacam-macam wabe atau hama penyakit. Baik penyakit untuk tanaman, ternak maupun penyakit yang bisa menjangkit kepada manusia. Inilah yang disebut masyarakat setempat dengan upacara besiak. Menurut Awang Bujang, Besiak adalah sebuah kegiatan untuk menangkap roh-roh jahat penguasa hal negatif guna dimasukkan ke dalam Ajong.

Proses penangkapan roh jahat tersebut juga dilakukan dengan menggunakan roh-roh (baik) penguasa alam gaib di kawasan setempat yang merasuki pawang. Beberapa pawang yang didampingi "peradi" (asisten pawang yang menjembatani komunikasi dengan roh) pun sudah siap dengan pakaian khusus berwarna kuning dan perlengkapannya. Pemain musik gendang, gong dan rebana pun telah bersedia. Tampak satu tong besar air yang dicampur dengan berbagai jenis bunga-bungaan di depan para pawang. Air ini nantinya akan digunakan warga untuk merendam benih padi sebelum ditanam.

Tak lama kemudian, upacara dimulai yang ditandai dengan pembakaran kemenyan oleh peradi sambil mengambur-hamburkan "ratteh" dan beras kuning ke sekeliling penonton. Aroma menyengat yang memberikan nuansa mistis dan merindingkan bulu roma serta-merta menyebar ke seluruh penjuru. Lalu, dimulailah proses pemanggilan roh. Ketika memanggil roh, peradi dan pawang bersahut-sahutan melantunkan syair dan lagu khusus yang diiringi dengan pukulan gendang dan alat musik lainnya. Sebelum syair habis dilantunkan, tiba-tiba, terjadi perubahan pada sang pawang. Tubuhnya berkelojotan sesaat dan matanya nanar. Itu diyakini sebagai pertanda bahwa tubuhnya telah disusupi oleh roh. Peradi kemudian berkomunikasi dengannya dan menyatakan maksud pemanggilan. Roh baik yang datang itu diminta untuk "menangkap" roh-roh jahat dan memasukkannya ke dalam ajong. Pawang yang sudah dirasuki roh itu terkadang bertingkah aneh-aneh. Ada kalanya ia memanjat di atas atap rumah, pohon dan sebagainya. Setelah itu, ia akan mengelilingi ajong sambil menaburkan ratteh atau mengipasinya dengan mayang pinang. Biasa pula ia minta dihibur dulu dengan nyanyian dan tarian.

Tak heran dalam prosesi ini, beberapa penari raddad memang telah disiapkan. Uniknya, di sini penari raddad yang ditampilkan terdiri atas ibu-ibu yang telah berumur, bukan para remaja. Menurut penulis, dari awal persiapan penentuan kapan waktu antar ajong sampai penari raddad sekalipun yang lebih diutamakan adalah mereka yang dituakan. Selain mereka lebih berpengalaman dan memahami betul prosesi tradisi ini, ini juga merupakan salah satu bentuk penghargaan dan penghormatan bagi tetua atau sesepuh. Pepatah melayu mengatakan, “mereka lebih dulu makan garam”. Artinya merekalah orang yang berpengalaman dalam tradisi ini. Pawang biasanya dirasuki oleh beberapa roh. Ini diketahui dari pengakuan roh yang meminjam tubuh pawang. Ketika ditanya peradi, ia memperkenalkan diri dengan nama yang berbeda-beda. Tak jarang juga ditemukan penonton yang ikut-ikutan dirasuki roh. Upacara baru dinyatakan selesai setelah roh tersebut menyatakan bahwa semua roh jahat yang ada dan potensial mengganggu telah ditangkap dan dimasukkan ke dalam ajong. Dengan demikian, ajong-ajong itu sudah siap untuk dihanyutkan ke laut.


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Desa Tanah Hitam

Desa Tanah Hitam Kecamatan Paloh

081256781379

aidhini@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

Maestro Karya Budaya

Awang Bujang

Desa Tanah Hitam Kecamatan Paloh

085252588599

aidhini@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 29-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047