Wayang Kulit Gagrak Malangan

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101505
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

Gambaran Umum Wayang Kulit Gagrag Malangan Tingkat estetika sebuah kesenian wayang kulit sangat dipengaruhi oleh reinterpretasi seorang dalang terhadap perwujudan vokabuler yang berlaku pada suatu sub-budaya tertentu. Kemampuan tersebut diperlukan bagi seorang dalang untuk menemukan kekhasan jati diri pada pakelirannya yang kemudian disebut gaya (Murtiyoso, 2004:57). Setiap sub-gaya memiliki ciri khas yang terletak pada penerapan vokabuler gerak sabet, penggunaan bahasa, serta penerapan iringan pakeliran. Dalam seni pertunjukan tradisi wayang kulit di Jawa Timur eksistensinya masih terjaga melalui proses pewaris secara turun-menurun. Hal ini yang melatarbelakangi setiap dalang untuk mengembangkan kreativitasnya berdasarkan ajaran dalang-dalang yang dijadikan patron. Konsep tersebut membuat seorang dalang dapat memiliki ciri khas dalam pakelirannya (Sudarsono, 2001:36). Pertunjukan Wayang Kulit Gaya Malangan Malang sebagai salah satu Kabupaten di dalam Provinsi Jawa Timur yang bermasyarakat heterogen, keseniannya juga memiliki corak sendiri yang berkembang di Kota Malang. Suyanto telah mengungkapkan bahwa, Jawa Timur berdasarkan wilayah budaya menjadi beberapa wilayah etnis yaitu: (1) Etnis Jawa Osing, meliputi eks Karesidenan Besuki dan Madura. (2) Etnis Jawa Timuran, meliputi eks Karesidenan Malang, Sidoarjo, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Gresik, dan Lamongan. (3) Etnis Jawa Pesisisr Utara, yaitu Tuban, Gresik, dan Bojonegoro. (4) Etnis Jawa Pesisir Selatan, yaitu Pasuruan dan Malang Selatan. (5) Etnis Jawa Tengahan, meliputi eks Karesidenan Madiun dan eks Karesidenan Kediri (2002:1-2). Malang termasuk daerah etnis budaya pesisir selatan yang mempunyai ragam budaya campuran antara budaya Jawatimuran dan Madura serta etnis budaya Jawatengahan (Suyanto, 2002:2). Wayang kulit Jawatimuran gaya Malangan jika ditelusuri jejaknya belum ada keterangan yang jelas, bagaimana asal-usulnya wayang kulit gaya Malangan mulai muncul dan berkembang di daerah Malang. Hal tersebut seperti yang telah diungkapkan oleh Suyanto, munculnya wayang Malangan itu tidak diketahui sampai sekarang, yang jelas pertunjukan wayang sudah ada sejak jaman Kerajaan Singasari. Perkembangan wayang Malangan sekitar era 1965, yang diartikan berkembang adalah sudah memakai gamelan pelog dan slendro, gending-gending Surakarta (Suyanto, wawancara 04 Juni 2019). Pada wayang gaya Malangan, jika dilihat gaya pakelirannya sesungguhnya mengimplementasikan pada wayang topeng Malangan mulai dari gending dan pembagian pathet semuanya dari wayang topeng, sedangkan dilihat dari bentuk pertunjukan wayang kulit gaya Malangan sangatlah berbeda dengan wayang topeng gaya Malangan, perbedaan tersebut berada pada struktur penyajian. Berikut ini struktur pertunjukan wayang kulit Jawatimuran gaya Malangan meliputi: 1) Giro (gendhing becek, gendhing samirah, gendhing reting, gendhing godril, gendhing walang kekek). Gending-gending tersebut adalah sebuah iringan pembuka sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai. 2) Tari ngerema atau tari remo suatu tarian khas dari Jawa Timur, tidak sedikit dalam acara sesi tari rema penonton yang menyawer untuk minta lagu-lagu. Setelah tari rema berakhir dilanjutkan dengan campursari terkadang diikuti oleh dhagelan (humor). 3) Ayak atau Talu pertunjukan wayang kulit akan segara dimulai. 4) Jejeran sepisan terdiri dari empat bagian meliputi: babak sengkan atur, babak dhayohan, babak jengkaran, babak padupan. 5) Paseban Jawi 6) Budhalan atau bodholan 7) Cegatan (sabrangan) 8) Perang gagal pisan 9) Jejer pindho (adegan kedua) 10) Perang gagal pindho 11) Berpindah pathet sanga dilanjutkan dengan jejer sanga pisan. 12) Perang begal (buta alasan, kupu tarung) 13) Jejer sanga pindho (sintrenan) 14) Perang sanga pindho 15) Berpindah pathet wolu miring dilanjutkan dengan jejer miringan 16) Perang malihan (perang badhar) 17) Berpindah pathet serang dilanjukan perang brubuh 18) Jejer pamungkas 19) Golekan 20) Tancep kayon Bentuk Iringan Gaya Malangan Iringan dalam pakeliran adalah semua bentuk sajian nada ataupun suara, baik berasal dari instrumen gamelan, vokal wirasuwara, dan vokal swarawati, maupun bunyi kotak (dhodogan) dan keprak guna mendukung suasana pakeliran (Suyanto, 2007:39). Sudarsono berpendapat bahwa iringan pada pertunjukan wayang kulit Jawatimuran secara umum memiliki berbagai unsur meliputi, pelungan, sulukan, gending, dhodokan, dan keprakan (Sudarsono, 2001:57). Penggunaan ricikan gamelan pada pakeliran gaya Malangan secara garis besar sama seperti pakeliran pada umumnya, dengan menggunakan seperangkat gamelan pelog dan slendro. Akan tetapi dalam bentuk penyajiannya iringan gaya Malangan memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan ini terdapat pada bentuk iringan gendhing ganda kusuma, ayakayak, playonan, krucilan, grebeg. Peralatan Pertunjukan Peralatan pertunjukan wayang adalah semua peralatan atau berbagai instrumen yang sangat mendukung keutuhan pertunjukan wayang kulit, jika peralatan ini tidak ada maka tidak akan berjalan semestinya (Soetarno, 2007:63). Peralatan-peralatan yang mendukung pagelaran wayang kulit berupa: boneka wayang, gamelan, blencong, kelir, kothak, cempala, dan keprak (Sunardi, 2013:59). Dewasa ini bentuk pertunjukan wayang kulit gaya Malangan semakin berkembang, sehingga membutuhkan peralatan-peralatan yang serba canggih, seperti snare dram, bedug, simbal, orgen, hingga saksofon . Hal ini bertujuan untuk menarik minat masyarakat. Boneka Wayang Pertunjukan wayang kulit, boneka wayang memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai visualisasi pemeran watak tokoh. Oleh karena itu pertunjukan wayang kulit merupakan benda mati, yaitu wayang, sebagai pemeran watak tokoh, maka dibantu oleh dalang untuk menghidupkan peran tersebut (Soetarno, 2007:63). Selain menjadi visualisasi pemeran tokoh, boneka wayang juga memiliki peran yang berbeda-beda. Ditinjau dari tata letaknya dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu: wayang simpingan dan wayang dhudhahan. Wayang simpingan adalah boneka wayang yang ditata sejajar secara berurutan dari besar hingga yang kecil diletakkan pada sisi kanan dan kiri jagatan (bagian kelir yang digunakan sebagai ruang gerak wayang), sedangkan wayang dhudhahan adalah boneka wayang yang digunakan pada saat pementasan berlangsung. Penataan wayang simpingan kiwa pada umumnya berisi tokoh-tokoh yang digambarkan memiliki watak keras serta tegas, seperti tokoh Raksasa dan kedhelen, sedangkan pada simpingan tengen terdiri dari tokohtokoh wayang yang memiliki perwatakan halus, seperti tokoh katongan, bambangan, dan wayang yang memiliki wajah luruh (merunduk). Dalam penataan wayang simpingan pagelaran wayang kulit Jawatimuran gaya Malangan memiliki ciri khas yang berbeda, terdapat pada bagian atas simpingan tengen terdapat tokoh wayang Bathara Guru, sedangkan pada simpingan kiwa terdapat tokoh Bathara Durga. Penataan simpingan umumnya memiliki kaidah khusus berdasarkan ukuran wayang serta wanda. Akan tetapi sedikit berbeda pada gaya Malangan dengan keterbatasan pengetahuan tentang wanda wayang, maka simpingan hanya disusun berdasarkan ukurannya. Gamelan Setiap pertunjukan wayang, gamelan digunakan sebagai pendukung suasana di dalam sebuah pakeliran. Perangkat gamelan sebagai media atau alat yang berperan sebagai sumber bunyi atau suara untuk mendengarkan komposisi gending-gending, termasuk lagu, tembang dan sulukan, sebagai suasana pendukung pakeliran (Suyanto, 2007:7). Di dalam perkembangannya, setiap pertunjukan wayang sudah menggunakan seperangkat gamelan Jawa dengan nada pelog dan slendro, serta dengan penambahan instrumen di luar gamelan seperti, snare dram, bedug, simbal, orgen, hingga saksofon. Instrumen yang digunakan pada gamelan wayang kulit Jawatimuran gaya Malangan masih sama seperti gaya Surakarta dan Ngayogyakarta, yang terbagi menjadi: kendang, rebab, gender penerus, gender barung, slenthem, gambang, siter, suling, kenong, kethuk-kempyang, kempul, gong, demung, saron, saron penerus, bonang penerus dan bonang barung. Akan tetepi dalam penggunaan kendang berbeda, pada gaya Malangan menggunakan kendang Jawatimuran atau kendang Jek Dong yang memiliki bentuk lebih panjang dan lebih besar. Kelir dan Blencong Kelir merupakan satu rangkaian dari gawangan. Kelir (screen) terbuat dari kain putih tipis tetapi yang kuat, sehingga apabila digunakan untuk penampilan wayang bayangannya nampak jelas. Pada bagian atas dilapisi kain berwarna hitam ataupun merah, dengan ukuran lebar 1,5 sampai 2 meter dan panjang 3 sampai 3,5 meter (Sunardi 2013:70), sedangkan gawangan adalah frame atau bingkai untuk membentang kelir yang dibuat dari kayu jati yang diukir atau bambu berfungsi sebagai penyangga Kelir memiliki panjang 8 meter. Pada bagian atas kelir juga terpasang plisir, sebuah kain yang digunakan sebagai penutup. bagian lain gawangan terdapat tapak dara. Tapak dara merupakan penyangga gedebog (batang pisang), sehingga tapak dara memberi kesan berundak atas dan bawah. Pada gedebog bagian atas dipergunakan untuk menancapkan tokoh wayang dengan peranan, derajat, status, umur yang lebih tua, biasanya gedebog bagian atas dalam adegan jejer disebut dhampar. Sedangkan gedebog bagian bawah diperuntukan tokoh-tokoh wayang dengan status dan derajat yang lebih rendah, dalam adegan jejer disebut paseban. Kelir dalam pertunjukan wayang kulit memiliki fungsi sebagai mempergelarkan lakon wayang. Di samping sebagai penataan simpingan, kelir juga sebagai simbol alam semesta atau jagatan tempat kehidupan tokoh-tokoh wayang yang dirangkai menjadi satu kesatuan dalam lakon wayang. Kelir yang memiliki bentang yang kuat serta tidak kendor dapat memberikan efek visual kuat bagi boneka wayang yang sedang dimaninkan. Efek visual ini dapat dinikmati oleh para penonton atau penghayat dari depan maupun belakang kelir. Pada pagelaran wayang kulit Jawatimuran gaya Malangan kelir yang digunakan tidak berbeda dengan gaya lainnya. Blencong adalah alat untuk penerangan dalam pagelaran wayang. letak lampu blencong berada di depan kelir, tepat di atas tempat duduk dalang. Pada masa lalu blencong menggunakan minyak serta sumbu yang besar kecil apinya diatur dengan alat yang disebut japit. Pada perkembangannya penggunaan blencong digantikan dengan petromak yang memiliki sinar lebih terang, dan dewasa ini menggunakan bolam lampu listrik dengan cahaya yang lebih terang. Fungsi utama lampu blencong untuk memperkuat efek bayangan wayang, yang berarti menghidupkan tokoh wayang itu sendiri. Selain itu, blencong juga menerangi jagatan, sehingga penonton yang dari jarak jauh maupun dekat bisa melihat tokoh wayang dengan jelas (Sunardi, 2013:75). Pada pertunjukan wayang kulit gaya Malangan ada beberapa dalang yang menggunakan penambahan lampu blencong seperti strobo serta lampu warna-warni. Hal ini digunakan demi mendukung keperluan adegan atau suasana yang dibutuhkan. Kothak, Cempala, dan Keprak Keberadaan kothak merupakan hal yang wajib ada dalam sebuah pertunjukan wayang kulit. Jika dilihat dari fungsinya kothak memiliki peran sebagai tempat menyimpan boneka wayang yang akan dan selesai ditampilkan (Suyanto, 2007:8). Pada umumnya kothak berbentuk empat persegi panjang yang terbuat dari kayu nangka, suren, atau jati. Dalam pertunjukan wayang kulit, kothak merupakan peralatan yang mendukung sajian dari dalang. Posisi kothak wayang berada pada sebelah kanan dalang dengan tutup kothak berada pada sebelah kiri dalang (Sunardi, 2013:72). Kothak memiliki kontribusi penting bagi terwujudnya kualitas pagelaran wayang kulit. Karena selain untuk tempat penyimpan boneka wayang, kothak juga memilki fungsi untuk menimbulkan suara dari cempala sehingga menghasilkan sumber bunyi yang disebut dhodhogan, serta sebagai tempat untuk penataan keprak yang dihasilkan dari hentakan kaki dalang yang menimbulkan suara keprakan. Cempala merupakan salah satu perlengkapan pakeliran yang terbuat dari kayu galih, asem, besi, atau sawo. Cempala memiliki bentuk stupa dengan dihiasi ukiran. Fungsi dari cempala selain untuk dhodhogan, cempala juga sebagai alat mengendalikan jalannya iringan pakeliran, sehingga menimbulkan kesan efek suara seperti: lamba, rangkep, ganter, banyutumetes, dan angganter (Sunardi, 2013:75). Dalam pertunjukan wayang biasanya dalang menggunakan dua jenis cempala yakni cempala ageng dan cempala alit atau cempala suku. Keduannya memiliki fungsi yang sama, tetapi penempatannya berbeda. cempala ageng biasanya dipegang di tangan sebelah kiri dalang, sedangkan cempala alit atau cempala suku dijapit di antara ibu jari dan telunjuk kaki kanan dalang. Keprak merupakan kepingan logam yang terbuat dari perunggu, kuningan, atau monel dengan ukuran standar, satu set keprak pada umumnya terdiri dari empat keping antara lain: totogan, penitir, isen, dan jejakan. Memiliki bentuk segi empat yang digantungkan tali dan dan pengait dengan posisi menempel pada dinding kothak bagian luar. Teknik membunyikan keprak dengan cara menyepak keprak dengan telapak kaki kanan dalang. Teknik ini berkaitan erat dengan efek suara keprak yang berkualitas dan sesuai kebutuhan sehingga menghasilkan suara gejrosan dan sisiran (Sunardi, 2013:74). Cempala dan keprak merupakan satu kesatuan alat dalam pertunjukan wayang kulit yang berfungsi untuk memberikan penguatan pada suasana yang diciptakan dalang. Kedua instrumen tersebut memiliki hubungan sinergis dengan garap catur, sabet dan iringan pakeliran. Di dalam pertunjukan wayang kulit Jawatimuran gaya Malangan kothak, cempala, dan keprak yang digunakan masih sama seperti pakeliran gaya Surakarta pada umumnya. Perbedaan hanya terdapat pada kothak yang tidak diberi ukiran. Akan tetapi tidak semua dalang menggunakan kothak tanpa ukiran. Penggunakan keprak pada pagelaran wayang kulit Jawatimuran gaya Malangan sedikit berbeda, terbuat dari besi dan berjumlah 3 sampai 5 bilah


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022

Komunitas Karya Budaya

SANGGAR MADYO LARAS JATIGUWI

Dusun Jatimulyo (Kebon Klopo) Desa Jatiguwi Kecamatan Sumberpucung

6281217543620

bidangbudayakabmalang5@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022

Maestro Karya Budaya

Anwar supriadi

Lawang

6281217543620

bidangbudayakabmalang5@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047