Tidi lo Tihu’o merupakan salah satu jenis tari tidi yang khusus dipentaskan di kalangan istana raja (Yiladia lo Olongia) pada zaman dahulu. Tidi (Bahasa Gorontalo) identik dengan kata tari. Akan tetapi ada kekhususan kalua tarian tersebut dilakukan di istana maka disebut tidi, tetapi kalau tarian di luar dari itu tidak dilekatkan kata tidi pada namanya. Seperti tarian Saronde tidak disebut tidi Saronde, momonto hutia tidak disebut sebagai tidi Momonto Hutia, dsb. Perkataan tidi ternyata merupakan upaya istana pada zaman dulu untuk memberikan kekhususan bahwa tarian yang dilekatkan kata tidi di depannya adalah tarian elit kaum istana atau bangsawan saja. Tarian Tradisional Gorontalo senantiasa berpijak pada pola-pola tradisi Gorontalo. Tari Tidi merupakan tarian klasik Gorontalo yang berkembang pada abad ke 17 dan 18 di kalangan istana, yaitu raja-raja dan kaum bangsawan, yang memiliki kristalisasi artisik yang tinggi dan telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang sehingga memiliki nilai Tradisional. Kata tidi menguatkan bahwa tarian ini merupakan jenis tarian klasik yang terlihat dari busana, gerakan tari, properti tari semua bernilai moral. Tidi lahir sejak zaman pemerintahan Raja Eyato pada tahun 1672. Daulima (2006:20) mengemukakan bahwa busana adat dan semua artibut melambangkan empat keterikatan yaitu keterikatan dalam menjalankan syare’at Islam, keterikatan sebagai ratu rumah tangga, keterikatan dalam menjalin kekerabatan antar keluarga tetangga dan masyarakat, dan keterikatan (membatasi diri) dalam pergaulan sehari-hari. Salah satu di antara tari tidi tersebut adalah Tidi lo Tihu’o. Tidi ini lahir sejak zaman pemerintahan Sultan Eyato yaitu tahun 1672. Bersama dengan enam tidi lainnya, tidi ini ditarikan sebagai hiburan bagi pembesar negeri terutama bagi olongia (raja) dan permaisyurinya (mongo Mbu’i). Tihu'o artinya rantai yang terangkai dari manik-manik dengan warna adat liango (tila batayila) yaitu warna kuning, merah, hijau dan ungu. Tidi ini bermakna menjalin persatuan dan kesatuan atau "buhuta wawu walama". Tari Tidi lo Tihu'o adalah tari klasik Gorontalo yang ditampilkan sebagai tanda syukur memasuki remaja, untuk memperoleh berkah dari maha pencipta, agar diberikan kehalusan budi pekerti, buhuta wawu walama antara orang tua, masyarakat, lingkungan saling menghormati dan saling menghargai yang dilambangkan dengan untaian mutiara yang menjadi satu keputusan dalam satu ikatan. Syair lagu Tidi lo Tihu’o diciptakan pada masa Eyato. Seperti terlihat dalam syair lagu, kata-katanya bersifat klise yang hanya dipahami oleh mereka yang hidup pada zaman dulu. Syair itu tetap dipertahankan hingga sekarang ini. Lagunya pun mengandung irama khas sebagaimana terlihat pada lagu-lagu Gorontalo zaman dulu yang ada pada tarian Saronde dan tari Tidi lo O’ayabu yang dapat dinyanyikan perorangan maupun Bersama-sama dengan iringan Rebana. Bahkan dalam kreasi sekarang sudah dapat berkolaborasi dengan alat musik modern. 1) Pelaku tari merupakan putri bangsawan, berasal dari kalangan olongia (raja), wali-wali mowali, atau para pejabat-pejabat negeri; 2) Menggunakan pendamping yang terdiri dari : 2, 4 sampai dengan 6 orang. 3) Jumlah penari bisa terdiri dari tiga, lima, atau tujuh sudah termasuk pengantin. 4) Busana yang diapakai adalah busana adat bili’u dengan huwo’o (rambut) yang dilambangkan dengan kotak-kotak terbuat dari perak bersepuh emas, terdiri dari 5 (lima) susun, bagi pengantin. |
1) Menggunakan hiasan dada berupa kucubu panjang, dengan kalung mutiara, bersusun 5 (lima). 2) Pendamping memakai busana adat madipungu dengan hiasan sunthi 5 (lima) tangkai di atas konde dengan kembangnya model kuntum bunga seruni. 3) Alat tari berupa rantai yang terangkai dari mutiara, panjangnya 1 meter yang ujung-ujungnnya disematkan pada jari tengah di saat menari, dengan 2 kuntum bunga menandai ujung rantai mutiara, di jari tengah tangan kanan dan tangan kiri. 4) Musik pengiring yaitu rebana yang dimainkan oleh group music rebana. 5) Lagu iringan Lagu “`Tidi lo Tihu’o” yang dinyanyikan oleh group musik rebana. 6) Tempat di kediaman pengantin perempuan, di depan pu’ade (tempat duduk pengantin). 7) Waktu pelaksanaan pada acara malam pertunangan (mopotilanthahu) atau molile huwali dan pada acara malam resepsi pernikahan. 8) Hadirin selain undangan, juga para pejabat, kalu di zaman kerajaan dulu dihadiri oleh kerabat kerajaan dan pejabat-pejabat negeri.
|
SYAIR LAGU
Dalam perkembangan selanjutnya Tidi lo Tihu’o ini juga ditarikan pada upacara adat penyambutan tamu negeri, dan upacara penobatan dan pemberian gelar adat pada Bupati/Walikota, atau pun penganugerahan gelar adat kehormatan pada pembesar negeri, dari luar daerah Gorontalo.
|
Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 28-01-2022
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya