Kalosara

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300048
Domain
Pengetahuan dan Kebiasaan Perilaku Mengenai Alam dan Semesta
Provinsi
Sulawesi Tenggara
Responsive image

Kalosara atau yang biasa disebut juga dengan kalo merupakan sebuah simbol hukum adat pada kebudayaan Tolaki di Sulawesi Tenggara yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kalosara digunakan dalam berbagai aturan hukum adat seperti hukum dalam bidang pemerintahan, pertanahan, perkawinan, pewarisan, utang-piutang, konflik dan penyelesainnya, serta banyak bidang lainnya.

Kalosara berbentuk lingkaran uang terbuat dari tiga utas rotan yang kemudian dililit ke arah kiri berlawanan dengan arah jarum jam. Ujung lilitannya kemudian disimpul dan diikat, dimana dua ujung dari rotan tersebut tersembunyi dalam simpulnya, sedangkan ujung rotan yang satunya dibiarkan mencuat keluar.

Tiga ujung rotan yang dua di antaranya tersembunyi dalam simpul berkaitan erat dengan kata bijak Orang Tolaki yang berbunyi: kenota kaduki osara mokong gadu'i, toono meohai mokonggoa'i, pamaernda mokombono'i. Kalimat tersebut memiliki arti bila dalam menjalankan suatu adat terdapat kekurangan, maka hal tersebut harus dapat diterima sebagai bagian dari adat orang Tolaki dan tidak boleh dibeberkan kepada umum atau orang banyak.

Sementara itu, lilitan tiga utas rotan mempunyai makna sebagai kesatuan dari stratifikasi sosial Orang Tolaki yang terdiri dari anakia (bangsawasan), towonua (penduduk asli atau pemilik negeri) yang juga bisa disebut sebagai toono motuo (orang yang dituakan) atau toono dadio (penduduk atau orang kebanyakan), dan o ata(budak). Selain itu, tiga lilitan rotan juga memiliki makna sebagai satuan dari keluarga, yakni bapak, ibu, dan anak sebagai unit terkecil jika digabungkan atas beberapa keluarga akan membentuk suatu masyarakat. Stratifikasi sosial tersebut mempengaruhi ukuran kalosara yang dipergunakan, yaitu:

• Kalosara dengan ukuran lingkaran yang dapat masuk dalam tubuh manusia dewasa diperuntukkan bagi urusan golongan bangsawan.

• Kalosara dengan ukuran lingkaran dapat masuk pada bahu manusia diperuntukkan bagi urusan-urusan golongan toono motuo yakni para pemangku adat.

• Kalosaro dengan ukuran lingkaran dapat masuk pada kepala atau lutut manusia dewasa diperuntukkan bagi urusan-urusan golongan toono dadio atau orang kebanyakan.

Meskipun demikian stratifikasi sosial yang disebutkan sebelumnya merupakan stratifikasi sosial lama karena terdapat perbuahan dalam kebudayaan Orang Tolaki, terutama karena saat ini tidak dikenal lagi golongan o ata atau budak. Terkait dengan pergeseran stratifikasi tersebut maka ukuran kalosaro yang dipakai juga mengalamai perubahan. Jika dahulu Orang Tolaki mengenal tiga jenis kalo yang penggunaannya diperuntukkan untuk tiga status sosial, maka saat ini OrangTolaki saat ini hanya mengenal dua ukuran kalosaro sesuai peruntukkannya, yaitu:

• Kalosaro dengan diameter 45 cm yang diperuntukkan untuk golongan anakia dan jabatan Bupati ke atas (Bupati, Gubernur, dan seterusnya)

• Kalosaro dengan diameter 40 cm yang diperuntukkan bagi golongan toono motuo (orang-orang yang dituakan) dan toono dadio (penduduk atau masyarakat kebanyakan).

Terdapat beberapa versi mengenai munculnya kalosaro pada Orang Tolaki. Versi yang pertama mengungkapkan bahwa kalosara diciptakan dan digunakan pertama kali oleh Wekoila. Wekoila sendiri merupakan utusan dari Sangia I Wawo Sangia, atau dewa penguasa dunia atas. Wekoila mengaku diutus untuk mengatasi kekacauan di Konawe (meliputi Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, dan Kolaka Utara sekarang) yang dikarenakan adanya perang saudara antara tiga kerajaan yang berada di tanah tersebut, yaitu Besulutu, Padangguni, dan Wawolesea. Sebagai bukti bahwa Wekoila merupakan utusan dewa, maka dirinya kemudian memperlihatkan suatu benda sakti yang dapat dipakai untuk memulihkan Konawe menjadi damai dan bersatu di bawah satu pemerintahan. Benda tersebut adalah kalosara.

Wekoila kemudian dinikahkan dengan anak dari Raja Padangguni dan memindahkan pusat Kerajaan di Kambo llaronii (sekarang Unaaha) dan kemudian mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Konawe. Setelah itu kemudian Wekoila memerintahkan penduduk yang berada di tempat tersebut membuat duplikat kalosaro sebanyak jumlah onapo (setingkat kampung) dan otobu (setingkat kecamatan). Setelah duplikat selesai dibuat maka Wekoila kemudian mengirim duta untuk mengundang tamu dari kerajaan lain. Para duta ini masing-masing membawa duplikat kalosara yang diletakkan pada suatu wadah dari peralatan dapur dan dilapisi dengan kain putih bersih. Kalosara yang dibawa tersebut dianggap merupakan pengganti diri Wekoila. Para undangan tersebut kemudian memenuhi undangan Wekoila dan berkumpul di Kambo llaronii.

Dalam pertemuannya bersama undangan tersebut Wekoila menjelaskan tentang keberadaannya sekaligus menjelaskan tentang kalosara yang merupakan benda dari Sangia I Wawo Sangia. Pertemuan ini menghasilkan dua kesepakatan penting, yakni: kesepakatan untuk mengangkat Wekoila menjadi Raja Konawe dan menetapkan kalo sebagai benda adat kebesaran Kerajaan Konawe. Selain dua keputusan itu, juga dibuat keputusan lain, yakni:

• Bahwa kalosara ditetapkan sebagai simbol kehadiran sangia saat mengambil keputusan dalam berbagai situasi tertentu.

• Memberi nama peowai untuk kalosara, memiliki arti aturan yang diberlakukan di seluruh Konawe

• Mengikuti petunjuk Wekoila untuk meletakkan kalosara di hadapan atau di tengah-tengah suatu pertemuan dalam berbagai upacara adat.

• Menetapkan petugas pabiatara atau to/ea yang akan menjalankan atau memegang atribut kalosara

• Menetapkan ukuran kalosara yang disesuai dengan tiga golongan pada stratifikasi sosial di Konawe.

Demikianlah sejak saat itu Orang Tolaki mengenal tiga jenis ukuran kalosara dan termasuk sasaran penggunaannya. Versi lainnya dikatakan bahwa keadaan kacau yang melanda Konawe tersebut disebabkan oleh mewabahnya penyakit yang mematikan. Keadaan ini tidak dapat diatasi sehingga para orang tua sepakat untuk meminta bantuan kepada Raja Luwu. Raja Luwu sepakat untuk membantu tetapi dengan syarat, bahwa jika kemudian orang yang dia utus dapat mengatasi kekacauan itu maka utusan ini harus dijadikan raja.

Hal itu kemudian menjadi kesepakatan antara Raja Luwu dan utusan dari Konawe dan kemudian Raja Luwu mengutus dua orang yaitu Larumbalangi dan Wekoila. Kedua utusan tersebut kemudian berhasil memulihkan keadaan di Konawe. Larumbalangi memulihkan keadaan kacau di Mekongga dan kemudian dilantik menjadi raja. Wekoila berhasil memulihkan keadaan di Konawe namun tidak dapat dilantik menjadi raja karena pada saat itu kerajaan tersebut masih dipimpin oleh Raja Ramandalangi.

Ramandalangi kemudian menikah dengan Wekoila. Setelah Ramandalangi meninggal, kemudian Wekoila menggantikannya sebagai raja. Pada saat Wekoila menjadi raja, di Kerajaan Konawe masih terdapat tiga kerajaan kecil yakni Kerajaan Padangguni, Kerajaan Besulutu, dan Kerajaan Wawolesea. Wekoila menginginkan suatu struktur pemerintahan yang kuat dan baik di seluruh Konawe tetapi mendapat tantangan dari tiga kerajaan kecil itu. Untuk mewujudkan maksudnya, Wekoila kemudian meminta kepada tiga kerajaan itu bersatu dalam satu kerajaan. Padangguni dan Wawolesea menyambut dengan baik, namun Besulutu menolak maksud tersebut.

Melihat penolakan tersebut, Wekoila kembali mengirimkan utusan untuk menemui Raja Besulutu. Oleh Wekoila utusan tersebut dilengkapi dengan benda yang disebut kalosara sebagai perlambangan dari Wekoila sendiri. Melihat benda tersebut Raja Besulutu merasa dihargai dan kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Kerajaan Konawe. Demikianlah maka sejak itu kalosara digunakan dalam berbagai urusan dan dalam setiap penggunaannya kalosara merupakan simbol dari kehadiran raja.

Versi ketiga kemunculan kalosara menyatakan bahwa benda tersebut diciptakan oleh Lelesuwa yang bergelar Kotubihara. Pada saat itu dia menjabat sebagai penasihat Raja Konawe. Lelesuwa menggunakan kalosara pertama kali untuk membagi wilayah Kerajaan Konawe menjadi empat bagian sekaligus menentukan penguasa atas wilayah-wilayah tersebut. Sejak saat itu pulalah ka/osara dipakai dalam berbagai urusan.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047